Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
kavum nasi. Sinussinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah,
dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus
sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. Sinus yang dalam keadaan
fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan
menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi
sekret ini, maka terjadilah sinusitis. Sinusitis adalah penyakit yang benyak
ditemukan di seluruh dunia.
Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan
pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk
pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan
operatif sinusitis di Amerika Serikat. Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis
adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang praktisi kesehatan.
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia1 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi
Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien
rhinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis
(PERHATI, 2006).
Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri
dan jamur. Dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring (faringitis,
adenoiditis, tonsilitis), infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2),
berenang dan menyelam, trauma, serta barotrauma. Faktor predisposisi berupa
obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di
hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Selain itu, rinitis kronik serta
rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan banyak
sekret, yang merupakan media bagi pertumbuhan kuman. Faktor predisposisi yang
1

lain meliputi lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering yang dapat
mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan
maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial,
komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi
yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini
menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan
jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau
kista maka dibutuhkan tindakan operasi (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi,

epidemiologi,

patofisiologi,

penatalaksanaan, dan komplikasi dari sinusitis.

manifestasi

klinik,

diagnosis,

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

ANATOMI HIDUNG
Kedua rongga hidung adalah bagian teratas dari traktus respiratorius dan

mengandung reseptor-reseptor penciuman. Rongga hidung adalah ruangan


berbentuk baji yang melebar di bagian inferior dan menyempit di bagian superior
(apex)(1). Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahannya serta persarafannya(2). Setiap rongga hidung terdiri
tiga regio umum, regio vestibulum nasal yaitu ruang kecil yang melebar pada
nares anterior yang memiliki folikel-folikel rambut yang disebut vibrissae, yang
kedua adalah regio pernafasan yang merupakan regio terbesar yang sangat kaya
akan pembuluh darah dan persarafan dan terdiri dari epitel pernafasan dan
menjalankan fungsi-fungsi tertentu berkenaan dengan proses respirasi. Regio
terakhir adalah regio penciuman yang mengandung reseptor penciuman yang
terletak di atap hidung, konka superior dan 1/3 atas septum.(1)
Hidung pada masa embriologi, selama minggu ke-6 lubang hidung
semakin bertambah dalam, sebagian karena tumbuhnya tonjol-tonjol hidung yang
ada di sekitarnya dan sebagian lagi karena lubang ini menembus ke dalam
mesenkim dibawahnya. Mula-mula membran oronasalis memisahkan kedua
lubang hidung tadi dari rongga mulut primitif, melalui foramina yang baru
terbentuk, yakni koana primitif. Koana ini terletak di sisi kanan dan kiri garis
tengah dan tepat dibelakang palatum primer. Selanjutnya, dengan terbentuknya
palatum sekunder dan berkembangnya rongga-rongga hidung primitif lebih lanjut,
koana tetap terletak pada peralihan antara rongga hidung dan faring. (3)
2.1.1

Hidung Luar (2,4)

Gambar 1 Anatomi Hidung Luar


Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas,
yang berbentuk piramid. struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian,
bagian paling atas, kubah tulang yang tidak dapat digerakkan, di bawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah
adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Di sebelah superior, struktur
tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua
tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu
bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior
merupakan bagian dari prosesusmaksilaris medial embrio yang meliputi
premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior
yang saling berfusi di garis tengah juga berfusi dengan tepi atas kartilago septum
kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan
bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan
dibatasi di sebelah medial oleh kolumela, lateral oleh alae nasi, dan anterosuperior
oleh ujung hidung.
2.1.2

Hidung Dalam(4)
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana

di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi


merupakan struktur tulang di garis tengah yang secara anatomi membagi organ
menjadi dua rongga hidung. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan,

bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os


maksila dan krista nasalis os palatina. Sedangkan di bagian tulang rawan tersusun
oleh kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, dan
bagian luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Gambar 2 Anatomi Hidung Dalam


Dinding lateral dari rongga hidung sangat rumit dan terbentuk dari tulang,
tulang rawan dan jaringan lunak. Bagian depan dinding lateral hidung licin yang
disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka. Terdapat empat buah
konka, yang terbesar dan terletak paling bawah adalah konka inferior yang
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid.
Konka yang lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi konka superior
dan yang terkecil adalah konka suprema, ketiganya merupakan bagian dari labirin
etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Bergantung letaknya meatus terdiri dari meatus inferior,
media dan superior.
Duktus nasolakrimalis dan muara sinus paranasal terbuka ke dinding
lateral dari rongga hidung. Duktus nasolakrimalis bermuara pada dinding lateral
hidung pada meatus inferior di bawah ujung dari konka inferior, muara ini

mengalirkan air mata. Sinus frontalis dan etmoidalis anterior mengalirkan


sekretnya melalui duktus frontonasal dan infundibulum etmoidalis menuju ke
bagian anterior dari hiatus semilunaris pada meatus media. Sinus etmoidalis
anterior bermuara pada meatus superior. Sinus maksilaris bermuara ke hiatus
semilunaris, biasanya di bagian bawah dari bulla etmoid.(1)
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Sedangkan dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung.(2)
2.1.3

Pendarahan Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang

a.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina,


sedangkan bagian depan hidung mendapatkan perdarahan dari cabang-cabang
a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area) yang letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma sehingga menjadi sumber epistaksis anterior (2,5). Sedangkan
pada epistaksis posterior pleksus yang bertanggung jawab adalah pleksus
Woodruff yang terbentuk dari anastomosis a.maksilaris interna dari ujung
a.sfenopalatina dan a.faringeal asenden. Pleksus ini terletak di posterior dari
konka media.(6)

Gambar 3 Pendarahan Hidung


Vena-vena

hidung

mempunyai

nama

yang

sama

dan

berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum bermuara ke v.oftalmika yang


berhubungan dengan sinus kavernosus.(1)
2.1.4

Persarafan Hidung (4)


Pada persarafan yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama yaitu

n.olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa dan permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu. Divisi oftalmikus dan
maksilaris dari n.trigeminus berfungsi untuk impuls sensorik lainnya, n.fasialis
untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar, dan sistem saraf otonom.
Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor untuk mukosa hidung, menerima serabut-serabut sensoris
dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion ini terletak di
belakang dan sedikit di ujung posterior konka media.
2.1.5

Mukosa Hidung (2,4)

Gambar 4 Epitel Torak Berlapis Semu


Epitel organ pernafasan yang biasanya berupa epitel torak berlapis semu,
dan berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada tekanan dan
kecepatan airan udara, demikian pula suhu dan derajat kelembaban udara. Jadi,
mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum

masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan dari epitel kulit
vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi torak, silia
pendek dan agak ireguler. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama
menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapih.
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel
permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 permikron persegi, atau sekitar
250 per sel pada saluran pernafasan atas. Silia bekerja hampir otomatis. Misalnya,
sel dapat terbelah menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa menghentikan gerakan
silia, suatu silia tunggal akan terus bergerak selama bagian kecil sitoplasma yang
menyelubungi korpus basalis silia tetap melekat padanya. Masing-masing silia
pada saat melecut, bergerak secara metakronis dengan silia di sekitarnya. Bila
lecutan silia diamati, maka lajur silia akan membengkok serempak dan baris silia
membengkok berurutan. Lecutan tersebut tidak hanya terkoordinasi menurut
waktu, tapi juga menurut arahnya, yang merupakan faktor penting dalam
mengangkat mukus ke nasofaring. (2)
2

ANATOMI SINUS PARANASAL

Gambar 5 Anatomi Sinus


Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk
sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki
muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat

buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai


berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sphenoid
kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing (Pletcher&Golderg, 2003).
Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus
frontalis dan sphenoidalis. Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir
sedangkan sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang berumur 8
tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan sinus
sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum
pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan
dipisahkan oleh sekat di garis tengah (Damayanti&Endang, 2002).
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta
vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior
dan a. sfenopalatina. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus
sphenoid.
Terdapat empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Ada 2
golongan besar sinus paranasalis, yaitu golongan anterior sinus paranasalis, yaitu
sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, dan sinus maksilaris. Serta golongan
posterior sinus paranasalis, yaitu sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.
(7,8,9)

Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga


terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus memiliki muara atau ostium ke
dalam rongga hidung.

10

Sinus-sinus udara paranasalis berkembang sebagai divertikula dinding


lateral hidung dan meluas ke dalam tulang maksila, tulang etmoid frontalis, dan
tulang sfenoid. Sinus-sinus ikut membentuk wajah yang tetap. (3,9)
Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus
maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis (Shyamal,1996).
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi (Rukmini&Herawati, 2000):
a. Grup Anterior :
Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
Ostia di meatus medius
Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
Ostia di meatus superior
Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring
2.2.1

Sinus Maksilaris (7,8)


Sinus maksilaris (Antrum of Highmore) adalah sinus yang pertaama

berkembang. Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran.


Pertumbuhan dari sinus ini adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun
dan 7-12 tahun. Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang
rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya
dapat sangat luas sampai akar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan
halus yang mencakup mereka.
Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai
volume kira-kira 15 ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida adalah dinding
nasal dengan puncak yang menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding
anterior mempunyai foramen intraorbital yang berada pada bagian midsuperior
dimana nervus intraorbital berjalan di atas atap sinus dan keluar melalui foramen
ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas fossa canina. Atap
dibentuk oleh dasar orbita dan di transeksi oleh n.infraorbita. dinding posterior
tidak bisa ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris
dengan a.maksilaris interna, ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina

11

mayor dan foramen rotundum. Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak
lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada
umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum sama dengan dasar nasal. Dasar sinus
berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris. Oleh karena itu berhubungan
dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitu premolar dan molar.
Cabang dari a.maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk
infraorbita, cabang a.sfenopalatina, a.palatina mayor, v.aksilaris dan v.jugularis
system dural sinus. Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2
yaitu n.palatina mayor dan cabang dari n.infraorbita.
Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial
sinus. Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum
etmoid, atau disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini ratarata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi
di belakang processus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.
2.2.2

Sinus Etmoidalis (8)


Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru

dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel
posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidak
dapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsurangsur menipis dan pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi
dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah
anterior diatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka
bullosa.
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x
14 mm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan diabgi menjadi sel multipel oleh
sekat yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting.
Sebelah anterior posterior agak miring (15o). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk
oleh os frontal dan foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral
dan sebelah medial agak miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan

12

berat antara atap medial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

Gambar 6 Struktur Terkait Sinus Ethmoidalis


Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna
dimana a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya
mengikuti arterinya. Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi
bagian superior sedangkan sebelah inferior oleh n V.2. persarafan parasimpatis
melalui n.vidianus, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion servikal.
Sel di bagian anterior menuju lamela basal. Pengalirannya ke meatus
media melalui infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke meatus
superior dan berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya
lebih sedikit dalam jumlah namun lebih besar dalam ukuran dibandingkan dengan
sel bagian anterior.
Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral
inferiornya, dan tepi superior prosesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris.
Ini merupakan sel etmoid anterior yang terbesar. Infundibulum etmoid
perkembanganya mendahului sinus. Dinding anterior dibentuk oleh prosesus
uncinatus, dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila dan lamina
papyracea.

13

2.2.3

Sinus Frontalis (7,8)


Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian

besar sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saat
kelahiran dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai
usia 5 tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun.
Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). anatomi sinus frontalis
sangat bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong.
dinding posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium
anterior lebih tipis dan dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap
rongga mata.
Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui
a.supraorbita dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica
superior menuju sinus kavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding
posterior yang mengalir ke sinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n
V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan
supratrochlear.
2.2.4

Sinus Sfenoidalis (8)


Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong rongga

hidung. Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak
berkembang sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela
turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun.

14

Gambar 7 Struktur terkait Sinus Sfenoid


Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan
volume 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis,
sangat bervariasi. Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak
posterosuperior dari rongga hidung. Dinding sinus sphenoid bervariasi
ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1-1,5 mm).
dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh karena hubungan anatominya
tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke
recessus sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm) dan letaknya 10
mm di atas dasar sinus.
Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian
lainnya mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui
v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh
cabang n V.1 dan V.2. n.nasociliaris berjalan menuju n.etmoid posterior dan
mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang n.sfenopalatina mempersarafi dasar
sinus.
2.2.5

Mukosa Sinus Paranasal (4,8)


Sinus-sinus

ini

dilapisi

oleh

epitel

torak

berlapis

semu

yang

berkesinambunagn dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis
dari epitel hidung. Ada 4 tipe sel dasar, yaitu epitel torak bersilia, epitel torak
tidak bersilia, sel basal dan sel goblet. Sel-sel bersilia memiliki 50-200 silia per

15

sel. Data penelitian menunjukan sel ini berdetak 700-800 kali per menit, dan
pergerakan mukosa pada suatu tingkat 9 mm per menit.
Sel tidak bersilia ditandai oleh mikrovili yang menutupi daerah apikal sel
dan berfungsi untuk meningkatkan area permukaan. Ini penting untuk
meningkatkan konsentrasi dari ostium sinus. Fungsi sel basal belum diketahui.
Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal dapat bertindak sebagai suatu sel
stem. Sel goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi untuk viskositas dan
elastisitas mukosa. Sel goblet dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis
dimana rangsangan saraf parasimpatis menhasilkan mukus yang kental dan
rangsangan saraf simpatis bekerja sebaliknya. Lapisan epitel disokong oleh suatu
dasar membran yang tipis, lamina propia, dan periosteum.
2.2.6 Kompleks Osteomeatal
Pada sepertiga bagian tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus ethmoidalis
anterior. Daerah ini rumit dan sempit yang dinamakan kompleks osteomeatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostimnya serta ostium sinus maksila.

16

2.3

FISIOLOGI HIDUNG
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air

conditioning) , penyaring udara, indra penghidu (olfactory), untuk resonansi


suara, refleks nasal dan turut membantu proses bicara.(2)
2.3.1

Jalan Nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas

setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi, akan tetapi
di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan
sebagian akan kembali ke belakang membentuk pusaran.(2)

Gambar 8 Perjalanan Udara dalam Rongga Hidung


Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip
katup dari jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk
aliran udara. Beberapa daerah hidung dimana jalan nafas menyempit dapat
diibratkan sebagai katup. Pada bagian vestibulum hidung, terdapat dua
penyempitan. Penyempitan yang lebih anterior terletak diantara aspek posterior
kartilago lateralis superior dan septum nasi. Tiap deviasi septum nasi pada daerah
ini seringkali makin menyempitkan jalan nafas. Penyempitan kedua terletak pada

17

aperture piriformis tulang. Kedua daerah ini dapat dianggap sangat bermakna
secara klinis.(4)
2.3.2

Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara diperlukan untuk

mempersiapkan udara yang akan masuk kedalam alveolus paru. Fungsi


pengaturan kelembaban udara dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket).
Sedangkan pengaturan suhu dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi tercipta optimal.(2)
Dalam waktu yang sangat singkat saat udara melintasi bagian horizontal
hidung yaitu sekitar 16-20 kali per menit, udara inspirasi dihangatkan atau
didinginkan mendekati suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati
100 persen. Suhu ekstrim dan kekeringan udara inspirasi dikompensasi dengan
cara mengubah aliran udara.(4)
2.3.3

Penyaring dan Pelindung


Hidung berfungsi untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan

bakteri yang dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan
palut lender (mucous blanket) dimana bakteri dan debu akan melekat, sedangkan
untuk partikel yang lebih besar akan dikeluarkan oleh refleks bersin. Selain itu
pada hidung juga terdapat lysozyme dan immunoglobulin A (IgA) yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri. (2,4)
Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda
asing, dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut
ke faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan dalam lambung.
2.3.4

Indera Penghidu (2)


Hidung bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Lengkung aliran udara inspirasi normalnya tidak cukup tinggi untuk mencapai

18

celah tersebut agar bau dapat terhidu, kecuali bila bau tersebut sangat kuat atau
kita mengendus yaitu menambah tekanan negatif guna menarik aliran udara yang
masuk ke area olfaktorius.

Gambar 9 Nervus Olfaktorius


2.3.5

Resonansi Suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,


sehingga terdengar suara sengau atau rinolalia.(2)
2.3.6

Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Ketika terjadi iritasi mukosa hidung
maka akan terjadi refleks bersin dan nafas tertentu, dan rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.(2)
2.3.7

Proses Bicara
Pembentukan bicara merupakan suatu proses yang rumit, melibatkan paru-

paru sebagai sumber tenaga, laring sebagai generator suara dan struktur kepala
dan leher seperti bibir, lidah, gigi, dan lain-lain. Sebagai artikulator untuk
mengubah suara dasar dari laring menjadi pembicaraan yang dapat dimengerti.

19

Hidung dan sinus demikian pula nasofaring berperan pula dalam artikulasi. Pada
bunyi tertentu misalnya m, n dan ng, resonansi hidung sangatlah penting. (4)
Secara umum, bicara yang abnormal akibat perubahan rongga-rongga
hidung dapat digolongkan sebagai hipernasal atau hiponasal. Hipernasal terjadi
bila insufisiensi velofaringeal menyebabkan terlalu banyak bunyi beresonansi
dalam rongga hidung. Hiponasal timbul bila bunyi-bunyi yang normalnya
beresonansi dalam rongga hidung menjadi terhambat. Sumbatan hidung dapat
menimbulkan kelainan ini dengan berbagai penyebab seperti infeksi saluran
pernafasan atas, hipertrofi adenoid atau tumor hidung. (4)
2.4

FISIOLOGI SINUS PARANASAL


Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan fungsi dari sinus

paranasal. Teori ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi, membantu
pengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan
imunitas, meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak,
membantu resonansi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan
muka. (8)
2.4.1

Mengatur Kelebaban Udara Inspirasi (7,8)


Menurut beberapa teori walaupun mukosa hidung telah beradaptasi untuk

melakukan fungsi ini, sinus tetap berperan pada area permukaan mukosa dan
kemampuannya untuk menghangatkan. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa
bernafas dengan mulut dapat menurunkan volume akhir CO2 yang dapat
meningkatkan kadar CO2 serum dan berperan pada sleep apnea.
Meskipun sinus dianggap dapat berfungsi sebagai ruang tambahan untuk
memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi, namun teori ini memiliki
kelemahan karena tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan
rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu mukosa sinus juga tidak
memiliki vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

20

2.4.2

Penyaringan Udara
Oleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada pertahanan

imun atau penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung dan mukosa
sinus terdiri dari sel silia yang berfungsi untuk menggerakan mukosa ke koana.
Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul Nitrous
Oxide (NO). studi menunjukkan bahwa produksi NO intranasal adalah secara
primer pada sinus. Telah kita ketahui bahwa NO bersifat racun terhadap bakteri,
jamur dan virus pada tingkatan sama rendah 100 ppb. Konsentrasi ini dapat
menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti sudah berteori tentang
sterilisasi sinus. NO juga meningkatkan pergerakan silia.(8)
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel
yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, merupakan tempat yang paling strategis.
2.4.3

Fungsi Sinus Lainnya (7)


Sinus diyakini dapat membantu keseimbangan kepala karena mengurangi

berat tulang muka, namun bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya
akan memberikan pertambahan berat sebanyak 1% dari berat kepala, sehingga
dianggap tidak bermakna. Sinus juga dianggap berfungsi sebagai peredam
perubahan tekanan udara apabila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak seperti pada saat bersin atau membuang ingus.
Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa peneliti
mendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebgai indra penghidu dengan jalan
memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sinus
etmoidalis. Namun menurut penelitian lainnya, etmokonka manusia telah
menghilang selama proses evolusi. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk
resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang
menyatakan bahwa posisi sinus dan dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif.

21

2.2 Sinusitis
2.2.1. Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan
sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Laszlo, 1997).
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa
sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila
yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus
terkena disebut pansinusitis (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
2.2.2. Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang)
maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus
Sinusitis virus biasanya terjadi selama atau setelah suatu infeksi virus pada
saluran pernafasan bagian atas. Virus yang lazim menyerang hidung &
nasofaring juga menyerang sinus.
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam
keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh
menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus
lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang
biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus
merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita
gangguan system kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur
merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.

22

Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula
halnya pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem
kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan
lendir.
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti:
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,
polusi udara, atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.
2.2.3. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas:
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis

23

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2:


a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar)
2.2.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya
cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh
tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini
akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret
akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa
berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.
Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

24

Gambar 2.2
2.2.5. Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum :
Kriteria Mayor
a. Sekret nasal yang purulen

Kriteria Minor
a. Edem periorbital

b. Drainase faring yang purulen

b. Sakit kepala

c. Purulent Post Nasaldrip

c. Nyeri di wajah

d. Batuk

d. Sakit gigi

e. Foto rontgen (Watersradiograph atau e. Nyeri telinga


air fluid level) : Penebalan lebih 50% f. Sakit tenggorok
dari antrum

g. Nafas berbau

f. Coronal CT Scan : Penebalan atau h. Bersin-bersin bertambah sering


opaksifikasi dari mukosa sinus

i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
dan bakteri
k. Ultrasound

(Pletcher&Golderg, 2003)
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor
dan 2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

25

1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis


sinusitis akut
2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi
harus dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan
intensif dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang
tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis
(Pletcher&Golderg, 2003).
b. Imaging
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa
sinusitis dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan
perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen
gigi untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan
kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna)
tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 kraniokaudal
dengan titik keluarnya nasion.

Gambar 2.3

26

Posisi Caldwell
b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini
adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah
antrum maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien
sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang
melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37
dengan film proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan
pandangan terhadap semua sinus paranasal.

Gambar 2.4.
Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka

27

Gambar 2.5
Posisi Waters
c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

Gambar 2.6
Posisi lateral
2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,
menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis
sinusitis akut (Pletcher SD, 2003) .
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya
adalah sebagai berikut (Arif et all, 2001) :
a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu,
serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan
mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat

28

pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke
tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2002).
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai
dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak
mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan
di dahi dan depan telinga (Arif et all, 2001).
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri
pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada
(Mangunkusumo&Soetjipto,2002).
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung (Arif et all,
2001).
c) Sinusitis Frontalis

29

Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus


etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas
alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan
gejala infeksi sinus lainnya (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid
anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang
ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada
penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata
bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis
ethmoid

jarang

timbul

pembengkakan,

kecuali

bila

ada

komplikasi

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan
sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut
tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka
kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang
lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung,

30

pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan
menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar
pus dari hidung (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang
sakit,

sehingga

tampak

lebih

suram

dibanding

sisi

yang

normal

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin
juga ditemukan virus atau jamur (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (Endang
Mangunkusumo,2002).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi

tampak

sinus

yang

sakit,

suram

atau

gelap

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi
menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif

31

Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :


a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya
sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan
tuba eustachius.
d) Ada nyeri atau sakit kepala.
e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa
bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret
kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan
polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret
purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris.
Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti
kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto
streptococcus dan fuso bakterium.
4. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni
pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya

32

Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis


(sinus penuh dengan cairan)
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA
dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum
maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal, sphenoid dan ethmoid.
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:
1) Penebalan mukosa,
2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang
dapat dilihat pada foto waters.
e) Pungsi sinus maksilaris
f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam
sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista
dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada
sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup
sehingga drenase menjadi terganggu.
g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu
dilakukan sinoskopi.
h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan
naso- endoskopi.
i) Pemeriksaan CT Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada
sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan
homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal,
penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

33

a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada
pemeriksaan

CT-Scan

tidak

mengalami

ehans.

Kadang

sukar

membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama
makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus
c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh
massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT
Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang
pengapuran perifer.
f) Tumor
2.2.6.Penatalaksanaan
1. Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae

dan

Haemophilus

influenzae11.

Diberikan

terapi

medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang


diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri.
Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika
ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi
10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II
selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam,
cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada
perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan
atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan
maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan
evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari
fungsi sinus.

34

c.

Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila


telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

2 Sinusitis Subakut
a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang
sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obatobat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan
analgetika, anti histamin dan mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra
Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat
dilakukan

tindakan

pencucian

sinus

cara

Proetz

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
3 Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode
akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada
perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada
perbaikan

evaluasi

kembali dengan

pemeriksaan naso-endoskopi,

sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks


osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

35

d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
2.2.7 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata

36

yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses


orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi
sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara ethmoidalis.

37

2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil.
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

38

DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007.
Hal 150-3
2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 16
3. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari
www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html
4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor.
Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK
UI, Jakarta 2002, 115 119.
5. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
6. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed.
3, Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 106
7. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti,
editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 125
8. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck
Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8
9. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2000. 26-48
10. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.
Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 30 September 2013]
11. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. 2-9
12. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.
Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 30 September 2013]
13. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher,

Ekstremitas Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000.

Anda mungkin juga menyukai