Anda di halaman 1dari 121

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT


SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar


SARJANA HUKUM

FIRANTI
050200167
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair, SH, M.Hum)


NIP. 131 842 854

DOSEN PEMBIMBING I
PEMIMBING II

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)


M. Hum)
NIP. 132 299 900
076

DOSEN

(Rafiqoh Lubis, SH,


NIP. 132 300

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN


PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar


SARJANA HUKUM

Oleh:
FIRANTI
O50200167

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

ABSTRAKSI
Firanti*
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum**
Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***

Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan


kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena
kejahatan baik materiil maupun imateriil. Namun dalam penyelesaian perkara
pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan
hukum yang memadai. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan
dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah
untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Beberapa peraturan di Indonesia
mengatur mengenai pemberian kompensasi dan restitusi, misalnya KUHAP, UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat.
Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang
mendapatkan ganti rugi. Pengadilan HAM ad hoc untuk Kasus Timor-timur,
Tanjung Priok dan Abepura pun belum dapat mempraktekan pemberian
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat
karena pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak jelas.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana
Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
Metodologi yang dipakai dalam penulisan ini menggunakan metode
penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif karena
menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Sedangkan spesifikasi
penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan
data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis terhadap ketentuan
hukum yang berlaku, khususnya terhadap UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengaturan mengenai kompensasi
dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat belum dapat dijalankan karena
mekanisme pengaturannya belum diatur secara jelas dan belum memenuhi
standardisasi internasional yang sesuai dengan pengaturan mengenai mekanisme
kompensasi dan restitusi dalam Statuta Roma, yang dapat menjamin korban dalam
mendapatkan penggantian kerugian secara materiil dan imateriil.

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................i
ABSTRAKSI..vi
DAFTAR ISIvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........ 1
B. Permasalahan..6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...7
D. Keaslian Penulisan..7
E. Tinjauan Kepustakaan..8
1.

Pengertian Korban............................................8

2.

Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat13

3.

Pengertian Perlindungan Hukum.18

F. Metode Penelitian.20
G. Sistematika Penulisan 22

BAB II RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA


BERAT
A. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia24
B. Bentuk-bentuk Pelanggran Hak Asasi Manusia Berat.39

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN


PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
A. Prinsip Dasar Perlindungan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berat..
56
B. Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat..... .
72
C. Mekanisme Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
76

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
106
B. Saran..
108

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

BAB I
PENDAHULUAN

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

A. Latar Belakang
Perlindungan

korban

kejahatan

dalam

sistem

hukum

nasional

nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari hanya bebera
peraturan PerUndang-Undangan Nasional yang mengatur hak-hak korban
kejahatan. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan
dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari
asas setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,
sebagai landasan konstitusional. Selama ini mucul pandangan yang menyebutkan
pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana,
maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal
pendapat demikian tidak seutuhnya benar. 1
Berdasarkan

perkembangan

yang

ada,

baik

nasional

maupun

internasional, dapat dilihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh


perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur
perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundanganundangan nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah
diatur namun sifatnya masih bersifat parsial dan tidak berlaku secara umum untuk
semua korban kejahatan.
Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan
kerugian terhadap korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian
karena kejahatan, baik materiil maupun imateriil. Korban kejahatan yang pada

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban kejahatan
Antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2006. Halaman 4

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana,
tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang
kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi
sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak diperdulikan.

Sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa


dalam penyelesaian perkara pidana, sementara hak-hak korban diabaikan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: Dalam membahas hukum acara
pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak azasi manusia, ada
kecenderugan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka
tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.

Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan


hukum yang memadai dalam penyelesaian perkara pidana, baik perlindungan
yang sifatnya material maupun imateril. Korban kejahatan ditempatkan sebagai
alat bukti yang memberikan keterangan

yaitu sebagai saksi sehingga

kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan


haknya adalah kecil. 4 Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat
secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan
kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat
suatu kejahatan. 5

Ibid, Halaman 24

Andi Hamzah. Perlindungan Hak-hak Azasi Manusia dalam Kitab Undang-undang


Hukum Acara Pidana. Bina Cipta. Bandung 1986. Halaman 33.
4

Chaerudin Syarif Fadilah. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimilogi dan Hukum
Pidana Islam. Ghalia Pers. Jakarta . 2004. Halaman 47.
5

Ibid, Halaman 49.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Tidak jarang juga ditemukan korban yang mengalami penderitaan


(fisik,mental, atau materi) akibat dari suatu tindak pidana yang menimpa dirinya,
tidak memperjuangkan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alsan,
misalnya korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan
prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat
pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan. Dalam berbagai kasus,
penyelesaian secara hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM
seringkali tidak berpihak kepada korban,namun justru dilakukan untuk
melindungi para pelaku, sebagiamana halnya yang lazim dilakukan oleh para
penguasa militer di Negara-negara Amerika lain, seperti Argentina dan Chile pada
era tahun 1970an.
Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan
merupakan hak dari korban tindak pidana adalah mendapatkan kompensasi dan
restitusi. Kompensasi diberikan oleh Negara kepada korban pelanggaran HAM
yang berat, sedangkan restitusi merupakan ganti rugi pada korban tindak pidana
yang diberikan oleh pelaku sebagai bentuk prtanggungjawabannya. 6
Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian
kompensasi dan restitusi. Namun kenyataanya aturan tersebut tidak implementatif.
Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat pada KUHP, KUHAP,
dan juga Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi
Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002
tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran
HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban
6

Ibid. Halaman 55.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di
Indonesia sampai saat ini

belum pernah ada korban pelanggaran HAM yang

mendapatkan kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar putusan pengadilan


korban berhak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.
Terkait dengan hal di atas, salah satu contoh bahwa penyelesaian secara
hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak
kepada korban, namun justru dilakukan untuk melindungi para pelaku dapat
dikemukakan dalam konteks berikut ini: Berdasarkan catatan pengadilan HAM
ad hoc Timor-Timur , hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat tidak pernah
disinggung. Baik jaksa maupun hakim tidak pernah menyinggung sedikitpun
upaya pemulihan bagi korban, padahal pelanggaran HAM berat di Timor- Timur
telah diakui terjadi oleh pengadilan. Proses pengadilan hanya difungsikan untuk
mencari siapa pelaku dan menghukumnya, tetapi keadilan bagi korban secara
nyata tidak menjadi bagian penting. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
yang secara jelas dinyatakan oleh Undang-undang bahkan tidak dapat berjalan
sama sekali. 7
Tidak diberikannya hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan
dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan
korban bahawa hak-hak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka
berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal
ini menunjukan, bukan saja dapat dikatakan bahwa Negara gagal mewujudkan
system peradilan yang kompeten dan adil, Negara gagal menjamin kesejahteraan

Supriady Widodo Eddyono, Wahyu wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi Dan
Korban Pelanggaran HAM berat. Elsam. Jakarta 2005. Halaman 3

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena hak korban
akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak azasi bidang
kejahteraan/jaminan social (social security). 8Lebih jauh lagi bahwa Negara juga
telah mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui oleh dunia
internasional.
Salah satu contoh, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang
merupakan satu-satunya pengadilan yang memberikan putusan kompensasi
kepada korban belum berhasil diimplementasikan karena masih adanya hambatan
prosedur. Korban pelangaaran HAM Tanjung Priok akhirnya mendapatkan
putusan dari majelis hakim untuk mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk
mendapatkan kompensasi dalam dua putusan, dimana satu putusan

hanya

menyatakan bahawa korban mendapatkan kompensasi sedangkan satu putusan


lainnya dengan disertai jumlah kompensasi yang akan diterima oleh para korban. 9
Putusan kompensasi diatas dalam pelaksanaannya terhambat karena
secara normatif dimana eksekusi putusan hanya bisa dilaksanakan setelah ada
keputusan pengadilan yang bersifat tetap. 10 Artinya kompensasi akan diterima
oleh korban pada saat terdakwa dinyatakan bersalah di tingkat Mahkamah Agung,
sebaliknya jika ternyata terdakwa dibebaskan di tingkat banding atau Mahkamah
agung maka kompensasi tersebut akan gugur. Hal ini karena konsep kompensasi

Ibid, Halaman 3

Satya Arinanto, Hak asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat studi
hukum tata Negara Fakultas Hukum Universiats Indonesia, Jakarta, 2005. Halaman 292
10

Barda Nawawi Arif. Beberapa Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan


Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bhakti. Bandung 1998. Halaman. 67

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

kepada korban tergantung dari faktor kesalahan dari terdakwa dan bukan karena
hak yang melekat terhadap setiap korban pelanggaran HAM.
Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan
dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi.
Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban
mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya
pelaku.
Pernyataan di atas berbeda dengan apa yang sudah menjadi prinsip hukum
HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan
kompensasi (dan atau restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana
atau tidak.
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka penulis
mengangkat masalah mengenai perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
HAM berat ini ke dalam skripsi Penulis dengan judul PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT

B. Permasalahan
Berdasarkan
menjadi

uraian dan latar belakang tersebut di atas maka yang

permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana ruang lingkup pelanggaran HAM berat ?


2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk ruang lingkup pelanggaran HAM
Berat.
2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Negara
kepada korban pelanggaran HAM Berat.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Manfaat teoritis
Karya tulis ini diharapkan akan bermanfaat dan memperkaya literaturliteratur yang ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan korban
terhadap pelangggaran HAM Berat.. Karya tulis ini juga diharapkan menjadi
acuan untuk mengadakn penelitian yang lebih mendalam lagi.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan adanya karya tulis ini dapat berguna dalm membantu
permasalahan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam hal ini lembaga hukum
dan pemerintah guna menjamin perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
HAM Berat serta penerapannya dalam proses perkara pidana HAM.

D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT sepengetahuan penulis belum ada
penulis lain yang mengemukakanya dan bila ternyata di kemudian hari terdapat
judul dan objek yang pembahasan yang sama, sebelum tulisan ini dibuat maka
penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

E. Tinjauan Kepustakaan
1.Pengertian Korban
Secara global dan representatif, pengertian korban kejahatan terdapat
pada angka 1 Declaration of Basic Principles of Justice for Victims and Abuse of
Power tanggal 6 September 1985 yang menegaskan :
Korban berarti orang-orang yang secara pribadi atau kolektif, yang telah
menderita kerugian yang termasuk di dalamnya luka fisik maupun mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hakhak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum
pidana yang berlaku di Negara-negara anaggota, termasuk hukum yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai pidana. 11
Deklarasi Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan
penyalah gunaan kekuasaan ini juga menyatakan bahwa seseorang dapat dianggap
korban tanpa menghiraukan apakah pelaku kejahatannya dikenali, ditahan,
diajukan ke pengadilan atau dihukum dan tanpa menghiraukan hubungan
kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah korban juga termasuk,
bilamana sesuai, keluarga dekat atau tanggungan korban langsung orang-orang
yang telah menderita kerugian karena campur tangan untuk membantu korban
yang dalam keadaan kesukaran atau mencegah jatuhnya korban.
Dalam resolusi MU-PBB 40/34 bahwa yang di maksud dengan korban
ialah orang-orang,baik secara individu maupaun kolektif, yang menderita
kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang
berlaku di suatu Negara, termasuk peraturanperaturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu
menjelaskan victim of Abuse of Power, bahwa dalam pengertian korban
11

Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Djambatan.
Jakarta. 2004. Halaman 120.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

termasuk juga orang-orang yang menjadi koraban dari perbuatan-perbuatan (tidak


berbuat) yang walaupun belim merupakan pelanggaran teerhadap hukum pidana
nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut normanorma HAM yang diakui secara internasional. 12
Ralph de Sola mengartikan korban :
orang yang telah mengalami penderitaan baik fisik maupun mental
dan kehilangan harta bendanya atau menyebabkan kematian sebagai akibat dari
tindakan atau usaha percobaan tindak pidana yang dilakukan pihak lain. 13
Di dalam Blacks Law Dictionary korban merupakan seseorang yang
dirugikan sebagai hasil dari suatu kejahatan, perbuatan,melawan hukum atau
lainnya:
a person harmed by crime, tort, or other wrong
Menurut Stanciu, korban dalam pengertian luas adalah orang yang
menderita akibat dari ketidakadilan. Dengan demikian lanjut Stanciu, ada dua sifat
yang mendasar (melekat) dari korban, yaitu suffering (penderitaan) dan injustice
(ketidakadilan) 14. Timbulnya korban tidak dapat dipandang sebagai akibat
perbuatan yang illegal, sebab hukum (legal) terkadang juga dapat menimbulkan
ketidakadilan seperti korban akibat prosedur hukum. Seperti dalam kasus
kejahatan,konsep tenteng korban seharusnya tidak saja dipandang dalam
pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan

12

Barda Nawaw Arief. Op.cit. Halaman 54

13

H. Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana


Terorisme. Refika Aditama. Bandung. Juni. 2007. Halaman 77
14

Teguh Prasetyo,Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan


Kriminalisasi dan Dekriminilasisasi. Pustaka Pelajar . Yogyakarta. 2005. Halaman 119.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

penjahat, juga dapat menciptakan korban. Dengan demikian, seorang korban


ditempatkan pada posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya
baik dilakukan secara individu, kelompok atau oleh Negara. 15
Menurut Muladi korban adalah orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugain fisik maupun
mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang
fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di
masing-masing Negara termasuk penyalahgunaan kekuasaan. 16 Sedangkan Cohen
menmendefinisikn korban (victim) sebagai : 17
whose pain and suffering have been neglected by the state while it
spends `immense resources to hunt down and punish the offender who responsible
for that pain and suffering.(siapa yang terluka dan penderitaannya telah
diabaikan oleh Negara akibat dari pelaku yang bertanggung jawab terhadap luka
dan penderitaanya)
Z.P Separovic mengartikannya :
The person who are thraeatened, injured or destroyed by an actor or
mission of another (mean structure, organization, or instution) and consequently;
a victim would be anyone who has suffered from or been threatned by punishable
act (not only criminal act but also other punishable act as misdemeanour, or
economic offences, non fulfillment of work duties) or an accident. Suferring may
be caused by another man or another structure, where people are also
involved. 18(orang yang terancam, terluka atau diganggu oleh pelaku atau orang
lain (stuktur, oraganisasi ataupun lembaga) dan sebagai konsekuensinya, korban
akan menjadi orang yang menderita atau terancam oleh tindakan hukuman (bukan
saja tindakan criminal melainkan juga tindakan hukuma lain seprti keruian
15

Aref Amrullah, Politik Hukum Pidana: dalam Rangka Perlidungan Korban Kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan.Bayu Media Publishing.Malang. 2003. Halaman 61.
16

Muladi. Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana; sebagaimana dimuat


dalam Kumpulan karangan HAM, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.1997, Halaman 172.
17

Cohen dalam Romli Atsasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta,
2005, Halaman 9
18

Dikdik M. Arif Mansur. Elistaris Gultom,op.cit. Halaman 46-47

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

ekonomi, ketidak berhasilan memenuhi kewajibana kerja ataupun kecelakaan).


Penderitaan dapat disebabkan oleh orang lain ataupun struktur lain, dimana orang
juga terlibat didalamnya.)
Arief Gosita memberi penjelasan tentang korban sebagai mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan . 19Pengertian
korban menurut Undang-undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya disebut UU KKR adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik, fisik, mental, maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran HAM
yang berat termasuk korban adalah juga ahli warisnya. 20
Peraturan Presiden No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan Peraturan
Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, mengartikan korban sebagai
orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai
akibat pelanggaran HAM yang Berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun. 21

19

Arief Gosita. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta. 1993.

Halaman 63
20

Undang-undang No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pasal

1 angka 5.
21

PP No.2 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 2 dan PP No. 3 tahun 2002 Tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang
Berat, Pasal 1 angka 3

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Peraturan Perundang-undangan yang berkenaan dengan saksi adalah UU


Perlindungan saksi dan Korban yang memberi batasan tentang apa yang disebut
dengan korban, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 22
Menurut The Rule of Procedure and Evidence dari Statuta Roma, korban
berarti orang-orang asli yang telah mengalami derita atau kerugian sebagai akibat
dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk dalam yurisdikasi Mahkamah. 23
Selain itu dikatakan juga, bahwa korban bisa mencakup organisasi-organisasi atau
lembaga-lembaga yang benar-benar tertimpa kerugian langsung atas harta milik
mereka yang dibaktikan bagi kepentingan agama, pendididkan, seni, atau ilmu
pengetahuan atau untuk tujuan-tujuan kariatif, dan atas monument-monumen
sejarah mereka, rumah sakit, dan tempat-tempat serta objek-objek lainnya yang
diabadikan bagi kepentingan atau misi kemanusiaan. 24
Terkait dengan beberapa pengertian tentang korban di atas, maka korban
dalam pelanggaran HAM yang berat adalah orang atau orang yang menderiata
secara material maupun immaterial yang disebabakan oleh tindakan pelanggaran
HAM yang berat.
Pengertian korban secara luas adalah yang didefinisikan oleh South
Carolina Govenors Office of Executive Policy and Programs, Columbia, yaitu:

22

Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 1

23

Rome Statute of The International Criminal Court (Pasal 5 ayat 1)

angka 2

24

Bagian III Korban dan Saksi, Sub-bagain 1 Batasan dan Prinsip Umum Berkaiatan
dengan Korban, Aturan 85

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

victim means a person who suffers direct or threatened physical, psychological,


or financial harm as the result of crime against him. Victim also includes the
persons is deceased, a minor, incompetent was a homicide victim and/or is
physically or psychologically incapacitated. 25(Korban berarti orang yang
menderita bahaya fisik, psikologis atau finansial atau yang bersifat ancaman
maupun kerugian finansial sebagai akibat kejahatan terhadap dirinya. Korban juga
meliputi orang yang sudah mati, korban pembunuhan dan yang cacat secara fisik
ataupun psikologis.)
Secara luas pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang
menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami
penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud korban
tidak langsung disini seperti, isteri kehilangan suami, anak yang kehilangan
bapak, orangtua yang kehilangan anaknya, dan lainnya. 26
Dengan mengacu pada pengertianpengertian korban diatas, dapat
dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok
yang

secara langsung

menderita akibat

dari perbuatan-perbuatan yang

menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi


termasuk didalamnya kelurga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan
orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
2. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia dan
berfungsi sebagai jaminan moral dalam menunjang klaim atas penikmatan sebuah
kehidupan yang layak pada taraf yang paling minimum 27
25

http/www. Govoepp State. Sc.Ies/sova/tsedo 2, htm. Diakses tanggal 7 September

26

H. Soeharto, Op.cit, Halaman 78

2009

27

Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam masyarakat Komunal, LAMAMERA.


Yogyakarta. 2008. Halaman 69.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Pelanggaran HAM berat belum mendapat kesepakatan yang diterima


secara umum. Biasanya

kata berat menerangkan kata pelanggaran, yaitu

menunjukan betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata


berat juga berhubungan dengan jenis-jenis HAM yang dilanggar. Pelanggaran
HAM berat terjadi jika yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non-derogable 28
Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM
dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan
hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah
direncanakan.
Pelanggaran HAM Berat juga memiliki unsur menimbulkan akibat yang
meluas atau widespread. Hal ini biasanya mengarah kepada jumlah korban yang
sangat besar dan kerusakan serius secara luas yang ditimbulkannya. Namun
demikian, hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran
HAM Berat. Dilihat dari peristilahan yang digunakan pun bermacam-macam, ada
yang menggunakan istilah gross and systematic violations, the most serious
crimes, gross violations, grave violations, dan sebagainya.
Cecilia Medina Quiroga menjelaskan istilah pelanggaran HAM Berat
sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran,
sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan
dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi untuk
hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk

28

Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, mengenai Korban pelanggaran Ham Berat.
Elsam. Jakarta. 2002 Halaman xxiii.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

(population) secara keseluruhan atau saru atau lebih dari sektor-sektor dari
penduduk suatu Negara secara terus-menerus dilanggar atau diancam. 29
Istilah pelanggaran HAM Berat yang telah dikenal dan digunakan pada
saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik didalam resolusi, deklarasi, maupun
dalam perjanjian

HAM. Namun secara umum dapat diartikan sebagai

pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya


lebih serius.
Dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM, pelanggaran HAM Berat
adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di
luar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan penghilangan
orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis (systematic discrimination).
Pelanggaran HAM Berat menurut UU Pengadilan HAM didefinisikan
sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU No 26 Tentang Pengadilan HAM). Yang
dimaksud dengan kejahatan genosida menurut Pasal 8 UU No. 26 Tentang
Pengadilan HAM adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok,
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok,
29

Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights: Gross, Sytematic Violations
dalam Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The habibi
Center , Jakarta, 2002, Halaman 75

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan


kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiaanya,
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok,
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
Adapun yang di maksud dengan kejahatan kemanusiaan menurut Pasal 9
UU No. 26 Tentang Pengadilan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari rangsangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
berupa:
a. pembunuhan
b. pemusnahan
c. perbudakan
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional
f. penyiksaan
g. perkosaan,

perbudakan

seksual,

pelacuran

secara paksa,

pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk


kekerasan seksual lainnya yang setara
h. penganaiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham polotik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional
i.

penghilangan orang secara paksa

j.

kejahatan apartheid
Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatn terhadap

kemanusiaan tersebit di atas subtansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang


terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma.
Menyangkut pelanggran HAM Berat, di dalam The U.S Restatement of
Law dikatakan bahwa suatau pelanggaran Ham dianggap berat apabila
pelanggaran tersebut secara luar biasa menimbulkan keguncangan, karena begitu
pentingnya hal yang dilanggar atau beratnya pelanggaran
Pelanggaran HAM berat termasuk pula dalam kategori extra ordinary
crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan
di lakukan oleh pihak pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru
bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan kejahatan tersebut sangat mencederai
rasa keadilan secara mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi
atau menghilangkan derajat kemanusiaan). 30

Pelanggaran HAM seperti

pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan paksa, misalnya adalah pelanggaran


HAM yang dilarang oleh hukum internasional dan hukum kebiasaan
internasional. 31

30

Muchamad Ali Syafaat, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan,
dalam F.Budi Hadirman , et al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi. Imparsial. Jakarta. 2003
Halaman 63
31

Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2005 Halaman 29

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, belum ada definisi yang
baku, baik dari instrument hukum HAM Internasional dan nasional, instrumentinstrument hukum HAM tersebut hanya menggambarkan cakupan planggaran
HAM yang berat saja, bahkan terdapat ketidaksinkronan dengan pengertian
pelanggaran HAM yang berat dari hukum positif Indonesia yaitu dari penjelasan
Pasal 104 UU HAM dengan yang terdapat di dalam UU pengadilan HAM. Dari
sisi ajaran para sarjana sekalipun, definisi pelanggaran HAM yang berat hanya
berupa pengelompokkan saja. 32

3. Pengertian Perlindungan Hukum


Perlindungan berasal dari kata lindung yang artinya meempatkan diri
dibawah sesuatu,supaya tersembunyi . Sedangkan perlindungan memiliki
pengertian suatu perbuatan, maksudnya melindungi, memberi pertolongan. 33
Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk kata
tunggal. Kata jamaknya adalah Alkas yang selanjutnya diambil alih kedalam
bahasa Indonesia menjadi hukum. Di dalam pengertian hukum terkandung
pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.
Recht berasal dari kata rechtum yang mempunyai arti bimbingan atau
tuntutan atau pemerintahan.
Kata ius bersal dari kata iubre yang artinya mengatur atau memerintah.
Perkataan mengatur atau memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada
kewibawaan. 34
32

Supriady Widodo Eddyono, op.cit Halaman 12

33

Wjs Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1961
Halaman 794

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Bellefroid mengatakan bahwa hukum yang berlaku di masyarakat yang


mengatur tata tertib masyarakat itu. Di dasarkan atas kekuasaan yang ada dalam
masyarakat.35
Utrech memberikan rumusan

bahwa hukuman itu adalah himpunan

petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata


tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan.
Van Vollenhoven dalam bukunya het adapt recht van Nederland Indie,
hukum itu adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus
menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa hentinya dengan gejala-gejala
lainnya.
Sebagai kesimpulan

dari rumusan sarjana tentang hukum , hukum

adalah himpunan dari semua peraturan-peraturan yang hidup bersifat memaksa,


berisikan petunjuk baik merupakan perintah maupun larangan berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dengan maksud mengatur tata tertib dalam
pergaulan/kehidupan masyarakat.
Peraturan-peraturan yang hidup maksudnya meliputi peraturan-peraturan
tidak tertulis yang terdapat dalam kebiasaan dan adat istiadat. Peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa berarti melanggar perintah dan larangan berakibat akan
mendapat sanksi/reaksi dari organ pemerintah seperti juru sita, jaksa, polisi dan
sebagainya juga dari masyarakat. 36
34

R. Soeroso, Pengantar ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2005 Halaman 24-25

35

K. Kueteh sembiring, Sumber-sumber Hukum: Fakultas Hukum Universitas Sumatera


Utara, Medan, 1987 Halaman 9
36

Ibid, Halaman 11-12

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Jadi pengertian dari perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta
yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan
kesajahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. 37

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yakni
merupakan penelitian yang dilakukan dan ditunjukan pada berbagai peraturan
perundang-undangan tertulis adan berbagai literature yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normative ini disebut
juga dengan penelitian hukum doctrinal atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas. 38
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang membagi
penelitian hukum sebagai berikut: 39
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah
(dogma atau doktrinal) hukum positif.
37

www.google.com http//one.indoskripsi.com/note/7402, Pengertian Perlindungan


Hukum. Diakses 3 Desember 2009
38

Amiruddin, dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
204 Halaman 118.
39

Soetandyo Wignjosoebroto yang dikutip dalam Buku Bambang Sunggono. Metologi


Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001 Halaman 42.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concerto yang layak


diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
Menurut Johny Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normatif
(doctrinal) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute approach),
b. Pendekatan analitis (Analytical approach),
c. Pendekatan histories (Historical approach),
d. Pendekatan Filsafat (Philosophical approach),
e. Pendekatan Kasus (Case approach).

2. Jenis data dan Sumber data


Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder.Data sekunder
adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian
yang berwuhud laporan, dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari:
a. Bahan hukum Primer, yaitu semua dokumen dan peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan sebagainya.
b. Bahan hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi
atau hasil kajian tentang Perlindungan Korban HAM Berat seperti seminar
hukum, majalah-majalah, kerya tulis ilimiah, dan beberapa sumber dari situs
internet yang berkaiatan dengan permaslahan dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan
keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

3.Metode Pengumpulan Data


Penulisan skripsi ini dipergunakan dengan metode Library Research
(penelitian kepustakaan), yaitu melekukan penelitian dengan berbagai sumber
bacaan, seperti ; peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet,
pendapat sarjana, dan bahan lainnya yang sangat berkaitan dengan skripsi.

4.Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adlah denagn cara
kulitatif, yakni menganalisi data sekunder tanpa menggunakn statistic untuk
menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalm beberapa tahapan yang
disebut dengan BAB, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya
tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan
keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut:
BAB I :Berisikan pendahuluan yang di dalamnya di uraikan mengenai latar
belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan
dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan, yang kemidian diakhiri dengan
msistematika penulisan.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

BAB II : merupakan Bab yang membahas ruang lingkup Hak Asasi manusia
berat, yang di dalamnya akan dibahas mengenai

kewajiban Negara

dalam Hak Asasi Manusia , dan bentuk-bentuk dari pelanggaran Hak


Asasi Manusia Berat.
BAB III : merupakan Bab yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang di dalamnya akan
dibahas mengenai prinsip dasar perlindungan korban pelanggaran Hak
Azasi Manusia Berat dan pemberian perlindungan hukum terhadap
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat.
BAB IV : Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah
dibahas sebelumnya dan saran-saran yang berguna bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca umumnya.

BAB II
RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

A. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia


Salah satu ciri Negara adalah a degree of civilization yaitu tingkat
peradaban Negara diwujudkan dalam pembangunan nasional 40 , sedangkan
pembangunan nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan kehendak terusmenerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara
adil

dan

merata,

serta

mengembangkan

kehidupan

masyarakat

dan

penyelenggaraan Negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila secara


serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. 41

Melalui kegiatan pembangunan

diharapkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan.


Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pancasila dan UndangUndang dasar 1945. Negara Republik Indonesia mengakui dirinya sebagai
penjunjung tinggi HAM yang menjamin segala hak warga Negara bersamaan
kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, sebagaiman tercantum dalam
konstitusinya yaitu UUD 1945.
Suatu Negara hukum menururt Sri Soemantri, harus memenuhi beberapa
unsur yaitu:
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas
hukum atau peraturan perundang-undangan
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara)
3. Adanya Pembagian kekuasaan dalam Negara

40

Dikdik M. Arief Mansur, Elistaris Gultom, op.cit Halaman 15

41

Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan


Pemerataan, CIDES, Jakarta, 1996, Halaman 26

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

4. Adanya pengawasan dari badan peradilan 42


Dihubungkan dengan pernyataan diatas, tentang adanya jaminan
terhadap HAM, maka dapat disimpulkan bahwa dalam setiap konstitusi sebuah
Negara hukum haruslah ditemukan adanya jaminan tergadap HAM itu sendiri
melipui bagian aspek kehidupan manusia, mulai dari hak untuk hidup, hak dalam
bidang politik, hak tentang kebebasab bicara, hak dalam bidang hukum, dan lainlain. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, yang selanjutnya akan disebut DUHAM, yang berbunyi: Setiap orang
berhak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional untuk mendapatkan
perlindungan yang sama terhadap tindakan-tinadakn yang melanggar hak-hak
dasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh hukum. 43
Salah satu bukti penghormatan bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi
Manusia adalah diaturnya Hak Asasi manusia pada bab tersendiri didalam UUD
1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J.44
Khusus untuk HAM dalam bidang hukum, maka hal ini terkait erat
dengan Asas Persamaan Kedudukan di dalam Hukum. Pengakuan terhadap hak
azasi manusia di bidang hukum ini dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
1945, yaitu: segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan

42

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1992
Halaman 29
43

Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Azasi Manusia dan Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Azasi Manusia , Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, Halaman 61
44

Setelah Amandemen Keempat

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerinthan itu dengan tidak ada
kecualinya. 45
Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah berkenaan dengan persamaan
kedudukan dalm hukum yang diwujudkan di dalam proses peradilan pidana
sebagai asas equality before of law46, yang mana setiap orang yang berhadapan
dengan hukum diperlakukan sama dalam proses pemeriksaannya baik sebagai
tersangka, terdakwa (presumption of innocent), saksi, maupun korban. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja tujuan dari hukum adalah untuk ketertiban, kepastian
hukum, serta keadilan. 47. Bila dikaitkan ciri negara hukum dengan tujuan dari
hukum itu sendiri orintasinya adalah demi menjadikan suatu masyarakat yang
sejahtera secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat
dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis yang ditempuh melalui
pembangunan nasional. Dalam mencapai masyarakat yang sejahtera, adil, serta
demokratis maka sangat dibutuhkannya jamian HAM dan kepastian hukum dari
Negara itu sendiri. Di Indonesia jaminan terhadpa HAM secara Eksplisit tertuang
didalm UUD 1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J.
KUHAP yang diklaim sebagai Karya Agung bangsa Indonesia, karena
menekankan pada HAM dan ketentuan-ketentuan yang bersifat anti-tese

48

dari

45

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas
Prsamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni Bandung,
2003,Halaman 2
46

Ibid, Halaman vii

47

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni,


Bandung, Cetakan ke-2 Tahun 2006, Halaman 3-4
48

Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi ilmiah Dari
KUHAP Menuju RUU KUHAP yang diselenggarakn di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni
2007
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

HIR, ternyata masih banyak kelemahannya dari segi perlindungan HAM. Hal ini
karena KUHAP tersebut perlindungan HAM-nya lebih menitik beratkan terhadap
pelaku (offender oriented), sedangkan perlindungan HAM terhadap saksi dan
korban sangat tidak memadai. Beranjak dari cita-cita Negara hukum yang
dihubungkan dengan tujuan hakim, maka pengaturan perlindungan saksi dan
korban khususnya pelanggaran HAM yang berat diperlukan untuk ketertiban,
kepastian hukum serta keadilan yang nantinya akan menjadikan msyarakat
Indonesia adil dan makmur.
HAM merupakan sekumpulan hak yang bersifat normatif atau
merupakan legal rights . Sifat normatif ditandai dengan adanya landasan hukum
secara internasional yang mengatur HAM . Norma-norma HAM yang terdapat di
dalam instrument hukum HAM Internasional selanjutnya menciptakan kewajiban
bagi Negara untuk melindungi dan menjamin HAM setiap individu.
Sejak dibentuk pengadilan internasional tentang kejahatan perang di
Nuremberg (yang dikenal dengan dengan Nuremburg Trial) setelah perang Dunia
II, telah berkembang dalam hukum inetrnasional konsep tentang kewajiban
Negara untuk melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelaku
kejahatan internasional yang serius, seperti genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang yang sekaligus merupakan pelanggaran berat
HAM. Dalam konteks kewajiban tersebut, termasuk pula didalamnya untuk
memberikan restitusi atau kompensasi terhadap para korban. Kini terdapat banyak

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

sekali perjanjian multilateral HAM yang memberikan kerangka hukum bagi


kewajiban selain yang berasal dari hukum kebiasaan internasional. 49
Pada saat ini, HAM telah diatur di dalam sejumlah instrument hukum
HAM internasional. Berdasarkan hal tersebut maka pelanggaran HAM akan
menjadi suatu persoalan internasioal dan tidak lagi dapat diklaim semata-mata
sebagai urusan dalam negeri suatu Negara. Menyangkut pelanggaran HAM tidak
dapat dianggap sebagai urusan dalam negeri suatu Negara.
Instrument-instrument HAM internasional memiliki ciri berfokus pada
Negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional, untuk itu diatur pula
kewajiban Negara menyangkut perlindugan dan jaminan terhadap HAM, 50
human rights instrumental typically focus on the state as the primary
actor in international lawTherefore, international huma rights instumenrts
abligate the state, as opposed to its citizens, notto act in ways that would deprive
other individuals of their human rights. Some states are oblivious to their human
rights obligations, as demonstatedby their flailing to honour treaty commitments
or their failure to follow customary state exfectations.(Instrumen Hak Asasi
Manusia secara khusus berfokus kepada Negara sebagai aktor utama dalam
hukum internasional. Oleh karena itu, instrument hak-hak asasi manusia
internasional akan menuntut Negara selama menentang warganya atau tidak
bertindak dengan cara yang menghilangkan hak-hak asasi manusia individu
lainnya. Bebrapa Negara jelas memiliki kewajiban hak asasi untulk menghormtai
perjanjian internasional)
Kewajiban Negara menyangkut HAM seperti yang telah diatur dalam
berbagai instrument hukum HAM internasional, pada intinya menekankan pada
dilaksanakannya penghukuman terhadap para pelaku pelanggaran HAM melalui
49

Naomi Roht-Arriaza, State Responbility to Investigate and Prosecute Grave Human


Rights Violation in International Law, California Law Review, March 1990, dalam Ifdhal Kasim,
Dilema Simalakama: Amnesti di Masa Transisi Politik, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre,
Pencarian Keadilan di masa transisi, ELSAM, Jakarta, 2003, Halaman 363
50

Buergental, Thomas, International Human Rights, dalam Andrey Sudjatmoko,


Tanggung Jawab Negara atas Pelanggran Berat HAM Indonesia: Timor Leste dan lainnya,
Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005, Halaman 22

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

proses pengadilan dan diberikannya ganti rugi atau rehabilitasi bagi para korban
pelanggaran. 51
Dalam pelanggarannya selanjutnya, hukum internasional semakin
mengukuhkan pentingnya pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan
pelanggaran HAM, baik yang termasuk kategori pelanggaran berat maupun
kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Berbagai instrument hukum
HAM internasional secara tegas mencantumkan kewajiban Negara guna
menghukum pelaku kejahatan terhadap integritas fisik seorang. Penafsiran resmi
berbagai badan internasional dan regional, maupun pendapat dari kalangan pakar
terkemuka mengenai instrument-instrument tersebut secara berulang-ulang
menekankan betapa pentingnya proses pengadilan dan penghukuman terhadap
pelaku atas tindakan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan. Selain itu,
konvensi-konvensi internasional mengenai HAM juga mengkukuhkan tentang
arti pentingya ganti rugi atau rehabilitasi bagi korban tindak pelanggaran berat
HAM.
Piagam PBB pada dasarnya mengandung sejumlah kaidah hukum HAM
yang meletakkan sejumlah kewajiban yang bersifat mengikat setiap Negara
anggota. Ketentuan yang mengatur, antara lain, terdapat di dalam Pasal 55 (c)
yang mengatur PBB akan mempromosikan universal respect for, and
observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction
as to race, sex, language, or religion.(penghormatan menyeluruh atas hak-hak

51

Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Azasi Manusia di Masa
Lalu, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Triyadi Terre,(edit), op.cit., Halaman 312-313

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

asasi manusia dan kebebasan tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau
agama.)
Berkaitan dengan pasal diatas maka Negara-negara anggota PBB
memiliki kewjiban untuk mempromosikan HAM sebagaimana yang diatur dalam
pasal diatas. Namun, apabila suatu Negara melakukan tindakan yang bertentangan
dengan kewajiban tersebut maka dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran
terhadap Piagam PBB.
Tindakan yang bertentangan denagan kewajiban menurut Piagam PBB
memiliki konsekuensi sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB. Khusus
berkaitan dengan pasal di atas, misalnya suatu Negara melakukan pelanggaran
berat HAM. Hal ini dapat dijelaskan, 52
..the organization has over the years succeeded in clarifying the scope
of the Member States obligation to promote human rights, expanding it and
creating UN Charter-based institutions designed to ensure compliance by
governments. Today it is generally recognized, for example, that a UN Member
States which engages in practices amounting to a consistent pattern of gross
violations of internationally guaranted human rights is not in compliance with
obligation to promote..universal respect for, and observance of.. these rights
and that, consequently, it violates the UN Charter.(PBB mengklarifikasikan
kewajiban Negara anggotanya untuk mempromosikan hak-hak asasi manusia,
memperluas dan menciptakan lembaga yang sesuai dengan traktat PBB yang
dirancang untuk menjamin kepatuhan oleh pemerintah. Dewasa ini, sudah diakui
secara umum misalnya bahwa Negara anggota PBB yang terlibat dalam praktekpraktek yang menggambarkan pola pelanggaran konsisten terhadap hak-hak asasi
manusia yang diakui secara internasional, adalah ketidakpatuhan terhadap
kewajiban untuk mempromosikan penghargaan atau penghormatan universal
terhadap hak-hak yang didalam Traktat PBB).
Sumber utama yang merupakan instrument hukum HAM internasional
dikenal sebagai the International Bill of Human Rights. Instrument hukum
tersebut terdiri dari: Deklarasi Universal HAM, Perjanjian Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) serta Perjanjian International

52

Buergenthal dalam Andrey Sujatmoko, op.cit., Halaman, 27

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) beserta dua protocol tambahannya.
Kewajiban Negara dalam soal HAM timbul sebagai komitmen dari Negara,
seperti dinyatakan dalam pembukaan UDHR,member State have pledged
themselves, in cooperation with the United Nations, the promotion of Universal
respect for and observance of human rights and fundamental freedoms.(Negara
anggota telah bekerjasama dengan

PBB untuk meningkatkan penghormatan

secara universal terhadap hak-hak asasi dan kebebasan).Hal ini juga dinyatakan di
dalam bagian pembukaan pada ICESCR dan ICCPR, ..considering the obligation
of State under the Charter of the United Nations to promote universal respect for,
and observance of, human rights and freedom,
Pernyataan lebih tegas bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi
dan menjamin HAM diatur dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR, Each State Party to
the present Covenant
Kewajiban tersebut secara nyata harus diwujudkan oleh Negara yang
dalam hal ini dilaksanakan oleh otoritas yudisaial, administrative, legislative,
maupun oleh otoritas lainnya dalam bentuk dilaksanakannya remedi terhadap
individu yang telah menjadi korban pelanggaran HAM, diatur dalam Pasal 2 ayat
(3) ICCPR.
Each State Party to the present Convenant undertakes: a. to ensure
that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall
have an effective remedy, notwithstanding that the violations has been commited
by persons acting in an official capacity: b. to ensure that any person claiming
such a remedy shall have his rights thereto determined by competent judicial,
administrative or legislative authorities, or by any other competent authority
provided for by the legal system of the state, and to develop the possibilities of
judicial remedy; c. to ensure that the competent authorities shall enforce such
remedies when garnted.(setiap Negara dalam perjanjian berusaha; a. menjamin
hak-hak atau kebebasan yang diakui akan mendapatkan tindakan pemulihan
efektif, denagn ketentuan bahwa pelanggaran tersebut telah dilakukan diluar
kekuasaan, b. menjamin bahwa setiap orang yang mengklaim pemulihan tersebut,
akan memiliki hak-hak yang ditentukan oleh otoritas judicial, administrasi, dan
legislative yang berwenang yag diberikan terhadap sistem hukum Negara dan
untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yudisial, c. menjamin bahwa
otoritas yang berkompeten akan melaksanakan pemulihan bila sudah diberikan).

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Dalam konteks hukum internasional,

HAM kini telah diatur dalam

disiplin ilmu tersendiri yang merupakan cabang dari hukum internasional, yaitu
hukum HAM internasional. Menurut Thomas Buergenthal, hukum HAM
internasional adalah, as the law that deals with the protection of individuals
and group against violations by their government of their internationally
guranteed rights, and with the promotions of these rights. 53(sebagai hukum yang
menangani perlindungan individu dan kelompok terhadap setiap pelanggaran atau
kekerasan oleh pemerintah atas hak-hak yang dijamin secara internasional)
Menurut Haryomataram, hukum HAM internasional mencakup semua
peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan melindungi (protecting) dan
menjamin (safeguarding) hak-hak individu apa pun status hukum mereka, yaitu
penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga Negara asing, orang asing,
pria ataupun wanita pada setiap saat, baik dalam keadaan damai maupun keadaan
perang (atau perang saudara, pemberontakan), dalam wilayah Negara sendiri
maupun diluar negeri. 54
Berdasarkan dua definisi diatas, terlihat kaidah-kaidah dan prinsipprinsip hukum HAM internasional mengatur perlindungan dan jaminan HAM
setiap individu tanpa kecuali. Sebagai subjek, individu adalah pihak yang yang
harus mendapatkan perlindungan dan jaminan terhadap HAM, sedangkan pada
sisi lain Negara adalah pihak yang dibebani kewajiban untuk menjamin
perlindungan dan jaminan terhadap HAM.
53

Ibid, Halaman 1

54

Haryomataram, Hukum Humaniter: Hubungan dan Keterkaitannya dengan Hukum Hak


Azasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2004, Halaman 58

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Permasalahan HAM, berseiring dengan perkembangan kehidupan


demokrasi , yang hendak menata ulang hubungan antara pengemban kekuasaan
Negara dan para warga Negara, memang merupakan permasalahan yang selalu
diperbincangkan. Perbincangan berkisar di seputar persoalan, seberapa besarkah
kekuasaan dan kewenangan suatu rezim itu boleh ditenggang, dan seberapa
luaskah kebebasan warga itu, di lain pihak, harus selalu diakui dan tak sekali-kali
boleh dirampas atau dilangggar. 55
Era globalisasi telah membawa Negara Indonesia kepada isu-isu HAM
internasional. Politik bebas aktif pemerintah Indonesia yang terimplementasi di
PBB, berdampak terhadap keharusan Indonesia untuk meratifikasi atau
mengadopsi instrument-instrumen hukum tentang HAM ke dalam hukum positif
Negara Indonesia sebagai penghormatan terhadap PBB dan merupakan slah satu
standar dalam ppergaulan antar Negara yang nantinya menyangkut nama baik
Negara Indonesia sendiri. Adapun instrument instrumen hukum tentang HAM
tersebut adalah seperti Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Konvensi Hak Sipil dan Politik (Internasional Convenants on Civil and Political
Rigths), Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Semua bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The
Elimination of All Form of Discrimination Againts Women) , Undang-Undang No.
5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel,
Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment), dan Undang-Undang No.26
55

Todung Mulya Lubis,Op.cit,halaman xiiv

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Tahun 2000

tentang Pengadilan HAM yang telah memenuhi standar

intrnasional. 56
Sejumlah HAM yang dikenal dewasa ini, diantaranya merupakan
kategori hak-hak yang memiliki sifat tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut
terdapat sejumlah HAM yang pelaksanaanya boleh ditunda, yaitu termasuk
kategori ini antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak
untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara.
Ada sejumlah HAM yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya dalam
keadaan apapun, yaitu termasuk ke dalam kategori non-derogable rights. Hak-hak
yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya,
hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena
tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak
diberlakukan hukum yang berlaku surut dan hak untuk bebas berpikir, berhati
nurani, dan beragama. 57
Dalam perkembangannya, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang
bersifat non-derogable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu
pelanggaran HAM berat. Pendapat yang mengatakan penggunaan kata berat
bermaksud untuk menggambarkan tingkah kerusakan, kerugian, atau penderitaan
yang sedemikian hebatnya akibat dari pelanggaran HAM tersebut. 58
Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, seringkali pusat
perhatian lebih ditunjukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada
56

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Utomo, Bandung,


2004, Halaman 4
57

Pasal 4 ayat (2) ICCPR

58

Andrey Sujatmoko, Op.cit, Halaman 70

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku.


Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan. Setiap
pelanggaran terhadap HAM, apakah dalam kategori berat atau bukan, senantiasa
menerbitkan kewajiban Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation)
kepada para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban
harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan HAM secara
keseluruhan. 59 Istilah reparation atau pemulihan adalah hak yang menunjuk
kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban
pelanggaran HAM; pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai
bentuk pemulihan kepada para korban. 60
Pentingnya

korban

memperoleh

pemulihan

sebagai

upaya

menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat


dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan: Korban kejahatan perlu dilindungi
karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system kepercayaan
yang melembaga (system of institutionalized trust). Terjadinya kejahatan atas diri
korban akan bermakna penghancuran system kepercayaan tersebut sehingga
pengatuaran hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan
bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argument
kontrak sosial dan solidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli
seluruh reaksi sosial karena Negara boleh dikatakn memonopoli seluruh reaksi
59

Ifdal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat
Hak Azasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas
Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002, Halaman xiii.
60

Ibid, Halaman xvi.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi.


Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan maka Negara harus
memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun
pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan
salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian
konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 61
Every states should provide an effective framework of remedies to
redress human rights grievances or volations. The administration of justice,
including law enforcement and prosecutorial agencies and especially an
independent judiciary and legal professional in full conformity with applicable
standarts contained in human rights instruments, are essentials to the full and
non-discriminatory realization of human rights and indispensable to the process
of democracy and sustainable development. (paragraph 27 of the Vienna
Declration and Progamme of Action, World Conference on Human Rights, Vienna
14-25 June 1993) (setiap negara harus memberikan kerangka kerja yang efektif
bagi pemulihan untuk menangani pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Administrasi keadilan, termasuk pelaksanaan hukum dan agen prsekutiral dan
judisiari independent dan profesi hukum yang sepenuhnya hak-hak asasi manusia
bagi proses demokrasi dan pembangunan yang berkesinambungan(paragap 27 dari
Deklarasi da Program Aksi Konrfrensi Dunia tentang hak-hak asasi manusia,
Vienna 14-25 Juni 1993)
Komitmen diatas diberikan oleh Negara-negara anggota PBB dalam
rangka implementasi atas pelbagai konvensi 62 yang memberikan perlidungan
HAM, Indonesia sebagai salah satu Negara yang turut mendeklarasikan Vienna
Declaration and Progamme of Action (International Convenants on Civil and
61

Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaiman dimuat


dalam Kumpulan Karangan Hak Azasi Manusia, Politik da Sistem Peradilan Pidana, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1997, Halaman 172
62

Rangkaian Konvensi HAM tersebut adalah Convention against Torture, Convention on


The Rights of Children, International Convennants on Civil and Political Rights, Internasional
Convenants on Civil and Politicial Rights, International Convenant, on Social, Economic and
Cultural Rights, Convention on Political Rights of Women, Internasional Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Political Rights) memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa terdapat kerangka


yang efektif untuk memberi ganti rugi atas pelanggaran HAM, administrasi dan
independensi peradilan di tingkat nasional sejalan dengan instrument HAM
internasioanal yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Perangkat perlindungan
HAM di Indonesia mulai berjalan seiring dengan diberlakukannya UU No. 30
Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
di Indonesia.
Dalam UU Pengadilan HAM pada Pasal 35 diatur pula mengenai hakhak korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Aturan ini diperkuat
dengan PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. Namun aturan tersebut sampai
saat ini tidak dapat dilaksanakan, karena sangat berkait dengan prosedur ganti
kerugian seperti yang diatur dalam KUHAP. Tidak ada satupun jaksa yang
menangani pelanggaran HAM Berat ini yang mengajukan tuntutan adanya
kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi ke pengadilan. 63
Pengaturan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur pula
dalam Pasal 75 ayat (1) Statuta Roma bahwa Makamah harus menetapkan prinsipprinsip yang berkenaan dengan, korban, termasuk kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi. Atas dasar ini, dalam keputusannya Mahkamah atas permohonan
ataupun atas mosinya sendiri dalam keadaan-keadaan luar biasa, dapat
menentukan ruang lingkup dan luasnya setiap kerusakan, kerugian, atau luka para
korban dan akan menyatakan prinsip-prinsip yang digunakan Mahkamah untuk
bertindak. Mahkamah dapat membuat suatu Perintah untuk secara langsung
63

Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, op.cit Halaman 18

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

kepada seseorang yang dihukum dengan memerinci ganti rugi yang layak
terhadap korban, termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun sebelum
Mahkamah mengeluarkan perintahnya tersebut, Mahkamah perlu mengundang
dan mempertimbangkan pandangan dari:
1. wakil terdakwa atau orang yang bertindak untuk dan atas nama terdakwa
(bukan penasehat hukumnya),
2. wakil dari korban atau orang yang bertindak atas nama korban,
3. orang-orang lain yang merasa berkepentingan, atau
4. Negara-negara yang berkepentingan
Apabila sesuai, Mahkamah dapat memutuskan bahwa pemberian ganti rugi
tersebut dapat dilakukan melalui Trust Fund.
Dalam hal ini korban juga diberi hak
pemulihan atau ganti kerugian atas dirinya

yang khusus untuk meminta

akibat darikejahatan di bawah

yurisdiksi Statuta kepada Mahkamah di tingkay banding melalui panitera


(registry). 64 Permintaan pemulihan atas diri korban tersebut diatur lebih lanjut
dalam The Rule of Procedure and Evidence sebagai aplikasi dari Statuta Roma.

B. Bentuk- bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat


Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary
crime dan berdampak secrara luas baik pada tingkat nasional maupun

64

Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan


Kejahatan Agresi (pasal 5 ayat 1 Statuta Roma)

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

internasional dan bukan merupakan tindak piadana yang diatur dalam di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil
maupun immateiil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan

supremasi

hukum

untuk

mencapai

kedamaian,

ketertiban,

ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. 65


Di Indonesia, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan secara yuridis
baru dikenal sejak diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Berdasarkan UU
tersebut, salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan HAM adalah
mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

sebagai salah satu pelanggaran

HAM yang Berat. Berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000,


Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam ketentuan UU ini sesuai dengan Rome
Statute of International Criminal Court. Oleh karena itu, berbagai logika dan
spirit hukum serta serta perundang-undangan yang menjiwai dan terkait atas dasar
Statuta Roma haruslah dipahami dengan baik. 66
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagaimana diatur
dalam No. 26 tahun 2000 mengadopsi Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar
pembentukan International Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional
permanent yang berwenang mengadili salah satu kejahatan internasioanl berupa
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity).
Pelanggaran HAM Berat

menurut Theo Van Boven, kata berat

menerangkan kata pelanggaran, yaitu menunjukkan betapa parahnya akibat


65

R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manuisa, Kencana, Jakarta, 2006, Halaman 170

66

R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kencana, Jkarta, 2006, Halaman 170

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

pelanggaran yang dilakukan. Kata berat juga berhubungan dengan jenis hak
asasi manusia yang dilanggar. 67 Sesuai Statuta Roma yang menjadi dasar
pendirian Makamah Pidana Internasional, tindak pidana yang menjadi yurisdiksi
makamah ini adalah tindak yang bersumber pada HAM, yaitu:
1. Kejahatan Genosida
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.

membunuh

b.

mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok

c.

menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan


kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.

d.

Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di


dalam kelompok

e.

Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok


lain.
Secara umum pengertian kejahatn genosida dalam UU No. 26 Tahun

2000 tidak berbeda dengan pengertian kejahatan genosida menurut Statuta Roma
tahun 1998 Pasal 6.
2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaaan adalah salah satu perbtuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
67

Todung Mulya Lubis, Op.cit, Halaman 57

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap


penduduk sipil, berupa :
a.

pembunuhan

b.

pemusnahan

c.

perbudakan

d.

pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e.

perampasan kemerdekaan atau atau perampasan kebebasn fisik lain secara


sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasioanal

f.

penyiksaan

g.

perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan


kehamilan, pemanduan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara

h.

penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang


didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis, kelamin, atau alsan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional

i.

penghilangan orang secara paksa atau

j.

kejahatan apartheid
Kejahatan terhadap kemanusiaan UU No. 26 tahun 2000 mengacu pada

Pasal 7 Statute Roma yang di dalam ayat (2) statute tersebut menjelaskan antara
lain:
a. serangan tersebut terhadap suatau kelompok penduduk sipil berarti
serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari
perbuatan yang mencakup pelaksanaan dari perbuatan yang dimaksud
dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai dengan atau
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

sebagai kelanjutan kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan


serangan tersebut.
Pemusnahan mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi
kehidupan, antara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obatobatan, yang diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap
sebagian penduduk.
Perbudakan berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang
melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk
dilaksanakannya kekeuasaan tersebut dalam perdagangan manusia,
khususnya ornag, perempuan, dan anak-anak.
Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti perpindahan
orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau
perbuatan pemaksaaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara
sah, tanpa alasan yang diperbolehkan berdasar hukum internasional
Penyiksaan berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik fisik ataupun mental, terhadap seseorang
yang ditahan ataupun dibawah pengawsan tertuduh; kecuali kalau siksaan
itu tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari yang
melekat pada atau sebagai akibat dari sanksi yang sah. Penerjamahan
prosecution menjadi penganiayaan.. Prosecution mempunyai arti yang
lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan
kerugian mental maupun fisik atau ekonomis. Dengan digunakan istilah
penganiayaan ini maka tindakan terror dan intimidasi atas seseorang atau
kelompok sipil tertentu berdasarkan kepercayaan politik menjadi tidak
termasuk dalam kategori ini.
Penghamilan paksa berarti penahanan tidak sah terhadap seorang
perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud
mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau
melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
Definisi ini betapa pun juga tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi
hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan.
Kejahatan arphatheid berarti perbuatan tidak manusiawi dengan dengan
sifat yang disebutkan dalam ayat 1, yang dilakukan dalm konteks suatu
rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistemik oleh suatu
kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain
dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.
Penghilangan paksa berarti penangkapan, penahanan, atau penyekapan
orang-ornag oleh atau dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan
diam-diam dari suatu Negara atau suatu organisasi politik yang diikuti
oleh penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan itu atau untuk
memberi informasi tentang nasib atau keberadaan orang-orang tersebut,
dengan maksud untuk memindahkan mereka dari perlindungan hukum
untuk suatu kurun waktu yang lama.

3. Kejahatan Perang

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Makamah Pidana Internasional memiliki yuridiksi terhadap Kejahatan


Perang yang merupakan bagian dari rencana poltik maupun rencana besar yang
merupakan pemufakatan jahat.
Pada Pasal 8 Statuta Roma, Kejahatan Perang diartikan bermacammacam. Berdasarkan Geneva Convention tanggal 12 Agustus 1949, Kejahatan
Perang dirtikan sebagai suatu tindakan atau serangan terhadap seseorang atau atas
sesuatu yang dilindungi Konvensi Jenewa:
1.

Dengan sengaja membunuh

2.

Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis

3.

Dengan sengaja menyebabkan penderitaan atau kerusakan serius pada tubuh


atau kesehatan

4.

Pengrusakan parah dan menguasai secara tidak sah suatu benda, bukan
diarahkan oleh paksaan militer dan membawanya secara melawan hukum

5.

Pemaksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi untuk bekerja secara
paksa dibawah kekeuatn musuh

6.

Dengan sengaja merampas tahanan perang atau ornag yang dilindungi secara
HAM

7.

Pengusiran denagn cara melawan hukum atau pemindahan secara melawan


hukum

8.

Menyandera

4. Kejahatan Agresi
Kejahatan Agresi merupakan salah satu jenis kejahatan yang ditangani
oleh Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

(d). namun masih terdapat beberapa perdebatan ketika Kejahatan Agresi ini
dimasukkan ke dalam Statuta Roma.
Amerika adalah pihak yang paling keberatan apabila Kejahatan Agresi
dimasukkan ke dalam jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Amerika lebih
suka apabila yang menentukan kejahatan tersebut adalah Dewan Keamanan PBB.
Keberatan yang diajukan Amerika tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari
Negara lain termasuk Negara-negara yang selama ini menjadi kawan aliansinya
sperti Negara-negara Eropa yang tergabung dalam Nato. Meskipun demikian pada
hasil akhirnya, Makamah Pidana Internasional tidak dapat menggunakan
yurisdiksinya atas suatu tindakan agresi. Dewan Keamanan PBB merupakan pihak
yang berwenang untuk menentukan apakah tindakan tersebut masuk kedalam
Kejahatan Agresi atau tidak.
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap kemanusiaan pertama
kali dalam peradilan penjahat perang dunia II, di Jerman maupun di Tokyo.
Selanjutnya pasca perang dingin hingga saat ini melalui pembentukan peradilan
internasioanl yang baik yang bersifat ad hoc yaitu ICTR (Internatioanl Criminal
Tribunal for Rwanda) 29 dan ICTY (International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia) maupun peradilan yang bersifat permanent yaitu ICC (International
Criminal Court).
Apabila ditelaah definisi dari kejahatan terhadap kemanusiaan, maka
unsur-unsurnya adalah secara meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil
dan bukannya merupakan kejahatan yang spontan atau sporadic. Pengertian
sistematis berkaitan dengan suatu kebijakan/rencana yang melatarbelakangi
terjadinya tindak pidana tersebut, sedangkan pengertian meluas (widespread)

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

cenderung merujuk kepada jumlah korban (massive), skla kejahatan dan sebaran
tempat. Selanjutnya unsur yang kedua adalah adanya pengetahuan (knowledge)
dari pelaku bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan bagian dari atau
dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik
terhadap penduduk sipil. Tetapi perlu ditegaskan bahwa untuk dapat dipidana
karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak diisyaratkan bahwa si
pelaku telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti dari
perencanaan atau policy dari Negara atau organisasi tersebut.
Secara umum unsur-unsur kejahatan mencakup mencakup unsur objektif
dan unsur subjektif. Unsur objektif (criminal,

Act, actus reus), yang berupa

adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan


hukum serta tidak adanya pembenar. Sedangkan unsure subjektif (criminal
responbility, mens area), yang mencakup unsur kesalahan dalam arti luas dan
meliputi kemampuan untuk bertanggung jawab, danya unsur kesengajaan atau
kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf.
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran
HAM berat, terdapat suatu prinsip umum yang menyatakan bahwa unsure-unsur
kejahatan (the elements of crimes) terdiri atas: 68
a. unsur matrial yang berfokus pada perbuatan (conduct), akibat (consequences)
dan keadaan-keadaan (circumstances) yang menyertai sutu perbuatan
b. unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan
(knowledge) atau keduanya.

68

Ibid, Halamn 132

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Sesuai Article 30 Statuta Roma yang mengatur mental element maka


ada kesengajaan (intent) apabila sehubungan dengan perbuatan (conduct) tersebut
si pelaku berniat untuk melakukan/turut serta dalam perbuatan tersebut dengan
akibatnya (consequences) si pelaku berniat untuk menimbulkan akibat tersebut
atau sadar (aware) bahwa pada umunya akibat akan terjadi dalam kaitannya
dengan perbuatan tersebut. Sedangkan knowledge diartikan sebagai kesadaran
(awarness) bahwa suatu keadaan terjadi atau akibat pada umumnya akan timbul
sebagai akibat kejadian tersebut. Oleh karena itu, tahu (know) dan mengetahui
(knowlingly) harus ditafsirkan dalam kerangka tersebut.
Sehubungan dengan permasalahan diatas, hal yang diatur dalam
permasalahan diatas, hal-hal yang harus mendapatkan perhatian serius adalah dua
elemen

terakhir

dari

setiap

Kejahatan

Terhadap

Kemanusiaan

yang

menggambarkan konteks dalam hal mana perbuatan tersebut dilakukan. Kedua


elemen tersebut adalah:
a. perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas
(widespread) atau sistematik (systematic) ditujukan terhadap penduduk sipil.
b. Keharusan adanya penegetahuan (with knowledege) pelaku bahwa perbuatan
yang dilakukan merupakan bagian serangan yang meluas atau sistematik
tehadap penduduk sipil.
Article 7.2.a Statuta Roma menegaskan bahwa, the term of attack is
defined as a course of conduct involving the multiple commission of act reffred ti
in paragraph 1 againts any civilian population, pursuant to or in furtherance of a
state or organization plicy to commit such attack.
Dengan demikian secara implisit dapat disimpulkan bahwa serangan
tersebut tidak memerlukan karakter sebagai suatu serangan militer (military
attack). Dan selanjutnya, dapat pula diketahui bahwa dari kata organized policy,

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

bahwa kejahatan tersebut dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh non state
actors.
Selanjutnya adanya persyaratan persyaratan bagi pelaku yang harus
memiliki knowledge attack, haruslah diartikan sebagai kesengajaan khusus
(spesificintent).

Misalnya

seseorang

yang

melakukan

serta

melakukan

pembunuhan (murder), tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan bagian


dari suatu

serangan yang meluas (widesdpread) atau sitematik (systematic)

terhadap penduduk sipil, dapat dinyatakan salah telah melakukan pembunuhan,


tetapi tidak dalam rangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi perlu
ditegaskan bahawa untuk dapat dipidana karena melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan, tidak diisyaratkan bahwa si pelaku (perpetrator) telah mengetahui
seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti (prescise details) dari
perencanaan atau policy dari Negara atau organisasi tersebut.
Persyaratan yang berkaitan dengan alasan/sebab (motive) kejahatan,
sekalipun tidak terncantum dalam definisi kejahatan terhadap kejahatan
kemanusiaan, hal ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan (indicator of guilt),
disamping untuk menentukan sanksi pidana yang tepat atau proporsional.
Menurut Peter Baehr, pelanggaran HAM Berat akan menyangkut
masalah-masalah yang meliputi:
the probihiton of slavery, the right to life, torture and cruel, inhuman
or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and ethic
cleansing. 69(larangan perbudakan, hak untuk hidup, penyiksaan dan kekerasan,
tindakan atau perbuatan yang tidak manusiawi atau yang bersifat mendegradasi,
ataupun hukuman, genosida, ketidakpatuhan dan pembersihan etnis)

69

Peter R. Baehr, Human Rights University in Practise, New York, St. Martins, 1999
Halaman 20 dalam Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM
Indonesia; Timor Leste, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005 Halaman 6

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Menyangkut tindakan agresi, genosida, apartheid dan kolonialisme,


Manfred Mohr menyatakan hal tersebut adalah serius karena merupakan
ancaman terhadap kedamaian perdamaian dan keamanan internasional yang
melanggar prinsip-prinsip dasar piagam PBB dan tatanan hukum internasional
secara subtansial,

hal tersebut

merupakan

pelanggaran atas kewajiban

internasional yang penting bagi perlindungan kepentingan dari masyarakat


internasional dan planggaran atsa hal itu telah diakui sebagai kejahatan terhadap
masyarakat internasional secara keseluruhan. 70
Salah satu bentuk-bentuk pelanggaran berat HAM antara lain kasus
genosida yang dilakukan oleh Khmer Merah di Kamboja (1975-1979)
menyebabkan kematian antara satu sampai dua juta orang. 71 Bentuk tanggung
jawab Pemerintah Kamboja atas terjadinya genosida tersebut diwujudkan dengan
akan dibentuknya pengadilan khusus bekerja sama dengan PBB untuk mengadili
para pelaku pelaku Pelanggaran HAM Berat

yang terjadi pada masa Khmer

Merah berkuasa.
Sebagaimana yang dialami oleh berbagai Negara lainnya pada masa
transisi politik, di Indonesia pada era reformasi telah muncul berbagai tuntutan
untuk menyelesaiakan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tuntutan itu
mengarah kepada bebrbagai kasus, misalnya kasus-kasus terbunuhnya para
mahasiswa dalam kegiatan demintrasi karena bentrok dengan aparat keamanan,
seperti yang dikenal dengan kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semangi 1 (13
November 1998), dan Semang II (22-24 September 1999). Ada pula kasus-kasus
70

Manfred Mohr, The ILCS Distinction between International Crimes and International
Delicts and its Implications, New York, 1987, Halaman 126-127 dalam Ibid, Halaman 143
71

Ibid, halaman 27

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

lainya yang juga dituntut untuk diselesaikan seperti kasus pelanggaran HAM berat
Tanjung Priok (12 September 1984), kasus pelanggaran HAM berat di Aceh
semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 19891999 dan kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur dalam wilayah hukum
Liquica, Dilli dan Suai.

72

Beberapa Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia


a. Kasus Timor Timur
Kasus Timor-Timur bermula dari kebijakan pemerintah Indonesia pada
tanggal 27 Januari 1999 untuk memeberikan dua opsi kepada rakyat Timor-Timur.
Opsi tersebut adalah menerima atau menolak otonomi khusus. Kekerasan bermula
setelah jajak pendapat yang dimenangkan oleh kelompok pro-kemerdekaan.
Masyarakat internsional memandang kekerasan ini sebagai kejahatan HAM yang
berat. Usul bebrapa Negara agar Dewan keamanan PBB untuk membentuk
Peradilan Ad Hoc seperi halnya kasus Yugoslavia dan Rwnada, berhasil
digagalkan oleh Indonesia. Indonesia menyatakan masih dapat mengadili
pelakunya berdasarkan hukum nasional Indonesia. 73 Berkaitan dengan diplomasi
tersebut pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
Resolusi 1264 (1999). Resolusi tersebut mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak
pendapat di Timor-Timur. Resolusi juga mendesak pemerintah Indonesia agar
mengadili mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. 74Atas dasar

72

Satya Arinanto, Op.cit, Halaman 279

73

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV Yrama Widya,


Bandung, 2004, Halaman 95
74

Soedjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung 2002, Halaman 34

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

itulah pemerintah Indonesia mengundangkan UU Hak Asasi Manusia dan UU


Pengadilan HAM. Bulan Febuari 2002, Pengadilan HAM Ad Hoc ini mulai
beroperasi mengadili kasus-kasus kejahtan kemanusiaan di Timo Leste.
Pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur memeriksa dan mengadili 18
orang terdakwa yang dibagi menjadi 12 berkas perkara. 75 Secara keseluruhan para
terdakwa didakwa dan dituntut telah melakukan kejahatn kemanusiaan yang
terjadi menjelang dan setelah jajak pendapat di tiga wilayah di Timor-Timur, yaitu
Dili, Covalima dan Liquisa.
Dari 18 orang terdakwa ini, 13 orang dinyatakan bebas dan 5 orang
lainnya dinyatakan bersalah adalah (1) Abilio Jose Ososrio Soares (mantan
Gubernur Timor-Timur), divonis 3 tahun penjara; (2) Euricco Guterres (mantan
wakil Panglima PPI), divonis 10 tahun penjara; (3) Brigjend Noer Muis (mantan
Komandan Koren 164/wiradharama) divonis 3 tahun penjara; (4) Hulman Gultom
(mantan Kapolres Dili), divonis 3 tahun penjara; dan (5) Letkol Soedjarwo
(mantan Kondim Dilli) divonis 5 tahun penjara. 76 Namun, pada Proses Pengadilan
HAM Timor-Timur ini,walaupun dinyatakan telah jatuh korban, masalah hak-hak
korban ini sama sekali tidak muncul. Bahkan, tidak ada satupun putusan
pengadilan , baik dalam pertimbangan maupun amar putusannya yang membahas
atau mencantumkan mengenai hak kompensasi dan restitusi. Tidak dibahas atau
dicantumkannya mengenai hak-hak korban ini sangat mengecewakan, mengingat
pengadilan telah mengakui adanya pelanggaran HAM yang berat di Timot-Timur
75

Yaitu Abilio Soares, Timbul Silaen, Herman Sedyono dkk (Liliek Koeshadianto, Gatot
Subiyaktoro, Achmad Syamsudin dan Sugito) Eurico Guterrres, Soerdjawo, Endar Priyanto, Adam
Damiri, Hulman Gultom, M Noer Muis, Jajat Sudrajat, Tono Suratman dan Asep Kusawani dkk
(Adios Salova, Leonito Martins)
76

Satya Arinanto, Op.cit, Halaman 335

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

menjelang dan setelah jajak pendapat 1999 dan jatuhnya korban dalam peristiwa
tersebut.77
Tidak adanya pembahasan atau putusan mengenai kompensasi dan
restitusi bagi korban tersebut, kemungkinan besar disebabkan tidak adanya
permohonan kompensasi dan restitusi yang diajukan ke pengadilan sebagaimana
yang ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Namun terlepas dari tidak adanya
permohonan dari penuntut umum maupun korban, tidak diakuinya hak-hak korban
dalam pengadilan ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip
internasional yang telah diakui oleh hukum internasional. 78

b. Kasus Tanjung Priok


Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok (September 1984) ini bermula
dari ditahannya empat orang, masing-masing bernama Achmad Syahi, Syafwan
Sulaeman, Syafrudin Rambe dan M. Nur yang diduga terlibat pembakaran sepeda
motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian
ditahan di Kodim Jakarta Utara. Atas kejadian tersebut pada tanggal 12 September
1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh Amir Biki, salah seorang
tokoh masyarakat setempat, didalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan
untuk membebaskan empat orang jamaah Musholla As Saadah yang ditahan.
77

http://myfilesexpress.com/download.php?file=Pengadilan_HAM_Kasus_Timor_Timur_checked.rar. Diakses
tanggal 4 Desember 2009
78

http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com.content&view=article&kid=469%3A
korban pelanggaran ham. Diakses tanggal 4 Desember 2009

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Akan tetapi ke empat orang tersebut tidak dibebaskan yang akhirnya Amir Biki
mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa yang
bergerak kearah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu
regu Arhanud yang dipimpin oleh Sersan dua Sutrisno Mascung di bawah
komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang
sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang
terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.
Pengadilan HAM Tanjung Priok memeriksa dan mengadili 14 orang
terdakwa yang diduga bertanggung jawab dalam peristiwa pelanggaran HAM
Tanjung Priok. Dari 14 orang terdakwa tersebut, 12 orang dinyatakan terbukti
bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi hukuman, dan 2
orang terdakwa lainnya dinyatakan tidak terbukti

bersalah. 79 Mengenai

kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi di dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok


diterapkan secara progresif oleh pengadilan, terutama dalam putusan Sustrisno
Mascung, dimana dalam amar putusan pengadilan yang secara tegas
mencantumkan mengeai pmberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada
korban pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok. 80

c.kasus Arbepura
kasus Arbepura ini bermula dengan penyerangan massa pada 7
Desember 2000, terhadap Mapolsek Abepura yang mengakibatkan seorang polisi
meninggal dunia (Bripka Petrus Eppa) dan tiga orang polisi lainnya luka-luka.
79

Yang dinytakan bersalah adalah R. Butar-Butar dan Sutrisno,dkk. Sedangkan yang tidak
bersalah adalah Sriyatno dan Pranowo
80

Putusan Perkara No. 03/Pid.Ham/ad Hoc/2003

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Disertai pembakaran ruko yang berjarak seratus meter dari Mapolsek. Terjadi juga
penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor dinas otonom Kotaraja. Pasca
penyerangan massa ke Malpolsek Abepura tersebut, Kapolres Jayapura AKBP
Drs. Duad Sihombing, SH setelah melapor kepada Wakapolda Brigjend (Pol) Drs.
Moersoetidarno Moehardi D. yang langsung melaksanaka perintah perasi untuk
pengejaran dan penyekatan ke tiga

asrama mahasiswa dan tiga pemukiman

penduduk sipil. Di asrama Ninmin satuan Brimob melakukan pengrusakan,


pemindahan paksa (involuntary displace persons), ancaman , makian, pemukulan,
pengambilan hak milik (right to property) mahasiswa. Di asrama Yapen Waropen
satu mahasiswaterserempet peluru, lainnya dipukul, ditendang dan dilempar ke
dalam truk untuk dibawake Mapolsek. Begitu pula penyiksaan dan penangkapan
terjadi di asrama IMI (Ikatan Mahasiswa Ilaga). Penangkapan dan penyiksaan
(persecution) berualng-ulang terjadi juga di pemukiman penduduk sipil kampung
Wamena Abepantai, suku lani asal Memberamo di Kotaraja, dan suku Yali di
Skyline. Telah terjadi pembunuhan kilat oleh anggota Brimob, Elkius Suhuniap di
Skyline. Dan telah terjadi kematian dalam tahanan Polres Jayapura (dead in
custody) akibat penyiksaan (torture) terhadap Joni Karunggu dan Orry Dronggi.
Dalam peristiwa pengejaran dan penangkapan itu adalah terdapat indikasi
terjadinya pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengadilan HAM Arbepura mengadili dua orang terdakwa yang diduga
bertanggung jawab dalam peristiwa Arbepura yaitu Komisaris Besar Polisi Drs.
Johny Wainal Usman sebagai komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya dan
Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sembiring SH sebagai pengendali dan
pelaksana perintaj operasi, yang proses pengadilannya dilaksanakan di Pengadilan

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Negeri Makasar. Pengadilan HAM ini, berlainan dengan Pengadilan HAM TimorTimur dan Tanjung Priok yang bersifat Ad Hoc, karena perkara Arbepura ini
terjadi setelah UU Pengadilan HAM berlaku Efektif. Keduanya dibebaskan
pengadilan dengan alasan peristiwa Arbepura bukan merupakan pelanggran HAM
Berat sebagaimana dimaksud dalam UU Pengadilan HAM.
Di samping kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung
Priok dan Arbepura yang telah diadili dalam Pengadilan HAM.,ada beberapa
kasus-kasus yang diduga merupakan Kejahatan HAM Berat. Kasus-kasus tersebut
dapat berupa pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara (melalaui
aparatnya) terhadap rakyat, 81

ataupun yang terjadi diantara kalangan rakyat

sendiri, yakni antara kelompok rakyat yang satu dengan kelompok rakyat yang
lainnya. 82 Bebrapa kasus tersebut antara lain:
a. Kasus Aceh
Kelahiran Gerakan Aceh Merdeka tanngal 4 Desember 1979
menyebabkan konflik yang semakin meluas di Aceh, karena pihak pemerintah dan
GAM saling bersikukuh pada prinsipnya masing-masing. Hal ini telah
mengakibatkan puluhan ribu kasus Pelanggaran HAM yang menimpa rakyat sipil
ketika berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh tahun 1989 hingga
1998. Pendekatan Keamanan yang dilakukan Pemerintah tersebut mengakibatkan
puluhan ribu anak menjadi yatim dan wanita menjanda, ribuan orang meninggal

81

Atau yang lazim dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang bersifat vertikal

82

Atau yang lazim dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang bersifat horizontal

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

dunia, hilang dan disiksa, ratusan wanita dperkosa dan kehilangan tempat tinggal
serta barang-barang berharga, puluhan anak lahir tanpa bapak.. 83
Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dalam
periode tahun 2001 warna kekerasan masih mengental di bumi Aceh , dan tercatat
tidak kurang dari 2.325 kasus aksi kekerasan terhadap kemanusiaan telah terjadi.
Kasus-kasus kekerasan yang dimaksud meliputi sekitar 1.000 kasus pembunuhan,
683 kasus penyiksaan, 107 kasus penghilangan orang secara paksa, dan 535 kasus
penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang. 84
Sebagai bahan perbandingan, menurut Komosi untuk Orang Hilanag dan
Korban Tindak Pidana Kekerasan (Kontras), sepanjang tahun 2001, hingga bulan
September, terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri sebanyak
353 peristiwa, GAM sebanyak 62 peristiwa, dan 357 peristiwa yang tidak
teridentifikasi. 85
Selanjutnya pasca pencabutan DOM 8 Agustus 1998 lalu oleh Panglima TNI
Jendral Wiranto, berbagai kerusuhan dan tragedi terus berlanjut, akibatnya korban
kembali berjatuhan, mulai dari tragedi kerusuhan Lhoksumaw, tragedy Gedung
KNPI, tragedi Idi Cut, tragedi KKA, Penembak Misterius (Petrus) dan
mengungsinya masyarakat dalam jumlah besar dari desa mereka. Selanjutya
investigasi TPF-DPR RI, komnas HAM, TGPF Pemda yang hinnga kini belum
mampu satu orang pun pelaku pelanggaran HAM di Aceh di seret ke Pengadilan.

83

84

Sumber data dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) Banda Aceh

Sebanyak 2.325 Kasus Kekerasan Terjadi


www.kompas.com/0112/3headline/015.htm, 14 November 2009

di

Aceh

2001,

85

http://

Kontras Sarankan Pemerintah Tolak Pembentukan Kodam di Aceh, http://


www.kompas.com/0201/07/headline/039.htm, 14 November 2009

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Yang lebih memprihatinkan ialah terjadinya perluasan daerah konflik yaitu,


yang pada akhir tahun 2001 bahkan telah mencapai hampir seluruh wilayah Aceh,
kecuali Sabang dan Kabupaten Simelue. Dengan demikian, pada akhir tahun yang
lalu , peta kekerasan telah terjadi hampir merata di seluruh wilayah Aceh.
Sementara itu, selama tahun 2001, para aktivis HAM, pro demokrasi, dan
kemanusiaan semakin mengalami tindakan represif yang sangat tinggi, sehingga
hal ini mengakibatkan semakin mengecilnya ruang berekspresi bagi para aktivis
untuk menyuarakan keprihatinnya terhadap masalah Aceh. 86

b. Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II


Diantara berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam era
reformasi dan belum terselesaikan hingga saat ini adalah kasus Trisakti (12 Mei
1998), Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (22-24 September 1999).
Kasus-kasus yang menyebabkan terbunuhnya beberapa orang mahasiswa akibat
peristiwa bentrokan dngan aparat keamanan ini sebenarnya terjadi dalam konteks
berbeda-beda. Sebagaiman yang diketahui, tragedy Trisakti tanggal 12 Mei 1998
tersebut telah merenggut empat korban mahasiwa Trisakti, yakni Elang Mulia
Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidin Royan. Sebagai kelanjutan
dari tragedi ini kemudian terjadilah kerusuhan sosial yang sangat luas di Jakarta
dan sekitarnya pada tanggal 13-15 Mei 1998, yang berakhir dengan berhentinya
Soeharto sebagai Presiden RI. Hingga saat ini, belum ada pihak yang bertanggung
jawab terhadap kerusuhan sosial yang meluas itu. 87
86

Ibid

87

Komnas Tolak Sempurnakan Berkas Kasus Trisakti, Kompas, 4 September 2002,


Halaman 7

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Kasus Semanggi I (13 November 1998) terjadi saat para mahasiswa yang
sedang berunjuk rasa untuk menentang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR pada
bulan November 1998 bentrok dengan aparat keamanan di kawasan Semanggi,
yang mengakibatkan sejumlah orang tewas. Sedangkan kasus Semanggi II (22-24
September 1999) terjadi pada saat mahasiswa yang sedang berunjuk rasa untuk
menolak

diberlakukannya

Rancangan

Undang-Undang

(RUU)

tentang

Penanggulangan Keadaan Bahaya bentrok dengan aparat aparat keamanan.


Peristiwa yang juga terjadi di sekitar kawasan Semanggi ini menyebabkan
tewasnya sjumlah orang termasuk dari kalangan mahasiswa. 88
Dalam konteks tragedy Trisakti, Tim Trisaksti untuk Penuntasan Kasus
12 Mei (TPK 12 Mei) melaporkan bahwa 4 orang mahasiswa telah meninggal
dunia dan 5 orang lainnya menderita parah akibat tembakan senjata api.
Disamping itu, 17 orang lainya telah menderita luka-luka berat akibat tembakan
peluru karet. Dalam peristiwa Semanggi I, Tim Relawan untuk Kemanusiaan
(TruK) melaporkan bahwa 16 orang telah meninggal dunia dab 456 orang
menderita luka-luka berat akibat tembakan senjata api. Selanjutnya Semanggi II,
laporan TruK mencatat 10 orang meninggal dunia dan 8 orang menderita lukaluka akibat tembakan senjata api yang dilepaskan oleh aparat keamanan. Dalam
tragedy tersebut, tidak kurang dari 304 orang menderita akibat tembakan senjata
api.

88

Muladi soal Kasus Trisakti dan Semanggi I-II: Lebih Baik Diselesaikan dengan Hukum
Nasional, Kompas, 16 Mei 2002 Halaman 7

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN
HAK ASASI MANUSIA BERAT

A. Prinsip dasar perlindungan korban terhadap Pelanggaran Hak Asasi


Manusia Berat
Deklararsi

Universal

Hak

Asasi

Manusia

(DUHAM)

yang

dideklarasikan tanggal 10 desember di istana Chaillot, paris. Bahwa DUHAM


yang bersifat internasional bisa disimpulkan berdasar argumentasi logis, tetapi
bisa juga berdasarkan argumentasi hisroris. DUHAM yang biasa dipahami sebagai
HAM generasi pertama, mendorong lahirnya HAM generasi kedua (hak-hak
sosial, ekonomi, budaya), HAM generasi ketiga (hak-hak kelompok penentuan
nasib sendiri, hak atas pembangunan atau perkembangan, hak atas kesehatan dan
sebagainya). Oleh karena itu, DUHAM mempunyai prinsip-prinsip perlindungan
mengenai HAM, yaitu: 89

89

http://legal.daily-thought.info/2008/03/prinsip-prinsip-perlindungan-ham/ diakses
tanggal 4 Desember 2009

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

1. Prinsip Universalitas
Prinsip universalitas dimaksudkan bahwa Hak Asasi ini adalah milik
semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam
DUHAM Pasal 1:

All human beings berarti bahwa everyone (setiap orang) memiliki hak yang
sama atau dengan kata lain no one (tiadak seorang pun) boleh diabaikan hakhaknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau
asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status lainnya. Penggunaan istilah
yang menunjukan prinsip uversalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM
lainya, seperti CCPR menggunakan kata every human beings di Pasal 6, kata
every one di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16,
Pasal 17 (2), Pasal 18 (1), Pasal 19 dan Pasal 22. sedangkan istilah all person
dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, anyone di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta
kata no one di Pasal 6,7,11,15 dan 17 (1) . di Konvensi HAM Amerika
(American Convention of human rights 1969) juga dijumpai hamper di setiap
pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal pengguanaan istilah every
one, every person, any one, no one secara bergantian. Lebih menarik
dalam salah satu ketentuan, yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah every
minor child yang menunjukan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil
diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan Negara Amerika
Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini, sedangkan dalam African Charter
Human Rights and Peoples Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu every individual dan all
peoples. Istilah-istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM No. 39 Tahun
1999.

2. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi
Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang
sama tanpa dibeda-dibedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki
hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan
berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahsa, agama, politik yang dianut,
kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.
Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1: All human beings are
bom free and equal in dignity and rights. Begitu pula yang disebutkan
dalam CESCR Pasal 2: everyone is entitled to all rights and freedoms set
forth in this declaration, without dinstintion of any kind, such as race, colour,
sex, language, religion, political, ..
Perlindungan HAM di benua Eropa, Amerika, dan Afrika, prinsip
equality ini juga diadopsi secara jelas. Di Amerika misalnya, berdasarkan
konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) pada
bagaian pembukaan menyadari bahwa HAM bukan diturunkan oleh Negara
dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia
dan oleh karenanya menurut konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin
perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat.
Jadi jelas bahwa menurut konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah
AS berhak mndapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

mereka sebagai manusia meskipun orang-ornag tersebut memiliki atau berasal


dari kebangsaan yang bebeda.
Begitu pula di negara Eropa melalui European Social Charter (UU
Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober 1961, pada Alinea III,
meskipun tidak menyebut secara tegas mengenai human rights melainkan
memakai istilah yang lebih sempit yaitu Social Rights, namun jelas bahwa
pelanggaran diskriminasi karena alsan tertentu tidak dibenarkan dalam UU ini,
artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah yang
menandatnagani UU ini dan menjadi anggota dari komisi Eropa ini.
Sementara itu, menurut African Charter on Human Rights and Peoples
rights (UU Afrika tentang HAM dan Hak-Hak Asasi Manusia) pada bagian
pembukaan Alinea III dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya
persatuan di Afrika maka kebebasan, persamaan, keadilan, pengakuan merupakan
tujuan yang terpenting dalam rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh
rakyat

Afrika. Jadi pengakuan prinsip equality dalam perlindungan HAM di

Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang
lebih solid.
Di Negara Islam seperti Arab Saudi, menurit The Arab Charter of
Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan
Alenia II menyatakan bahwa dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap
manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam
mencapai prinsip yang telah ada dalam hukum Islam termasuk hidup
berdampingan dengan beda agam. Sedankan prinsip tanpa diskriminasi secar

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

tegas dinyatakn dalam Bagian Kedua pasal 2 bahakan secara eksplisit pelanggaran
diskriminasi terhadap pria dan wanita.

3. Prinsip Pengakuan Indivisibility and Interpendence of different rights


Dalam rangka memenuhi HAM maka tidak dapat dipisahkan antara
pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya karena ruang lingkup dari kedua bidang hak ini saling berhubungan
dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Artinya memastikan
pemenuhan standart minimal yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah
sangat penting dalam upaya menjamin dapat menikmati hak-hak sipil dan politik.
Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan
hak-hak sipil dalam politik tidak juga tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam African
Charter on Human Rights and Peoples Rights pada Pembukaan Alinea 9.
Prinsip-prinsip perlindungan

HAM dalam UUD 1945, UU No. 39

Tahun 1999 dan UU No.26 Tahun 2000, perlindungan Hak Asasi Manusia sudah
menjadi asas pokok dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini terbukti dari
pernyataan UUD Republik Indonesia 1945 dalam pembukaannya di Alinea
pertama yang menyatakan bahwa Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka
penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan . Hal
ini berarti adanya freedom to free yaitu kebebasan untuk merdeka, dan
pengakuan atas perikemanusiaan telah menjelaskan

bahwa Bangsa Indonesia

mengakui adanya Hak Asasi manusia.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Prinsip-prinsip HAM secara keseluruhannya sudah tercakup di dalam


UUD 1945. Prinsip universalitas yang merupakan bentuk menyeluruh artinya
setiap orang atau tiada seorangpun tapa memandang ras, agama, bahasa,
kedudukan, maupun status lainnya, dimana setiap orang memeiliki hak yang sama
dimata hukum. Namun, prinsip universalitas tidak keseluruhannya terkandung
dalam UUD 1945, hal ini dibuktikan dari pernyataan di dalm pembukaannya yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia , hal
ini berarti Negara hanya bertanggung jawab kepada hak dari seluruh warga
Indonesia saja. Begitu juga dengan beberapa pasal yang mengistilahkan setiap
warga Negara atau tiap-tiap warga Negara, seperti pada pasal 27 ayat (1), (2),
pasal 30 ayat (1), pasal 31 ayat (1) padahal yang dimaksudkan sebagai prinsip
universal adalah ketentuan hak yang berlaku bagi semua orang, bukan terbats
pada wilayah tertentu. Tetapi di dalam Bab XA tentang HAM telah termuat
prinsip universal, seprti dalam pasal 28A s/d 28J. Dalam hal ini diistilahkan
sebagai setiap orang, yang berarti perlindungan HAM tersebut berlaku bagi
semua orang tanpa memberikan batasan wilayah tertentu.
Prinsip equality and non-discrimination juga telah termuat dalam UUD
1945. prinsip yang berarti persamaan hak hak tanpa adanya perbedaan ini telah
dipaparkan dan diakui dalambebrapa ketentuan diantaranya yaitu, Pembukaan
alinea ke tiga, disebutkan bahwa supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
hal tersebut sudah mewakili bentuk pengakuan Negara atas perlindungan HAM.
Selain itu, prinsip ini juga tertuang dalam pasal 28A yang menyebutkan bahwa
setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya, hal ini berarati bahwa setiap orang dapat memperoleh haknya

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

karena dikarenakan statusnya sebagai manusia, bukan karena sebagai warga


Negara dan tanpa adanya segala bentuk pendiskriminasian.
Prinsip pengakuan Indivisibility and interpendence of different right
pada dasarnya sudah tertera dalam Pembukaan alinea ke empat

Dalam

menyusun kemerdekaan bangsa Indonesia dalam undang-undang dasar Negara


didasarkankan pada kemanusiaan yang adil dan beradab dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti bahwa
bangsa Indonesia mengakui akan adanya perlindungan HAM dari segala aspek
bidangnya, yaitu sosial, politik, hukum, ekonomi dan budaya. Kemudian bidangbidang tersebut diperkuat kembali dalam ketentuan pasal-pasalnya, yaitu pasal 27
ayat (2), pasal 28, pasal 32, dan pasal 33.
Penerapan prinsip-prinsip HAM dalm UU No. 39 tahun 1999,
penggunaan istilah setiap orang atau tiada seorangpun di setiap pasalnya. Hal ini
berarati UU HAM di Indonesia sudah mencakup prinsip universal, dimana semua
orang yang karena sebagai manusia berhak mendapatkan perlindungan atas HAM,
tidak terkecuali bagi anak yang memiliki kecacatan fisik atau mental (pasal 54).
Prinsip equality dan non-discrimination, juga sudah tertera jelas didalamnya
seperti pada pasal 2 dan pasal 3 yang menjelaskan bahwa UU HAM di Indonesia
telah mengakui adanya kebebasan atas hak yang sama tanpa adanya diskriminasi
dalam bentuk apapun, diman semua itu didasarkan atas hak yang secara kodrati
melekat dan tidak dapat dipisahkan dari setiap manusia. Selain itu UU No. 39
tahun 1999 juga menuangkan prinsip pengakuan indisvibility and interpendence
of different rights. Dijelaskan pada dalam pasal 1 angka 1, dimana diterangkan
bahwa HAM adalah hak yang melekat pada hakikat manusia yang wajib

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

dilindungi oleh Negara, yang artinya Indonesia berkewajiban untuk melindungi


HAM dari segal aspek politik, ekoomi, sosial, dan budaya. Penjelasan lebih rinci
terdapat dalam pasal 16, pasal 23, pasal 24, pasal 24, pasal 27.
Prinsip-prinsip HAM juga termuat lengkap dalam UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Prinsip universalitas tertuang jelas
dalam undang-undang ini. Istilah setiap orang disini membuktikan bahawa
pemberlakuan perlindungan HAM diperuntukan bagi semua orang tanpa adanya
batasan tertentu, bahkan dituliskan bahwa Hak Asasi Manusia bersifat universal.
Prinsip equality and non-discrimination juga termuat dalam undang-undang ini,
hal ini dibuktikan denagn adanya pengadilan HAM, setiap orang yang melakukan
pelanggaran HAM berat harus dihukum tanpa adanya perbedaan ras, jenis
kelamin, agama, maupun bangsa. Begitu pula dengan prinsip pengakuan
indivisibility and interpendence of different right yang turut tertuang dalam
undang-undang ini. Suatu pengadilan tentunya bertujuan untuk memeberikan
keadilan, keadilan dalam pengertian kali ini tentunya mencakup keseluruhan,
yaitu dengan memperhatikan hak-hak sipilnya, hak politik, ekonomi, sosial,
maupun budayanya. Karena sekali lagi HAM bersifat menjauhkan dari segala
pendiskriminasian.
Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban
kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka
dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori90, di
antaranya sebagai berikut:
1. Teori Utilitas
90

Didik M. Arif Mansur ,Op.cit , Halaman 162-163

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah


yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat
diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan
dengan tidak diterapknnya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan,
tetapi dalm system penegakan hukum pidana secara keseluruhan.
2. Teori tanggung jawab
Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung
jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila
seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain
menderita kerugian (dalam artri luas), orang tersebut harus bertanggung jawab
atas kerugian yang ditimbulkannya.
3. Teori Ganti Kerugian
Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap
orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti
kerugian pada korban atau ahli warisnya.
Dalam konteks perlindungan hukum terhadap

korban kejahatan,

terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini
disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai
baik hukum pidana materil, maupan hukum pidana formil, maupun hukum
pelaksanaan pidana. 91
Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Asas manfaat

91

Arif Gosita, Op.cit, Halaman 50

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Artinya, perlindungan korban kejahatn tidak hanya ditujukan bagai


tercapainya kemanfaatan (baik materil maupun spiritual) bagi korban kejahatan,
tetapi juha kemanfaatan bagi masyarakat luas, khususnya dalam upaya
mengutangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.
2. Asas Keadilan
Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melinndungi korban
kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang
harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.
3. Asas Keseimbangan
Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan
terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat yang terganggu menuju pada kekayaan semula (restitution in
intergum), asa keseimbangan memperoleh tempat penting dalm upaya pemulihan
hak-hak korban.
4.

Asas Kepastian Hukum


Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat

penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalm upaya memberikan


perlindungan hukum pada korban kejahatan.
Menurut pasal 10 UU No. 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM, hukum
acara yang berlaku atas pelanggaran HAM yang berat adalah hukum acara pidana,
selama tidak ditentukan lain di dalamnya. Oleh sebab itulah penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipengadilan, upaya hukum, pelaksanaan
putusan pengadilan serta pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan
perkara pelanggran HAM yang berat, jika tidak ditentukan lain dalam UU

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Pengadilan HAM, maka ketentuan yang berlaku adalah berdasarkan hukum acara
pidana biasa. 92 Selain itu menurut Muladi, jika UU Pengadilan HAM dan KUHAP
tidak mengatur, maka tidak ada salahnya mengadopsi ketentuan-ketentuan yang
diatur dalm Statuta Roma besrta segenap aturan dan prosedur sebagai
lampirannya, hal ini didasari dengan salah satu sumber hukum yaitu Customary
Law. 93
Adapun asas-asas hukum acara pidana yang terkait dengan perlindungan
saksi dan korban antara lain:
1. Asas Equality Before The Law
Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechstaat)
sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum
(gelijkheid van iedeer voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat
mengandung makna perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection
on the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice
under the law). Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal adanya perlakuan
yang berbeda terhadap orang-orang yang terkait dengan peradilan (forum
prevelegiatum) baik sebagai saksi, tersangka, maupun korban, sebagaiman
ditentukan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Penjelasan umum Pasal 3 KUHAP, dank arena itu pulalah untuk menjaga
kewibawaan penagadilan, maka segala intervensi terhadap peradilan dilarang
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
92

Hukum acara pidana yang dimaksud Pasal 10 UU No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang dihubungkan dengan Pasal 2 UU No.26 tentang Pengadila HAM tersebut
merupakan hukum acara pidana yang berlaku untuk pengadilan di lingkungan peradilan umum.
93

R.Wiyono, Op.cit, Halamn 21

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

2. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi


Asas ganti kerugain dan rehabilitasi mulanya diperuntukkan bagi
tersangka atau terdakwa yang diadili tidak sebagaimana mestinya. 94 Dalam
perkembangannya asas ini dapat diterapkan terhadap saksi dan korban yang
dirugikan terhadapsuatu tindak pidana. 95 Asas ini pada pokoknya menghendaki
adanya suatu bentuk pemberian berupa material maupun immaterial kepada orang
yang dirugikan di dalam suatu perkara pidana baik menyangkut kejadian tindak
pidana itu sendiri maupun masalah procedural pemeriksaan perkara pidana. Ganti
rugi dan Rehabilitasi ini sanagt dibutuhkan bagi saksi dan korban untuk
memulihkan atau mengembalikannya kepada korban yang tepat.
3. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan terdapat dalam Pasal 4
ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf e
KUHAP. Secara konkrit, apabila dijabarkan bahwa peradilan cepat, sederhana,
dan biaya ringan dimaksudkan supaya orang-orang yang terkait di dalam
peradilan tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut, kemudian
memperoleh kepastian procedural hukum serta proses pemeriksaan. Kaitannya
dengan keberadaan saksi dan korban adalah agar saksi dan korban diperiksa cepat
dan sederhana sehingga tidak membuat mereka menjadi tidak nyaman dan
terbebani pada saat memberikan keterangannya.
94

Pasal 9 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 95, pasal 96
dan Pasal 97 KUHAP.
95

Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentnag Pengadilan HAM, jo PP No. 3 Tahun 2002
tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat, jo pasal 6, pasal 7 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan
Korban.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

4. Asas Bantuan Hukum


Asas bantuan hukum ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3 huruf f
KUHAP yang pada intinya mewajibkan pemberian bantuan hukum terhadap
setiap orang yang tersangkut perkara pidana untuk kepentingan pembelaannya,
sedangkan asas bantuan hukum dalam Bab VII Pasal 37 UU Kekuasaan
Kehakiman menyatakan setiap orang

yang tersangkut perkara berhak

memperoleh bantuan hukum.


Selain dasar hukum tentang bantuan hukum seperti di atas, juga terdapat
di dalam Pasal 56, 69 s.d 74 KUHAP dan Pasal 37 UU Kekuasaan Kehakiman
yang bersifat imperative, serta yurispudensi Makamah Agung RI seperti Putusan
No. 510 k/Pid/1988/tanggal 28 April 1988 dan Putusan No. 165 K/Pid/1991
tanggal 16 September 1993. 96 Asas bantuan hukum ini wajib diberikan kepada
saksi dan korban, agar mereka menjadi terang akan hak-hak dan kewajibannya.

5. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan


Pada asasnya, praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan
dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta
dilaksanakan dengan cara lisan dan bahasa Indonesia. 97Pemberlakuan asas ini
lebih luas, seperti dapat diperiksanya seseorang secara in absentie atau tanpa
hadirnya terdakwa di dalam persidangan. 98 Kaitannya terhadap saksi dan korban

96

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya,
Alumni, Bandung, 2007 Halaman 18
97

Pasal 153, Pasal 154 KUHAP

98

UU No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan UU N0. 31 Tahun 1999
Tentang Tindak Pidna Korupsi

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

pelanggaran HAM berat adalah kemungkinannya dalam pemeriksaan tanpa hadir


secara langsung di pengadilan yaitu dapat melalui sarana elektronik, maupun
secara tertulis.Dalam menjaga penerapan dari asas-asas tersebut, maka
diperlukanlah suatu sistem terpadu yang melindungi saksi dan korban pelanggaran
HAM yang berat.
Dalam pasal 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:
1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia
2. Rasa aman
3. Keadilan
3.

Tidak Diskriminatif

4.

Kepastian Hukum

B . Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak


Asasi Manusia

Berat

Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, seringkali pusat


perhatian lebih ditujukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada
persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku.
Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan.
Setiap pelanggaran HAM, apakah dalam kategori berat atau bukan,
senantiasa menerbitkan kewajiban Negara untuk mengupayakan pemulihan
(reparation) kepada para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hakhak korban harus dilihat sebagai bagaian dari usaha pemajuan dan perlindungan

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

HAM

secara

keseluruhan.

Tidak

ada

HAM

tanpa

pemulihan

atas

pelanggarannya. 99
Istilah reparation adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe
pemulihan baik material maupun non-material bagi para korban pelanggran HAM;
pemulihan itu lebih dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk
pemulihan kepada para korban. 100
Basic principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power
memberikan penjelasan yang berkaitan dengan Restitusi, yaitu offender or third
parties responsible for their behaviour should, where appropiate, make fair
restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include
the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of
expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the
restorstion of rights.
Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM memberikan pengertian
kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku
tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban
atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:
a. Pengembalian harta milik
b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan
c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu
Pengertian kompensasi dalam penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM
memiliki kemiripan dengan pengertian dalam Basic Principles of Justice for
99

Ifdhal Kasim, op.cit, Halamn xiii

100

Ibid, halaman xvi

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Victim of Crime and Abuse of Power, yang menyatakan when compensation is


not fully available from the offender or other sources, states should endeavour to
provide financial compensation.
Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam
penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut
Stephen Schaper, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih
bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar
oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau
Negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana,
yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau
merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responbility of the
offender). 101
Kompensasi menurut prinsip-prinsip HAM adalah kewajiban yang harus
dilakukan negara terhadap korban pelanggaran HAM berat untuk melakukan
pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk , seperti perawatan
kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan
tanah.
Terdapat lima sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban,
yaitu: 102
1. Ganti rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Sistem
ini memisahkan ganti rugi korban dari proses pidana.
2. Kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana
101

Stephen Scrafher, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968, Halaman
112 dalam Andrey Sujatmoko,Op.cit, Halaman 156
102

Ifdhal Kasim, op.cit, halaman xvi

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

3. Restitusi bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui


proses

pidana. Walaupun restitusi disini tetap bersifat keperdataan,

namun tidak diragukan sifat pidananya. Salah satu bentuk restitusi menurut
sistem ini adalah denda kompensasi (compensatory fine). Denda ini
merupakan kewajiban yang bernilai uang yang dikenakan kepada terpidana
sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban disamping pidana
yang seharusnya diberikan
4. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan
didukung oleh sumber-sumber penghasilan Negara. Disini kompensasi tidak
memepunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana.
Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetap
negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang
dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa
Negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal
mencegah terjadinya kejahatan.
5.

Kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus. Sistem


ini diterapkan dalam hal keadaan bangkrut dan tidak dapat memenuhi tuntutan
ganti rugi kepada korban. Pengadilan perdata atau pidana tidak berkompeten
untuk memeriksa, tetapi prosedur khusus/tersendiri dan independent yang
menuntut campur tangan Negara atas permintaan korban.
Sampai sekarang di Indonesia belum ada suatu lembaga yang secara

khusus menangani masalah pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan,


seperti yang dilakukan benerapa Negara maju. Sebagai contoh di Amerika Serikat
ada suatu lembaga yang bernama The Crime Victims Compensation Board.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Lembaga ini dibentuk untuk menangani pemberian bantuan financial kepada


korban kejahatan berupa penggantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan
penghasilan, dan sebagainya. 103
Adanya lembaga semacam The Crime Victims Compensation Board
sangat diperlukan, karena lembaga ini dapat membantu korban kejahatan yang
menderita kerugian secara finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak
mampu membayar ganti kerugian kepada korban sebagai akibat suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal yang memerlukan perhatian penting
dalam pelaksanaan pembayaran ganti kerugian pada korban adalah perlunya
diupayakan agar sistem pemberian ganti kerugian dilaksanakannya dengan
sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera
direalisasikan. Apabila jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan
pembayaran ganti kerugian ini memebutuhkan waktu yang lama, dikhawatirkan
konsep perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan
terabaikan.

104

C. Mekanisme Pemberian

Perlindungan Hukum terhadap Korban

Pelanggaran HAM Berat.


UU Perlindungan Saksi dan Korban membuka kembali diskursus
tentang pemulihan (reparasi) 105 kepada korban, termasuk korban pelanggaran

103

O.C Kaligis, Human Rights and Terorism, O.C Kaligiss & Associates, Jakarta 2008,
Halaman 23
104

Ibid, Halaman 27

105

Yang dimaksud pemulihan (repation) adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe
pemulihan baik material maupan immaterial bagi para korba pelanggaran HAM. Dalam hal ini
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

HAM yang berat . 106 UU ini mengatur tentang hak korban untuk mendapatkan
kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan kepada korban pelanggran HAM
yang berat, sementara restitusi merupakan ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana. 107
Pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban sedikt berbeda
dengan UU Pengadilan HAM yang juga memberikan pengaturan atas hak
kompensasis dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM yang Berat. Untuk
implementasi hak-hak korban tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Terhadap korban Pelanggaran HAM yang Berat.
Terdapat tiga aturan pokok dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia dalam konteks untuk menganalisa regulasi tentang kompensasi dan
restitusi.
Tabel 1 108
Regulasi Nasional tentang Korban
No

Regulasi

1.

UU No. 8 Tahun Kitab Undang-Undang 1. Mengatur tentang ganti kerugian kepada


1981

Tentang

Hukum Acara Pidana

Keterangan

tersangka, terdakwa atau terpidana karena


ditangkap, dithan, dituntut dan diadili atau
dikenakan tindakan lain , tanpa alasan

pemulihan merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban, yang
diantaranya mencakup kompensasi, restibusi, dan rehabilitasi.
106

Pelanggaran HAM yang Berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 adalah kejahatan
genosida dan kejahatn terhadap kemanusiaan. (pasal 7)
107

Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban

108

Wahyu Wagiman,Zainal Abidin, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia,


Indonesia Coruption Watch, Jakarta, 2007, Halamn 10

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

yang

berdasarkan

kekeliruan

UU

mengenai

atau

orangnya

karena
atau

hukum yang diterapkan (Pasal 95)


2. Perkara pidana yang kerugian pada pihak
lain,

dapat

penggabungan

menetapkan
perkara

gugatan

untuk
anti

kerugian (Pasal 98)


2.

Peraturan
Pemerintah

Pelaksanaan

Kitab

No. Undang-Undang

27 Tahun 1983

Negara melalui Departemen Keuangan


dibebani

Hukum Acara Pidana

tanggung

jawab

untuk

menyelesaikan pembayaran ganti kerugian


yang dikabulkan pengadilan.

3.

Keputusan

Tata Cara Pembayaran Ganti kerugian

Menteri

Ganti Kerugian

adalah ganti kerugian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95

Keuangan RI No.

KUHAP

983/KMK.01/198
3

Tgl

31

Desember 1983
4.

UU No. 26 Tahun Pengadilan HAM

Mengatur tentang hak atas kompensasi,

2000

Restitusi dan Rehabilitasi Korban (KKR)


Pelanggaran HAM yang berat (Pasal 35 ayat
1)

5.

Peraturan

Kompensasi, Restitusi 1. Mengatur tentang tata cara pemberian

Pemerintah No. 3 dan


Tahun 2002

Rehabilitasi

terhadap
Pelanggaran
yang berat

korban

KKR korban pelanggaran HAM yang


berat .

HAM 2. Mengatur tentang bentuk dan besaran


KKR.
3. Mengatur tentang pihak yang wajib
membayarkan KKR

6.

UU No. 13 Tahun Perlindungan Saksi dan 1. Mengatur tentang hak atas kompensasi
2006

Korban

dalam kasus pelanggaran HAM yang


berat (pasal 7 ayat 19 a ).
2. Mengatur tentang hak restitusi atau ganti

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

kerugian yang menjadi tanggung jawab


pelaku tindak pidana (Pasal 7 ayat 1 b )

Sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, istilah kompensasi dan


restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah
ganti kerugian pada awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan , dapat
dilihat dalam KUHAP yang dibebabankan kepada pelaku kejahatan. Dalam
KUHAP juga dikenal hak untuk memperolah ganti kerugian dan rehabilitasi bagi
tersangka, terdakwa dan terpidana. Ganti kerugian bagi tersangka, terdakwa atau
terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan prosedur dalam
proses peradilan pidana. Sementara rehabilitasi diberikan kepada terdakawa yang
dibebaskan dalam putusan pengadilan.
Pasal 1 angka 22 KUHAP:
Ganti kerugian adalah hal seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas
tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan menurut cara
yang diatur dalam UU.
Pasal 2 angka 23 KUHAP:
Rehabilitasi adalah Hak seseornag untuk pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkat penyidikan , penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam UU ini.
KUHAP mengatur tiga hak hukum yang dapat digunakan oleh korban
kejahatan dalam proses peradilan pidana. Pertama, hak untuk melakukan control
terhadap penyidik dan penuntut umum, yaitu hak untuk mengajukan keberatan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau penghentian penuntutan


dalam kepastiannya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (pasal 77 jo 80
KUHAP). Kedua, hak korban kejahatan yang berkaitan dengan kedudukannya
sebagai saksi, yaitu hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 168
KUHAP) dan hak bagi keluarga korban, dalam hal korban meninggal dunia, untuk
mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi (pasal 134-136
KUHAP). Ketiga, hak untuk menuntut ganti kerugian terhadap kerugain yang
diderita akibat kejahatan (pasal 98-101 KUHAP).
Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana adalah berupa
mempercepat proses untuk memperbaiki ganti kerugian yang diderita oleh korban
kejahatan sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara
pidananya dengan perkara ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan
perkara perdata.
Bila mengacu pada sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi
korban, KUHAP lebih dekat dengan sistem bahwa kompensasi bersifat
keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Hal ini dapat terlihat dalam
ketentuan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam pasal 98 ayat (1)
KUHAP, yang berbunyi jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di
dalam sutau pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu
dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu.
Yang dimaksud dengan orang lain adalah pihak korban kejahatan,
yakni perbuatan terdakwa yang merupakan suatu tindak pidana menimbulkan

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

kerugian bagi orang tersebut. Kata dapat mengandung arti bahwa hakim ketua
sidang berwenang untuk menerima atau menolak untuk menggabungkan perkara
ganti kerugian dengan perkara pidananya. Dengan demikian diberikan keleluasaan
bagi hakim ketua sidang untuk menentukan kebijakan apakah digabungkan atau
diajukan secara perdata. Hal ini berhubungan dengan permintaan penggabungan
perkara perdata yang menyangkut orang lain yang tidak terlibat dengan perbuatan
pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka hakim ketua
sidang kemungkinan akan menolak untuk menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian tersebut. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.
01. PW. 07. 03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksannan KUHAP yang dimuat
pada bidang pengadilan, antara lain dirumuskan:
gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata diabungkan
pada perkara pidananya, yang anti rugi tersebut dipertanggungjawabkan
kepada pelaku tindak pidana..
Jika turut dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, maka hakim ketua
sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan ganti kerugian tersebut.
Sedangkan jika hanya terdakwa saja yang digugat pertanggungjawabannya maka
hakim ketua sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan perkara
tersebut. Permintaan penggabungan perkara ganti kerugian tersebut. Sedangkan
jika hanya terdakwa saja yng digugat pertanggungjawabannya maka hakim ketua
sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan perkara ganti kerugian hanya
dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

pidana atau jika penuntut umum tidak hadir maka permintaan tersebut diajukan
selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 109
Mengenai yang dapat dimintakan ganti kerugian diatur dalam pasal 99
KUHAP, yang berbunyi:
1. apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada
perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk
mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan
tersebut.
2. kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili
gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentnag penetapan hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Berdasarkan pasal 99 ayat (2) KUHAP, ganti kerugian yang dapt diputus
hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikelurakan oleh pihak yang
dirugikan, sehingga tuntutan lain daripada itu harus dinyatakan tidak dapt diterima
dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa.
Jika pada amar putusan dimuat tidak dapat diterima dan harus diajukan
sebagai perkara perdata biasa, maka pengajuan perkara perdata yang dimaksud,
bukan merupakan perkara neb is in idem.110

109

Pasal 98 KUHAP

110

Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum
Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, Halaman 85

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Amar putusan suatu penggabungan perkara memuat putusan tentang


perkara pidana dan perdata. Keterkaitan putusan perdat dan putusan pidana,
dimuat dalam pasal 99 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi: putusan mengenai ganti
kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya
juga mendapat kekuatan hukum tetap.
Hal yang dirumuskan pada pasal 99 ayat (3) tersebut merupakan
konsekunsi logis karena tuntutan ganti kerugian mengikuti perkara pidana karena
timbulnya suatu tuntutan perdata tersebut sebagai akibat pidana yang terjadi. Pada
pasal 100 KUHAP, lebih jelas memperlihatkan keterkaitan putusan perdata dan
putusan pidana, yang dirumuskan sebagai berikut:
1. apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat
banding.
2. apabila terjadi suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Dengan demikian, jika terdakwa/tergugat telah menerima putusan
pengadilan negeri maka pemohon ganti kerugian/penggugat tidak dapat
mengajukan banding. Hal ini diperjelas lagi pada Keputusan Menteri Kehakiman
RI No. M. 01. PW. 07.03 ahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang
dimuat pada bidang pengadilan, yang memuat:
apabila terdakwa/terhukum dalam pwrkara pidananya tidak mengajukan
banding, maka penggugat ganti kerugain tidak dapt mengajuka banding
dalam perkara perdatanya, tetapi dalam hal terhukum naik banding, maka
pengadilan tinggi dapat memeriksa kembali putusan penggantian kerugian,

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

apabila penggugat meminta pemeriksaan banding. Ketentuan-ketentuan


hukum acara perdata berlaku dalam pemeriksaan gugatan ganti kerugian.
Berdasarkam ketentuan dalam KUHAP dan keputusan menteri
kehakiman tersebut dapat diketahui masalah pokok adalah perkara pidana
sedangkan perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (assesoir), yang
tidak dapt dipisahkan dengan perkara pokok. Maka jika perkara pidananya telah
berkekutan hukum tetap, pihak penggugat ganti kerugian tidak dapat mengajukan
upaya hukum. Namun jika terdakwa mengajukan banding dalam perkara
pidananya maka dibuka kesempatan bagi pihak penggugat untuk mengajukan
banding.
Mengenai pelaksanaan eksekusi dari hakim ini, secara khusus tidak
diatur dalam KUHAP tetapi dalam pasal 101 KUHAP dijelaskan bahwa ketentuan
dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang
dalm KUHAP tidak diatur lia, denagn cara demikian maka eksekusi perkara
gugatan ganti kerugian dilakukan secara perdata.
Mengenai eksekusi trsebut selanjutnya dijelaskan dalam Lampiran Surat
Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. PW. 07. 03 Tahun 1983 butir 15,
sebagai berikut:
a. Gugatan perdatanya tidak diberi nomor tersendiri.
b.

Pelaksanaan putusan ganti kerugian yang digabungkan tersebut, dilakukan


menurut tata cara putusan perdata

c. Pelaksanaan putusan ganti kerugian tersebut tidak dibebankan kepada jaksa.


Maka eksekusi putusan ganti kerugian ini dapat dilaksanakan jika
putusan perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap. Apabila terpidana

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

yang dibebani kewajiban dalam amar putusan untuk membayar ganti kerugian
akan tetapi tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya, maka penggugat dapat
mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara
agar putusan tersebut dieksekusi. Permintaan tersebut dapat dilakukan secara lisan
maupun tertulis. Berdasarkan permintaan eksekusi tersebut maka Ketua
Pengadilan Negeri atau hakim yang memutus perkara tersebut, memerintahkan
kepada terpidana (tergugat) untuk selambat-lambatnya dalam waktu 8 hari agar
memenuhi putusan tersebut. Apabila setelah lewat waktu 8 hari terpidana belum
memenuhi kewajibannya, maka hakim akan menerbitkan surat perintah untuk
menyita barang bergerak milik terpidana yang diperkirakan senilai dengan
kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi. Jika barang bergerak tersebut tidak
mencukupi, maka barang yang tidak bergerak ikut disita. Penyitaan ini dinamakan
penyitaan eksekutorial yang dilakukan oleh Panitera dibantu dengan 2 orang
saksi. 111
Pada prakteknya gugatan ganti kerugian yang ditempuh melalaui
prosedur penggabungan perkara pidana dan perdata, mengalami beberapa kendala
antara lain: 112
1. Tanggung jawab mengganti kerugian bersifat individual, yakni ditujukan
kepada pelaku tindak pidana saja dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihak
lain. Hal ini mengakibatakan tidak memungkinkan bagi korban untuk
mendapatkan

jaminan

dilaksanakannya

putusan

ganti

rugi

ketidakmampuan pelaku.
111

Ibid, Halaman 96

112

Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana,


Rangkuman Disertasi, Progam Pasca Sarjana Fakultas Hukum, 20001 Halaman 4

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

akibat

2. Memerlukan tindakan aktif korban kejahatan, yaitu harus mengajukan


permohonan sebelum jaksa mangajukan tuntutan sedangkan banyak dari
korban kejahatan yang pada umumnya tidak mengetahui mengenai prosedur
hukum tentang ganti kerugian
3. Perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (accesoir), yang tidak
dapat dipisahkan dengan perkara pokok (perkara pidananya), maka jika
perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap, pihak penggugat tidak
dapat nengajukan upaya hukum.
Dengan demikian, pengaturan dalam KUHAP mengenai perlindungan
terhadap korban atas hak-haknya belum mendapat cukup pengaturan jika
dibandingkan perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana.
Pengakuan hak-hak korban dikuatkan dan diakui dalam sistem hukum
nasional dengan diundangkannya UU Pengadilan HAM walaupun untuk hukum
acaranya masih memakai mekanisme dari KUHAP. Kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi dalam UU Pengadilan HAM adalah hak khusus yang diberikan kepada
korban pelanggaran HAM yang berat.
Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyatakan:
setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan atau ahli
warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Namun, kompensasi dan restutusi korban pelanggaran HAM yang berat
ini diletakkan dalam kerangka ganti kerugian. Hal ini terlihat dalam definisi
tentang kompensasi dan restitusi dalam UU Pengadilan HAM maupun dalam PP
No. 3 Tahun 2002:

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku
tidak

mampu

memberikan

ganti

kerugian

sepenuhnya

yang

menjadi

tanggungjawabnya.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
pengganti biaya untuk tindakan tertentu.
Berdasarkan ketentuan diatas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran
HAM yang berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan
Negara. Pelaku kejahatan atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian
korban, dan inilah yang didefinisikan dengan restitusi. Sementara dalam
kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh
pemerintah ketika pelaku atau pihak ketiga tidak mampu membayar ganti
kerugian secara penuh kepada korban. Dengan ketentuan ini, muncul konsep
tanggung jawab Negara terhadap korban kejahatan (korban pelanggaran HAM
berat).
Namun, dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak diojelaskan bagaiman
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dimohonkan, hanya disebutkan harus
dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. 113 Karena dalam PP No. 3 Tahun 2002
tidak diatur mengenai tata cara pengajuan permohonan kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi maka tata cara pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam
Pengadilan HAM dilakukan sesuai dengan tata cara ganti kerugian dan rehabilitasi
dalam KUHAP.
113

Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 Tahun 2002

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Kelemahan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam KUHAP secara


otomatis juga menjadi kelemahan dalam pengaturan kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi dalam PP No.3 Tahun 2002. selain itu, terdapat permasalahn lain
dalam PP No. 3 Tahun 2002, yaitu mengenai siapa yang berhak mengajukan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Dalam Pasal 1 ayat (3) PP No. 3 Tahun
2002 memang dijelaskan siapa korban, tetapi tidak dijelaskan apakah mereka
dapat mengajukan gugatan tersebut dengan cara perwakilan seperti diwakilkan
oleh Komnas HAM atau lembaga non pemerintah. Hal ini penting untuk
dijelasakn mengingat pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime
dengan jumlah korban yang biasanya tidak sedikit dan antara lokasi tempat
kejadian dengan dilakukannya persidangan yang sangat jauh sehingga dapat
mengakibatkan ketidaktahuan para korban tentang perkara dengan terdakwa yang
telah merugikan mereka dan para korban dapat kehilangan haknya untuk
mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Hak atas kompensasi dan restitusi kembali diatur dalam UU Pelindungan
Saksi dan Korban. Dalam pasal 7, ganti kerugian kepada korban kejahatan
menngunakan istilah kompensasi dan restitusi. Namun, tidak ada penjelasan
tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan
Korban:
1. korban melalui LPSK berhak mengajukan ke Pengadilan berupa:
a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
b. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Terjadi pembedaan dalam menentukan tanggung jawab pemenuhan hakhak korban khususnya berkaitan dengan restitusi. Dalam UU Perlindungan Saksi
dan Korban, restitusi dapat diberikan kepada semua korban tindak pidana yang
terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana
hak atas kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tangung jawab pelaku dan
tidak menyertakan kewajiban bagi para pihak ketiga, sebagaimana pengertian
restitusi dalam UU Pengadilan HAM.
Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefinisian yang sedikit
berbeda tentang kompensasi dan restitusi, yakni yang diatur dalam UU Pengadilan
HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Tabel 2 114
Hak-hak korban atas Kompensasi dan Restitusi
No.

Regulasi

1.

UU No. 8 Tahun 1. Ganti rugi kepada tersangka, Dimungkinkan


1981

Hak-Hak Korban

Keterangan

terdakwa, atau terpidana


2. Rehabilitasi

korban

kepada mendapatkan ganti

terdakwa yang dibebaskan kerugian


oleh pengadilan
3. Pihak

kejahatan

ketiga

kejahatan
yang terjadi

atas
yang
pada

mengalami kerugian karena dirinya.


adanya kejahatan.
Rehabilitasi kepada tersangka Rehabilitasi dalam

114

Wahyu Wagiman, Zainal Abisin, Op.cit, Halaman 14

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

atau terdakwa atas kesalahan ketentuan


prosedur

ini

diberikan
korban

kepada
kesalahan

prosedur

dan

bukan pada korban


kejahatan.
2.

UU No. 26 Tahun Kompensasi:


2000 dan Peraturan Kompensasi

Kompensasi untuk
adalah

ganti korban

Pemerintah No. 3 kerugian yang diberikan oleh


Tahun 2002

Negara karena pelaku tidak


mampu

memberikan

kerugaian

sepenuhnya

ganti
yang

menjadi tanggung jawabnya.


Restitusi:

Restitusi

Restitusi adalah ganti kerugian korban


yang diberikan kepada korban
atau keluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga dapat berupa:
1.pengembalian harta milik
2.pembayaran ganti kerugian
untuk

kehilangan

atan

penderitaan
3.atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

untuk

Rehabilitasi:

Rehabilitasi untuk

Rehabilitasi adalah pemulihan korban


pada

kedudukan

misalnya

semula,

kehormatan,

nama

baik, jabatan, atau hak-hak lain.


Rehabilitasi adalah pemulihan
pada

kedudukan

misalnya

semula,

kehormatan,

nama

baik, jabatan atau hak-hak lain.


3.

UU No. 13 Tahun Kompensasi


2006

bagi

korban

pelanggaran HAM yang berat


Restitusi bagi korban tindak
pidana.
Restitusi bagi korban tindak
pidana.
Rehabilitasi psiko sosial

Bantuan
rehabilitasi psikososial

adalah

bantuan

yang

diberikan

oleh

psikolog
korban
menderita
atau

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

kepada
yang
trauma
masalah

kejiwaan

lainnya

untuk
memeulihkan
kembali

kondisi

kejiwaan korban.

Disamping perbedaan definisi, bentuk ganti kerugian kepada korban


dalam KUHAP , UU Perlindungan HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban
juga mempunyai pengaturan yang berbeda. Ganti kerugian kepada korban dalam
KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci mengenai bentuk-bentuk ganti
kerugian kepada korban. Hal ini terlihat bahwa pengaturan tentang adanya ganti
kerugian korban dalam KUHAP hanya ditempelkan pada pengaturan tentang
penggabungan gugatan dalam perkara pidana. Namun, dipahami bahwa kerugian
korban kejahatan dalam KUHAP yang dapat dimintakan gugatan untuk
penggantian hanya pada kerugian materiil dan tidak mencakup pada kerugian
imateriil.
Sementara, UU Pengadilan HAM mengatur lebih rinci tentang bentukbentuk ganti kerugian kepada korban. Bentuk-bentuk ganti kerugian ini dapat
dilihat dalam definisi mengenai restitusi yang merupakan ganti rugi kepada
korban atau keluarganya yang mencakup: 115
a. pengembalian hak milik
b. pembayaran ganti rugi untuk kehilangan atau penderitaan
c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu
115

Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Bentuk-bentuk ganti kerugian tersebut, jika dibebankan kepada Negara


maka terminology yang digunakan bukan lagi restitusi tetapi kompensasi
artinya, bahwa bentuk-bentuk ganti rugi untuk korban dalam UU Pengadilan
HAM adalah sama, baik untuk restitusi maupun kompensasi.
UU Perlindungan Saksi dan Korban justru tidak memberikan pengaturan
tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi kepada korban. Penjelasan
undang-undang tersebut juga tidak ditemukan definisi dan penjelasan mengenai
bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Tidak dijelaskannya bentuk-bentuk
kompensasi dan restitusi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban,
kemungkinan akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah. Pemahaman ini
dapat dilihat dari ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) UU Perlindungan Saksi
dan Koban:
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur
dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan regulasi dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) diatas, terdapat tiga
hal. Pertama, dalam Peraturan Pemerintah yang akan dibentuk juga akan
mengatur tentang pengertian kompensasi dan restitusi termasuk bentuk-bentuk
ganti kerugiannya. Kedua, dari Peraturan Pemrintah tersebut, hakim dapat
menetapkan dalam keputusannya bentuk ganti kerugian kepada korban. Ketiga,
hakim mempunyai keleluasaan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian kepada
korban dalam tidak ada regulasi yang mengatur tentang bentuk- bentuk
kompensasi dan restitusi.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Pemenuhan hak korban atas kompensasi dan restitusi telah diatur dalam
UU Pengadilan HAM. Hukum Acara Pengadilan HAM yang digunakan, selama
tidak

diatur

khusus,

mengacu

khusus

pada

ketentuan

dalam

KUHAP. 116Akibatnya, prosedur pengajukan kompensasi dan restitusi juga


mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.
Perlu ditambahkan disini bahwa dalam pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan
Saksi dan Korban menyebutkan bahwa korban melalui Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi
atau restitusi. Ketentuan ini memunculkan mekanisme baru dalam prosedur
pengajuan hak atas kompensasi atau restitusi yakni terlibatnya LPSK dalam
prosedur pengajuan. Pengaturan tersebut menunjukan dua penafisran, yakni:
Pertama, bahwa tuntutan ganti kerugian (kompensasi dan restitusi) hanya bisa
diajukan oleh korban melalui LPSK. Kedua, korban dapat mengajukan ganti
kerugian melaluiLPSK, dan dapat juga mengajukan ganti kerugian dengan
prosedur yang lainnya misalnya KUHAP. Untuk memastikan prosedur baku, perlu
keselarasan dengan regulasi yang lainnya misalnya dengan KUHAP dan PP No. 3
Tahun 2002. jika tidak ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas
kompensasi dan restitusi ini maka kemungkinan akan menimbulkan kebingungan
bagi korban, tentang mekanisme yang akan digunakan dalam mengajukan
tuntutan kompensasi dan restitusi.
Sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas, hak ats kompensasi dan
restitusi baik dalam UU Pengadilan HAM merupakan hak dari korban
pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana
116

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

dinyatakan dalam Pasal 7 UU Pengadilan HAM adalah kejahatan Genosida dan


Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.
Merujuk

pada

hukum

internasional,

setidaknya

terdapat

dua

ketidaksesuaian dengan hukum internasional yakni mengenai penggunaan istilah,


yakni perbedaan dalam penggunaan kompensasi dan restitusi. Penggunaan
terminology kompensasi dan restitusi dalam hukum nasional memiliki definisi
yang sangat terbatas. UU Pengadilan HAM maupun UU Perlindungan Saksi dan
Korban hanya mengenal bentuk pemulihan, tetapi tidak mengenai hak atas
pemulihannya itu sendiri. Hak atas pemulihan yang dimaksud disini adalah hak
menunjuk pada semua tipe pemilihan baik material maupun non material bagi
para korban pelanggran HAM berat. Pemulihan itu dikenal dengan istilah
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan tersebut merupakan bentuk
umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban. Dengan demikian,
maksud dari pemulihan ini adalah usaha memperbaiki masa lalu dan menetapkan
norma-norma untuk masa depan. Meskipun telah mengetahui hak-hak korban
pelanggaran HAM yang berat, perlu untuk meletakkan kembali dan menyesuaikan
maksud dari hak-hak atas pemulihan sesuai dengan norma dan hukum
internasional.
Pasal 1 ayat (4) PP No. 3 Tahun 2002, menjelaskan bahwa kompensasi
adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Definisi ini sama dengan definisi yang terdapat dalam Pasal 35 UU Pengadilan
HAM. Kemudian konsep kompensasi ini dimasukkan juga menjadi salah satu hak
korban dalam pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Dari pengertian ini, kompensasi dapat ditafsirkan bahwa ganti kerugian


kepada korban diambil alih oleh Negara dari kewajiban pelaku atau pihak ketiga
untuk membayar ganti kerugian. Sehingga harus dibaca bahwa untuk adanya
kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan
dipidana serta diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
Tetapi, karena pelaku tidak mampu membayarnya, yang bisa disebabkan karena
korbannya terlalu banyak atau jumlahnya ganti kerugian yang telalu besar, maka
Negara akan mengambil alih tanggungjawab pelaku ini. Pengertian inilah yang
tampak dalam praktek di pengadilan HAM Indoneisa.
Definisi kompensasi seperti ini menyempitkan makna kompensasi,
terutama yang terkait dengan tanggung jawab Negara atas pemulihan terhadap
korban. Dan tentunya sangat bebeda jauh dengan prinsip-prinsip hukum HAM
Internasional, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kompensasi
adalah kewajiban yang harus dilakukan Negara terhadap korban pelanggran HAM
yang berat untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam
berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian
pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. 117
Jadi,pengertian dari kompensasi

itu diberikan kepada korban bukan

karena pelaku tidak mampu, tetapi sudah menjadi kewajiban Negara (state

117

Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara
ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti : kerugian
fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang (lost
opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan
mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; kerugian terhadap hak
milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap reputasi atau martabat;
biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat dan
mengakibatkan adanya korban.
Hasilnya dapat dilihat dari tiga Pengadilan HAM yang sudah
dilaksanakan di Indonesia. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan
kompensasi. Pengalaman Pengadilan HAM berat di Timor-timur menunjukan
bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah
terjadinya

pelanggaran HAM yang berat dan ada korban sebagai akibat

pelanggran

HAM

tersebut

tetapi karena

pelaku

tidak

dapat

dimintai

pertanggungjawabannya, secara otomatis tidak ada kewajiban untuk membayar


ganti kerugian kepada korban.
Kenyataan ini menunjukan bahwa

pemenuhan hak-hak korban atas

kompensasi dan restitusi digantungkan dengan adanya kesalahan pelaku. Dalam


arti, korban baru akan mendapatkan kompensasi dan restitusi apabila pelakunya
dinyatakan bersalah oleh pengadilan. 118Apabila peristiwa pelanggaran HAM-nya
terbukti dan pelaku dinyatakan bersalah, maka korban berhak atas kompensasi.
Apabila tidak terbukti, maka korban tidak berhak mendapatkan kompensasi
(dan/atau restitusi).
Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung priok telah secara nyata menerapkan
dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi.
Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban
mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya

118

Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan,2006, halaman 17

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

pelaku. 119 Padahal, sudah menjadi prinsip hukum HAM Internasioanal bahwa
korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan kompensasi (dan restitusi) tanpa
harus menunggu apaakah pelakunya dipidana atau tidak.
Disamping kekeliruan pengadopsian konsep hak atas pemulihan korban,
UU Pengadilan HAM juga menimbulkan sejumlah permasalahan, terutama yang
berkaitan dengan prosedur dalam pemenuhan hak-hak korban. Hal ini terkait
dengan adanya klausus yang menyatakan bahwa korban dapat memperoleh hakhaknya melalui proses pengadilan. Padahal prosedur yang tersedia di pengadilan
tersebut tidak disiapkan secara jelas dan lengkap. Akibatnya, prosedur yang
tersedia tersebut semakin menjauhkan hak korban atas kompensasi dan restitusi.
Salah satu masalah mendasar berkaitan dengan pemberian kompenasasi
dan restitusi adalah adanya klausul yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi,
dan rehabilitasi harus dalam amar putusan pengadilan. 120
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa korban baru akan
mendapatkan kompensasi dan restitusi ketika sudah ada putusan Pengadilan HAM
yang berkekuatan tetap, yakni ketika tidak ada lagi upaya hukum yang dapat
ditempuh atau semua upaya hukum sudah ditempuh, mulai dari banding, kasasi
dan peninjauan kembali, sehingga putusan kompensasi tidak bisa segera
dieksekusi atau dilaksanakan. Akibatnya korban tidak dapat segera melakukan
pemulihan, dan semakin panjang pula jalan ynag harus ditempuh oleh korban
untuk mendapatkan hak-haknya.

119

Putusan No. 01/Pid.HAM/Ad.Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama Sutrisno Manscung


dalam Satya Arinanto,Op.cit, Halaman 376
120

Pasal 35 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 jo Pasal 6 ayat (1) PP No. 3 Tahun 2002.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Ketentuan ini sangat kontradiktif dengan tujuan kompensasi ini, yakni


untuk memulihkan korban ke keadaan semula (restitution in integrum) dan prinsip
dalam PP No. 3 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa pemberian kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. 121
Dapat dibayangkan berapa lama waktu yang harus dilalui korban untuk
memperoleh hak-haknya, mulai dari terjadinya pelanggran HAM yang berat,
penyidikan oleh Komnas HAM, penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan
Agung, proses PN tingkat pertama, banding dan kasasi dan peninjauan kembali
(PK).
Sebaiknya pengajuan kompensasi ini tidak harus menunggu sampai
putusan berkekutan hukum tetap. Pengajuan dapat dilakukan sesaat setelah korban
dipanggil Komnas HAM sebagai saksi (korban) dalam pelanggaran HAM yang
berat . krena sejak penyelidikan, komnas HAM sudah dapat mengidentifikasi yang
menjadi korban atau saksi. Jadi, prosesnya tidak harus menunggu putusan yang
berkekutan hukum tetap.
Salah satu masalah penting yang luput dari perhatian pembuat UU
berkaitan dengan masalah kompensasi dan restitusi adalah tidak diatur dan tidak
ditentukannya jangka waktu pengajuan permohonan kompensasi dan restitusi.
Untuk pengadilan HAM Timor-Timur, isu kompensasi dan restitusi
sama sekali tidak muncul dalam persidangan, baik dari pihak korban, jaksa
penuntut umum maupun hakim. Hal ini disebabkan karena PP No.3 Tahun 2002
dikeluarkan setelah berlangsungnya persidangan. 122 Sehingga, para pihak yang
121

Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 Tahun 2002

122

PP No. 3 Tahun 2002 dikeluarkan ada tanggal 13 Desember 2002, sedangkan proses
persidangan telah dilangsungkan sejak februari 2002.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

berkepentingan, dalam hal ini korban, jaksa penuntut umum, dan hakim, tidak
dapat langsung memahami dan menginternalisasi ketentuan yang terdapat
didalamnya. Akibatnya, hakim dan jaksa penuntut umum, terutama jaksa penuntut
umum tidak mampu memaknai signifikasi dan pentingnya hak-hak pemulihan
bagi korban.
Dalam kasus Tanjung Priok dan Arbepura, para korban mengajukan
permohonan secara langsung ke pengadilan pada saat mereka diperiksa sebagai
saksi di pengadilan. Mekanisme ini sebenarnya cukup baik, mengingat korban
dapat secara langsung meminta apa saja yang diinginkn kepada majelis hakim
yang memeriksa perkaranya. Permasalahannya adalah hanya para korban yang
dipanggil pengadilan saja yang dapat mengajukan permohonan atas kompensasi
dan restitusi, sedangkan korban yang tidak dipanggil untuk menjadi saksi di
pengadilan tidak memiliki peluang untuk mengajukan permohonan tersebut.
Disamping pengajuan secara langsung ke pengadilan, korban juga
menyampaikan permohonannya melalui jaksa penuntut umum. Ini dilakukan
korban dengan harapan pada saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan,
akan disertakan permohonan kompensasi dan restitusi yang dimohonkan para
korban. Berbagai cara yang ditempuh korban ini dilakukan untuk memenuhi
ketentuan Pasal 35 Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2000 yang menentukan
bahwa kompensasi dan restitusi harus dicantumkan dalam amar putusan.
Secara umum PP No. 3 Tahun 2002 hanya menetapkan pihak yang
berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi serta instansi pemerintah terkait
yang berwenang melakukan pembayaran, namun tidak menyinggung jumlah atau
besaran kompensasi dan restitusi yang dapat diajukan atau diklaim oleh korban.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Akibatnya, sebagaimana terjadi di Pengadilan HAM Tanjung Priok, korban dan


keluarganya melakukan perhitungan sendiri terhadap jumlah kerugian yang
dialami, baik kerugian materiil maupun imateriil. Kerugian materil adalah
kerugian yang bisa dihitung dengan uang yang mencakup kerugian harta benda,
pekerjaan, pengobatan, dan transportasi. Sedangkan kerugian immaterial atau
kerugian yang tidak bisa dihitung dengan uang mencakup stigmatisasi,
pengungkapan kebenaran, dan trauma psikologis. 123
Dalam melakukan perhitungan kerugian metriil didasari Keputusan
Mahkamah Agung 14 Juni 1969 No. 74 K/FIP/1969 pada 14 Juni 1969 mengenai
Penilaian Uang dilakukan dengan Harga Emas. Lalu, didasari pula Keputusan
Mahkamah Agung No. 63 K/PDT/1987 pada 15 Agustus 1988 mengenai
Pembayaran Ganti Kerugian yang didasari pada 6% per tahun. Berdasarkan acuan
ini, maka formulasi penghitungan kerugian materiilnya adalah:

NK Harga emas tahun 0,5(n)

124

2004

Harga emas tahun

Keterangan : NK = nilai kerugian


Setelah diketahui hasilnya maka ditambah dengan 6% dari hasil tersebut. Maka
setelah penjumlahan, akan diketahui nilai kerugian secara total. Hasil total
kompensasi yang diterima oleh korban adalah total keseluruhan nilai kerugian
tiap tahun.
Metode perhitungan kerugian ini kemudian diserahkan korban, melalui
Kontras kepada Kejaksaan Agung untuk dijadikan bahan pertimbangan ketika
menyusun tuntutan hukum (requisitor) mengenai kompensasi dan restutusi.

123

KCM,Kompensasi untuk Korban Priok Rp.20 Miliar, 18 Juni 2004

124

www.kontras.org, Surat KontraS untuk Permohonan Kompensasi, Restitusi, dan


Rehabilitasi diakses Tanggal 4 Desember 2009

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Sedangkan untuk peristiwa Arbepura, metode yang digunakan dalam


menghitung kerugian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yang secara riil
dialami serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan, misalnya pembunuhan secara
kilat, penyiksaan, meninggal dalam tawanan polisi, mereka yang mengalami cacat
tetap, dan mereka yang harta miliknya dirusak. Kerugian, kerusakan dan
penderitaan yang dialami ini kemudian dinyatakan dalam jumlah uang yang
dituntut. Beberapa dari jumlah ini adalah jumlah aktual biaya yang dikeluarkan
oleh korban yaitu biaya rumah sakit dan biaya kerusakan harta benda. Jumlah lain
adalah jumlah simbolis, yang kebanyakan merupakan hitungan adapt, termasuk
dalam hal ini adalah kerugian karena nafkah tidak lagi dapat diusahakan karena
cacat tetap dan biaya perdamaian. Kesemuanya ini dihitung secara persis sesuai
dengan yang dialami. 125
Berbagai metode perhitungan kerugian muncul sebagai dampak
langsung dari tidak jelasnya pengaturan mengenai Kompensasi dan Restitusi
sebagaimana terdapat dalam PP No. 3 Tahun 2002.
Sebenarnya pada tanggal 6 Oktober 2004, pemerintah yang saat itu
dikepalai oleh Megawati Soekarno Putri, telah mengeluarkan UU No. 27 tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya akan disebut
UU KKR. Undang-undang ini dibentuk untuk mengungkap kebenaran,
menegakkkan keadilan, dan membentuk budaya mengahargai HAM sehingga
dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional demi kepentingan para
korban dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk

125

Berita arbepura, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus Arbepura

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

mendapatkan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. UU KKR merupakan


implikasi dari Pasal 47 UU Pengadilan HAM yang menerangkan bahwa:
1. Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan
oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaiman dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk dengan Undang-undang.
Dalam UU KKR, definisi tentang kompensasi dan restitusi mempunyai
arti yang berbeda seperti yang ditemukan dalam UU Pengadilan HAM jo PP No. 3
Tahun 2002, yang menerangkan bahwa 126:
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban
atau kelurga korban yang merupakn ahli warisnya sesuai dengan kemampuan
keuangan Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan
kesehatan fisik da mental.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga
kepada korban atau keluargakorban yang merupakan ahli warisnya.
Dapat dilihat perbadaan antara definisi kompensasi dalam UU KKR ini
dengan UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. dalam UU KKR,
kompensasi memunculkan tanggung jawab Negara mengenai ganti ketugian
secara penuh, bukan karena pelaku tidak mampu seperti arti kompensasi dalam
UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002.
Dilihat dari tugas dan wewenang komisi tersebut, dapat disimpulkan
bahawa komisi tersebut memepunyai kewenangan yang penuh dalam membantu
126

Pasal 1 ayat (6) dan 7 UU KKR

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, mulai dari


menerima laporan dari pelaku, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya, melakukan penyelidikan dan klarifikasi mengenai pelanggaran HAM
berat, memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam permohonan amnesti,
menyampaikan rekomendasi pada pemerintah dalam hal pemeberian kompensasi
dan/atau rehabilitasi. 127 Keuntungan dari terbentuknya komisi tersebut adalah
hak-hak korban.
Salah satu alat kelengkapan komisi tersebut adalah subkomisi yang mana
mempunyai

tugas

memeberikan

pertimbangan

hukum

dalam

pemberia

kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban yang merupakan ahli


warisnya sebagai akibat dari pelanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat
membantu korban dalam menjamin hak-haknya untuk memperoleh kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi tanpa proses yang panjang seperti yang diatur dalam
KUHAP.
Pemebentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mempunyai tugas
dan wewenang yang jelas. Berbeda dengan halnya Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK), yang dibentuk melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban.
LPSK sebagai lembaga yang mandiri tidak cukup mengkoordinir kepentinhan
korban pelanggran HAM yang berat dalam hak pengajuan kompensasi dan
restitusi.
Namun pada 7 Desember 2006, UU KKR telah dicabut oleh Makamah
Konstitusi dikarenakan Pasal 27 UU KKR tidak jelas. 128 Pasal 27 tersebut
127

Pasal 6 UU KRR.

128

Kompensasi dan rehabilitasi diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum yang tetap dalam memberikan hak kepada korban berupa kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi,

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

Pengakuan atas hak-hak korban kejahatan telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari pengaturan hak ganti rugi
kepada korban dalam KUHAP, UU Pengadilan HAM, dan UU Perlindungan
Saksi dan Korban. Namun, adanya berbagai peraturan tersebut di atas
mengakibatka adanya kerancuan dalam penggunaan istilah kompensasi dan
restitusi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan
regulasi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan regulasi
dan menyebabkan ketidakjelasan dalam implementasinya. Dalam UU Pengadilan

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

HAM disebutkan bahwa korban pelanggran HAM mempunyai hak atas


kompensasi dan restitusi, yang juga diatur dalam peratutan pelaksanaanya yakni
PP No. 3 Tahun 2002. Namun demikian, sampai saat ini belum ada satupun
korban pelanggaran HAM yang berat mendapatlan hak atas kompensasi dan
restitusi. Hal ini diakibatkan karena adanya kelemahan baik mengenai konsep
kompensasi

dan

restitusi

maupun

mengaenai

prosedur

pemenuhannya.

Kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian praktek penerapan


ketentuan tentnag kompensasi dab restitusi dalam Pengadilan HAM dan
dikomparasikan dengan ketentuan dalam hukum internasional. Bahwa sejak tahun
2006 telah muncul UU Perlindungan Saksi dan Korban yang juga mengatur
tentang hak korban pelanggaran HAM atas kompensasi dan korban dan hak
korban atas restitusi. Namun, pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan
Korban tersebut ternyata tidak memberikan pengertian yang memadai tentang
maksud dari kompensasi dan restitusi. Dalam UU tersebut hanya dinyatakan
bahwa pengaturan tentang pemberian kompensasi dan restitusi akan diatur dalam
peraturan pemerintah. Hal ini berarti UU Perlindungan Saksi dan Korban
mengulangi kesalahan konsep kompensasi dan restitusi, ketidakjelasan prosedur
dan kegagalan dalam penerapan hak-hak tersebut. Akibatnya korban akan
semakin jauh dalam mendapatkan atas pemulihan yang efektif sebagaimana
dipersyaratkan dalam berbagai instrument internasional. Statuta Roma 1998
sebagai salah satu instrument hukum internasional, telah jelas mengatur mengenai
mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM
berat. Hal ini sesuai dengan apa yang telah ditentukan hukum internasional dalam
menjamin hak-hak korban khususnya korban pelanggaran HAM berat , seperti

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

pengaturan khusus tentnag ganti kerugian, bentuk ganti kerugian, dan siapa saja
yang menjamin mengenai ganti kerugian bagi korban. Dengan dibentuknya Unit
Saksi dan Korban oleh Panitera yang mempunyai tugas dan wewenang yang jelas
seperti yang ditentukan dalam Statuta Roma beserta hukum acaranya, dapat
memudahkan korban untuk meminta hak-haknya dalam mendapatkan kompensasi
dan restitusi.
2. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal pemenuhan hak korban
berupa kompensasi dan restitusi sudah dilakukan dengan dikeluarkannya PP
No. 3 Tahun 2002

tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan

Kepada Korban dan Saksi, sebagai aturan pelaksanaan dari UU Perlindungan


Saksi dan Korban. PP tersebut telah menjelaskan bagaiman korban dalam
mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi dan yang terpenting adalah
tugas dan wewenang dari LPSK sebagai lembaga mandiri yang bertanggung
jawab untuk menangani pemberian bantuan pada Saksi dan Korban.

B.

Saran

1.

Bentuk bentuk kompensasi dan restitusi harus juga dirumuskan secara


jelas sebagai panduan oleh korban maupun penegak hukum lainnya dalam
menentukan bentuk kompensasi dan restitusi. Termasuk disini adalah
besaran ganti kerugian dalam bentuk uang harus juga ada panduan dan
rumusan yang jelas. Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap
kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat diperkirakan
nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti kerugian fisik dan
mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

, misalanya pendidikan dan pekarjaan; hilangnya mata pencaharian dan


kemampuan mencari nafkah, biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang
masuk akal, kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan
yang hilang, kerugian terhadap reputasi atau martabat , biaya-biaya lain
yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan.
2.

Perlunya pengkajian kembali mengenai definisi kompensasi agar timbul


tanggung Negara secara penuh dalam pemenuhan hak-hak korban
pelanggaran HAM berat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran HAM
Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta,

Berat

2005.

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Edisi Pertama-Cetakan Kedua), CV.


Akademika Perssindo, 1989.
____________Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993.

Aref Amrullah, Politik Hukum Pidana: dalam Rangka Perlidungan Korban


Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan.Bayu Media Publishing.Malang. 2003

Amiruddin, dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada.


Jakarta. 2004

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,


Revisi, cetakan ke empat, 2005.

Jakarta, Edisi

Barda Nawawi Arif, Beberapa Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum


Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998.
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perpektif Viktimologi
dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2007.
DR.H. Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak
Pidana Terorisme. Refika Aditama. Bandung. Juni. 2007.
Erikson Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan
Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor-timur, PT.
Tatanusa, Jakarta.
Haryomataram, Hukum Humaniter: Hubungan dan Keterkaitannya dengan
Hukum Hak Azasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004,
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007.
_____________Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi.
Djambatan. Jakarta. 2004.
Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan
proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM),
Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.
Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia
LAMAMERA. Yogyakarta. 2008.

dalam

masyarakat

Komunal,

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung, 2003.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, cetakan ke-2, 2006.

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam
Perspektif Hukum Dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005.

R. Wiyono, Pengadilan Hak asasi di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.


R. Soeroso, Pengantar ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2005
Romli Atmasasmitha, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Utomo,
Bandung, 2004.
Satya Arinanto, Hak asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat
studi hukum tata Negara Fakultas Hukum Universiats Indonesia, Jakarta,
2005
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni, Bandung,
1992.
Soedjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung 2002
Teguh Prasetyo,Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilasisasi. Pustaka Pelajar . Yogyakarta.
2005

Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2005

2. Artikel
Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi
ilmiah Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP yang diselenggarakan di
Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni 2007.
Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi
dan Korban Catatan Atas Pengalaman Pengadilam HAM Ad Hoc Kasus
Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur , Elsam , Jakarta, 2005.
____________________________________________________Perlindungan
Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam , Jakarta, 2005.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, ELSAM, Jakarta,


2005.
Ifdhal Kasim, Prinsip-prinsip van Boven mengnai Korban Pelanggaran HAM
Berat Hak Asasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi
Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi,
ELSAM, Jakarta, 2002.
_____________Dilema Simalakama: Amnesti Keadilan di Masa Transisi,
ELSAM, Jakarta, 2003.

3. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat

Undang-undang No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi


Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.

Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahaan


Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention
Againts Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment)

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM


Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Undang-undang 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan
Korban

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999


Tentang Pengadilan HAM
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Saksi
dan Korban Pelanggaran HAM yang Berat

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan


Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Declaration Universal of Universal Tahun 1948

International Convenant on Civil and Political Rights Tahun 1966.

Optional Protocol International Convenant on Civil and Political Rights Tahun


1976

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and abuse of


Power
Tahun 1985.

Statute International Criminal Tribunal For Yugoslavia, 1994


Statute International Criminal Tribunal For Rwanda.1995
Rome Statute of The International Criminal Court, 1998

4. Internet
www.google.com http//one.indoskripsi.com/note/7402, Pengertian Perlindungan
Hukum. Diakses 3 Desember 2009

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

http://myfilesexpress.com/download.php?file=Pengadilan_HAM_Kasus_Timor_Timur_checke
d.rar. Diakses tanggal 4 Desember 2009

http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com.content&view=article&kid=46
9%3Akorban pelanggaran ham. Diakses tanggal 4 Desember 2009

www.kompas.com/0112/3headline/015.htm Sebanyak 2.325 Kasus Kekerasan


Terjadi di Aceh 2001. Diakses tanggal 14 November 2009

http://legal.daily-thought.info/2008/03/prinsip-prinsip-perlindungan-ham/ diakses
tanggal 4 Desember 2009

www.kontras.org, Surat KontraS untuk Permohonan Kompensasi, Restitusi, dan


Rehabilitasi diakses Tanggal 4 Desember 2009

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................
i
ABSTRAKSI..
vi
DAFTAR ISI
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........
1
B. Permasalahan..
6

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...


7
D. Keaslian Penulisan..
7
E. Tinjauan Kepustakaan..
8
1.

Pengertian Korban............................................
8

2.

Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat


13

3.

Pengertian Perlindungan Hukum...


18

F. Metode Penelitian.
20
G. Sistematika Penulisan
22

BAB II RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA


BERAT
C. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia
24
D. Bentuk-bentuk Pelanggran Hak Asasi Manusia Berat.
39

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN


PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
D. Prinsip Dasar Perlindungan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berat..
56
E. Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat..... .
72
F. Mekanisme Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
76

BAB IV PENUTUP
C. Kesimpulan
106
D. Saran..
108

Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

Anda mungkin juga menyukai