Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus
1. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok kelainan heterogen
yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah

atau

hyperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu


dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang

dikonsumsi.

(Brunner & Suddarth, 2002).


Diabetes Mellitus adalah suatu kondisi, dimana kadar gula di dalam
darah lebih tinggi dari biasa/normal (normal: 60 mg/dl sampai dengan 145
mg/dl), ini disebabkan tidak dapatnya gula memasuki sel-sel. Ini terjadi
karena tidak terdapat atau kekurangan atau resisten terhadap insulin.
Diabetes adalah suatu kondisi yang berjalan lama, disebabkan oleh kadar
gula yang tinggi dalam darah. Diabetes dapat dikontrol. Kadar gula dalam
darah akan kembali seperti biasa atau normal, dengan merubah beberapa
kebiasaan hidup seseorang yaitu : mengikuti suatu susunan makanan yang
sehat dan makan secara teratur, mengawasi/menjaga berat badan,
memakan obat resep dokter, olahraga secara teratur (Bakar-Tobing, 2006).
Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis yang memerlukan perawatan
medis dan penyuluhan untuk self management yang berkesinambungan
untuk mencegah komplikasi akut maupun kronis.
2.

Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi DM menurut Amarican Diabetes Association (1997) sesuai
anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah :
a.

Diabetes Tipe I : Insuline Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)

b.

Diabetes Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (Non


Insuline Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)), terjadi akibat
penurunan sesitivitas terhadap insulin (resisten insulin) atau akibat
penurunan jumlah produksi insulin.

c.

Diabetes Melitus tipe lain

d.

Diabetes Melitus Gastasional (Gastasinoal Diabetes Mellitus(GDM)).

3. Komplikasi Diabetes Mellitus


Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah,
terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes
akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup
penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama
(Tandra, 2007). Tandra (2007) mengemukakan bahwa selama bertahuntahun penderita hidup dengan diabetes dan dapat memungkinkan
munculnya berbagai kerusakan atau komplikasi yang kronis pada
penderitanya. Komplikasi kronis tersebut yaitu :
a. Kerusakan saraf (Neuropathy)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak
dan sum-sum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit,
dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos
di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa
darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung
sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan
menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan
menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding
pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga
terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic
neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa
mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf,
salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya
kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.
b.

Kerusakan ginjal (Nephropathy)


Ginjal manusia terdiri dari dua juta

nefron

pembuluh darah kecil yang disebut kapiler.

dan berjuta-juta

Kapiler ini berfungsi

sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan
dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja 24 jam sehari untuk

10

membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk


oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat
dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin
lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah
mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes
juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf.
c.

Kerusakan mata (Retinopathy)


Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi
penyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang
disebabkan oleh diabetes, yaitu :
1) retinopati, retina mendapatkn makanan dari banyak pembuluh
darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa
merusak pembuluh darah retina;
2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi
keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin
diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan
3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga
merusak saraf mata.

d.

Penyakit jantung
Diabetes

merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan

penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan


pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang
dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa
terjadi.
e.

Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan
yang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun,
harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung,
retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan
stroke menjadidua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena
hipertensi.

11

f.

Penyakit pembuluh darah perifer


Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih
dinidan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang
yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa
lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes

berlangsung

selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami


kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan
saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien
biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah
jantung.
g.

Gangguan pada hati


Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes

tidak

makan gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini
keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit

diabetes

itu sendiri.

Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes


lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh
karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit
hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk
pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis)
juga mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau
berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita
diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir
50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan
dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak
di jaringan tubuh lainnya.
h.

Penyakit paru-paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paruparu dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan
secara sosio-ekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru-paru,
demikian pula sakit paru-paru akan menaikkan glukosa darah.

12

i.

Gangguan saluran makan


Gangguan saluran makan pada penderita

diabetes

disebabkan

karenakontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gngguan saraf


otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai
dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa
pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar
gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal
serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan
muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan
saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran
makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang diminum.
j.

Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh
dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita
diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami
infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan
alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem
saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya
infeksi.

B. Ulkus diabetika
1. Definisi
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik
Diabetes mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat
disertai dengan kematian jaringan setempat. (Robert G, 2003)
Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena
adanya

komplikasi

makroangiopati

sehingga

terjadi vaskuler

insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada


penderita yang

sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi

infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob. (Riyanto B, 2007).

13

2. Klasifikasi
Klasifikasi Ulkus diabetika pada penderita Diabetes mellitus
menurut Wagner dikutip oleh Waspadji S, terdiri dari 6 tingkatan :
0. Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
1. Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit.
2. Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan.
3. Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses..
4. Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada
ibu jari kaki, bagian depan kaki atau tumit.
5. Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki.
3. Epidemiologi
Prevalensi penderita ulkus diabetika di Amerika Serikat sebesar
15-20% dan angka mortalitas sebesar 17,6% bagi penderita DM dan
merupakan sebab utama perawatan penderita Diabetes mellitus di rumah
sakit. Penelitian kasus kontrol di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
16% perawatan DM dan 23% total hari perawatan adalah akibat Ulkus
diabetika dan amputasi kaki karena Ulkus diabetika sebesar 50% dari total
amputasi kaki. Sebanyak 15% penderita DM akan mengalami persoalan
kaki suatu saat dalam kehidupannya. (Robert G, 2002) (Djokomoeljanto,
1997)
Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sebesar
15% dari penderita

DM.

Di RSCM,

pada

tahun 2003 masalah

kaki diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan


DM selalu terkait dengan ulkus diabetika. Angka kematian dan angka
amputasi

masih

tinggi,

masing-masing sebesar 32,5% dan 23,5%.

Nasib penderita DM paska amputasi masih sangat buruk, sebanyak 14,3%


akan meninggal dalam setahun paska amputasi dan sebanyak 37% akan
meninggal 3 tahun paska amputasi.(Waspadji S, 2006)
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ulkus diabetika yaitu :
a. Sering kesemutan.
b. Nyeri kaki saat istirahat.
c. Sensasi rasa berkurang.
14

d. Kerusakan Jaringan (nekrosis).


e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.
f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
g. Kulit kering. (Misnadiarly, 2006;Djoko W, 1999).
5. Diagnosis Ulkus diabetika
Diagnosis ulkus diabetika meliputi :
a. Pemeriksaan Fisik : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat
luka/ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki pemeriksaan
sensasi vibrasi/rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi
arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.
b. Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG dan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan
menentukan kuman penyebabnya.(Waspadji S, 2006; Misnadiarly,
2006).
6. Patogenesis Ulkus diabetika
Salah

satu akibat

komplikasi

kronik atau

jangka

panjang

Diabetes mellitus adalah ulkus diabetika. Ulkus diabetika disebabkan


adanya tiga faktor yang sering disebut Trias yaitu : Iskemik, Neuropati,
dan Infeksi. (Djokomoeljanto, 1997;Djoko W, 1999)
Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan
terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan
jaringan syaraf

karena

adanya

penimbunan

fruktosa

sehingga mengakibatkan

kecepatan

induksi,

akson

sorbitol

menghilang,

dan

penurunan

parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot,

keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila diabetisi tidak
hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi ulkus diabetika.
(Tjokroprawiro A, 1999)
Iskemik

merupakan

suatu

keadaan

yang

disebabkan oleh

karena kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan


oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh
darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau
berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea,

15

kaki menjadi atrofi, dingin dan


terjadi

nekrosis

kuku

menebal. Kelainan

selanjutnya

jaringa sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai

dari ujung kaki atau tungkai.(Waspadji S, 2006;William C, 2003)


Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal
dan menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh
darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki
karena berkurangnya suplai darah, sehingga

mengakibatkan kesemutan,

rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat

mengakibatkan

kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus diabetika.


(Misnadiarly, 2006).
Proses angiopati pada penderita Diabetes mellitus berupa penyempitan
dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai
bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai
menjadi berkurang kemudian timbul ulkus diabetika. Pada penderita

DM

yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima


(hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh darah besar dan
pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah kejaringan dan timbul nekrosis
jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. (Misnadiarly, 2006;
William C, 2003)
Eritrosit pada penderita DM yang tidak terkendali akan meningkatkan
HbA1C

yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan

oksigen di jaringan

oleh eritrosit terganggu,

sehingga

terjadi

penyumbatan yang menggangu sirkulasi jaringan dan kekurangan


oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus
diabetika. (Misnadiarly, 2006;Djokomoeljanto, 1997)
Peningkatan

kadar

fibrinogen

dan

bertambahnya

trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah

reaktivitas
sehingga

sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit


pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.
(Misnadiarly, 2006)

16

Perubahan/inflamasi pada dinding pembuluh darah, akan


penumpukan lemak pada lumen pembuluh

darah, konsentrasi

(high- density-lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya


Adanya faktor risiko

lain yaitu

hipertensi

akan

terjadi
HDL
rendah.

meningkatkan

kerentanan terhadap aterosklerosis.(Tjokroprawiro A, 1999)


Konsekuensi

adanya

aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan

menurun sehingga kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.


Kelainan selanjutnya

terjadi nekrosis jaringan sehingga

timbul

ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. (Misnadiarly,
2006; Djokomoeljanto, 1997)
Pada penderita DM

apabila

kadar glukosa

darah tidak terkendali

menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi


radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid
menurun sehingga
dimusnahkan

bila

ada infeksi

mikroorganisme sukar untuk

oleh system phlagositosis-bakterisid intra selluler. Pada

penderita ulkus diabetika, 50 % akan mengalami infeksi akibat


adanya

glukosa

darah yang

tinggi, yang

merupakan

media

pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus


diabetika yaitu kuman aerobik Staphylokokus atau Streptokokus serta
kuman

anaerob yaitu Clostridium perfringens, Clostridium novy, dan

Clostridium septikum. (Riyanto B, 2007)


7. Pencegahan dan Pengelolaan Ulkus diabetik
Pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetic untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut adalah :
a.

Memperbaiki kelainan vaskuler.

b.

Memperbaiki sirkulasi.

c.

Pengelolaan pada masalah yang timbul ( infeksi, dll).

d.

Edukasi perawatan kaki.

e.

Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi (menurut hasil


laboratorium lengkap) dan obat vaskularisasi, obat untuk penurunan
gula darah maupun menghilangkan keluhan/gejala dan penyulit DM.

f.

Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.

17

g.

Menghentikan kebiasaan merokok

h.

Merawat kaki secara teratur setiap hari, dengan cara :


1) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih.
2) Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air
suam-suam kuku

dengan

mengeringkan

memakai

sabun lembut

dan

dengan sempurna dan hati-hati terutama

diantara jari-jari kaki.


3) Memakai krem kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit
yang retak-retak, supaya kulit tetap mulus, dan jangan
menggosok antara jari-jari kaki (contoh: krem sorbolene).
4) Tidak memakai bedak, sebab ini akan

menyebabkan

kulit

menjadi kering dan retak-retak.


5) Menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong
kuku kaki

secara lurus dan kemudian mengikir agar licin.

Memotong kuku lebih mudah dilakukan sesudah mandi,


sewaktu kuku lembut.
6) Kuku kaki yang menusuk daging dan kalus, hendaknya
diobati

oleh podiatrist. Jangan menggunakan pisau cukur

atau pisau biasa, yang bisa tergelincir; dan ini dapat


menyebabkan luka pada

kaki. Jangan menggunakan penutup

kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya diobati hanya oleh


podiatrist.
7) Memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat
kalus, bula,luka dan lecet.
8) Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas.
i.

Penggunaan alas kaki tepat, dengan cara :


1)

Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.

2)

Memakai
untuk

3)

sepatu

yang

sesuai

atau

sepatu

khusus

kaki dan nyaman dipakai.

Sebelum memakai sepatu, memerika sepatu terlebih dahulu,


kalau ada batu dan lain-lain, karena dapat menyebabkan
iritasi/gangguan dan luka terhadap kulit.

18

4)

Sepatu harus terbuat dari kulit, kuat, pas (cukup ruang untuk ibu
jari kaki dan tidak boleh dipakai tanpa kaus kaki.

5)

Sepatu baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati.

6)

Memakai kaus kaki yang bersih dan mengganti setiap hari.

7)

Kaus kaki terbuat dari bahan wol atau katun. Jangan memakai
bahan sintetis, karena bahan ini menyebabkan kaki berkeringat.

8)
j.

Memakai kaus kaki apabila kaki terasa dingin.

Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan


termis, yang biasanya berkaitan dengan aktivitas atau jenis pekerjaan.

k.

Menghidari pemakaian obat yang bersifat vasokonstriktor misalnya


adrenalin, nikotin.

l.

Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki setiap


control walaupun ulkus diabetik sudah sembuh. (Waspadji S, 2006;
Misnadiarly, 2006; Djokomoeljanto, 1997)

C. Depresi
1. Pengertian Depresi
Menurut sejarah psikiatri dapat dilihat bahwa pengertian depresi
sebagai

gangguan tersendiri terpisah dari gangguan mental lain yang

telah lama ada sejak zaman Hipocrates (460-377 SM). Hipocrates inilah
yang berusaha mengklasifikasikan gangguan jiwa dalam beberapa
penyakit yang berdiri sendiri: epilepsi, mania (gaduh, gelisah, melankoli
(depresi), paranoid. Walaupun namanya berbeda, waktu itu diberi nama
melancholy, yang digambarkan sebagai kemurungan atau kesedihan yang
ditimbulkan oleh karena kelebihan cairan empedu yang berwarna hitam
(zwartgalligheid). Kemudian pada tahun 1905 istilah melancholy diganti
dengan depresi oleh Meyer dengan alasan etiologi yang luas. Depresi
merupakan kata Indonesia yang disadur dari bahasa Inggris yaitu
depression, sadness dan low spirit (Hornby et al., 1955 cit Prawirohardjo,
1989).
Depresi adalah suatu penyakit jiwa yang gejala utamanya adalah
sedih, yang dapat disertai gejala-gejala psikologik lainnya, gangguan

19

somatik maupun gangguan psikomotor dalam kurun waktu tertentu dan


digolongkan kedalam penyakit jiwa afektif (Prawirohardjo, 1983 cit
Prawirohardjo 1989).
Stuart (2006) berpendapat bahwa depresi atau melankolia adalah
suatu kesedihan dan perasaan yang berkepanjangan atau abnormal. Dapat
digunakan untuk menunjukkan berbagai fenomena, seperti tanda, gejala,
sindrom, emosional, reaksi.
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa III
di Indonesia (1993) yang dimaksud depresi adalah sekumpulan gejala
dengan gambaran utama gangguan mood yang mempengaruhi penampilan
kognitif, psikomotor dan psikososial disertai kesulitan hubungan
interpersonal.

2. Teori Penyebab Depresi (Rawlin dan Heacock, 1993)


Adapun teori penyebab terjadinya depresi meliputi:
a.

Teori biologi: depresi berhubungan dengan gangguan pada ritme


sirkadian, disfungsi otak, aktivitas kejang limbik, disfungsi
neuroendokrin, defisiensi biogenik amine, cacat pada sistem imun
dan genetik

b.

Teori

psicoanalitical:

depresi

berasal

dari

respon

terhadap

kehilangan, kekecewaan atau kegagalan. Rasa marah dipindahkan


dan dikembalikan pada diri sendiri, ketidakmampuan untuk berduka
cita karena adanya kehilangan
c.

Teori Behavioral: kegagalan untuk menerima reinforcement positif


dari orang lain dan lingkungan merupakan predisposisi bagi
seseorang untuk mengalami gangguan depresi

d.

Teori kognitif: konsep negatif dari diri, pengalaman, orang lain dan
lingkungan merupakan kontribusi terjadinya depresi. Kepercayaan
bahwa seseorang tidak dapat mengontrol situasi memberikan
kontribusi terjadinya depresi.

20

e.

Teori sociological: kehilangan kekuasaan, status, identitas, nilai dan


tujuan untuk menciptakan eksistensi yang tepat akan menyebabkan
depresi

f.

Teori

Holism:

depresi

adalah

hasil

dari

genetik,

biologi,

psikoanalisa, tingkah laku, kognitif dan pengalaman sosiologis

3. Etiologi Depresi
Faktor penyebab terjadinya depresi menurut Kaplan dan Saddock
(2007) adalah:
a.

Faktor Biologi
Noreepinephrine dan serotonin adalah dua jenis neurotransmitter
yang bertanggung jawab mengendalikan patofisiologi gangguan alam
perasaan pada manusia. Gangguan depresi melibatkan keadaan
patologi di limbic system, basal ganglia dan hypothalamus. Limbic
system dan basal ganglia berhubungan sangat erat, hipotesa sekarang
menyebutkan produksi alam perasaan berupa emosi, depresi dan
mania

merupakan

peranan

utama

limbic

system.

Disfungsi

hypothalamus berakibat perubahan regulasi tidur, selera makan,


dorongan seksual dan memacu perubahan biologi dalam endokrin dan
imunologik
b.

Faktor Genetika
Gangguan alam perasaan (mood) baik tipe bipolar (adanya episode
manik dan depresi) dan tipe unipolar (hanya depresi saja) memiliki
kecenderungan menurun kepada generasinya. Gangguan bipolar lebih
kuat menurun daripada unipolar. Sebanyak 50 % pasien bipolar
memiliki satu orang tua dengan alam perasaan/ gangguan afektif, yang
tersering unipolar (depresi saja). Jika salah satu orang tua mengidap
gangguan bipolar maka 27 % anaknya memiliki resiko mengidap
gangguan alam perasaan. Bila kedua orang tua mengidap gangguan
bipolar maka 75 % anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam
perasaan.

21

c.

Faktor Psikososial
Peristiwa traumatik kehidupan dan lingkungan sosial dengan suasana
yang menegangkan dapat menjadi kausa gangguan neurosa depresi.
Sejumlah data yang kuat menunjukkan kehilangan orang tua sebelum
berusia 11 tahun dan kehilangan pasangan hidup dapat memacu
serangan awal gangguan neurosa depresi.
Boyd dan Nihart (1998) menggambarkan hubungan sebab-sebab
biopsikososial terjadinya depresi pada lansia terdiri dari:
1) Biologik: penyakit fisik, disregulasi neurotransmitter dalam
sistem saraf pusat (SSP), efek samping terapi pengobatan,
interaksi pengobatan resep maupun non resep, gangguan
mobilitas, perubahan kapasitas sensorik
2) Psikologis: stress, kehilangan sesuatu dalam hidup, episode
depresi sebelumnya (diawal kehidupan), kemunduran kognitif
3) Sosiokultural: isolasi sosial, kematian atau ketidakmampuan
pasangan atau teman, kesulitan ekonomi, pensiun, gangguan
perubahan lingkungan.

4. Faktor Resiko Depresi


Menurut Kaplan dan Saddock (1997, 2007), faktor resiko dari depresi
dipengaruhi oleh:
a.

Umur, rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40


tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50
tahun. Gangguan depresif berat juga mungkin memiliki onset selama
masa anak-anak atau pada lanjut usia, walaupun hal tersebut jarang
terjadi

b.

Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua


kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya
perbedaan telah didalilkan sebagai melibatkan perbedaan hormonal,
perbedaan stressor psikososial bagi perempuan dan laki-laki

c.

Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi


paling sering pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan

22

interpersonal yang erat atau karena perceraian atau berpisah dengan


pasangan.
d.

Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke


lingkungan

baru, pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab,

kondisi sakit, adalah sebagian dari beberapa kejadian yang


menyebabkan seseorang menjadi depresi.

5. Gejala-gejala Depresi
Menurut Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) III (2001) depresi ditandai dengan beberapa gejala, yaitu:
a. Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja)
dan aktivitas menurun.
b.

Gejala lain, meliputi:


1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang
Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala

psikis, gejala fisik dan sosial yang khas, seperti murung, sedih
berkepanjangan, sensitif, mudah marah dan tersinggung, hilang semangat
kerja, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi dan menurunnya
daya tahan.

23

Gejala-gejala ini dapat dilihat dari tiga segi yaitu:


a.

Gejala fisik
Gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan dan variasi
yang luas sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namun
secara garis besar ada beberapa gejala fisik umum yang relatif mudah
dideteksi. Gejala itu seperti:
1) Sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit
2) Pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukkan
perilaku yang pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan
orang lain seperti nonton tv, makan, tidur.
3) Orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan perhatian
atau pikiran pada suatu hal, atau pekerjaan. Sehingga mereka juga
akan

sulit

memfokuskan

energi

pada

hal-hal

prioritas.

Kebanyakan yang dilakukan justru hal-hal yang tidak efisien dan


tidak berguna, seperti misalnya mengemil, melamun, merokok
terus-menerus, sering menelpon yang tidak perlu. Orang yang
terkena depresi akan terlihat dari metode kerjanya yang menjadi
kurang terstruktur, sistematika kerjanya jadi kacau atau kerjanya
jadi lamban.
4) Orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau
seluruh motivasi kerjanya. Sebabnya, ia tidak lagi bisa menikmati
dan merasakan kepuasan atas apa yang dilakukannya. Ia sudah
kehilangan minat dan motivasi untuk melakukan kegiatannya
seperti semula. Oleh karena itu, keharusan untuk tetap
beraktivitas membuatnya semakin kehilangan energi karena
energi yang ada sudah banyak terpakai untuk mempertahankan
diri agar tetap dapat berfungsi seperti biasanya. Mereka mudah
sekali lelah, capai padahal belum melakukan aktivitas yang
berarti.
5) Depresi itu sendiri adalah perasaan negatif. Jika seseorang
menyimpan perasaan negatif maka jelas akan membuat letih

24

karena membebani pikiran dan perasaan dan ia harus memikulnya


dimana saja dan kapan saja, suka tidak suka.
b.

Gejala Psikis
1) Kehilangan rasa percaya diri
Penyebabnya,

orang

yang

mengalami

depresi

cenderung

memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri


sendiri. Pasti mereka senang sekali membandingkan antara
dirinya dengan orang lain. Orang lain dinilai lebih sukses, pandai,
beruntung, kaya, lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih
diperhatikan oleh atasan dan pikiran negatif lainnya.
2) Sensitif
Orang yang mengalami depresi senang sekali mengkaitkan segala
sesuatu dengan dirinya perasaannya sensitive sekali, sehingga
sering peristiwa yang netral jadi dipandang dari sudut pandang
yang berbeda oleh mereka, bahkan disalahartikan. Akibatnya,
mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa, curiga akan
maksud orang lain (yang sebenarnya tidak ada apa-apa), mudah
sedih, murung, dan lebih suka menyendiri
3) Merasa diri tidak berguna
Perasaan tidak berguna ini muncul karena mereka merasa menjadi
orang yang gagal terutama dalam bidang atau lingkungan yang
seharusnya mereka kuasai. Misalnya seorang manager mengalami
depresi karena ia dimutasikan ke bagian lain. Dalam persepsinya,
pemutasian itu disebabkan ketidakmampuannya dalam bekerja
dan pimpinan menilai dirinya tidak cukup memberikan kontribusi
sesuai dengan yang diharapkan
(4)

Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yang
mengalami depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang
menimpa dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat dari
kegagalan

mereka

melaksanakan

tanggung

jawab

yang

seharusnya dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi

25

beban bagi orang lain dan menyalahkan diri mereka atas situasi
tersebut.
(5) Perasaan terbebani
Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang
dialami. Mereka merasakan beban yang terlalu berat karena
merasa dibebani tanggung jawab yang berat.

c. Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya
mempengaruhi lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas lainnya).
Bagaimana tidak, lingkungan tentu akan bereaksi terhadap perilaku
orang yang depresi tersebut yang pada umumnya negatif (mudah
marah, tersinggung, menyendiri, sensitive, mudah letih, mudah sakit).
Masalah sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah yang
berinteraksi dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan. Masalah ini
tidak hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga seperti
perasaan minder, malu, cemas jika berada diantara kelompok dan
merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka
merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif menjalin
hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.

6. Tingkatan Depresi
Menurut PPDGJ-III tahun 1998, depresi dibagi sesuai dengan
tingkat keparahannya, yaitu:
a. Depresi Ringan
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya
sekitar 2 minggu

26

5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social


yang biasa dilakukan
b.

Depresi Sedang
Pedoman yang dipakai adalah
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
seperti pada episode depresi ringan
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2
minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.

c. Depresi Berat
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Semua 3 gejala depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan
beberapa diantaranya harus berintensitas berat
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi dan retardasi
psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejala secara rinci
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresif berat masih dapat dibenarkan, yaitu:
a. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya dua minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, masih dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu
b. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan
kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali
pada tahap yang sangat terbatas.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa depresi berat ditandaidengan adanya:
a. Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut
episode depresif berat tanpa gejala psikotik.

27

b. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham


biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung
jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran
atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek
(mood-congruent)

7. Penatalaksanaan Depresi pada Lanjut Usia


Penatalaksanaan pada penderita depresi harus dilakukan secara
adekuat dengan menggunakan kombinasi terapi psikologis dan
farmakologis disertai pendekatan multidisiplin yang menyeluruh.
Adapun penatalaksanaan depresi pada lanjut usia (Agus, 2002)
meliputi:
a. Terapi Fisik
1) Obat. Secara umum, semua obat anti-depresan sama
efektifitasnya. Pemilihan jenis anti-depresan lebih ditentukan
oleh pengalaman klinikus dan familiarity terhadap jenis-jenis
anti-depresan. Pertimbangkan baik, untung dan rugi dari
setiap pemberian terapi dengan mengacu pada 4 hal yaitu
efektivitas, tolerabilitas, keamanan, dan interaksi obat.
2) Pemberian anti-depresan pada lanjut usia, sama seperti pada
pemberian psikotropika pada umumnya harus hati-hati.
Umumnya diperlukan dosis yang lebih kecil dari pada orang
dewasa, karena dikuatirkan terjadinya akumulasi akibat
fungsi ginjal yang sudah kurang baik. Demikian pula dengan
adanya penyakit jantung atau hipertensi harus diperhatikan
pada pemberian obat golongan tricyclic anti-depresant
(TCA)

28

3) Terapi ECT (Electroconvulsive Therapy)


Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan minum, mau
bunuh diri atau retardasi psikomotor yang hebat, maka ECT
merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT
diberikan 1-2 kali seminggu pada pasien rawat inap, dengan
metode unilateral untuk mengurangi confusion/ memory
problem. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood
(sekitar 5-10 kali), sementara anti-depresan maintenance
harus diberikan untuk mencegah relaps/ kekambuhan.
4) Terapi profilaksis. Terapi profilaksis harus diberikan untuk
mencegah terjadinya kekambuhan depresi. Setelah gejalagejala depresi membaik, terapi anti-depresan masih harus
dilanjutkan selama 4-6 bukan dengan dosis terapeutik penuh.
Beberapa penelitian bahkan menganjurkan agar terapi
diteruskan sampai 2 tahun. Kapan anti-depresan boleh
dihentikan, sangatlah tergantung pada evaluasi klinis
(perkembangan efek samping, munculnya penyakit fisik atau
kelemahan kondisi umum).
b. Terapi psikologik antara lain:
1.

Psikoterapi
Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif jika
dilakukan bersama-sama dengan pemberian anti-depresan.
Baik pendekatan secara psikodinamik maupun kognitif
behavioural adalah sama keberhasilannya

2. Terapi kognitif
Terapi kognitif-perilaku bertujuan mengubah pola pikir
pasien yang selalu negatif (persepsi diri yang buruk, masa
depan yang suram, dunia yang tak ramah, diri yang tak
berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola pikir
yang netral atau positif. Ternyata pasien lanjut usia dengan
depresi dapat menerima metode ini meskipun penjelasan
harus diberikan secara singkat dan terfokus. Melalui latihan-

29

latihan, tugas-tugas dan aktivitas, terapi kognitif-perilaku


bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir.
3.

Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan
gangguan depresi, sehingga dukungan terhadap keluarga
pasien adalah sangat penting. Proses penuaan mengubah
dinamika keluarga, diantaranya ada perubahan posisi dari
dominan menjadi dependen pada lanjut usia. Tujuan dari
terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk
meredakan perasaan frustasi dan putus asa, merubah dan
memperbaiki

sikap/

struktur

dalam

keluarga

yang

menghambat proses penyembuhan pasien


4. Penanganan ansietas (relaksasi)
Macam relaksasi antara lain (Davis et al., 1995): Relaksasi
progresif, pernafasan dalam, meditasi, guided imagery,
mendengarkan musik, biofeedback, kesadaran tubuh, dan
visualisasi. Tehnik yang umum dipergunakan adalah program
relaksasi progresif baik secara langsung dengan instruktur
(psikolog atau terapis okupasional) atau melalui tape
recorder. Terapi musik sebagai salah satu tehnik relaksasi
sering dipakai dalam mengatasi masalah yang berhubungan
dengan stress (salah satunya depresi). Terapi Musik terbukti
efektif dalam mereduksi gangguan psikologis pada pasien
(Djohan, 2006).

8. Instrumen Pengukuran Tingkat Depresi


Dalam mengukur tingkat depresi menggunakan Instrumen
Beck Depresi Inventory (BDI) yang dirancang oleh Beck(1960),
merupakan skala pengukuran tingkat depresi yang dapat digunakan
sebagai instrument penyaringan di komunitas dan klinik. Instrumen
ini terdiri dari 21 item yang memuat tentang kesedihan, pesimisme,
perasaan gagal, perasaan tidak puas, perasaan bersalah atau berdosa,

30

perasaan dihukum, rasa benci pada diri sendiri, mudah tersinggung,


menarik diri dari lingkungan social, tidak mampu mengambil
keputusan, penyimpangan citra tubuh, kelambanan dalam bekerja,
menangis, gangguan tidur, kelelahan, hilangnya nafsu makan,
penurunan berat badan, kecemasan fisik dan penurunan libido.

D. Gambaran Diri
1. Pengertian Gambaran diri ( Body Image )
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar
dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang
ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa
lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman
baru setiap individu. (Stuart and Sundeen, 1991).
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima
stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan
mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan. Gambaran diri berhubungan
dengan kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai
dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistis
terhadap dirinya menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan lebih
rasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga
diri. (Keliat, 1992)
Gambaran diri adalah bagian dari konsep diri yang mencakup sikap
dan pengalaman yang berkaitan dengan tubuh, termasuk pandangan
tentang maskulinitas dan feminitas, kegagahan fisik, daya tahan, dan
kapabilitas. Gambaran diri berkembang secara bertahap selama beberapa
tahun sejalan dengaan anak belajar mengenai tubuh dan struktur mereka,
fungsi, kemampuan, dan keterbatasan mereka. Gambran diri dapat
berubah dalam beberapa jam, hari, minggu, atau bulan, bergantung pada
stimuli

eksternal

pada

tubuh

dan

perubahan

actual

dalam

penampilan,struktur atau fungsi. Cara orang lain melihat tubuh kita juga
mempunyai pengaruh. (Potter & Perry, 2005)

31

Perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan


penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh
dibandingkan dengan aspek lainnya dari konsep diri. Perubahan ini
bergantung pada kematangan fisik.Perubahan hormonal terjadi selama
masa remaja dan pada akhir tahun kehidupan juga mempengaruhi
gambaran diri (misalnya menapouseselama masa dewasa tengah).
Penuaan mencakup penurunan ketajaman penglihatan, pendengaran, dan
mobilitas, perubahan ini dapat mempengaruhi gambaran diri (Kozier et
al, 2004).
Sikap, nilai kultural dan social juga mempengharuhi gambaran diri.
Muda, cantik dan utuh adalah hal-hal yang ditekankan dalam masyarakat
Amerika, fakta dan selalu ditayangkan dalam program televise, film
bioskop, dan periklanan. Dalam kultur timur, penuaan dipandang secara
sangat positif, karena orang dengan usia tua dihormati. Kultur barat
(terutama di Amerika Serikat) telah dibiasakan untuk takut dan ketakutan
terhadap proses penuaan yang normal.(Potter & Perry, 2005)
Banyak factor dapat mempengaruhi gambaran diri seseorang, seperti
munculnya stressor yang dapat mengganggu integritas gambaran diri.
Kegagalan fungsi tubuh, seperti stroke, kebutaan, tuli, arthritis, multiple
sclerosis, diabetes, inkontinensia dapat mengakibatkan depersonalisasi
yaitu tidak mengakui atau asing dengan bagian tubuh.Pada penderita
diabetes Mellitus yang sering terjadi adalah kebutaan, ulkus dan
komplikasi lain.(Kozier at al, 2004;Potter & Perry, 2005)
Perubahan tubuh, hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana
seseorang akan merasakan perubahan pada dirinya seiring dengan
bertambahnya usia. Perubahan tersebut seperti obesitas, penuaan,
kolostomi, trakeostomi, luka bakar, kerusakan wajah dan lain-lain. Tidak
jarang seseorang menanggapinya dengan responnegatif dan positif.
Ketidakpuasan juga dirasakan sesorang jika didapati perubahan tubuh
yang tidak ideal.(Kozier et al, 2004;Potter & Perry, 2005) Penderita
Ulkus Diabetes Mellitus mengalami perubahan fungsi dan keterbatasan
organ yang mengalami luka.

32

Umpan balik interpersonal yang negative, umpan balik ini adanya


tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian sehingga dapat
membuat sesorang menarik diri. (Kozier et al, 2004;Potter & Perry, 2005)
Standar sosial budaya, hal ini berkaitan dengan kultur sosial budaya
yang

berbeda

pada

setiap

individu

dan

keterbatasannya

serta

keterbelakangan dari budaya tersebut menyebabkan pengaruh gambaran


diri

individu, seperti adanya perasaan minder.(Kozier et al, 2004;

Potter & Perry, 2005).


Keliat (1998) menguraikan beberapa gangguan pada gambaran diri
tersebut menunjukkan tanda dan gejala seperti syok psikologis, yang
merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat
terjadi pada saat pertama tindakan. Syok psikologis digunakan sebagai
reaksi terhadap kecemasan. Informasi yang teralalu banyak dan
kenyataan perubahan tubuh membuat klien menggunakan mekanisme
pertahanan diri seperti mengingkari, menolak dan proyeksi untuk
mempertahankan keseimbangan diri.
Menarik diri, yaitu pada saat klien menjadi sadar akan kenyataan,
tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara
emosional. Klien menjadi pasif, tergantung, tidak ada motivasi dan
keinginan untuk berperan dalam perawatanya.(Keliat, 1998)
Penerimaan atau pengakuan secara bertahap, yaitu ketika klien sadar
akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka muncul. Setelah
fase ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran diri yang
baru.(Keliat, 1998)
2. Tanda dan Gejala gangguan gambaran diri
Tanda dan gejala dari gangguan gambaran diri diatas adalah proses
yang adaptif, jika tampak tanda dan gejala-gejala berikut secara menetap
maka respon klien dianggap maladaptif sehingga terjadi gangguan
gambaran diri yaitu: menolak untuk melihat atau menyentuh bagian yang
berubah, tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh,
mengurangi kontak social sehingga terjadi menarik diri, perasaan atau
pandangan negative terhadap tubuh, preokupasi dengan bagian tubuh

33

atau fungsi yang hilang, Mengungkapkan keputusasaan, mengungkapkan


ketakutan

ditolak,

depersonalisasi,

menolak

penjelasan

tentang

perubahan tubuh (Keliat, 1998).


3. Penatalaksanaan pada Klien gangguan gambaran diri
Tindakan keperawatan berfokus pada tingkat penilaian kognitif pada
kehidupan, yang terdiri dari persepsi, keyakinan dan kepribadian.
Kesadaran klien akan emosi dan perasaannya juga hal yang penting.
Setelah mengevaluasi penilaian kognitif dan kesadaran perasaan, klien
menyadari masalah dan kemudian merubah prilaku. Implementasi
keperawatan dengan :
a) Membina hubungan saling percaya,
b) Memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
c) Menyediakan pada klien waktu untuk mengungkapkan tentang
penyakit yang diderita.
d) Katakan pada klien bahwa dia orang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri.
e) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimilki pasien
dapat di mulai bagian tubuh yang masih berfungsi dengan baik,
kemampuan lain yang dimilki oleh klien , aspek positif (dukungan
keluarga dan lingkungan) yang dimilki klien.
f) Jika klien tidak mampu mengidentifikasi, maka perawat memberi
reinforcement terhadap aspek positif klien, Setiap bertemu klien,
hindarkan memberi penilain negative.utamakan memberikan pujian
realistis.
g) Diskusikan kemampuan klien yang masih dapat digunakan
selamam sakit. Misalnya: penampilan klien dalam self care
latihan dan ambulasi serta aspek asuhan terkait dengan gangguan
fisik yang dialami oleh klien.
h) Diskusikan

pada

kemampuan

yang

dapat

dilanjutkan

pengguanannya setelah pulang sesuai dengan kondisi pasien.

34

E.

Kerangka Teori
- Kondisi
fisik sakit
menderita
Ulkus DM
- Diet Ketat
dan
Pengobatan
- Perubahan
Struktur dan
fungsi
tubuh

Gambaran diri
Maladaptif:
- Menolak
perubahan
struktur dan
fungsi tubuh
- Menarik diri
- Takut ditolak
- Menolak
penjelasan
perubahan

DEPRESI

(Rawlin dan Heacock,1993)

(Keliat,1998;Watkins,2000)

F.

Kerangka Konsep

Variabel dependent

G.

- Konsep negatif
diri terhadap;
- Diri sendiri
- Pengalaman
hidup
- Orang lain
- Lingkungan
- Kepercayaan diri
tidak dapat
kontrol situasi

Variabel Independent

Gambaran Diri Penderita

Tingkat Depresi Pada Penderita

Ulkus Diabetes Mellitus

Ulkus Diabetes Mellitus

Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah :

H.

Variabel bebas

: Gambaran diri

Variabel tergantung

: Tingkat depresi penderita Ulkus Diabetes Mellitas

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara gambaran diri dengan tingkat
depresi pada penderita Ulkus Diabetes Mellitus di RSUD Kraton Kabupaten
Pekalongan.

35

Anda mungkin juga menyukai