Chapter II
Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
8
Universitas Sumatera Utara
pembangunan
kesehatan
dengan
memperhatikan
kerangka
Meter
dan
Horn
menyatakan
bahwa
implementasi
kebijakan
yang
melibatkan
berbagai
pihak
yang
berkepentingan
(policy
d. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang
standar (SOP atau standard operating procedures). SOP menjadi pedoman bagi
setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang
akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini menyebabkan aktivitas
organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2005).
Keempat variabel diatas dalam model yang dibangun oleh Edward memiliki
keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan dari kebijakan. Semuanya
saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan mempengaruhi
variabel yang lain. Misalnya bila implementor tidak jujur akan mudah sekali
melakukan mark up dan korupsi atas dana kebijakan sehingga program tidak optimal
dalam mencapai tujuannya. Begitu pula bila watak dari implementor kurang
demokratis akan sangat mempengaruhi proses komunikasi dengan kelompok sasaran.
Model implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai alat menggambarkan
implementasi program diberbagai tempat dan waktu.
Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara sempurna karena
pelaksanaan kebijakan pada umumnya memang lebih sukar dari
sekedar
pelaksanaan kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam kenyataannya sering terjadi
implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang dirumuskan
dengan apa yang dilaksanakan. Kesenjangan tersebut bisa disebabkan karena tidak
dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya (non implementation) dan karena tidak
berhasil atau gagal dalam pelaksanaannya (unsuccessful implementation) (Abidin
2002).
Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa faktor eksternal yang
biasanya mempersulit pelaksanaan suatu kebijakan, antara lain :
a. Kondisi Fisik
Terjadinya perubahan musim atau bencana alam. Dalam banyak hal kegagalan
pelaksanaan kebijakan sebagai akibat dari faktor-faktor alam ini sering dianggap
bukan sebagai kegagalan dan akhirnya diabaikan, sekalipun dalam hal-hal tertentu
sebenarnya bisa diantisipasi untuk mencegah dan mengurangi resiko yang terjadi.
b. Faktor Politik
Terjadinya perubahan politik yang mengakibatkan pertukaran pemerintahan dapat
mengubah orientasi atau pendekatan dalam pelaksanaan bahkan dapat
menimbulkan perubahan pada seluruh kebijakan yang telah dibuat. Perubahan
pemerintahan dari kepala pemerintahan kepada kepala pemerintahan lain dapat
menimbulkan
perbedaan
orientasi
pemerintahan,
perubahan
dari
industrialisasi
ke
orientasi
sentralisasi
orientasi
agri-bisnis,
yang
ke
desentralisasi
memprioritaskan
perubahan
dari
orientasi
sistem
strategi
yang
c. Attitude
Attitude dari sekelompok orang yang cenderung tidak sabar menunggu
berlangsungnya proses kebijakan dengan sewajarnya dan memaksa melakukan
perubahan. Akibatnya, terjadi perubahan kebijakan sebelum kebijakan itu
dilaksanakan. Perubahan atas sesuatu peraturan perundang-undangan boleh saja
terjadi, namun kesadaran untuk melihat berbagai kelemahan pada waktu baru
mulai diberlakukan tidak boleh dipandang sebagai attitude positif dalam budaya
bernegara.
d. Terjadi penundaan karena kelambatan atau kekurangan faktor inputs.
Keadaan ini terjadi karena faktor-faktor pendukung yang diharapkan tidak
tersedia pada waktu yang dibutuhkan, atau mungkin karena salah satu faktor
dalam kombinasi faktor-faktor yang diharapkan tidak cukup.
e. Kelemahan salah satu langkah dalam rangkaian beberapa langkah pelaksanaan.
Jika pelaksanaan memerlukan beberapa langkah yang berikut : A > B > C > D,
kesalahan dapat terjadi diantara A dengan B atau diantara B dengan C dan atau
antara C dengan D.
f. Kelemahan pada kebijakan itu sendiri. Kelemahan ini dapat terjadi karena teori
yang melatarbelakangi kebijakan atau asumsi yang dipakai dalam perumusan
kebijakan tidak tepat (Abidin, 2002).
Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan, asumsi
yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap. Tetapi tanpa pelaksanaan yang
baik, sebuah rumusan kebijakan yang baik sekalipun hanya akan merupakan sekedar
suatu dokumen yang tidak mempunyai banyak arti dalam kehidupan bermasyarakat
(Abidin, 2002).
telah
melewati
pengalaman
yang
cukup
panjang
dalam
Jumantik (2 orang kader per lingkungan) dengan penggajian Rp. 25.000 per bulan
untuk setiap jumantik.
c. Survailens / Penyelidikan Epidemiologi di Tebing Tinggi dilakukan pada setiap
kasus yang dimiliki dengan radius 200 meter dari rumah penderita. Bila
ditemukan bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya ataupun
ditemukan faktor resiko (jentik) maka dilakukan fogging fokus dengan siklus 2
kali dan fogging massal bila diperlukan.
d. Setiap RS di Tebing Tinggi memiliki Laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit
(KD-RS) DBD yang dikirim dalam 24jam setelah penegakan diagnosis sebagai
laporan ke Dinas Kesehatan bahwa ada ditemukan penderita baru untuk segera
dilaksanakan surveilans epidemiologi.
Kriteria penetapan suatu daerah sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) sesuai
dengan Peraturan Menkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 yaitu :
a. Timbulnya kasus yang sebelumnya tidak ada, atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Jumlah kasus dalam periode 1 bulan menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih
dibandingkan dengan angka rata-rata kasus perbulan tahun sebelumnya.
c. Angka kematian (CFR) dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan
50% atau lebih dibandingkan angka kematian periode seelumnya dalam kurun
waktu yang sama (Ditjen PP & PL 2011).
Sebagai pedoman dalam upaya untuk memberantas penyakit DBD maka telah
dikeluarkan beberapa ketentuan melalui aspek hukum, antara lain :
a. UU RI No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.
No.004/Menkes/SK/I/2003
tentang
kebijakan
&
strategi
mengutamakan
pencegahan
yaitu
dengan
melaksanakan
PSN
c. Kegiatan pengendalian DBD telah dimasukkan dalam petunjuk teknis BOK tahun
2011 berupa : surveilans, pelacakan dan penemuan kasus, serta pengendalian dan
pemberantasan vektor.
d. Advokasi kepada bupati atau walikota didaerah agar meningkatkan komitmen
terhadap pengendalian DBD seperti meningatkan pendanaan untuk kegiatan juru
pemantau jentik (Jumantik) contoh DKI Jakarta, Mojokerto (Jawa Tengah),
Denpasar (Bali).
e. Adanya regulasi pemerintah daerah tentang pengendalian DBD contoh beberapa
daerah yang telah memiliki perda tentang pengendalian DBD antara lain DKI
Jakarta, Jawa Timur, NTT.
f. Meningkatkan kerjasama dengan sektor terkait :
1. Kementrian Pendidikan Nasional & Kementrian Agama :untuk mengaktifkan
UKS.
2. Kementrian Dalam Negeri : untuk pemberdayaan masyarakat melalui PKK.
3. Kementrian Lingkungan Hidup : pengembangan surveilans berdasarkan iklim.
g. Menggalang kemitraan dibidang kesehatan dengan mitra kerja masing-masing
daerah (misalnya : perguruan tinggi, media massa, organisasi dan komponen
masyarakat lainnya) dalam PSN (Ditjen PP & PL, 2011).
Pada tanggal 14 15 Juni 2011 yang lalu Indonesia berhasil
menyelenggarakan Asean Dengue Conference untuk pertama kalinya di Jakarta yang
dihadiri oleh Negara yang tergabung dalam Asean dan menetapkan tanggal 15 Juni
sebagai Hari Dengue se-Asean. Bersamaan dengan itu telah dilaksanakan pula dialog
nasional yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri serta
dihadiri oleh perwakilan daerah se-Indonesia dan perwakilan WHO yang
menghasilkan Deklarasi Nasional tahun 2011 yaitu :
a. Meningkatkan mutu sumber daya manusia untuk lebih mampu mengatasi
permasalahan demam berdarah.
b. Meningkatkan upaya promosi kesehatan pencegahan demam berdarah.
c. Meningkatkan mutu sistem pengamatan penyakit secara terus menerus
(surveilans).
d. Menyiapkan logistik serta pendanaan operasional yang memadai.
e. Meningkatkan kerjasama antar lintas sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat.
f. Mengembangkan wilayah bebas jentik baik di institusi pemerintah , swasta, dan
masyarakat, terutama di lingkungan sekolah dan tempat-tempat umum lainnya.
g. Menggerakkan peran serta masyarakat mulai dari lembaga pendidikan, karang
taruna, pramuka, PKK untuk lebih aktif dan tanggap terhadap demam berdarah.
h. Meningkatkan peran pemerintah pusat dalam pengendalian demam berdarah.
i. Melakukan revitalisasi Pokjanal, demam berdarah di berbagai tingkatan baik
pusat, provinsi, kabupaten atau kota.
j. Membuat regulasi daerah untuk pencegahan dan pengendalian demam berdarah
(Ditjen PP & PL, 2011).
Guru Besar Penyakit Dalam FK UI Prof. Nelwan mengatakan sejak 1975
Malaysia telah menerapkan undang-undang yang tidak memperkenankan adanya
jentik nyamuk di rumah. Begitu juga dengan Singapura sejak 1996 memberlakukan
1. Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah
Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, dipertahankan siklusnya didalam
tubuh nyamuk.
2. Faktor nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok
tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan.
3. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di
Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung
menampung air dan didaerah sulit air orang menampung air didalam bak-bak
air/drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun.
c. Standar Operasional Prosedur
1. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
penderita DBD sesuai standar pada sebagian klinisi baik di Rumah Sakit,
Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya, sehingga sering terjadi
over diagnosis.
2. Belum semua rumah sakit menggunakan form KD-RS (Kewaspadaan Dini
Rumah Sakit) DBD dan seringnya keterlambatan pelaporan kasus dari rumah
sakit ke Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar, seharusnya
setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam agar
dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan kasus secara cepat dan tepat
sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi.
d. Ketersediaan Tenaga Pelayanan
), hemokonsentrasi (peningkatan
hemotokrit 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes RI,
2005).
yang
tinggi,
sudah
diketahui
sejak
300
tahun
yang
lalu
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada
saat gigitan berikutnya.
Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting.
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas
sampai 5 hari setelah demam timbul. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi
oleh keadaan sekitarnya terutama keadaan lingkungan fisik, seperti kebersihan
halaman rumah, jenis kontainer, perilaku dan sosial ekonomi masyarakat. Nyamuk ini
dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah kurang lebih 1000 meter,
nyamuk ini tidak dapat berkembang biak lebih dari ketinggian tersebut, suhu udara
terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk untuk
berkembang biak (Depkes RI, 2005).
2.5.4. Epidemiologi
Secara epidemiologi dapat dilihat bahwa, kasus DBD dapat menyerang semua
golongan umur, jenis kelamin, terutama anak anak. Tetapi dalam dekade terakhir ini
terlihat ada kecenderungan peningkatan porsi penderita DBD pada golongan dewasa.
Kasus DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim
penghujan atau bebarapa minggu setelah musim hujan, maka kasus DBD
memperlihatkan siklus 5 (lima) tahun sekali (Depkes RI, 2005).
Peningkatan kasus diprediksikan akibat lemahnya surveilans epidemiologi dan
upaya pemberdayaan masyarakat untuk memantau jentik sebagai upaya pencegahan
kurang terlaksana secara optimal. Demikian juga dengan angka kematian meningkat
akibat keterlambatan mendapat pertolongan, perilaku masyarakat membersihkan
sarang nyamuk masih kurang (Sungkar, 2007).
2.5.5. Tanda dan Gejala Klinis
Penyakit DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade
terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa.
Sedangkan masa inkubasi DBD biasanya berkisar antara 4-7 hari (Depkes RI, 2005).
Diagnosa penyakit DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosa WHO
tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis, ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosa
yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosis). Kriteria klinis
tersebut seperti:
a. Demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang berlangsung 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji tornique positif,
petekia, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis
dan melena.
c. Pembesaran hati.
d. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan
nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan penderita tampak
merupakan
2.
Demam disertai 2 dari hal berikut : mual ataupun muntah, ruam, sakit dan
nyeri, uji torniqet positif, leukopenia.
Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan kesadaran,
gangguan jantung, dan organ lain) (Primal, 2010).
Prognosis DBD sulit di ramalkan dan pengobatan yang spesifik untuk DBD
tidak ada, karena obat terhadap virus dengue belum ada. Prinsip dasar pengobatan
penderita DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran
plasma (Depkes RI, 2005).
Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas petugas
kesehatan yang dapat melingkupi seluruh kelompok masyarakat. Dalam hal ini
peneliti meneliti apakah petugas kesehatan yang akan melaksanakan kebijakan
memadai jumlahnya, bagaimana kemampuan petugas kesehatan yang akan
mengaplikasikan kebijakan tersebut, tingkat pemahaman terhadap tujuan dan
sasaran serta aplikasi detail program, dan kemampuan menyampaikan program
dan mengarahkan. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas
sebuah kebijakan. Dalam hal ini peneliti akan meneliti apakah program memiliki
sarana dan prasarana yang baik dan berjalan dengan baik.
Variabel Dependen
Implementasi Kebijakan :
1. Komunikasi
Kejadian DBD
2. Sumber Daya
3. Disposisi