Anda di halaman 1dari 5

Satu Alasan Untuk Isya

Jarum jam di tangan Isya hampir menunjukkan pukul setengah tujuh pagi saat dia
selintas meliriknya. Sontak saja Isya cepat-cepat mempercepat langkah kakinya menuju
gerbang sekolah yanguntungnya sudah didepan matahampir tertutup. Kedua
matanya membelalak.
Pak! Tunggu!! serunya sekuat tenaga.
Drap. Drap. Drap.
Isya hampir sampai. Ya, selangkah lagi maka dia akan melewati gerbang dan masuk ke
dalam lingkungan sekolahnya dengan selamat.
Satu langkah lagi dan..
Tin Tin!!!
Dalam hitungan sepersekian detik, tubuh Isya limbung ke kiri. Jantungnya hampir
melompat begitu dia mendengar suara nyaring yang memekakkan telinga dari arah
belakangnya. Untungnya, gadis berambut lurus sebahu itu secara refleks menggapai
gerbang dan bertumpu dengan satu tangan erat-erat.
Siapa sih?! Lihat-lihat dong kalau jalan! semprot Isya dengan alis mengkerut. Pemuda
yang mengendarai motor tadi membuka kaca helm, melemparkan pandangan sama
sebalnya ke arah Isya, Ada juga elo yang minggir! Motor gue mau lewat!
Isya mempertegak tubuhnya, Sopan sedikit sama pejalan kaki, bisa gak sih? Jelas-jelas
gue jalan duluan daripada motor jelek lo!
Tanpa menunggu balasan ketus dari Farsya, nama pemuda menyebalkan itu, Isya
bergegas memutarkan badan dan melangkah menjauh. Suasana hati Isya mendadak
turun dalam sekejap. Bagaimana tidak, kesialan memenuhi harinya bahkan sejak tadi
pagi. Sudah kelimpungan mencari tempat pensilnyakarena terlalu sibuk mengerjakan
tugas lukis semalamditambah dia hampir terlambat, dan sekarang harus berurusan
dengan Farsya, cowok paling menyebalkan di sekolahan.

Farsya, Farsya, Isya menggelengkan kepala kala nama itu menggema dalam
pikirannya. Kenapa sih, lo gak bisa membiarkan gue hidup damai satu hari aja? Dasar
cowok tengik! Berandalan!
**
Sudah dua tahun Isya dan Farsya saling kenal. Tapi sayangnya, perkenalan mereka tidak
diawali dengan sesuatu yang baik dan normal, yang kemudian berujung pada kebencian
mendalam satu sama lain. Semuanya memang berawal dari kecerobohan Isya di hari
ketiga OSPEK awal tahun pelajaran kelas sepuluh. Hari itu, semua murid baru
diharuskan membawa koran sebanyak tiga kilogram tanpa terkecuali, yang nantinya
akan dijual dan semua hasil penjualan akan disumbangkan kepada mereka yang
membutuhkan.
Pagi hari, tepat pukul 05.45 Isya sudah sampai di sekolah dengan selamat dan
membawa koran seperti yang di perintahkan. Baru beberapa menit dia masuk barisan,
Isya mendadak sakit perut dan terpaksa ke kamar kecil untuk memenuhi panggilan
alamnya. Tas dan kertas korannya ditinggal di lapangan begitu saja tanpa ada rasa
khawatir. Malang nasibnya, begitu Isya kembali ke tempatnya, tumpukan koran yang
dia bawa mendadak raib begitu saja. Langsung Isya panik, bahkan kelabakan. Bertanya
sana sini, namun tak ada yang bisa menjawab kekhawatirannya. Lemas sudah Isya pagi
itu, bayang-bayang dirinya akan terkena hukuman sudah menghantui kepalanya dengan
jelas.
Namun, ketika Isya sedang menoleh kesana kemarin dengan perasaan khawatir
bercampur sedih dan marah, matanya menangkap sesuatu. Setumpuk koran yang
dikumpulkannya dalam plastik merah besar. Ya, dia ingat betul bahwa itu miliknya.
Sudah sejak kemarin Isya mempersiapkan semuanya dengan baik, jadi dia tidak ragu
mengakui kalau plastik berisi koran itu miliknya.
Ini kan punya gue! serunya tanpa ragu, membuat sebagian besar orang yang berada di
lapangan menoleh. Termasuk, pemuda yang duduk tak jauh dari tumpukan koran itu.
Pemuda itu mengerutkan kening, Sembarangan aja lo!
Lho, sembarangan apa sih? Emang ini punya gue, gue inget banget! Balikin gak!

Dengan tawa mengejek, pemuda itu membalas, Gak mau. Ini memang punya gue kok,
kebetulan aja kali keliatannya sama. Jangan sembarangan deh.
Isya sudah melotot, baru dia mau membalasnya seorang kakak kelas menghampiri
mereka berdua dan menegur. Tanpa banyak pikir, Isya langsung mengadukan insiden
korannya yang hilang dan menuduh pemuda ber-name tag Farsya itu mengambilnya
ketika dia ke kamar kecil. Sayangnya, tak ada yang percaya pada Isya. Meski dia sudah
meyakinkan berkali-kali, tetap saja berujung pada hasil yang fatal. Sesuai yang sudah
Isya duga sejak awal, dia mendapatkan hukuman yang begitu memalukan karena ulah
Farsya.
Sejak hari itu, dia benar-benar benci pada Farsya. Bahkan berjanji, bahwa pemuda itu
memang terlahir untuk dibencinya seumur hidup Isya. Jadi, tak ada alasan bagi Isya
untuk tidak membenci Farsya kan?
**
Huuh, tuh guru emang udah akut ya kejamnya, masa kita dipaksa ngerjain tugas
sampai selesai. Jam istirahat jadi kepotong deh, Isya bersungut-sungut kesal sambil
berjalan di sebelah sahabat karibnya Shilla.
Shilla memutar bola matanya dengan santai, Yaudahlah, yang penting kita bisa makan
siang. Untung aja Guru Sejarah hari ini gak masuk.
Tapi tetep aja dia udah motong jam istirahat! Makanan pasti udah pada abis.
Langkah kaki mereka berdua memasuki area kantin yang bisa dibilang cukup luas.
Benar saja dugaan Isya, di lima menit terakhir jam istirahat seperti ini pasti kantin sudah
sepi dari murid-murid. Sebagian besar dari mereka sudah puas mengisi perut kosong
sejak setengah jam lalu. Otomatis, pilihan makanan pun berkurang drastis.
Shilla memutuskan untuk berhenti di warung Pak Kumis, penjual bakso yang terkenal
bahkan hingga keluar sekolah. Sementara Isya memilih ke warung makanan favoritnya.
Dengan senyuman lebar, Isya menghampiri warung yang sudah sepi dari pelanggan.
Bu, Chicken Katsunya tinggal satu ya? Buat saya ya!

Chicken Katsu satu ya, Bu!


Dua suara dari dua orang berbeda jenis kelamin itu berucap dengan bersamaan. Isya
membelalakkan matanya, mendapati sosok orang yang ingin dia temui terakhir kali
berdiri di sebelahnya dengan peluh di sekujur tubuh. Farsya.
Ngapain lo disini?
Beli makan lah! Pake nanya, ketus Farsya.
Isya refleks melotot, Gue duluan yang beli!
Kok gitu?! Gue dulu!
Gue duluan yang dateng. Chicken Katsu-nya tinggal satu, jadi harus buat gue!
Farsya melemparkan pandangan melotot, Emangnya ini warung punya lo? Gabisa gitu
dong, kalo lo laper ya beli aja yang lain. pemuda itu beralih pada penjaga warung yang
tampak pasrah menunggu debat mereka, Bu, Chicken Katsu-nya buat saya aja ya. Dia
gak jadi beli.
Farsya!!! pekik Isya kesal. Gadis itu melemparkan tatapan benci sebelum akhirnya
berbalik pergi meninggalkan pemuda yang memberikan tatapan datar padanya. Wajah
Farsya sama sekali tak berubah kala dia bertanya, Mau kemana, Neng? Katanya laper!
Udah enek liat ketombe kayak lo! Bikin orang males makan seumur hidup! sahut Isya
tanpa menoleh sedikit pun. Sontak saja, jawabannya membuat Farsya tertawa lepas.
Dilihatnya punggung Isya yang menjauh, tanpa mau menoleh meski Shilla
memanggilnya berkali-kali.
Tuh cewek, PMS terus ya? Tapi, diliat lama-lama lucu juga kalo dia lagi marah gitu.
**
Seminggu sudah berlalu sejak insiden menyebalkan di kantin itu. Tapi, gondoknya Isya
pada Farsya sama sekali tidak hilang. Justru insiden itulah yang membuatnya semakin
malas bertemu Farsya. Isya sudah memutuskan, dia tidak akan mau menggubris lagi
keberadaan Farsya. Tampangnya akan berubah sedatar mungkin kalau mereka

berpapasan. Kalau pemuda itu yang sengaja memancing kemarahannya, Isya akan
menjawab dengan seadanya. Pokoknya, benar-benar berubah deh. Lama-lama, Isya
malas juga meladeninya, mengomel pada Farsya hanya akan membuatnya jadi cepat
tua. Ih, membayangkannya saja Isya sudah malas.
Pagi itu, Isya berhasil sampai di sekolah sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Buatnya
termasuk rekor, mengingat seminggu ini dia sering terlambat karena mengerjakan tugas
hingga larut malam. Dengan santai Isya meletakkan tasnya di atas meja, dan duduk di
bangkunya.
Baru saja tangannya masuk ke dalam kolong untuk meletakkan map, kulitnya
menyentuh plastik yang asing. Dengan mengerutkan kening dia menarik keluar
bungkusan dan mendapati sekotak makan dalam plastik bening.
Apaan nih? tangannya membuka selembar surat yang ada di atas kotak makan.
Nih, Chicken Katsu paling enak yang gue beli khusus buat lo. Seneng gak? Harus
seneng lo ya. Sebenernya gue males juga sih, ngirim kayak ginian ke elo. Tapi dipikirpikir lagi, gue juga gak enak bikin lo kesel terus. Harus dimakan! Oh iya, satu lagi,
pulang sekolah jangan langsung pulang ya. Mulai sekarang gak usah pulang jalan
kaki, biar gak lagi diklaksonin motor jelek gue. Gausah protes deh, gue berusaha baik
nih!
Dari orang yang paling dibenci sama lo,
tapi gak pernah benci sama lo.
Isya terhenyak, sekejap saja dia kehilangan kata-katanya. Dinilai dari isi suratnya, dia
bisa tahu siapa pengirimnya. Dia terdiam cukup lama, sibuk dengan pikirannya.
Jadi, inikah satu alasan bagi Isya untuk tidak membenci Farsya?
***

Anda mungkin juga menyukai