1214151023
PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAN KETERSEDIAAN AIR
Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang telah tersedia dan dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan manusia telah mengalami penyusutan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas dari masa ke masa.
Penyusutan kekayaan sumber daya alam disebabkan adanya faktor laju pertambahan
populasi penduduk yang tidak terkontrol dan semakin besarnya aktifitas exploitative sumber
daya alam yang sarat kepentingan ekonomi yang ditandai semakin tingginya konsumsi
bahan baku alam yang tersimpan dalam bentuk sumberdaya hutan dengan segala isi dan
fungsinya.
Di masa lampau kekayaan sumber daya alam relatif bebas dimanfaatkan dan tidak mengikat
secara regulasi, yang menggambarkan hubungan supply-demand yang masih berimbang
bahkan supply yang tersedia di alam masih berlebihan karena pada masa itu penduduk
Indonesia belum sepadat masa sekarang dan kepentingan serta tuntutan kebutuhan teknologi
juga belum begitu tinggi. Namun sekarang keberadaan sumber daya alam semakin hari
semakin menipis, sehingga menjadikan barang bebas ini menjadi barang langka yang
pemanfaatannya harus diatur oleh undang-undang dan berbagai aturan atau kesepakatan
yang mengikat untuk menjaga kelestariannya.
Kelangkaan sumber daya alam tersebut tentu saja dikarenakan oleh kerusakannya yang
sudah dalam taraf mengkuatirkan. Sebagai contoh sumber daya hutan yang menyimpan
banyak sumber kehidupan dewasa ini mengalami penurunan kualitas dan kuantitas secara
drastis. Berdasarkan informasi terkini laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 1,6
juta hektar per tahun pada tahun 1985-1997 dan diperkirakan sebesar 3,8 juta hektar setiap
tahunnya pada kurun waktu 1997-2000 (Purnama, 2004). Hutan sebagai system penyangga
kehidupan memberikan dampak berganda terhadap sumber-sumber daya alam yang lainnya.
Siklus air yang dikontrol oleh vegetasi hutan juga ikut terkena dampaknya akibat adanya
penyusutan hutan/kerusakan hutan. Akibatnya adalah bahwa sumber daya airpun mengalami
penurunan kualitas terutama kuantitas.
ketersediaan air yang ada di kawasan atas atau hulu. Kerusakan lingkungan yang terjadi di
daerah hulu akan menimbulkan dampak kerugian di daerah yang ada di bawahnya.
Adanya siklus saling ketergantungan tersebut menciptakan adanya suatu ide reward atau
penghargaan yang diberikan kepada masyarakat hulu terhadap berbagai upaya kegiatan yang
dilakukan dalam rangka mengkonservasi kawasan yang selanjutnya diwujudkan dalam
kerangka pembayaran jasa lingkungan. Berdasarkan hasil diskusi bersama pembayaran ini
sebaiknya tidak bersifat paksaan, mekanismenya harus berdasarkan situasi dan
kondisisetempat, dan tidak selalu berbentuk cash atau uang. Pembayaran jasa lingkungan
dengan mendukung progam kegiatan konservasi di daerah hulu itupun sudah merupakan
salah satu bentuk pembayaran yang real.
Dengan mekanisme berbagi tanggung jawab bersama hulu-hilir diharapkan ikut membantu
dalam rangka pelestarian sumber daya air dan membantu masyarakat hulu di sekitar mata air
dalam meningkatkan taraf hidup mereka serta menjaga sumber daya alam untuk
keberlanjutan anak cucu kita (WWF, 2004). Oleh sebab itu kesepahaman bersama
untukmelestarikan sumber daya alam melalui pembayaran jasa lingkungan air ini merupakan
bentuk tanggung jawab dan penghargaan kita serta upaya pelestarian alam yang hendaknya
perlu kita dukung bersama.
Sejauh ini mekanisme pembayaran jasa lingkungan air masih mandeg sebatas wacana
walaupun pemerintah khususnya Departemen Kehutanan sebagai regulator kawasan
konservasi telah membentuk Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan sebagai indikasi
keseriusan untuk menangani hal ini yang menyadari pentingnya melindungi kawasan
penyedia air telah menerapkan regulasi pajak bagi para pengusaha yang memanfaatkan air
untuk tujuan komersial. Namun demikian apakah besarnya pungutan tersebut telah sesuai
dengan kebutuhan sesungguhnya dan apakah pungutan tersebut telah digunakan sebagai
mekanisme insentif bagi perlindungan hulu? Ini masih menjadi bahan penelitian lebih lanjut.
Bahkan telah dikenalkan istilah perhitungan PDRB Hijau yang merupakan terobosan baru
sebagai penyedia insentif bagi pemerintah daerah yang secara serius melindungi kawasan
resapan airnya.
Beberapa perusahaan besar telah menganut dan melaksanakan sistem CSR (Corporate
Social Responsibility) sebagai upaya memberikan perhatian kepada masyarakat dan
lingkungan dimana mereka bekerja memanfaatkan sumberdaya alam untuk kepentingan
produksi. Namun demikian kembali kita kepada pertanyaan apakah hal ini tidak sekedar
memenuhi tuntutan green-image atau sekedar meredam kecemburuan sosial yang kerap
timbul di masyarakat kita dewasa ini.//
Rujukan
Purnama, Boen (2004). Arah dan skenario pembangunan sektor kehutanan. Paper
disampaikan dalam acara diskusi: Menuju RPJP Kehutanan yang menjamin arah
terwujudnya SFM dan masyarakat sejahtera. Departemen Kehutanan,
BadanPlanologi Kehutanan. Jakarta, 2005.