Anda di halaman 1dari 25

KASUS BEDAH ANAK

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 7 TAHUN DENGAN MEGAKOLON


KONGENITAL
Periode : 19 Agustus 21 Agustus 2013

Oleh:
Ema Nur Fitriana

G99122039

Pembimbing:
dr. Suwardi, Sp. B., Sp. BA.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2013

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Nama Ayah
Pekerjaan ayah
Nama Ibu
Pekerjaan ibu
Agama
Tanggal Masuk
Tanggal Periksa
No. RM

: An. RN
: 7 tahun
: Laki-laki
: Tn. S.
: Wiraswasta
: Ny. N
: Ibu rumah tangga
: Islam
: 16 Agustus 2013
: 19 Agustus 2013
: 01-20-94-74

B. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap
orang tua pasien dilengkapi dengan rekam medis rumah sakit.
1. Keluhan Utama
Kesulitan BAB
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami kesulitan BAB sejak usia 2 tahun. Untuk bisa BAB,
pasien harus menggunakan obat yang dimasukkan ke dalam anus.
Semenjak kesulitan BAB, perut pasien mulai buncit dan sering merasakan
kembung. Mual (-), muntah (-), demam (-). BAK lancar, tidak ada
keluhan.
Sejak keluhan sulit BAB pertama kali muncul, pasien sudah berobat, dan
oleh dokter dinyatakan perlu tindakan operasi. Tetapi orang tua pasien
menolak operasi karena belum siap. Keluhan dirasakan semakin
mengganggu, sehingga pasien berobat kembali ke RS Sukoharjo dan
disarankan oleh dokter RS Sukoharjo untuk berobat ke RSUD Dr.
Moewardi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluar mekoneum

: 48 jam setelah lahir (>24 jam)

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat operasi

: disangkal

Riwayat mondok

: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

5. Riwayat Kehamilan Ibu


Riwayat merokok

: disangkal

Riwayat konsumsi alkohol

: disangkal

Riwayat ketuban pecah dini

: disangkal

Riwayat hipertensi kehamilan : disangkal

6. Riwayat Persalinan
Pasien lahir di bidan desa Sukoharjo dengan usia kehamilan 9 bulan, berat
badan lahir 2,7 kg, dan langsung menangis kuat.

7. Riwayat Gizi, Imunisasi, dan Perkembangan


Pasien mengkonsumsi ASI eksklusif hingga berusia 1 tahun. Pasien
mendapatkan imunisasi dasar lengkap di posyandu desa. Pasien dapat
berjalan pada usia 1 tahun, tetapi mengalami keterlambatan bicara (baru
bicara pada usia 5 tahun). Berat badan pasien saat ini 13 kg.
8. Anamnesis Sistemik

Kepala

: pusing (-)

Mata

: pandangan kabur(-/-), pucat(-/-)

Hidung

: pilek (-), hidung tersumbat (-)

Telinga

:pendengaran berkurang(-/-), keluar cairan(-/-), berdenging


(-/-)

Mulut

: mulut kering (-), bibir biru (-), sariawan (-), gusi berdarah
(- ), bibir pecah- pecah (-)

Tenggorokan

: sakit telan (-)

Respirasi

: sesak (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-), mengi (-)

Cardiovascular : nyeri dada (-), pingsan (-), kaki bengkak (-), keringat
dingin (-), lemas (-)
Gastrointestinal: mual (-), muntah (-), perut terasa panas (-), kembung (+),
sebah (-), muntah darah (-), BAB warna hitam (-), BAB
lendir darah (-), BAB sulit (+), perut buncit (+)
Genitourinaria : BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
Muskuloskeletal: nyeri otot (+), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-)
Ekstremitas

Atas

: pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-), terasa


dingin (-/-)

Bawah

: pucat (+/-), kebiruan (+/-), bengkak (+/-), luka (+/-),


terasa dingin (-/-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum

- Keadaan umum

: baik

- Derajat kesadaran

: compos mentis

- Derajat gizi

: gizi kesan kurang (berat badan = 13 kg)

2. Kulit
Kulit putih kecoklatan, kering, ujud kelainan kulit (-), hiperpigmentasi (-)
3. Kepala
Bentuk mesosefal, rambut kering (-), rambut warna hitam, sukar dicabut.
4. Mata
Hematoma periorbita (-/-), hifema (-/-), Oedema palpebra (-/-), konjungtiva
anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-)
5. Hidung
Napas cuping hidung (-), bloody rhinorea (-/-), deviasi(-/-)
6. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-)
7. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-/-), tragus pain (-/-)
8. Tenggorok
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-), tonsil T1 - T1
9. Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-), JVP tidak
meningkat
10. Thoraks
Cor

Pulmo

: Inspeksi

: iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi

: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

: Inspeksi

: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi

: Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler (+/+)


Suara tambahan (-/-)

11. Abdomen
Inspeksi

: Perut distended (+), damn contur (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: Nyeri tekan (-)

12. Ekstremitas
Akral dingin

Oedem

13. Genitourinaria
BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)

D. ASSESMENT I
Suspect megakolon kengenital

E. PLANNING I
Foto colon in loop
Cek laboratorium : Darah rutin

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto Polos Abdomen (tanggal 27 Juli 2013 di RSUD Sukoharjo)

2. Foto Colon in Loop

Pada pengisian kontras tampak aganglioner segmen di rectosigmoid


dengan dilatasi colon di proksimalnya.
Kesan : Megakolon kongenital
2. Hasil Laboratorium (18 Juli 2013)

Parameter

Hasil

Nilai Rujukan

Hb

12,0 g/dl

12,0-15,6

Hct

34 %

33-45

AE (uL)

9,1. 103 UL

4,10-5,10

AL

483. 103 UL

4,5-11

AT

4,06 . 106 UL

150-450

Gol. Darah

HbsAg

Nonreaktif

PT

12,9 detik

0-35

APTT

33,2 detik

0-45

G. ASSESMENT II
Megakolon kongenital rectosigmoid

H. PLANNING II
MRS bangsal
Pro TAERP

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Megakolon kongenital (megakolon aganglionik bawaan) atau penyakit
Hirschsprung (Hirschsprung Disease) adalah penyakit yang disebabkan oleh
kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk
anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah
akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal 1,2.

Gambar 1. Ilustrasi megakolon congenital


B. Insidensi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada kasuskasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%. Segmen yang aganglionik
terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan
sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus 1,2.
C. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi ke proksimal 2.
D. Embriologi dan Anatomi kolon

Secara embriologik , kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam perkembangan
embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional sehingga kolon
kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan ini
memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama
halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid
dengan radiksnya yang sempit 3.
Kolon merupakan bagian dari usus besar. Kolon dibagi

menjadi kolon

asendens, transversum, desendens, dan sigmoid. Tempat di mana kolon


membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturutturut dinamakan fleksura hepatica dan fleksura lienalis3,4.

Gambar 2. Letak anatomis usus besar di rongga abdomen


Kolon sigmoid mulai setinggi Krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk-S. lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rectum, yang
menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi
enema. Pada posisi ini, gaya berat membantu mengalirkan air dari rectum ke
fleksura sigmoid 4,5,.
Rectum terbentang dari kolon sigmoid sampai anus (muara ke bagian luar
tubuh). Satu inci terakhir dari rectum dinamakan kanalis ani dan dilindungi
oleh sfinter ani eksternus dan internus. Panjang rectum dan kanalis ani sekitar
(5,9 inci (15 cm)3.
Vaskularisasi kolon termasuk dalam bagian usus besar. Usus besar secara
klinis dibagi menjadi belah kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang
diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(sekum, kolon asendens dan dupertiga proksimal kolon transversum), dan
arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon

transversum, kolon transversum, kolon desendens dan sigmoid, dan bagian


proksimal rectum). Suplai darah tambahan untuk rectum adalah melalui arteri
sakralis media dan artera hemoroidalis inferior dan media yang dicabangkan
dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis4.
Aliran balik vena dari kolon dan rectum superior melalui vena mesenterika
superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari system
portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemoroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi
sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media dan
inferior, sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik
ke dalam vena-vena ini4.
Persarafan kolon juga merupakan bagian dari usus besar, yang dilakukan oleh
system saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada
dibawah control voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke
bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah
sacral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medulla
spinalis melalui saraf splangnikus untuk mencapai kolon. Perangsangan
simpatis

menyebabkan

perangsangan

sfingter

penghambatan
rectum,

sekresi

sedangkan

dan

kontraksi,

perangsangan

serta

parasimpatis

mempunyai efek yang berlawanan. Sistem syaraf autonomik intrinsik pada


usus terdiri dari 3 pleksus :
(1) Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal,
(2) Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler,
(3) Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa. Pada penderita penyakit
Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut 3,4.
E. Fisiologi kolon
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mucus
serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000
ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang
dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan,
minum, atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap
di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari
peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500

ml sehari. Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat
obstruksi usus gas tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi 4.
F. Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan
sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian
yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian
aganglionik selalu terdapt dibagian distal rectum 6.
Dasar patofisiologi dari penyakit Hirschsprung adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus
internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis
pada usus besar. 7

Gambar 3. Gambaran segmen aganglion


Hipoganglionosis 7
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.
Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah
keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal
dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi
jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis

kadang mengenai sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai
seluruh colon.
Imaturitas dari sel ganglion 7
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel saraf
lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu
pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi SDH
yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun.
Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.
Kerusakan sel ganglion 7
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari
vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah
infeksi Trypanosoma cruzi(penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi
kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran
darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull
through secara Swenson, Duhamel, atau Soave.
G. Tipe
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena.
Tipe Hirschsprung disease meliputi:
1. Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari
rectum.
2. Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari
colon.
3. Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
4. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan
kadang sebagian usus kecil.

Gambar 4. Tipe berdasarkan seberapa banyak kolon yang terkena


A : Rectosigmoid aganglionosis, B : Short / ultrashort
segment, C : Long-segment, D : Total colonic
aganglionosis, E : Aganglionosis kolon dan sebagian
usus kecil

H. Manifestasi klinis
Tiga tanda khas dari megakolon kongenital, yaitu:
1. Keterlambatan evakuasi mekoneum lebih dari 24-48 jam pertama. Pada
99% bayi yang lahir cukup bulan (aterm) mekoneum keluar dalam
48 jam pertama setelah kelahiran. Megacolon congenital

perlu

dicurigai

pada bayi yang lahir cukup bulan yang mengalami keterlambatan evakuasi
mekoneum.

Meskipun

pada

beberapa

bayi

dapat

mengeluarkan

mekoneumsecara normal, tetapi pada akhirnya akan berlanjut menjadi


konstipasi kronik. Gejala lain yang mungkin terjadi pada neonatus lainnya
seperti konstipasi yang diikuti diare berlebih yang sering teridentifikasi
sebagai

enterokolitis,

abdomen

yang

meregang,

dan kegagalan

perkembangan.
2. Distensi abdomen. Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi
usus letak rendah.Tanda-tanda edema, bercak kemerahan khususnya di
sekitar umbilicus,punggung, dan sekitar genitalia ditemukan bila terjadi
komplikasiperitonitis. Gambaran abdomen tersebut mirip dengan gambaran

abdomenpada penyakit lain seperti enterokolitis nekrotikans neonatal,


atresia ileumdengan komplikasi perforasi, atau peritonitis intrauterin.
3. Muntah yang berwarna hijau. Muntah berwarna hijau disebabkan oleh
obstruksi usus, yang dapat terjadipula karena gangguan pasase usus, seperti
atresia

ileum,

enterokoliti

snekrotikans

neonatal,

atau

peritonitis

intrauterine.
I. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya
mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi
gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang
biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor
feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia
lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang
harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonatus
yang diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai adanya
enterokolitis 8.
2. Gejala klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia
gejala klinis mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka
94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat
angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah
lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang
manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis
merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit
Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling

tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk
dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung
datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi
meski telah dilakukan kolostomi 8,9.
(2) Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semiliquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak
teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi 8,9.

Gambar 5 . Anak penderita megacolon congenital. A : periode neonatus,

: Periode anak
3. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai

gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar1,9.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas1,9:
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi.
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Gambar 6. Terlihat gambar barium enema penderitaHirschsprung.


Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar
2. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas
absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus
sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah
banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan
akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut
syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional
dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase,

juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidaseantiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan
immunohistokimia

memerlukan

ahli

patologi

anatomi

yang

berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi


yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan 9,10.
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2, 3, dan 5 cm
proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan,
barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach10.
J. Pentalaksanaan
1. Pre operatif
1. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi
buruk disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan
yang disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar
memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral. Meskipun
demikian bayi dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal
biopsy danpat diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap
3 jam selama dilatasi rectal preoperative dan irigasi rectal9.
2. Farmakologis
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan
untuk mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya. Untuk
mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi rectum dan kolon
melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rectal
dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral dan intravena
diberikan dalam beberapa jam sebelum pembedahan9.
2. Operatif
1. Tindakan bedah sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung
adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal
paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi
usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang
berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka

kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan


kaliber usus pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar
sehingga memungkinkan dilakukan anastomosis 5,9.

Gambar 7. Tindakan operatif sementara


2. Tindakan bedah definitif
1. Prosedur Swenson
Orvar swenson dan

Bill

(1948)

adalah

yang

mula-mula

memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai


tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya,
operasi yang dilakukan adalah

rektosigmoidektomi dengan

preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal


dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah
aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering
dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson
memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan
spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm
rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior. 11
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,
melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah
hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding
rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati
saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik,
selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya
telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui

saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari


anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior,
selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon
proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah
anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik/ abdomen.
Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen
ditutup. 11
Gambar 8. Tindakan operatif penyakit Hirschsprung
2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar
prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke
arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side. Prosedur
Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering
terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam
puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh
sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel
diantaranya 5,8,9:
a) Modifikasi Grob (1959) : Anastomosis dengan pemasangan 2
buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk
mencegah inkontinensia;
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian
stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
c) Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;

d) Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik


transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan
secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan
memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua
klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih
dititikberatkan pada fungsi hemostasis.

Gambar 8. Prosedur Duhamel


3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein
tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak
tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan
bedah definitive Penyakit Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur
Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk
kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut 5.
4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan

rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),
menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis5.
3. Post Operatif
Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal pullthrough), pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk short
segmen, tipikal, dan long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih
dahulu dan beberapa bulan kemudian baru dilakukan operasi definitif
dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson. Apabila
keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa
kolostomi sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan
penyembuhan anastomosis. Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari
kedua sesudah operasi dan pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai
pada pertengahan hari ke empat pada pasien yang sering muntah pada
pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi selama periode ini dan
memerlukan perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan5.
K. Komplikasi pasca tindakan operatif
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan
atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi
spinkter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita
penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan
invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin
dan sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi
Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya
enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan
terjadinya megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare
hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi da nekrosis
akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan
terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus. Enterokolitis merupakan
ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini,

yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya
berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi
klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.
Kejadian enteokolitis berdasar prosedur operasi yang dipergunakan Swenson
16,9%, Boley-Soave 14,8%, Duhamel 15,4% dan Lester Martin 20%.
Gambaran klinis distensi abdomen 29, diare 38, darah pada feses 2, muntah
31, panas 22 dan takikardi 12.
L. Prognosis
Terdapat perbedaan hasil yang didapatkan pada pasien setelah melalui proses
perbaikan

penyakit

Hirschsprung

secara

definitif.

Beberapa

peneliti

melaporkan tingkat kepuasan tinggi, sementara yang lain melaporkan kejadian


yang signifikan dalam konstipasi dan inkontinensia. Belum ada penelitian
prospektif yang membandingkan antara masing-masing jenis operasi yang
dilakukan 12.
Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung membutuhkan
kolostomi permanen untuk memperbaiki inkontinensia. Umumnya, dalam 10
tahun follow up lebih dari 90% pasien yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami penyembuhan. Kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20% 5,12.

Daftar pustaka

1. Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit


Hirschsprung) . Behrmann, Kliegman, Arvin. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Edisi 15, Jilid II. Jakarta: EGC, 1316-1319
2. Mansjoer Arief, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika,
Setiowulan Wiwiek, 2000. Penyakit Hirschsprung. Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius FK UI, 380381.
3. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan. Dalam : Embriologi Kedokteran
Langman. Edisi 7, Jakarta : EGC, 243-271.
4. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati.
Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 1, Edisi
6. Jakarta. EGC. 456-468.
5. Irwan, Budi, 2003. Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit
Hirschsprung pasca operasi pull-through. Available From: Usu digital library
(Akses 19 Agustus 2013)
6. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in Townsend Sabiston
Textbook of Surgery 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 21132114.

7. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in:


Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468.
8. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.
Sjamsuhidajat.R, De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 646-647.
9. Lee, Steven L, 2009. Hirschsprung disease. Available From : http:
//www.emedicine.com/med/topic (Akses 19 Agustus 2013)
10. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksi
usus. Mahanani, Dewi Asih,dkk. Dalam: Ringkasan Patologi Anatomi.
Jakarta. EGC5. 532-538.
11. Swenson O. 2002. Hirschsprungs disease : A Review. J Pediatri 109:914-918.
12. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 382.

Anda mungkin juga menyukai