Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Anak Berkelainan Fisik


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus
Dosen pengampu: Dra. Sri Sami Asih, M.kes

Disusun oleh:
1.
2.
3.
4.

Dini Anggun Puspita


Tiyas Afriyani
Sarah Hesti Afiyanti
Irwan Gigih Juniarto

1401412375
1401412413
1401412502
1401412511

Rombel 6A

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,
rahmat dan ridho-Nya, penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul
Anak Berkelainan Fisik. Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di jurusan S1 PGSD UPP Tegal
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Penulisan makalah ini tak lepas dari peran serta berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapakan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Akhmad Junaedi, M. Pd selaku koordinator UPP kampus
Tegal.
2. Ibu Dra. Sri Sami Asih, M.kes selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Anak berkebutuhan khusus.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan,
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan
imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Tegal, 25 Maret 2015
Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
KATA PENGANTAR .......................................................................................ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................iii
2

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................2
C. Tujuan Penulisan .........................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Tunarungu
...............................................................................................
3
B. Tunanetra
...............................................................................................
6
C. Tunadaksa
...............................................................................................
8
D. Tunawicara
...............................................................................................
12
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................16
B. Saran ...........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................17

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan
dengan tingkat perkembangan fungsional. Karakteristik spesifik tersebut meliputi
tingkat perkembangan sensorimotor, kognitif, kemampuan berbahasa, ketrampilan
diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi sosial, serta kreativitasnya. Untuk
mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari setiap siswa, guru terlebih
dahulu melakukan skrining atau asesmen agar mengetahui secara jelas mengenai
kompetensi diri peserta didik bersangkutan. Adanya perbedaan karakteristik setiap
peserta didik berkebutuhan khusus, akan memerlukan kemampuan khusus guru.
Guru dituntut memiliki kemampuan berkaitan dengan cara mengombinasikan
kemampuan dan bakat setiap anak dalam beberapa aspek yang meliputi
kemarnpuan berpikir, melihat, mendengar, berbicara, dan cara bersosialisasi. Halhal tersebut diarahkan pada keberhasilan dari tujuan akhir pembelajaran, yaitu
perubahan perilaku ke arah pendewasaan. Model bimbingan terhadap peserta
didik berkebutuhan khusus difokuskan terhadap perilaku nonadaptif atau perilaku
menyimpang sebelum mereka melakukan kegiatan program pembelajaran
individual.
Membicarakan anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya banyak
sekali variasi dan derajat kelainan. Ini mencakup anak-anak yang mengalami
kelainan fisik, mental-intelektual, sosial-emosional, maupun masalah akademik.
Kita ambil contoh anak-anak yang mengalami kelainan fisik saja ada tunanetra,
tunarungu, dan tunadaksa (cacat tubuh) dengan berbagai derajat kelaianannya.
Ini adalah yang secara nyata dapat dengan mudah dikenali. Keadaan seperti ini
sudah barang tentu harus dipahami oleh seorang guru, karena merekalah yang
secara langsung memberikan pelayanan pendidikan di sekolah kepada semua
anak didiknya. Namun keragaman yang ada pada anak anak tersebut belum tentu
dipahami semua guru di sekolah. Untuk itu pada makalah ini akan mengkaji
tentang klasifikasi anak-anak berkebutuhan khusus yang mencakup anak-anak
yang mengalami kelainan fisik.
1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah klasifikasi anak tunanetra ?
2.

Bagaimanakah klasifikasi anak tunarungu ?

3. Bagaimanakah klasifikasi anak tunadaksa ?


4. Bagaimanakah klasifikasi anak tunawicara?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang klasifikasi anak tunanetra.
2. Untuk mengetahui tentang klasifikasi anak tunarungu.
3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi anak tunadaksa.
4. Untuk mengetahui tentang klasifikasi anak tunawicara.

BAB II
PEMBAHASAN
A. TUNANETRA
1. Pengertian Tunanetra
Secara harafiah tunanetra berasal dari dua kata, yaitu: a) Tuna
(tuno:Jawa) yang berarti rugi yang kemudian diidentikan dengan rusak, hilang,
terhambat, terganggu tidak memiliki dan b) Netra (netro:Jawa) yang berarti mata.
Namun demikian kata tunanetra adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang

berarti adanya kerugian yang disebabkan oleh kerusakan atau terganggunya organ
mata, baik anatomis maupun fisiologis.
Secara umum, istilah tunanetra digunakan untuk menggambarkan
tingkatan kerusakan atau gangguan penglihatan yang berat sampai pada yang
sangat berat, yang dikelompokkan secara umum menjadi buta dan kurang lihat.
Sebagian ahli mengelompokkannya menjadi kurang lihat (low vision), buta
(blind), dan buta total (totally blind). Perlu anda pahami bahwa kerusakan yang
terjadi pada organ penglihatan (mata) dapat meliputi kerusakan yang ringan
sampai yang sangat berat. Anak yang memilki kerusakan ringan pada
penglihatannya (seperti myopia dan hypermetropia) masih dapat dikoreksi dengan
menggunakan kacamata dan bisa mengikuti pendidikan seperti anak yang lainnya,
secara umum tidak dikelompokkan pada tunanetra.
2. Klasifikasi Tunanetra
a. Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan (Visus)
1) Tingkat ketajaman 20/20 feet 20/50 feet (6/6 m 6/16 m)
Pada tingkat ketajaman penglihatan ini masih digolongkan tunanetra taraf
ringan dan masih dapat mempergunakan mata relatif secara normal. Kemampuan
pengamatan visual masih cukup baik dan dapat mempergunakan alat bantu
pendidikan secara normal
2) Tingkat ketajaman 20/70 feet 20/200 feet (6/20 m 6/60 m)
Istilah tunanetra kurang lihat (low vision) ada pada tingkat ketajaman ini.
Dengan memodifikasi obyek atau benda yang dilihat atau menggunakan alat bantu
penglihatan tunanetra masih terkoreksi dengan baik, disebut juga tunanetra ringan
(partially sight).
3) Tingkat ketajaman 20/200 feet atau lebih (6/60 m atau lebih)
Ketunanetraan sudah digolongkan tingkat berat dan mempunyai taraf
ketajaman penglihatan: a). Tunanetra masih dapat menghitung jumlah jari tangan
pada jarak enam meter, b). Tunanetra mampu melihat gerakan tangan dari
instruktur, c). Tunanetra hanya dapat membedakan terang dan gelap.
4) Tingkat ketajaman 0 (visus 0)
Adalah mereka yang buta total yang sama sekali tidak memiliki
rangsangan cahaya bahkan tidak bisa membedakan terang dengan gelap
3

b. Berdasarkan Adaptasi Pedagogis


Klasifikasi tunanetra ini tidak didasarkan pada hasil tes ketajaman
penglihatan, tetapi didasarkan pada adaptasi/penyesuaian pendidikan khusus yang
sangat penting dalam membantu mereka belajar atau diperlukan dalam membantu
layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya. Klasifikasi
ini dikemukakan oleh Kirk (1989: 348-349), yaitu sebagai berikut:
1) Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability)
Pada taraf ini, mereka dapat melakukan tugas-tugas visual yang dilakukan
oleh orang awas dengan menggunakan alat bantu khusus dan dibantu dengan
pemberian cahaya yang cukup.
2) Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability)
Pada taraf ini, mereka memiliki kemampuan penglihatan yang kurang baik
atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat bantu visual dan
modifikasi sehingga mereka membutuhkan lebih banyak waktu dan energi dalam
melakukan tugas-tugas visual.
3) Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual
disability)
Pada taraf ini mereka mendapat kesulitan untuk melakukan tugas-tugas
visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang lebih detail, seperti
membaca dan menulis huruf awas. Dengan demikian, mereka tidak dapat
menggunakan penglihatannya sebagai alat pendidikan sehingga indra peraba dan
pendengaran memgang peranan penting dalam menempuh pendidikannya.
3. Penyebab Terjadinya Tunanetra
a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari
dalam diri individu, yang sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini
kemungkinan besar terjadi pada perkawinan antarkeluarga dekat dan perkawinan
antartunanetra.
b. Faktor Eksternal
1) Penyakit rubella dan syphilis
Rubella atau campak Jerman merupakan penyakit yang disebabkan oleh
virus yang sangat berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis. Apabila seoarng
4

ibu terkena rubella pada tri semester pertama (3 bulan pertama) maka virus
tersebut dapat merusak pertumbuhan sel-sel pada janin dan merusak jaringan pada
mata, telinga atau organ lainnya sehingga kemungkinan besar anaknya lahir
tunanetra atau tuna rungu atau berkelainan lainnya. Demikian juga dengan
syphillis (penyakit yang menyerang alat kelamin), apabila penyakit itu terjadi
pada ibu hamil maka akan merambat kedalam kandungan sehingga dapat
menimbulkan kelainan pada bayi yang dikandungnya atau bayi tersebut akan
terkena penyakit ini sewaktu dilahirkan.
2) Glaukoma (Glaucoma)
Glaukoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan yang
berlebihan pada bola mata. Hal itu terjadi karean struktur bola mata yang tidak
sempurna pada saat pembentukannya dalam kendungan. Kondisi ini ditandai
dengan pembesaran bola mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air
mata, dan merasa silau.
3) Retinopati diabetes (Diabetic retinopathy)
Retinopati diabetes merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh
adanya gangguan dalam siplai/aliran darah pada retina. Kondisi ini disebabkan
oleh adanya penyakit diabetes.
4) Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina, dan
sering ditemukan pada anak-anak. Gejala yang dapat dicurigai antara lain,
menonjolnya bola mata, adanya bercak putih pada pupil, strabismus (juling),
glaukoma, mata sering merah, atau penglihatannya sering menurun.
5) Kekurangan vitamin A
Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Dengan
vitamin A, tubuh lebih efisien dalam menyerap protein yang dikonsumsi.
Kekurangan vitamin A akan menyebabkan kerusakan pada matanya, yaitu
kerusakan pada sensitifitas retina terhadap cahaya (rabun senja) dan terjadi
kekeringan pada konjungtiva bulbi yang terdapat pada celah kelopak mata,
disertai pengerasan dan penebalan pada epitel. Pada saat mata bergerak, akan

tampak lipatan [ada konjungtiva bulbi. Dalam keadaan ini parah hal tersebut dapat
merusak retina, dan apabila dibiarkan akan terjadi ketunanetraan.
6) Terkena zat kimia
Di samping memberikan manfaat bagi manusia, zat-zat kimia juga dapat
merusak apabila penggunaanya tidak hati-hati. Zat kimia tertentu, seperti zat
etanol dan aseton, apabila mengenai kornea, akan mengakibatkan mata kering dan
terasa sakit. Selain itu zat-zat lain, seperti asam sulfat dan asam tannat yang
mengenai

kornea

akan

menimbulkan

kerusakan

bahkan

mengakibatkan

ketunanetraan.
7) Kecelakaan
Kecelakaan menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan
ketunanetraan apabila kecelakaan tersebut mengenai mata atau saraf mata.
Benturan keras mengenai saraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata
dapat menyebabkan gangguan penglihatan bahkan ketunanetraan.
B. TUNARUNGU
Istilah tunarungu diambil dari kata tuna dan rungu, tuna artinya kurang
dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila ia tidak
mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Tunarungu satu istilah
umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang ringan sampai
yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar ( a hard
of hearing). Orang yang tuli ( a deaf person) adalah seseorang yang mengalami
ketidakmampuan mendenar sehingga mengalami hambatan didalam memproses
informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat
bantu dengar (hearing aid), sedangkan yang kurang dengar ( a hard of hearing
person) adalah sesorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar,
sisa pendengarannya cukuup memungkinkan untuk keberhasilan memproses
informasi bahasa melalui pendengarannya, artinya apabila orang yang kurang
dengar

tersebut

menggunakan hearing

aid ia

masih

dapat

menangkap

pembicaraan melalui pendengarannya.


Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian
organ pendengaran atau telinga seorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka

mengalami hambatan atau keterbatasan merespon bunyi-bunyi yang ada


disekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar,
yaitu umum dan khusus. Ada beberapa klasifikasi anak turarungu secara umum,
yaitu :
a. Klasifikasi umum
1) The deaf, atau tuli, yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat
dengan tingkatan ketulian diatas 90 dB.
2) Hard of hearing, atau kurang dengar, yaitu penyandang tunarungu
ringan atau sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.
b. Klasifikasi khusus
1) Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami
tingkat ketulian 25-45 dB. Yaitu seseorang yang mengalami
ketunarunguan taraf ringan, dimana ia mengalami kesulitan untuk
merespon suar-suara yang datangnya agak jauh. Pada kondisi yang
demikian, seorang anak secara pedagogis sudah memerlukan perhatian
khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan
tempat duduk dibagian depat, dekat dengan guru.
2) Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami
tingkat ketulian 46-70 dB. Yaitu seseorang yang mengalami
ketunarunguan taraf sedang, dimana ia hanya dapat mengerti
percakapan pada jarak3-5 feet secara berhadapan, tetapi tidak dapat
mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak yang mengalami
ketunarunguan taraf inimemerlukan adanya alat bantu dengar(hearing
aid), dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan
irama.
3) Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat
ketulian 71 90 dB. Seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf
berat, hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat
dekat dan diperkeras. Siswa dengan kategori ini juga memerlukan alat
bantu dengar dalam mengikuti pendidikanya di sekolah. Siswa juga
sangat memerlukanadanya pembinaan-pembinaan atau latihan-latihan
komunikasi dan pengembangan bicaranya.

4) Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang


mengalami tingkat ketulian 90 dB keatas. Pada taraf ini, mungkin
seseorang sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi
mungkin masih bisa merespon melalui getaran-getaran yang ada.
Untuk kegiatan pendidikan dan aktivitas lainnya, penyandang
tunarungu kategori ini lebih mengandalkan kemampuan visual atau
C.

penglihatannya.
TUNADAKSA

Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau


cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami
kelainan anggota gerak dan kelumpuhan yang disebabkan karena kelainan yang
ada di syaraf pusat atau otak, disebut sebagai cerebral palcsy (CP).
1. Karakteristik Tunadaksa
a. Gangguan Motorik
Gangguan motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan-gerakan
yang

tidak

dapat

dikendalikan,

gerakan

ritmis

dan

gangguan

keseimbangan. Gangguan motorik ini meliputi motorik kasar dan motorik


halus.
b. Gangguan Sensorik
Pusat sensoris pada manusia terleak otak, mengingat anak cerebral palsy
adalah anak yang mengalami kelainan di otak, maka sering anak cerebral
palsy disertai gangguan sensorik, beberapa gangguan sensorik antara lain
penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan perasa. Gangguan
penglihatan pada cerebral palsy terjadi karena ketidakseimbangan otot-otot
mata sebagai akibat kerusakan otak. Gangguan pendengaran pada anak
cerebral palsy sering dijumpai pada jenis athetoid.
c. Gangguan Tingkat Kecerdasan
Walaupun anak cerebral palsy disebabkan karena kelainan otaknya tetapi
keadaan kecerdasan anak cerebral palsy bervariasi, tingkat kecerdasan anak
cerebral palsy mulai dari tingkat yang paling rendah sampai gifted. Sekitar
45% mengalami keterbelakangan mental, dan 35% lagi mempunyai tingkat

kecerdasan normal dan diatas rata-rata. Sedangkan sisanya cenderung


dibawah rata-rata (Hardman, 1990).
d. Kemampuan Berbicara
Anak cerebral palsy mengalami gangguan wicara yang disebabkan oleh
kelainan motorik otot-otot wicara terutama pada organ artikulasi seperti
lidah, bibir, dan rahang bawah, dan ada pula yang terjadi karena kurang
dan tidak terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan keadaan yang
demikian maka bicara anak-anak cerebral palsy menjadi tidak jelas dan
sulit diterima orang lain.
e. Emosi dan Penyesuaian Sosial
Respon dan sikap masyarakat terhadap kelainan pada anak cerebral palsy,
mempengaruhi pembentukan pribadi anak secara umum. Emosi anak
sangat bervariasi, tergantung rangsang yang diterimanya. Secara umum
tidak terlalu berbeda dengan anakanak normal, kecuali beberapa
kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dapat menimbulkan emosi yang tidak
terkendali. Sikap atau penerimaan masyarakat terhadap anak cerebral palsy
dapat memunculkan keadaan anak yang merasa rendah diri atau
kepercayaan dirinya kurang, mudah tersinggung, dan suka menyendiri,
serta kurang dapat menyesuaiakan diri dan bergaul dengan lingkungan.
f. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan
kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca
polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik
terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada
sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang.
Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam
memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Dalam
kehidupan sehari-hari anak perlu bantuan dan alat yang sesuai. Keadaan
kapasitas kemampuan intelektual anak gangguan gerak otot ini tidak
berbeda dengan anak normal.
2. Klasifikasi Tunadaksa:
a. Penggolongan menurut derajat kecacatan

1) Golongan ringan, adalah mereka yang dapat berjalan, tanpa


menggunakan alat bantu, mampu berbicara tegas, dan dapat menolong
dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup
bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi
tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.
2) Golongan sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, membutuhkan
latihan, khusus untuk berbicara, berjalan, dan mengurus dirinya
sendiri. Golongan ini memerlukan alat-alat khusus untuk membantu
gerakannya, seperti brace untuk membantu menyangga kaki,
kruk/tongkat sebagai penopang untuk berjalan. Dengan pertolongan
secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus
dirinya sendiri.
3) Golongan berat, anak cerebral plays golongan ini yang tetap
membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong
dirinya sendiri. Mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-tengah
masyarakat.
b. Penggolongan berdasarkan letaknya
1) Spastik, tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau
kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot.Kekakuan itu timbul
sewaktu

akan

digerakkan

sesuai

kehendak.

Dalam

keadaan

ketergantungan emosional kekakuan atau kekejangan itu makin


bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi
berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Diantara mereka ada yang
normal bahkan di atas normal.
2) Athetoid,pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan, ototototnya dapat digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini adalah
terdapat pada sistem gerakan,. Hampir semua gerakan terjadi di luar
kontrol. Gerakan dimaksud adalah dengan tidak adanya kontrol dan
koordinasi gerak.
3) Ataxia, ciri khas tipe ini adalah seakan akan kehilangan keseimbangan,
kekakuan memang tidak tampak tetapi mengalami kekakuan pada
waktu berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini adalah

10

terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan otak.


Akibatnya, anak tuna tipe ini mengalami gangguan dalam hal
koordinasi ruang dan ukuran. Sebagai contoh dalam kehidupan seharihari: pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok
berisi makanan

sampai ujung mulut. Ataxia juga ditandai dengan

adanya koordinasi mata dan tangan yang tidak berfungsi, serta cra
berjalannya gontai.
4) Tremor, gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah dijumpai
adanya gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga
tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada
kepala, mata, tangkai, dan bibir.
5) Rigid, pada tipe ini terdapat kekakuan otot., tetapi tidak seperti pada
tipe spastik., gerakannya tampak tidak ada keluwesan, gerakan
mekanik lebih tampak.
6) Tipe campuran, pada tipe iniseorang anak menunjukkan dua jenis atau
lebih gejala CP sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan
dengan anak yang hanya memiliki satu jenis/tipe kecacatan.
c. Penggolongan menurut topografi
Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh,
Cerebral Palsy dapat digolongkan menjadi 6 golongan, yakni :
1) Monoplegia, yaitu hanya satu anggota gerak yang lumpuh, misal kaki
kiri sedang kaki kanan dan kedua tangannya normal.
2) Hemiplegia, adalah lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi
yang sama,misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri
dan kaki kiri.
3) Paraplegia, yaitu lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
4) Diplegia, yaitu lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki
kanan dan kiri.
5) Triplegia, yakni tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misal
tangan kanan dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua
kakinya lumpuh.
6) Quadriplegia, yakni anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruh
anggota geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kakinya,
quadriplegia disebut juga tetraplegia.
d.

Polio
11

Tipe spinal, adalah kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan,

dan kaki
Tipe blubair, adalah kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf

tepi yang menyebabkan adanya gangguan pernapasan


Tipe Bulpispinalis, yakni gangguan antara tipe spinal dan bulbair
Enchepalitis, yakni umumnya ditandai dengan adanya demam, kesadaran

menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.


D. TUNAWICARA
Istilah tunawicara diambil dari kata tuna dan wicara,
tuna artinya kurang dan wicara artinya berbicara. Orang dikatakan
tunawicara apabila ia tidak mampu berbicara atau kurang mampu
mengucapkan kata-kata. Tunawicara satu istilah umum yang
menunjukkan ketidakmampuan berbicara dari yang ringan sampai
yang berat sekali yang digolongkan sebagai bisu.

Tunawicara (bisu) adalah mereka yang menderita gangguan berbicara


sehingga tidak dapat berbicara dengan jelas. Bisu disebabkan oleh gangguan pada
organ-organ seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah, dsb.. Tuna
wicara (bisu) sering diasosiasikan dengan tuna rungu (Tuli) karena ada sebuah
syaraf eustachius yang menghubungkan telinga tengah dengan rongga mulut
adapun

organ

berbicara

antara

lain

mulut,hidung,kerongkongan,batang

tenggorokan,dan paru-paru. Penghubung penting lainnya antara telinga dan mulut


adalah saraf trigeminal, yang terhubung ke otot martil, serta ke otototot yang
memungkinkan kita mengunyah dan menutup mulut, yaitu otot temporal dan otot
masseter.
Saraf trigeminal
Saraf ini merupakan penghubung langsung lainnya antar pendengaran dan
suara. Kalau dengan menguap kita dapat menghindari mendengar, cara lain adalah
dengan menutup rahang rapat-rapat.

Ketika seseorang anak menggeretakan ginginya saat marah, pasti bahwa


kata-kata kita akan masuk telinga kann dan keluar telinga kiri.

12

Hubungan saraf ganda antara telinga dan suara agaknya bersesuaian


dengan temuan-temuan akhir-akhir ini yang menyatakan; otot-otot telinga
tengah teraktivasi ketika kita menggunakan suara kita.
Karakteristik anak tuna wicara :
1. Segi fisik
a.
b.

Berbicara keras dan tidak jelas


Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman

bicara
c. Menggunakan alat bantu dengar
d. Bibir sumbing
e. Cadel
2. Segi bicara dan bahasa
Anak tunawicara memiliki keterlambatan dalam
perkembangan

bahasa

wicara

yang

dibandingkan

dengan perkembangan bicara anak-anak normal.


3. Kemampuan intelegensi
Kemampuan
dengan

intelegensi

anak-anak

normal,

(IQ)

tidak

berbeda

hanya

pada

skor

IQ

verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya.


4. Penyesuaian emosi social dan perilaku
Dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat
banyak

mengandalkan

komunikasi

verbal,

hal

ini

menyebabkan tuna wicara mengalami kesulitan dalam


penyesuaian

sosialnya.

Sehinnga

anak

tunawicaraterkesan agak eksklusif atau terisolasi dari


kehidupan masyarakat normal.
Klasifikas penderita tuna wicara.
Disabilitas pendengaran pada umumnya dialami oleh individu yang lahir
sebelum waktunya (premature). Penyandang disabilitas bicara ini memiliki
beberapa karakteristik antara lain memiliki suara sengau, cadel, bicara tidak jelas
dan tidak mengeluarkan suara saat berbicara, cenderung pendiam, pandangan
tertuju pada satu obyek, menggunakan komunikasi non verbal dan bahasa tubuh

13

untuk mengungkapkan pendapat, pikiran dan keinginan, serta lebih memilih


berkomunikasi secara tertulis.
Anak dengan gangguan dengar/wicara dikelompokan sebagai berikut :
a)

Ringan (20 30 db)


Umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata
tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar langsung, sehingga pemahaman

b)

mereka menjadi sedikit terhambat.


Sedang (40 60 db)
Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan
orang lain, suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume

maksimal
c) Berat/parah (di atas 60 db)
Kelompok ini sudah mulai sulit untuk mengikuti pembicaraan orang lain,
suara yang mampu mereka dengar adalah suara yang sama kerasnya dengan
jalan pada jam-jam sibuk. Biasanya kalau masuk dalam kategori ini sudah
menggunakan alat bantu dengar, mengandalkan pada kemampuan membaca
gerak bibir, atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi

14

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karakteristik anak berkelainan fisik dapat dilihat dari beberapa segi
diantaranya segi fisik, motorik, perilaku, akademik, maupun kehidupan sosialnya.
Anak yang mempunyai kelainan fisik biasanya mengalami hambatan dalam
perkembangannya baik secara fisik maupun psikisnya, jadi terkadang dalam
melakukan aktivitasnya memerlukan alat bantu maupun bantuan dari orang lain.
Anak yang mengalami kelainan fisik tertentu biasanya juga berpengaruh terhadap
fisik-fisik yang lain seperti anak yang mempunyai kelainan dalam mendengar
biasanya juga menyebabkan hambatan dalam berbicara.
B. Saran
Kami menyadari bahwasannya penyusun dari makalah ini hanyalah
manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan
kesempurnaan hanya milik Allah Swt hingga dalam penulisan dan
penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang konstruktif akan senantiasa penyusun nanti dalam upaya evaluasi
diri.

15

DAFTAR PUSTAKA
Bahjatwa, Ikhbar.2012. Tunawicara
http://si-ikhbar.blogspot.com/2012/11/tuna-wicara.html
pada tanggal 1 April 2015)
Hakim, Lukman. Klasifikasi ABK
https://ml.scribd.com/doc/40467599/Klasifikasi-ABK
pada tanggal 31 Maret 2015)

(diakses

(diakses

16

Anda mungkin juga menyukai