Anda di halaman 1dari 33

STATUS PASIEN

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. A
Umur
: 12 Tahun
Suku Bangsa : Sunda
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Sindang 03/07
sukanagalih pacet

Masuk RS Tanggal

II.

: 27-06-2015

ANAMNESIS

Keluhan Utama
Sering mimisan sejak 7 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Mimisan terjadi hampir setiap hari terutama bila terlalu lelah. Setiap kali
mimisan menghabiskan kurang lebih 10 helai tisu. Gusi berdarah sering terjadi sejak
7 hari SMRS. Muntah darah disangkal. Os merasa sering lelah dan pusing. Os lebih
sering pingsan sejak 7 hari SMRS. Luka berdarah sukar berhenti disangkal. Gampang
lebam disangkal. Os sering memuntahkan apa yang dimakan sejak 2 hari SMRS.
Demam disangkal, batuk disangkal, flu disangkal, tidak mau makan dan minum, BAB
dalam batas normal, BAK dalam batas normal, penurunan berat badan disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu

Sering mimisan sebelumnya disangkal


Sering sakit sebelumnya disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Pengobatan

Belum pernah berobat kemanapun dan diberikan obat apapun sebelumnya


Riwayat Alergi
Os menyangkal adanya riwayat alergi

Status Gizi
BB/U = 76% (Gizi Baik)
TB/U = 68% (Gizi Baik)
BMI = 20.8
BMI/U = 76% (Gizi Baik)

III.

PEMERIKSAAN FISIK

A. Pemeriksaan umum
Keadaan umum

: Lemah

Kesadaran

: Compos mentis

Pernapasan

: 20 x/ menit

Nadi

: 100 x/ menit

Suhu

: 36oC

Berat badan

: 50 kg

Tinggi Badan

: 155 cm

Mata

: Ikterik (-/-), Anemis (+/+),


Konjungtiva Bleeding (-/-)

Hidung

: Napas cuping hidung (-), epistaksis(+), deviasi


septum(-)

Telinga

: Sekret (-/-)

Mulut

: Kering (+), Pucat (+)

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thorax
Cor

: Inspeksi: Ictus Cordis Tidak terlihat


Palpasi: Ictus Cordis Tidak Teraba
Perkusi:
Atas

: ICR III sinistra

Kanan : Linea parasternal dextra


Kiri

: ICR V Linea Mid Clavicularis

Auskultasi : BJ I/BJ II tunggal, gallop -,


murmur

Abdomen

: Inspeksi: pergerakan dinding dada simetris

Palpasi: vokal fremitus kiri kanan sama


Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler, ronkhi -/-, whezzing -/Abdomen

:Inspeksi: Datar
Auskultasi: bising usus +
Perkusi: timpani
Palpasi : supel, lembut, turgor kulit kembali
cepat, pembesaran organ -

Ekstremitas

: Inspeksi: Hematom Palpasi: akaral dingin, CRT>2

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

Hematologi Lengkap
Haemoglobin

1.6

12-16

g/dL

Hematokrit

5.0

37-47

Eritrosit

0.49

4.2-54

10^6/uL

Leukosit

10^3/uL

MCV

2.9
4.8-10.8
*sudah
diulang
manual
8
150-450
*sudah
dikonfirmasi
dengan SADT
102.2
80-94

MCH

32.7

27-31

Pg

MCHC

32.0

33-37

RDW-SD

76

37-54

fL

Trombosit

10^3/uL

fL

PDW

1.6

9-14

fL

MPV

5.0

8-12

fL

Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

LYM%

23.4

26-36

MXD%

5.1

0-11

NEU%

68.5

40-70

EOS%

2.2

1-3

BAS%

0.8

<1

LYM#

1.21

1.00-1.43

10^3/uL

MXD#

0.26

0-1.2

10^3/uL

NEU#

3.51

1.8-7.6

10^3/uL

EOS#

0.11

0.02-0.50

10^3/uL

BAS#

0.04

0.00-0.10

10^3/uL

Differential

Absolut

Morfologi Darah Tepi


Eritrosit

Anisokrom, anisositosis, tidak ditemukan normoblast

Leukosit

Leukopenia

Trombosit

Tidak ditemukan kelompok trombosit

Kesan

Pansitopeni DD/anemia aplastik

Usul

Evaluasi MDT 2-3 minggu kemudian BM

Sel LE

Negatif

V.

RESUME
Anak perempuan 12 tahun dengan gizi baik datang dengan keluhan sering
mimisan sejak 7 hari SMRS. Setiap kali mimisan menghabiskan kurang
lebih 10 tisu. Mudah lelah +, gusi berdarah +. Kakek os menderita anemia
aplastik. TTV: nadi 100, RR 20, Suhu 360C. Pemeriksaan Fisik: Ca +/+,
epistaksis+, bibir pucat kering +, perdarahan gusi+, CRT>2. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan pansitopeni.

VI.

DIAGNOSA
Anemia Aplastik

VII.

PENATALAKSANAAN

Tampon kassa

Infus NaCl 50x 60 = 22 tpm


96

PRC 250 cc

Trombosit 10 unit

FWB 250 cc

Metil prednisone 3x1 vial

Ranitidine 2x1/2 ampul

Diit tim

TINJAUAN PUSTAKA
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan
penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi
tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi
kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.1,2,3
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun
1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas
dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan
autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian

menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum tulang. Pada


tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik.1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai
6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih
sering terjadi dinegara Timur dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin
berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan terhadap bahan
kimia toksik dibandingkan faktor genetik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya
peningkatan insiden pada penduduk Asia yang tinggal di Amerika. Penelitian yang
dilakukan di Thailand menunjukkan peningkatan paparan dengan pestisida sebagai
etiologi yang tersering.3,5
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan
salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti
dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang dan
mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga diperkirakan menjadi penyebab
tingginya insiden.6
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif,
gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif
dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat
bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat.
Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan
pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah penting
sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan
atau parsial semakin besar.6,7
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak
dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit
saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan. 8 Semakin berat
hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek. Dengan transplantasi
tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69% sedangkan dengan
pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9

Mengingat kasus anemia aplastik ini memiliki angka morbiditas dan


mortalitas yang cukup tinggi dan pentingnya diagnosis lebih dini diharapkan tinjauan
pustaka ini dapat menjadi salah satu sumber referensi.

Definisi Anemia Aplastik


Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 4 Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1
Epidemiologi

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,


berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. 2 Analisis retrospektif
di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5
kasus persejuta penduduk pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang
pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai
25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik
lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta
penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada
di negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan
dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik,
dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan
peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.5
Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi menurut kausa2 :

A.
1.

Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira


50% kasus.

2.

Sekunder : bila kausanya diketahui.

3.

Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan,


misalnya anemia Fanconi

B.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10


Anemia aplastik berat

- Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%


dengan <30% sel hematopoietik residu, dan

- Dua dari tiga kriteria berikut :


netrofil < 0,5x109/l
trombosit <20x109 /l
retikulosit < 20x109 /l
Anemia aplastik sangat berat

Sama seperti anemia aplastik berat kecuali


netrofil <0,2x109/l

Anemia aplastik bukan berat

Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia


aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5x109/l
- trombosit < 100x109/l
- hemoglobin <10 g/dl

Etiologi Anemia Aplastik


Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.
Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti
penyebabnya tidak diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi
virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan

Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial

Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)


Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi
dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana
jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat
sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik.
Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan
fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan
luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat
digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum
tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang.
Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis
yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv
(ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat
berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi.
Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis
radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang.
Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan
anemia aplastik.13
Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan
anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang
lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.13

Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang
dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon,
senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran
atau nitrosourea.2
Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik9
Kategori

Resiko Tinggi

Resiko
Menengah

Resiko Rendah

Analgesik

Fenasetin, aspirin,
salisilamide

Anti aritmia

Kuinidin, tokainid

Anti artritis

Garam Emas

Kolkisin

Anti konvulsan

Karbamazepin,
hidantoin,
felbamat

Etosuksimid, Fenasemid,
primidon, trimethadion,
sodium valproate

Anti histamin

Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin

Anti hipertensi

Captopril, methyldopa

Anti inflamasi

Penisillamin,
fenilbutazon,
oksifenbutazon

Diklofenak, ibuprofen,
indometasin, naproxen,
sulindac

Kloramfenikol

Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
-lactam antibiotik

Anti mikroba
Anti bakteri

Anti fungal
Anti protozoa
Obat Anti neoplasma

Amfoterisin, flusitosin
Kuinakrine

Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin

Kategori
Alkylating
agen

Resiko Tinggi

Resiko
Menengah

Resiko Rendah

Busulfan,
cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard

Anti metabolit Fluorourasil,


mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik
Sitotoksik

Daunorubisin,
doxorubisin,
mitoxantrone

Anti platelet

Tiklopidin

Anti tiroid

Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat

Sedative dan
tranquilizer

Klordiazepoxide,
Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon

Sulfonamid dan turunannya


Anti bakteri
Diuretik
Hipoglikemik

Numerous sulfonamides
Acetazolamide

Klorothiazide,
furosemide
Klorpropamide,
tolbutamide

Lain-lain

Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik
merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko
rendah.
Infeksi

Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling
sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi
hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat
hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus
B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik
kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang
imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap
Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.8,12,13
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat
menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan
sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder,
inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel
atau destruksi jaringan stroma penunjang.4
Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian
dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia
Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia
sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius,
mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa.2
Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan
hipoplasia sumsum tulang.2
2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).
Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai
pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH.2

Patogenesis11
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik
yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan
oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan
(acquired aplastic anemia)

disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen

toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang


didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang
paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka.
Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami
perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia
Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan
akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu
kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan
perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan
gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen
dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini
dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA
dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan

mekanisme

utama

patofisiologi

anemia

aplastik.

Walaupun

mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan


dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi

antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel,
yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan
menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen
lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi
peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik
bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan
pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. 7 Pada kebanyakan
pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau
pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.1
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin
Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat
bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan.
Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2
Jenis Keluhan
Pendarahan

%
83

Lemah badan

80

Pusing

69

Jantung berdebar

36

Demam

33

Nafsu makan berkurang

29

Pucat

26

Sesak nafas

23

Penglihatan kabur

19

Telinga berdengung

13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan
limfadenopati justru meragukan diagnosis.2

Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2


Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat

%
100

Pendarahan

63

Kulit

34

Gusi

26

Retina

20

Hidung

Saluran cerna

Vagina

Demam

16

Hepatomegali

Splenomegali

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia
yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda
regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan
bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat
pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm 3 dan trombosit
kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang
dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit
bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic
anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang
berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik
trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan
berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia
aplastik dapat ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya
memanjang

dan

begitu

juga

dengan

waktu

pembekuan

akibat

adanya

trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin


ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe
serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi
Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.9
b. Pemeriksaan sumsum tulang

Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan


daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit,
sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan
kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini.
Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler
atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran
hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis
(misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area
fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi
dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30%
sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada
individu yang berumur lebih dari 60 tahun.8
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila
selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari
30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom
kegagalan

sumsum

tulang

yang

diturunkan,

karena

banyak

diantaranya

memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance


Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan
digantikan oleh jaringan lemak.
Diagnosa3,9,10

Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan


pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai
sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut
dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik (lihat tabel 1).

Diagnosa Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.
Table 6 Penyebab Pansitopenia14
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma
myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan
anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat
morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan

anomali pseudo-Pelger- Het), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia


menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering
ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor
granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu
dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan
adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya
disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan
sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum
tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan
kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien
(lihat tabel 7).9

Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9

Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga


menjadi penyebab anemia aplastik.

Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.

Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang


dibutuhkan.

Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.

Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik


tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan
kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur)
pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi GCSF.

Assessment

untuk

transplantasi

stem

sel

allogenik

pemeriksaan

histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.


Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin
dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. 9 Terapi standar
untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling
donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD
(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat
dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.15

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.15


a.

Pengobatan Suportif15

Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed
red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah
20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti
terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok
HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b.

Terapi Imunosupresif
Obat-obatan

yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte

globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG
atau ALG diindikasikan pada15 :
-

Anemia aplastik bukan berat

Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok

Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin

melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi
langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan

menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.15 Sebuah protokol


pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11
Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11
Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.
Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan
dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness,
tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau
lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan
bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi
ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada
anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi
sebesar 46%.15
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi
imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki

kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid.
Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif
daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas
sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan
siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai
kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps
dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.15
c.

Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)


Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian

faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.15


Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon
terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang
refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.15
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik

seperti Granulocyte-

Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan


tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan
neutrofil oleh stimulating faktor

ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor

pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi


anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan
untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang
lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.11,15
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin
dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk
ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen
digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi
imunosupresif.9,15

d.

Transplantasi sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia

aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan,
namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi
imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya

reaksi

penolakan

sumsum

tulang

donor

(Graft

Versus

Host

Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10

Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum


tulang dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.10

Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival


yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien
dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)
maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. 15 Akan tetapi
survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah
mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin
diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini
diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena
antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm 3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm 3
dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah
absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang
dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah
netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap
imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik
tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa.
Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan

glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi


sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan
sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien
yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita
gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada
pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi
stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi
imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi
dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom
myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada
mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama
15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38%
yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang
sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki
toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun
memiliki remisi yang lebih bertahan lama.

DAFTAR PUSTAKA
1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee
GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 9 th ed. PhiladelpiaLondon: Lee& Febiger, 1993;911-43.
2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2001;501-8.
3. Bakshi

S.

Aplastic

Anemia.

Available

in

URL:

HYPERLINK

http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003.
Jakarta. Q-communication, 1997;6.
7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia.
Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds).
Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190206.

11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).


Modern Hematology Biology and Clinical Management 2 nd ed. New Jersey:
Humana Press, 2007 ;207-16.
12. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal
Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.
13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4 th ed. New
York: Lange McGraw Hill, 2005.
14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current
Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.

Anda mungkin juga menyukai