PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
kavum nasi. Sinussinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah,
dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus
sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. Sinus yang dalam keadaan
fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan
menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi
sekret ini, maka terjadilah sinusitis. Sinusitis adalah penyakit yang benyak
ditemukan di seluruh dunia.
Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan
pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk
pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan
operatif sinusitis di Amerika Serikat. Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis
adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang praktisi kesehatan.
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia1 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi
Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien
rhinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis
(PERHATI, 2006).
Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri
dan jamur. Dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring (faringitis,
adenoiditis, tonsilitis), infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2),
berenang dan menyelam, trauma, serta barotrauma. Faktor predisposisi berupa
obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di
hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Selain itu, rinitis kronik serta
rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan banyak
sekret, yang merupakan media bagi pertumbuhan kuman. Faktor predisposisi yang
1
lain meliputi lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering yang dapat
mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan
maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial,
komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi
yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini
menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan
jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau
kista maka dibutuhkan tindakan operasi (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi,
epidemiologi,
patofisiologi,
manifestasi
klinik,
diagnosis,
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
ANATOMI HIDUNG
Kedua rongga hidung adalah bagian teratas dari traktus respiratorius dan
Hidung Dalam(4)
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana
Pendarahan Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
hidung
mempunyai
nama
yang
sama
dan
berjalan
n.olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa dan permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu. Divisi oftalmikus dan
maksilaris dari n.trigeminus berfungsi untuk impuls sensorik lainnya, n.fasialis
untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar, dan sistem saraf otonom.
Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor untuk mukosa hidung, menerima serabut-serabut sensoris
dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion ini terletak di
belakang dan sedikit di ujung posterior konka media.
2.1.5
masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan dari epitel kulit
vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi torak, silia
pendek dan agak ireguler. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama
menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapih.
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel
permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 permikron persegi, atau sekitar
250 per sel pada saluran pernafasan atas. Silia bekerja hampir otomatis. Misalnya,
sel dapat terbelah menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa menghentikan gerakan
silia, suatu silia tunggal akan terus bergerak selama bagian kecil sitoplasma yang
menyelubungi korpus basalis silia tetap melekat padanya. Masing-masing silia
pada saat melecut, bergerak secara metakronis dengan silia di sekitarnya. Bila
lecutan silia diamati, maka lajur silia akan membengkok serempak dan baris silia
membengkok berurutan. Lecutan tersebut tidak hanya terkoordinasi menurut
waktu, tapi juga menurut arahnya, yang merupakan faktor penting dalam
mengangkat mukus ke nasofaring. (2)
2
10
11
mayor dan foramen rotundum. Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak
lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada
umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum sama dengan dasar nasal. Dasar sinus
berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris. Oleh karena itu berhubungan
dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitu premolar dan molar.
Cabang dari a.maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk
infraorbita, cabang a.sfenopalatina, a.palatina mayor, v.aksilaris dan v.jugularis
system dural sinus. Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2
yaitu n.palatina mayor dan cabang dari n.infraorbita.
Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial
sinus. Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum
etmoid, atau disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini ratarata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi
di belakang processus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.
2.2.2
dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel
posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidak
dapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsurangsur menipis dan pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi
dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah
anterior diatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka
bullosa.
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x
14 mm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan diabgi menjadi sel multipel oleh
sekat yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting.
Sebelah anterior posterior agak miring (15o). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk
oleh os frontal dan foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral
dan sebelah medial agak miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan
12
berat antara atap medial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
13
2.2.3
besar sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saat
kelahiran dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai
usia 5 tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun.
Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). anatomi sinus frontalis
sangat bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong.
dinding posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium
anterior lebih tipis dan dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap
rongga mata.
Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui
a.supraorbita dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica
superior menuju sinus kavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding
posterior yang mengalir ke sinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n
V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan
supratrochlear.
2.2.4
hidung. Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak
berkembang sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela
turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun.
14
ini
dilapisi
oleh
epitel
torak
berlapis
semu
yang
berkesinambunagn dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis
dari epitel hidung. Ada 4 tipe sel dasar, yaitu epitel torak bersilia, epitel torak
tidak bersilia, sel basal dan sel goblet. Sel-sel bersilia memiliki 50-200 silia per
15
sel. Data penelitian menunjukan sel ini berdetak 700-800 kali per menit, dan
pergerakan mukosa pada suatu tingkat 9 mm per menit.
Sel tidak bersilia ditandai oleh mikrovili yang menutupi daerah apikal sel
dan berfungsi untuk meningkatkan area permukaan. Ini penting untuk
meningkatkan konsentrasi dari ostium sinus. Fungsi sel basal belum diketahui.
Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal dapat bertindak sebagai suatu sel
stem. Sel goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi untuk viskositas dan
elastisitas mukosa. Sel goblet dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis
dimana rangsangan saraf parasimpatis menhasilkan mukus yang kental dan
rangsangan saraf simpatis bekerja sebaliknya. Lapisan epitel disokong oleh suatu
dasar membran yang tipis, lamina propia, dan periosteum.
2.2.6 Kompleks Osteomeatal
Pada sepertiga bagian tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus ethmoidalis
anterior. Daerah ini rumit dan sempit yang dinamakan kompleks osteomeatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostimnya serta ostium sinus maksila.
16
2.3
FISIOLOGI HIDUNG
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air
Jalan Nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi, akan tetapi
di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan
sebagian akan kembali ke belakang membentuk pusaran.(2)
17
aperture piriformis tulang. Kedua daerah ini dapat dianggap sangat bermakna
secara klinis.(4)
2.3.2
bakteri yang dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan
palut lender (mucous blanket) dimana bakteri dan debu akan melekat, sedangkan
untuk partikel yang lebih besar akan dikeluarkan oleh refleks bersin. Selain itu
pada hidung juga terdapat lysozyme dan immunoglobulin A (IgA) yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri. (2,4)
Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda
asing, dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut
ke faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan dalam lambung.
2.3.4
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Lengkung aliran udara inspirasi normalnya tidak cukup tinggi untuk mencapai
18
celah tersebut agar bau dapat terhidu, kecuali bila bau tersebut sangat kuat atau
kita mengendus yaitu menambah tekanan negatif guna menarik aliran udara yang
masuk ke area olfaktorius.
Resonansi Suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Ketika terjadi iritasi mukosa hidung
maka akan terjadi refleks bersin dan nafas tertentu, dan rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.(2)
2.3.7
Proses Bicara
Pembentukan bicara merupakan suatu proses yang rumit, melibatkan paru-
paru sebagai sumber tenaga, laring sebagai generator suara dan struktur kepala
dan leher seperti bibir, lidah, gigi, dan lain-lain. Sebagai artikulator untuk
mengubah suara dasar dari laring menjadi pembicaraan yang dapat dimengerti.
19
Hidung dan sinus demikian pula nasofaring berperan pula dalam artikulasi. Pada
bunyi tertentu misalnya m, n dan ng, resonansi hidung sangatlah penting. (4)
Secara umum, bicara yang abnormal akibat perubahan rongga-rongga
hidung dapat digolongkan sebagai hipernasal atau hiponasal. Hipernasal terjadi
bila insufisiensi velofaringeal menyebabkan terlalu banyak bunyi beresonansi
dalam rongga hidung. Hiponasal timbul bila bunyi-bunyi yang normalnya
beresonansi dalam rongga hidung menjadi terhambat. Sumbatan hidung dapat
menimbulkan kelainan ini dengan berbagai penyebab seperti infeksi saluran
pernafasan atas, hipertrofi adenoid atau tumor hidung. (4)
2.4
paranasal. Teori ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi, membantu
pengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan
imunitas, meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak,
membantu resonansi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan
muka. (8)
2.4.1
melakukan fungsi ini, sinus tetap berperan pada area permukaan mukosa dan
kemampuannya untuk menghangatkan. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa
bernafas dengan mulut dapat menurunkan volume akhir CO2 yang dapat
meningkatkan kadar CO2 serum dan berperan pada sleep apnea.
Meskipun sinus dianggap dapat berfungsi sebagai ruang tambahan untuk
memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi, namun teori ini memiliki
kelemahan karena tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan
rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu mukosa sinus juga tidak
memiliki vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
20
2.4.2
Penyaringan Udara
Oleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada pertahanan
imun atau penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung dan mukosa
sinus terdiri dari sel silia yang berfungsi untuk menggerakan mukosa ke koana.
Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul Nitrous
Oxide (NO). studi menunjukkan bahwa produksi NO intranasal adalah secara
primer pada sinus. Telah kita ketahui bahwa NO bersifat racun terhadap bakteri,
jamur dan virus pada tingkatan sama rendah 100 ppb. Konsentrasi ini dapat
menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti sudah berteori tentang
sterilisasi sinus. NO juga meningkatkan pergerakan silia.(8)
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel
yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, merupakan tempat yang paling strategis.
2.4.3
berat tulang muka, namun bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya
akan memberikan pertambahan berat sebanyak 1% dari berat kepala, sehingga
dianggap tidak bermakna. Sinus juga dianggap berfungsi sebagai peredam
perubahan tekanan udara apabila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak seperti pada saat bersin atau membuang ingus.
Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa peneliti
mendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebgai indra penghidu dengan jalan
memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sinus
etmoidalis. Namun menurut penelitian lainnya, etmokonka manusia telah
menghilang selama proses evolusi. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk
resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang
menyatakan bahwa posisi sinus dan dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif.
21
2.2 Sinusitis
2.2.1. Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan
sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Laszlo, 1997).
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa
sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila
yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus
terkena disebut pansinusitis (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
2.2.2. Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang)
maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus
Sinusitis virus biasanya terjadi selama atau setelah suatu infeksi virus pada
saluran pernafasan bagian atas. Virus yang lazim menyerang hidung &
nasofaring juga menyerang sinus.
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam
keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh
menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus
lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang
biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus
merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita
gangguan system kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur
merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
22
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula
halnya pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem
kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan
lendir.
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti:
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,
polusi udara, atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.
2.2.3. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas:
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis
23
24
Gambar 2.2
2.2.5. Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum :
Kriteria Mayor
a. Sekret nasal yang purulen
Kriteria Minor
a. Edem periorbital
b. Sakit kepala
c. Nyeri di wajah
d. Batuk
d. Sakit gigi
g. Nafas berbau
i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
dan bakteri
k. Ultrasound
(Pletcher&Golderg, 2003)
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor
dan 2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
25
Gambar 2.3
26
Posisi Caldwell
b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini
adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah
antrum maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien
sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang
melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37
dengan film proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan
pandangan terhadap semua sinus paranasal.
Gambar 2.4.
Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka
27
Gambar 2.5
Posisi Waters
c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.
Gambar 2.6
Posisi lateral
2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,
menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis
sinusitis akut (Pletcher SD, 2003) .
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya
adalah sebagai berikut (Arif et all, 2001) :
a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu,
serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan
mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat
28
pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke
tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2002).
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai
dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak
mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan
di dahi dan depan telinga (Arif et all, 2001).
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri
pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada
(Mangunkusumo&Soetjipto,2002).
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung (Arif et all,
2001).
c) Sinusitis Frontalis
29
jarang
timbul
pembengkakan,
kecuali
bila
ada
komplikasi
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan
sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut
tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka
kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang
lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung,
30
pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan
menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar
pus dari hidung (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang
sakit,
sehingga
tampak
lebih
suram
dibanding
sisi
yang
normal
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin
juga ditemukan virus atau jamur (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (Endang
Mangunkusumo,2002).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi
tampak
sinus
yang
sakit,
suram
atau
gelap
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi
menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif
31
32
33
a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada
pemeriksaan
CT-Scan
tidak
mengalami
ehans.
Kadang
sukar
membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama
makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus
c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh
massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT
Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang
pengapuran perifer.
f) Tumor
2.2.6.Penatalaksanaan
1. Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae
dan
Haemophilus
influenzae11.
Diberikan
terapi
34
c.
2 Sinusitis Subakut
a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang
sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obatobat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan
analgetika, anti histamin dan mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra
Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat
dilakukan
tindakan
pencucian
sinus
cara
Proetz
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
3 Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode
akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada
perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada
perbaikan
evaluasi
kembali dengan
pemeriksaan naso-endoskopi,
35
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
2.2.7 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata
36
37
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil.
(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007.
Hal 150-3
2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 16
3. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari
www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html
4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor.
Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK
UI, Jakarta 2002, 115 119.
5. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
6. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed.
3, Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 106
7. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti,
editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 125
8. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck
Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8
9. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2000. 26-48
10. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.
Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 30 September 2013]
11. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. 2-9
12. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.
Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 30 September 2013]
13. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher,
Ekstremitas Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000.