Anda di halaman 1dari 15

MARET 2015

TUGAS UJIAN

Oleh :
FARUCHY SETIANING S
N 111 13 054
Penguji:
dr.NURDIN ATJO, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2015
1) Tatalaksana terapi pada JNC VIII
The Eighth Joint National Committee (JNC 8) telah mengeluarkan pedoman baru
mengenai manajemen hipertensi. Tatalaksana hipertensi pada pedoman terbaru ini lebih
sederhana dibandingkan dengan JNC 7. (JAMES, PA, dkk. 2007)
Pedoman tatalaksana hipertensi terbaru ini terdiri dari 9 meliputi:
1. Rekomendasi 1

Pada usia 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk menurunkan tekanan darah
(TD) pada systolic blood pressure (SBP) 150 mmHg, atau diastolic blood pressure
(DBP) 90 mmHg dan diturunkan sampai SBP 150 mmHg dan DBP 90 mmHg.
(Rekomendasi Kuat-Grade A)
2. Corollary Recommendation
Pada populasi umum usia 60 tahun, jika terapi farmakologi ternyata menurunkan tekanan
darah SBP lebih rendah dari target (SBP 140 mmHg) dan terapi dapat ditoleransi tanpa ada
efek samping yang menganggu maka terapi tidak perlu penyusuaian (Pendapat Ahli-Grade E)
3. Rekomendasi 2
Pada populasi umum dengan usia < 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk menurunkan
TD pada DBP 90 mmHg dan diturunkan sampai tekanan DBP 90 mmHg. (untuk usia 30-59
tahun, Rekomendasi Kuat- Grade A; untuk usia 18-29 tahun, pendapat ahli-Grade E)
4. Rekomendasi 3
Pada populasi umum dengan usia < 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk menurukan
TD pada SBP 140 mmHg dan diturunkan sampai tekanan SBP < 140 mmHg. (Pendapat AhliGrade E)
5. Rekomendasi 4
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan Chronic Kidney Disease (CKD), inisiasi terapi
farmakologi untuk menurunkan TD pada SBP 140 mmHg atau DBP 90 mmHg dan target
menurunkan sampai SBP < 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg.(Pendapat Ahli-Grade E)
6. Rekomendasi 5
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan diabetes, inisiasi terapi farmakologi untuk
menurunkan TD pada SBP 140 mmHg atau DBP 90 mmHg dan target menurunkan sampai
SBP < 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg.(Pendapat Ahli-Grade E)
7. Rekomendasi 6
Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk dengan penyakit diabetes, inisiasi terapi
farmakologi harus mencakup, diuretik tipe thiazide, calcium channel blocker (CCB),
angiostensin-converting enzym inhibitor (ACEI) atau angiostensin receptor blocker (ARB).
(Rekomendasi : Sedang-Grade B)
8. Rekomendasi 7
Pada populasi kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes, initiasi terapi farmakologi
antihipertensi harus mencakup diuretik tipe thiazide, calcium channel blocker (CCB) (Untuk
orang kulit hitam rekomendasi sedang-grade B; untuk orang kulit hitam dengan diabetes
rekomendasi lemah grade C)
9. Rekomendasi 8
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan CKD, inisiasi terapi farmakologi antihipertensi
harus mencakup obat ACEI atau ARB untuk meningkatkan fungsi ginjal (Rekomendasi SedangGrade B)
10. Rekomendasi 9

Tujuan objektif dari terapi hipertensi adalah untuk mencapai dan mempertahankan tekanan
darah sesuai target terapi. Jika tekanan darah tidak dapat mencapai target terapi yang diinginkan
dalam waktu 1 bulan terapi tekanan darah, dapat dilakukan peningkatan dosis obat atau
menambah golongan obat kedua dari salah satu golongan obat pada rekomendasi 6 (diuretik tipe
thiazide, CCB, ACEI atau ARB). Dokter harus terus menilai perkembangan TD dan
menyesuaikan regimen obat antihipertensi sampai TD yang diinginkan dapat dicapai. Jika target
tekanan darah tidak dapat dicapai dengan pengunaan 2 jenis golongan obat antihipertensi, dapat
dilakukan penambahan dan titrasi obat ke 3 dari daftar yang telah tersedia. Jangan pernah
mengunakan obat ACEI dan ARB secara bersamaan pada 1 orang pasien. Jika target tekanan
darah tetap tidak dapat dicapai mengunakan terapi obat pada rekomendasi 6 karena ada
kontraindikasi obat atau membutuhkan lebih dari 3 jenis obat, maka obat dari golongan
antihipertensi lainnya dapat digunakan. Rujukan ke spesialis perlu dilakukan jika pasien tidak
dapat mencapai target tekanan darah mengunakan strategi yang di atas atau perlu dilakukan
managemen komplikasi pada pasien.

2) Indikasi dan kontraindikasi dialisis


Indikasi:
- Absolut
a) Asidosis metabolik yang sulit dikoreksi
b) Uremia > 200 mg/dl
c) Hiperkalemia > 7 mEq/L
d) Overload
e) Encephalopati uremikum
f) Perikarditis uremikum
-

Elektif
a) LFG < 10 ml/ mnt dengan gejala uremia / malnutrisi
b) LFG < 5 ml/mnt walaupun tanpa gejala
c) Indikasi Khusus :
Terdapat komplikasi akut (edema paru, hiperkalemia, asidosis
metabolik berulang)
Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal.

Kontraindikasi:
-

Akses vaskuler sulit

Instabilitas hemodinamik

Koagulopati

Penyakit alzeimer

Dimensia multi infark

Sindrom hepatorenal

Sirosis hati dengan ensefalopati

Keganasan lanjut

Gangguan rongga peritoneum (pada CAPD). (PERNEFRI, 2003)

3) Perbedaan Acute Renal Failure dan Chronic Renal Failure.

Acute Renal Failure/ gagal

Chronic Renal Failure/

ginjal akut
sindroma yang ditandai oleh

gagal ginjal kronik


Kerusakan ginjal baik secara

penurunan laju filtrasi

fungsional dan struktural

glomerulus secara mendadak

selama 3 bulan atau lebih

dan cepat (hitungan jam-

dengan atau tanpa penurunan

minggu)

laju filtrasi glomerulus.

Reversibel

kerusakan ginjal yang

Ukuran ginjal
Riwayat

Normal
Ada

progresif dan ireversibel


Kecil
Tidak ada

penyebab akut
Riwayat

Tidak ada

Ada

Definisi

Sifat perbaikan

penyakit kronik
(PERNEFRI, 2003)
4) Apa yang kamu ketahui tentang AKI (Acute Kidney Injury)

dan

penanganannya.
Acute kidney injury/ gangguan ginjal akut merupakan terminologi baru yang
digunakan sebagai pengganti acute renal failure/ gagal ginjal akut. Istilah gangguan
ginjal akut lebih jelas memberikan gambaran lebih jelas mengenai proses GGA.
Gangguan ginjal akut didefinisikan sebagai penurunan mendadak dari fungsi ginjal
(laju filtrasi glomerulus/ LFG) yang bersifat sementara, ditandai dengan peningkatan
kadar kreatinin serum dan hasil metabolisme nitrogen serum lainnya. Diagnosis AKI

ditegakkan berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan


berat penyakit juga dapat menggambarkan prognosis kematian dan prognosis

kebutuhan terapi pengganti ginjal. Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi,
tahap penyakit, dan komplikasi AKI mutlak diperlukan. (Sudoyo, AW. 2009)(Sinto,
R. 2010)

Penatalaksanaan
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal
penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya
ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi
sepsis,

penghentian

zat

nefrotoksik,

koreksi

obstruksi

pascarenal,

dan

menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran


cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan
dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup
berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara
ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit
urin dan serum. (Sinto, R. 2010)

Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005. (Sinto, R.
2010)

Terapi Farmakologi
Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Beberapa hal yang harus
diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masihn dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria nkurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam
1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1
gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan
koloid untuk meningkatkan translokasi pada cairan intravaskular. (Sinto, R. 2010)
Tata Laksana Komplikasi
Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif

dan juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang

diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis


berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru, ensefalopati uremikum,
perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat
(Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat
didialisis. Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan
terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi
indikasi sudah teratasi. (Sinto, R. 2010)

5) Patogenesis BSK (Batu Saluran Kemih)


Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan supersaturasi dalam
pembentukan batu. Inhibitor pembentukan batu dijumpai dalam air kemih normal.
Batu kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein. Beberapa promoter
(reaktan) dapat memacu pembentukan batu seperti asam urat, memacu batu kalsium
oksalat. Aksi reaktan dan inhibitor belum dikenali sepenuhnya. Ada dugaan proses
ini berperan pada pembentukan awal atau nukleasi kristal, progesi kristal atau
agregatasi kristal. Misalnya penambahan sitrat dalam kompleks kalsium dapat
mencegah agregatasi kristal dalam saluran kemih.(Sudoyo, AW. 2009)
Secara pasti etiologi batu saluran kemih belum diketahui dan sampai sekarang
banyak teori dan faktor yang berpengaruh untuk terjadinya batu saluran kemih,
yaitu:
1. Teori Fisiko Kimiawi.
Prinsip teori ini yaitu terbentuknya batu saluran kemih karena adanya proses
kimia, fisik

maupun gabungan fisikokimiawi. Dari hal tersebut diketahui

terjadinya batu di dalam sistem pielokaliks ginjal sangat dipengaruhi oleh

konsentrasi bahan pembentuk batu dalam tubulus renalis. Berdasarkan faktor


fisiko kimiawi dikenal teori pembentukan batu sebagai berikut:
a. Teori Supersaturasi
Supersaturasi air kemih dengan garam-garam pembentuk batu merupakan
dasar terpenting dan merupakan prasyarat untuk terjadinya presipitasi
(pengendapan). Apabila kelarutan suatu produk tinggi dibandingkan titik
endapnya,maka terjadi supersaturasi sehingga menimbulkan terbentuknya
kristal dan pada akhirnya akan terbentuk batu. (Hesse, dkk. 2002)
Supersaturasi dan kristalisasi terjadi bila ada penambahan yang bisa
mengkristal dalam air dengan pH dan suhu tertentu, sehingga suatu saat terjadi
kejenuhan dan selanjutnya terjadi kristal. Bertambahnya bahan yang dapat
mengkristal yang disekresikan oleh ginjal, maka pada suatu saat akan terjadi
kejenuhan sehingga terbentuk kristal. Proses kristalisasi dalam pembentukan
batu saluran kemih berdasarkan adanya 4 zona saturasi , terdapat tiga zona
yaitu: (1) Zona stabil, tidak ada pembentukan inti batu, (2) Zona metastabil,
mungkin membesar tetapi tidak terjadi disolusi batu, bisa ada agregasi dan
inhibitor bisa mencegah kristalisasi (3) Zona saturasi tinggi. (Menon, M. Dkk.
2002)
b. Teori matrik
Di dalam air kemih terdapat protein yang berasal dari pemecahan
mitochondria sel tubulus renalis yang berbentuk laba-laba. Kristal batu oksalat
maupun kalsium fosfat akan menempel pada anyaman tersebut dan berada di
sela-sela anyaman sehingga terbentuk batu. Benang seperti sarang laba-laba
yang berisi protein 65%, Heksana10%, Heksosamin 2-5% sisanya air. Pada
benang menempel kristal batu yang sebabkan batu makin lama makin besar.
Matrik tersebut merupakan bahan yang merangsang timbulnya batu.(Sudoyo,
AW. 2009)
c. Teori Inhibitor
Pada penelitian diketahui bahwa walaupun kadar bahan pembentuk batu
sama tingginya pada beberapa orang tetapi tidak semua menderita penyakit
batu. Hal tersebut disebabkan pada orang yang tidak terbentuk batu dalam air
kemihnya mengandung bahan penghambat untuk terjadinya batu (inhibitor)
yang lebih tinggi kadarnya dibanding pada penderita batu. Dikenal 2 jenis

inhibitor yaitu organik yang sering terdapat adalah asam sitrat, nefrokalsin dan
tamma-horsefall glikoprotein dan jarang terdapat yaitu gliko-samin glikans,
uropontin. Inhibitor anorganik yaitu pirofosfat, magnesium dan Zinc. (Hesse,
dkk. 2002)
d. Teori Epitaksi
Pada teori ini dikatakan bahwa kristal dapat menempel pada kristal lain
yang berbeda sehingga cepat membesar dan menjadi batu campuran. Keadaan
ini disebut nukleasi heterogen dan yang paling sering yaitu kristal kalsium
oksalat menempel pada krital asam urat yang ada. (Hesse, dkk. 2002)
e. Teori Infeksi
Teori terbentuknya BSK juga dapat terjadi karena adanya infeksi dari kuman
tertentu. Pengaruh infeksi pada pembentukan BSK adalah sebagai berikut:
- Batu struvit
Batu struvit disebut juga batu infeksi mempunyai komposisi magnesium
amonium fosfat. Terjadinya batu jenis ini dipengaruhi pH air kemih 7,2 dan
terdapat amonium dalam air kemih, misalnya pemecah urea (urea splitting
bacteria). Urease yang terbentuk akan menghidrolisa urea menjadi karbon
dioksida dan amonium. Akibat reaksi ini maka pH air kemih akan naik lebih
dari 7 dan terjadi reaksi sintesis amonium yang terbentuk dengan molekul
magnesium dan fosfat menjadi magnesum amonium fosfat (batu struvit).
Bakteri penghasil urease sebagian besar Gram negatif yaitu golongan proteus,
klebsiela, providensia dan pseudomonas. Ada juga bakteri gram positif yaitu
stafilokokus, mikrokokus dan korinebakterium serta golongan mikoplasma,
seperti T strain mikoplasma dan ureaplasma urelithikum. (Hesse, dkk. 2002)
- Teori nanobakteria
Nanobakteria merupakan bakteri terkecil dengan diameter 50-200
nanometer yang hidup dalam darah, ginjal dan air kemih. Dinding sel bakteri
ini mengeras membentuk cangkang kalsium (karbonat apatite) ini akan
mengadakan agregasi dan membentuk inti batu, kemudian kristal kalsium
oksalat akan menempel.
- Oxalobacter
Dalam usus manusia terdapat bakteri pemakan oksalat sebagai bahan
energi yaitu Oxalobacter formigenes dan Eubacterium lentrum tetapi hanya

Oxalobacter formigenes saja yang tak dapat hidup tanpa oksalat. (Hesse, dkk.
2002)
2. Teori vaskuler
Pada penderita batu saluran kemih sering didapat adanya penyakit hipertensi
dan kadar kolesterol darah yang tinggi, maka Stoller mengajukan teori vaskuler
untuk terjadinya batu saluran kemih.
a. Hipertensi
Pada penderita hipertensi 83% mempunyai perkapuran ginjal sedangkan
pada orang yang tidak hipertensi yang mempunyai perkapuran ginjal
sebanyak 52%. Hal ini disebabkan aliran darah pada papilla ginjal berbelok
1800 dan aliran darah berubah dari aliran laminer menjadi turbulensi. Pada
penderita hipertensi aliran turbulen ini berakibat penendapan ion-ion kalsium
papilla (Ranalls plaque) disebut juga perkapuran ginjal yang dapat berubah
menjadi batu. (Stoler,M. 2004)
b. Kolesterol
Pada penelitian terhadap batu yang diambil dengan operasi ternyata
mengandung kolesterol bebas 0,058-2,258 serta kolesterol ester 0,012-0,777
mikrogram per miligram batu. Adanya kadar kolesterol yang tinggi dalam
darah akan disekresi melalui glomerulus ginjal dan tercampur didalam air
kemih. Adanya butiran kolesterol tersebut akan merangsang agregasi dengan
kristal kalsium oksalat dan kalsium fosfat sehingga terbentuk batu yang
bermanifestasi klinis (teori epitaksi). (Stoler,M. 2004)

DAFTAR PUSTAKA
1. Hesse, Alrecht; Goran tiselius, Hans: Jahnen, Andre. 2002. Urinary Stone

Diagnosis, Treatment and Prevention of Recurrence: 2nd edition.


2. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler J, et
al. 2014. Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in
Adults: Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National
Committee (JNC 8). JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427.

3. Menon M, Resnick, Martin I. 2002. Urinary Lithiasis: Etiologi and

Endourologi, in Chambells Urology, 8th ed, Vol 14, W.B. Saunder Company,
Philadelphia,: 3230-3292.
4. Sinto R & Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan
Tata Laksana. Maj Kedokt Indon: 60(2)
5. Stoler, M; Maxwell VM; Harrison, AM; Kane, JP. 2004. The Primary Stone

Event: ANew Hypotesis Involving a Vasculer Etiology. J.Urol. 171(5):1920-1924


6. Sudoyo, A, W,dkk. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam jilid I1 FKUI. Edisi V.
Interna Publishing: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai