FIRANTI
050200167
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
DOSEN PEMBIMBING I
PEMIMBING II
DOSEN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
SKRIPSI
Oleh:
FIRANTI
O50200167
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
ABSTRAKSI
Firanti*
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum**
Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***
Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................i
ABSTRAKSI..vi
DAFTAR ISIvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........ 1
B. Permasalahan..6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...7
D. Keaslian Penulisan..7
E. Tinjauan Kepustakaan..8
1.
Pengertian Korban............................................8
2.
3.
F. Metode Penelitian.20
G. Sistematika Penulisan 22
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
106
B. Saran..
108
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB I
PENDAHULUAN
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
A. Latar Belakang
Perlindungan
korban
kejahatan
dalam
sistem
hukum
nasional
nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari hanya bebera
peraturan PerUndang-Undangan Nasional yang mengatur hak-hak korban
kejahatan. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan
dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari
asas setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,
sebagai landasan konstitusional. Selama ini mucul pandangan yang menyebutkan
pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana,
maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal
pendapat demikian tidak seutuhnya benar. 1
Berdasarkan
perkembangan
yang
ada,
baik
nasional
maupun
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban kejahatan
Antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2006. Halaman 4
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana,
tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang
kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi
sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak diperdulikan.
Ibid, Halaman 24
Chaerudin Syarif Fadilah. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimilogi dan Hukum
Pidana Islam. Ghalia Pers. Jakarta . 2004. Halaman 47.
5
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di
Indonesia sampai saat ini
Supriady Widodo Eddyono, Wahyu wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi Dan
Korban Pelanggaran HAM berat. Elsam. Jakarta 2005. Halaman 3
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena hak korban
akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak azasi bidang
kejahteraan/jaminan social (social security). 8Lebih jauh lagi bahwa Negara juga
telah mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui oleh dunia
internasional.
Salah satu contoh, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang
merupakan satu-satunya pengadilan yang memberikan putusan kompensasi
kepada korban belum berhasil diimplementasikan karena masih adanya hambatan
prosedur. Korban pelangaaran HAM Tanjung Priok akhirnya mendapatkan
putusan dari majelis hakim untuk mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk
mendapatkan kompensasi dalam dua putusan, dimana satu putusan
hanya
Ibid, Halaman 3
Satya Arinanto, Hak asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat studi
hukum tata Negara Fakultas Hukum Universiats Indonesia, Jakarta, 2005. Halaman 292
10
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kepada korban tergantung dari faktor kesalahan dari terdakwa dan bukan karena
hak yang melekat terhadap setiap korban pelanggaran HAM.
Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan
dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi.
Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban
mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya
pelaku.
Pernyataan di atas berbeda dengan apa yang sudah menjadi prinsip hukum
HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan
kompensasi (dan atau restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana
atau tidak.
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka penulis
mengangkat masalah mengenai perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
HAM berat ini ke dalam skripsi Penulis dengan judul PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT
B. Permasalahan
Berdasarkan
menjadi
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT sepengetahuan penulis belum ada
penulis lain yang mengemukakanya dan bila ternyata di kemudian hari terdapat
judul dan objek yang pembahasan yang sama, sebelum tulisan ini dibuat maka
penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
E. Tinjauan Kepustakaan
1.Pengertian Korban
Secara global dan representatif, pengertian korban kejahatan terdapat
pada angka 1 Declaration of Basic Principles of Justice for Victims and Abuse of
Power tanggal 6 September 1985 yang menegaskan :
Korban berarti orang-orang yang secara pribadi atau kolektif, yang telah
menderita kerugian yang termasuk di dalamnya luka fisik maupun mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hakhak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum
pidana yang berlaku di Negara-negara anaggota, termasuk hukum yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai pidana. 11
Deklarasi Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan
penyalah gunaan kekuasaan ini juga menyatakan bahwa seseorang dapat dianggap
korban tanpa menghiraukan apakah pelaku kejahatannya dikenali, ditahan,
diajukan ke pengadilan atau dihukum dan tanpa menghiraukan hubungan
kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah korban juga termasuk,
bilamana sesuai, keluarga dekat atau tanggungan korban langsung orang-orang
yang telah menderita kerugian karena campur tangan untuk membantu korban
yang dalam keadaan kesukaran atau mencegah jatuhnya korban.
Dalam resolusi MU-PBB 40/34 bahwa yang di maksud dengan korban
ialah orang-orang,baik secara individu maupaun kolektif, yang menderita
kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang
berlaku di suatu Negara, termasuk peraturanperaturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu
menjelaskan victim of Abuse of Power, bahwa dalam pengertian korban
11
Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Djambatan.
Jakarta. 2004. Halaman 120.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
12
13
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Aref Amrullah, Politik Hukum Pidana: dalam Rangka Perlidungan Korban Kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan.Bayu Media Publishing.Malang. 2003. Halaman 61.
16
Cohen dalam Romli Atsasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta,
2005, Halaman 9
18
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
19
Halaman 63
20
Undang-undang No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pasal
1 angka 5.
21
PP No.2 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 2 dan PP No. 3 tahun 2002 Tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang
Berat, Pasal 1 angka 3
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
22
23
angka 2
24
Bagian III Korban dan Saksi, Sub-bagain 1 Batasan dan Prinsip Umum Berkaiatan
dengan Korban, Aturan 85
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
secara langsung
menderita akibat
26
2009
27
28
Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, mengenai Korban pelanggaran Ham Berat.
Elsam. Jakarta. 2002 Halaman xxiii.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
(population) secara keseluruhan atau saru atau lebih dari sektor-sektor dari
penduduk suatu Negara secara terus-menerus dilanggar atau diancam. 29
Istilah pelanggaran HAM Berat yang telah dikenal dan digunakan pada
saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik didalam resolusi, deklarasi, maupun
dalam perjanjian
Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights: Gross, Sytematic Violations
dalam Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The habibi
Center , Jakarta, 2002, Halaman 75
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
perbudakan
seksual,
pelacuran
secara paksa,
pemaksaan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional
i.
j.
kejahatan apartheid
Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatn terhadap
30
Muchamad Ali Syafaat, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan,
dalam F.Budi Hadirman , et al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi. Imparsial. Jakarta. 2003
Halaman 63
31
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2005 Halaman 29
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, belum ada definisi yang
baku, baik dari instrument hukum HAM Internasional dan nasional, instrumentinstrument hukum HAM tersebut hanya menggambarkan cakupan planggaran
HAM yang berat saja, bahkan terdapat ketidaksinkronan dengan pengertian
pelanggaran HAM yang berat dari hukum positif Indonesia yaitu dari penjelasan
Pasal 104 UU HAM dengan yang terdapat di dalam UU pengadilan HAM. Dari
sisi ajaran para sarjana sekalipun, definisi pelanggaran HAM yang berat hanya
berupa pengelompokkan saja. 32
33
Wjs Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1961
Halaman 794
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
R. Soeroso, Pengantar ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2005 Halaman 24-25
35
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Jadi pengertian dari perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta
yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan
kesajahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. 37
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yakni
merupakan penelitian yang dilakukan dan ditunjukan pada berbagai peraturan
perundang-undangan tertulis adan berbagai literature yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normative ini disebut
juga dengan penelitian hukum doctrinal atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas. 38
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang membagi
penelitian hukum sebagai berikut: 39
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah
(dogma atau doktrinal) hukum positif.
37
Amiruddin, dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
204 Halaman 118.
39
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
4.Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adlah denagn cara
kulitatif, yakni menganalisi data sekunder tanpa menggunakn statistic untuk
menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalm beberapa tahapan yang
disebut dengan BAB, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya
tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan
keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut:
BAB I :Berisikan pendahuluan yang di dalamnya di uraikan mengenai latar
belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan
dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan, yang kemidian diakhiri dengan
msistematika penulisan.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB II : merupakan Bab yang membahas ruang lingkup Hak Asasi manusia
berat, yang di dalamnya akan dibahas mengenai
kewajiban Negara
BAB II
RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dan
merata,
serta
mengembangkan
kehidupan
masyarakat
dan
40
41
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
42
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1992
Halaman 29
43
Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Azasi Manusia dan Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Azasi Manusia , Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, Halaman 61
44
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerinthan itu dengan tidak ada
kecualinya. 45
Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah berkenaan dengan persamaan
kedudukan dalm hukum yang diwujudkan di dalam proses peradilan pidana
sebagai asas equality before of law46, yang mana setiap orang yang berhadapan
dengan hukum diperlakukan sama dalam proses pemeriksaannya baik sebagai
tersangka, terdakwa (presumption of innocent), saksi, maupun korban. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja tujuan dari hukum adalah untuk ketertiban, kepastian
hukum, serta keadilan. 47. Bila dikaitkan ciri negara hukum dengan tujuan dari
hukum itu sendiri orintasinya adalah demi menjadikan suatu masyarakat yang
sejahtera secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat
dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis yang ditempuh melalui
pembangunan nasional. Dalam mencapai masyarakat yang sejahtera, adil, serta
demokratis maka sangat dibutuhkannya jamian HAM dan kepastian hukum dari
Negara itu sendiri. Di Indonesia jaminan terhadpa HAM secara Eksplisit tertuang
didalm UUD 1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J.
KUHAP yang diklaim sebagai Karya Agung bangsa Indonesia, karena
menekankan pada HAM dan ketentuan-ketentuan yang bersifat anti-tese
48
dari
45
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas
Prsamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni Bandung,
2003,Halaman 2
46
47
Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi ilmiah Dari
KUHAP Menuju RUU KUHAP yang diselenggarakn di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni
2007
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
HIR, ternyata masih banyak kelemahannya dari segi perlindungan HAM. Hal ini
karena KUHAP tersebut perlindungan HAM-nya lebih menitik beratkan terhadap
pelaku (offender oriented), sedangkan perlindungan HAM terhadap saksi dan
korban sangat tidak memadai. Beranjak dari cita-cita Negara hukum yang
dihubungkan dengan tujuan hakim, maka pengaturan perlindungan saksi dan
korban khususnya pelanggaran HAM yang berat diperlukan untuk ketertiban,
kepastian hukum serta keadilan yang nantinya akan menjadikan msyarakat
Indonesia adil dan makmur.
HAM merupakan sekumpulan hak yang bersifat normatif atau
merupakan legal rights . Sifat normatif ditandai dengan adanya landasan hukum
secara internasional yang mengatur HAM . Norma-norma HAM yang terdapat di
dalam instrument hukum HAM Internasional selanjutnya menciptakan kewajiban
bagi Negara untuk melindungi dan menjamin HAM setiap individu.
Sejak dibentuk pengadilan internasional tentang kejahatan perang di
Nuremberg (yang dikenal dengan dengan Nuremburg Trial) setelah perang Dunia
II, telah berkembang dalam hukum inetrnasional konsep tentang kewajiban
Negara untuk melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelaku
kejahatan internasional yang serius, seperti genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang yang sekaligus merupakan pelanggaran berat
HAM. Dalam konteks kewajiban tersebut, termasuk pula didalamnya untuk
memberikan restitusi atau kompensasi terhadap para korban. Kini terdapat banyak
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
proses pengadilan dan diberikannya ganti rugi atau rehabilitasi bagi para korban
pelanggaran. 51
Dalam pelanggarannya selanjutnya, hukum internasional semakin
mengukuhkan pentingnya pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan
pelanggaran HAM, baik yang termasuk kategori pelanggaran berat maupun
kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Berbagai instrument hukum
HAM internasional secara tegas mencantumkan kewajiban Negara guna
menghukum pelaku kejahatan terhadap integritas fisik seorang. Penafsiran resmi
berbagai badan internasional dan regional, maupun pendapat dari kalangan pakar
terkemuka mengenai instrument-instrument tersebut secara berulang-ulang
menekankan betapa pentingnya proses pengadilan dan penghukuman terhadap
pelaku atas tindakan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan. Selain itu,
konvensi-konvensi internasional mengenai HAM juga mengkukuhkan tentang
arti pentingya ganti rugi atau rehabilitasi bagi korban tindak pelanggaran berat
HAM.
Piagam PBB pada dasarnya mengandung sejumlah kaidah hukum HAM
yang meletakkan sejumlah kewajiban yang bersifat mengikat setiap Negara
anggota. Ketentuan yang mengatur, antara lain, terdapat di dalam Pasal 55 (c)
yang mengatur PBB akan mempromosikan universal respect for, and
observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction
as to race, sex, language, or religion.(penghormatan menyeluruh atas hak-hak
51
Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Azasi Manusia di Masa
Lalu, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Triyadi Terre,(edit), op.cit., Halaman 312-313
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
asasi manusia dan kebebasan tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau
agama.)
Berkaitan dengan pasal diatas maka Negara-negara anggota PBB
memiliki kewjiban untuk mempromosikan HAM sebagaimana yang diatur dalam
pasal diatas. Namun, apabila suatu Negara melakukan tindakan yang bertentangan
dengan kewajiban tersebut maka dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran
terhadap Piagam PBB.
Tindakan yang bertentangan denagan kewajiban menurut Piagam PBB
memiliki konsekuensi sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB. Khusus
berkaitan dengan pasal di atas, misalnya suatu Negara melakukan pelanggaran
berat HAM. Hal ini dapat dijelaskan, 52
..the organization has over the years succeeded in clarifying the scope
of the Member States obligation to promote human rights, expanding it and
creating UN Charter-based institutions designed to ensure compliance by
governments. Today it is generally recognized, for example, that a UN Member
States which engages in practices amounting to a consistent pattern of gross
violations of internationally guaranted human rights is not in compliance with
obligation to promote..universal respect for, and observance of.. these rights
and that, consequently, it violates the UN Charter.(PBB mengklarifikasikan
kewajiban Negara anggotanya untuk mempromosikan hak-hak asasi manusia,
memperluas dan menciptakan lembaga yang sesuai dengan traktat PBB yang
dirancang untuk menjamin kepatuhan oleh pemerintah. Dewasa ini, sudah diakui
secara umum misalnya bahwa Negara anggota PBB yang terlibat dalam praktekpraktek yang menggambarkan pola pelanggaran konsisten terhadap hak-hak asasi
manusia yang diakui secara internasional, adalah ketidakpatuhan terhadap
kewajiban untuk mempromosikan penghargaan atau penghormatan universal
terhadap hak-hak yang didalam Traktat PBB).
Sumber utama yang merupakan instrument hukum HAM internasional
dikenal sebagai the International Bill of Human Rights. Instrument hukum
tersebut terdiri dari: Deklarasi Universal HAM, Perjanjian Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) serta Perjanjian International
52
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) beserta dua protocol tambahannya.
Kewajiban Negara dalam soal HAM timbul sebagai komitmen dari Negara,
seperti dinyatakan dalam pembukaan UDHR,member State have pledged
themselves, in cooperation with the United Nations, the promotion of Universal
respect for and observance of human rights and fundamental freedoms.(Negara
anggota telah bekerjasama dengan
secara universal terhadap hak-hak asasi dan kebebasan).Hal ini juga dinyatakan di
dalam bagian pembukaan pada ICESCR dan ICCPR, ..considering the obligation
of State under the Charter of the United Nations to promote universal respect for,
and observance of, human rights and freedom,
Pernyataan lebih tegas bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi
dan menjamin HAM diatur dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR, Each State Party to
the present Covenant
Kewajiban tersebut secara nyata harus diwujudkan oleh Negara yang
dalam hal ini dilaksanakan oleh otoritas yudisaial, administrative, legislative,
maupun oleh otoritas lainnya dalam bentuk dilaksanakannya remedi terhadap
individu yang telah menjadi korban pelanggaran HAM, diatur dalam Pasal 2 ayat
(3) ICCPR.
Each State Party to the present Convenant undertakes: a. to ensure
that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall
have an effective remedy, notwithstanding that the violations has been commited
by persons acting in an official capacity: b. to ensure that any person claiming
such a remedy shall have his rights thereto determined by competent judicial,
administrative or legislative authorities, or by any other competent authority
provided for by the legal system of the state, and to develop the possibilities of
judicial remedy; c. to ensure that the competent authorities shall enforce such
remedies when garnted.(setiap Negara dalam perjanjian berusaha; a. menjamin
hak-hak atau kebebasan yang diakui akan mendapatkan tindakan pemulihan
efektif, denagn ketentuan bahwa pelanggaran tersebut telah dilakukan diluar
kekuasaan, b. menjamin bahwa setiap orang yang mengklaim pemulihan tersebut,
akan memiliki hak-hak yang ditentukan oleh otoritas judicial, administrasi, dan
legislative yang berwenang yag diberikan terhadap sistem hukum Negara dan
untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yudisial, c. menjamin bahwa
otoritas yang berkompeten akan melaksanakan pemulihan bila sudah diberikan).
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
disiplin ilmu tersendiri yang merupakan cabang dari hukum internasional, yaitu
hukum HAM internasional. Menurut Thomas Buergenthal, hukum HAM
internasional adalah, as the law that deals with the protection of individuals
and group against violations by their government of their internationally
guranteed rights, and with the promotions of these rights. 53(sebagai hukum yang
menangani perlindungan individu dan kelompok terhadap setiap pelanggaran atau
kekerasan oleh pemerintah atas hak-hak yang dijamin secara internasional)
Menurut Haryomataram, hukum HAM internasional mencakup semua
peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan melindungi (protecting) dan
menjamin (safeguarding) hak-hak individu apa pun status hukum mereka, yaitu
penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga Negara asing, orang asing,
pria ataupun wanita pada setiap saat, baik dalam keadaan damai maupun keadaan
perang (atau perang saudara, pemberontakan), dalam wilayah Negara sendiri
maupun diluar negeri. 54
Berdasarkan dua definisi diatas, terlihat kaidah-kaidah dan prinsipprinsip hukum HAM internasional mengatur perlindungan dan jaminan HAM
setiap individu tanpa kecuali. Sebagai subjek, individu adalah pihak yang yang
harus mendapatkan perlindungan dan jaminan terhadap HAM, sedangkan pada
sisi lain Negara adalah pihak yang dibebani kewajiban untuk menjamin
perlindungan dan jaminan terhadap HAM.
53
Ibid, Halaman 1
54
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Tahun 2000
intrnasional. 56
Sejumlah HAM yang dikenal dewasa ini, diantaranya merupakan
kategori hak-hak yang memiliki sifat tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut
terdapat sejumlah HAM yang pelaksanaanya boleh ditunda, yaitu termasuk
kategori ini antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak
untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara.
Ada sejumlah HAM yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya dalam
keadaan apapun, yaitu termasuk ke dalam kategori non-derogable rights. Hak-hak
yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya,
hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena
tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak
diberlakukan hukum yang berlaku surut dan hak untuk bebas berpikir, berhati
nurani, dan beragama. 57
Dalam perkembangannya, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang
bersifat non-derogable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu
pelanggaran HAM berat. Pendapat yang mengatakan penggunaan kata berat
bermaksud untuk menggambarkan tingkah kerusakan, kerugian, atau penderitaan
yang sedemikian hebatnya akibat dari pelanggaran HAM tersebut. 58
Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, seringkali pusat
perhatian lebih ditunjukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada
56
58
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
korban
memperoleh
pemulihan
sebagai
upaya
Ifdal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat
Hak Azasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas
Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002, Halaman xiii.
60
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kepada seseorang yang dihukum dengan memerinci ganti rugi yang layak
terhadap korban, termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun sebelum
Mahkamah mengeluarkan perintahnya tersebut, Mahkamah perlu mengundang
dan mempertimbangkan pandangan dari:
1. wakil terdakwa atau orang yang bertindak untuk dan atas nama terdakwa
(bukan penasehat hukumnya),
2. wakil dari korban atau orang yang bertindak atas nama korban,
3. orang-orang lain yang merasa berkepentingan, atau
4. Negara-negara yang berkepentingan
Apabila sesuai, Mahkamah dapat memutuskan bahwa pemberian ganti rugi
tersebut dapat dilakukan melalui Trust Fund.
Dalam hal ini korban juga diberi hak
pemulihan atau ganti kerugian atas dirinya
64
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
internasional dan bukan merupakan tindak piadana yang diatur dalam di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil
maupun immateiil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan
supremasi
hukum
untuk
mencapai
kedamaian,
ketertiban,
R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manuisa, Kencana, Jakarta, 2006, Halaman 170
66
R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kencana, Jkarta, 2006, Halaman 170
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pelanggaran yang dilakukan. Kata berat juga berhubungan dengan jenis hak
asasi manusia yang dilanggar. 67 Sesuai Statuta Roma yang menjadi dasar
pendirian Makamah Pidana Internasional, tindak pidana yang menjadi yurisdiksi
makamah ini adalah tindak yang bersumber pada HAM, yaitu:
1. Kejahatan Genosida
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.
membunuh
b.
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok
c.
d.
e.
2000 tidak berbeda dengan pengertian kejahatan genosida menurut Statuta Roma
tahun 1998 Pasal 6.
2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaaan adalah salah satu perbtuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
67
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pembunuhan
b.
pemusnahan
c.
perbudakan
d.
e.
f.
penyiksaan
g.
h.
i.
j.
kejahatan apartheid
Kejahatan terhadap kemanusiaan UU No. 26 tahun 2000 mengacu pada
Pasal 7 Statute Roma yang di dalam ayat (2) statute tersebut menjelaskan antara
lain:
a. serangan tersebut terhadap suatau kelompok penduduk sipil berarti
serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari
perbuatan yang mencakup pelaksanaan dari perbuatan yang dimaksud
dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai dengan atau
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
3. Kejahatan Perang
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
2.
3.
4.
Pengrusakan parah dan menguasai secara tidak sah suatu benda, bukan
diarahkan oleh paksaan militer dan membawanya secara melawan hukum
5.
Pemaksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi untuk bekerja secara
paksa dibawah kekeuatn musuh
6.
Dengan sengaja merampas tahanan perang atau ornag yang dilindungi secara
HAM
7.
8.
Menyandera
4. Kejahatan Agresi
Kejahatan Agresi merupakan salah satu jenis kejahatan yang ditangani
oleh Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
(d). namun masih terdapat beberapa perdebatan ketika Kejahatan Agresi ini
dimasukkan ke dalam Statuta Roma.
Amerika adalah pihak yang paling keberatan apabila Kejahatan Agresi
dimasukkan ke dalam jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Amerika lebih
suka apabila yang menentukan kejahatan tersebut adalah Dewan Keamanan PBB.
Keberatan yang diajukan Amerika tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari
Negara lain termasuk Negara-negara yang selama ini menjadi kawan aliansinya
sperti Negara-negara Eropa yang tergabung dalam Nato. Meskipun demikian pada
hasil akhirnya, Makamah Pidana Internasional tidak dapat menggunakan
yurisdiksinya atas suatu tindakan agresi. Dewan Keamanan PBB merupakan pihak
yang berwenang untuk menentukan apakah tindakan tersebut masuk kedalam
Kejahatan Agresi atau tidak.
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap kemanusiaan pertama
kali dalam peradilan penjahat perang dunia II, di Jerman maupun di Tokyo.
Selanjutnya pasca perang dingin hingga saat ini melalui pembentukan peradilan
internasioanl yang baik yang bersifat ad hoc yaitu ICTR (Internatioanl Criminal
Tribunal for Rwanda) 29 dan ICTY (International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia) maupun peradilan yang bersifat permanent yaitu ICC (International
Criminal Court).
Apabila ditelaah definisi dari kejahatan terhadap kemanusiaan, maka
unsur-unsurnya adalah secara meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil
dan bukannya merupakan kejahatan yang spontan atau sporadic. Pengertian
sistematis berkaitan dengan suatu kebijakan/rencana yang melatarbelakangi
terjadinya tindak pidana tersebut, sedangkan pengertian meluas (widespread)
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
cenderung merujuk kepada jumlah korban (massive), skla kejahatan dan sebaran
tempat. Selanjutnya unsur yang kedua adalah adanya pengetahuan (knowledge)
dari pelaku bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan bagian dari atau
dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik
terhadap penduduk sipil. Tetapi perlu ditegaskan bahwa untuk dapat dipidana
karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak diisyaratkan bahwa si
pelaku telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti dari
perencanaan atau policy dari Negara atau organisasi tersebut.
Secara umum unsur-unsur kejahatan mencakup mencakup unsur objektif
dan unsur subjektif. Unsur objektif (criminal,
68
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
terakhir
dari
setiap
Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan
yang
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
bahwa kejahatan tersebut dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh non state
actors.
Selanjutnya adanya persyaratan persyaratan bagi pelaku yang harus
memiliki knowledge attack, haruslah diartikan sebagai kesengajaan khusus
(spesificintent).
Misalnya
seseorang
yang
melakukan
serta
melakukan
69
Peter R. Baehr, Human Rights University in Practise, New York, St. Martins, 1999
Halaman 20 dalam Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM
Indonesia; Timor Leste, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005 Halaman 6
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
hal tersebut
merupakan
Merah berkuasa.
Sebagaimana yang dialami oleh berbagai Negara lainnya pada masa
transisi politik, di Indonesia pada era reformasi telah muncul berbagai tuntutan
untuk menyelesaiakan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tuntutan itu
mengarah kepada bebrbagai kasus, misalnya kasus-kasus terbunuhnya para
mahasiswa dalam kegiatan demintrasi karena bentrok dengan aparat keamanan,
seperti yang dikenal dengan kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semangi 1 (13
November 1998), dan Semang II (22-24 September 1999). Ada pula kasus-kasus
70
Manfred Mohr, The ILCS Distinction between International Crimes and International
Delicts and its Implications, New York, 1987, Halaman 126-127 dalam Ibid, Halaman 143
71
Ibid, halaman 27
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
lainya yang juga dituntut untuk diselesaikan seperti kasus pelanggaran HAM berat
Tanjung Priok (12 September 1984), kasus pelanggaran HAM berat di Aceh
semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 19891999 dan kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur dalam wilayah hukum
Liquica, Dilli dan Suai.
72
72
73
Soedjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung 2002, Halaman 34
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Yaitu Abilio Soares, Timbul Silaen, Herman Sedyono dkk (Liliek Koeshadianto, Gatot
Subiyaktoro, Achmad Syamsudin dan Sugito) Eurico Guterrres, Soerdjawo, Endar Priyanto, Adam
Damiri, Hulman Gultom, M Noer Muis, Jajat Sudrajat, Tono Suratman dan Asep Kusawani dkk
(Adios Salova, Leonito Martins)
76
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
menjelang dan setelah jajak pendapat 1999 dan jatuhnya korban dalam peristiwa
tersebut.77
Tidak adanya pembahasan atau putusan mengenai kompensasi dan
restitusi bagi korban tersebut, kemungkinan besar disebabkan tidak adanya
permohonan kompensasi dan restitusi yang diajukan ke pengadilan sebagaimana
yang ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Namun terlepas dari tidak adanya
permohonan dari penuntut umum maupun korban, tidak diakuinya hak-hak korban
dalam pengadilan ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip
internasional yang telah diakui oleh hukum internasional. 78
http://myfilesexpress.com/download.php?file=Pengadilan_HAM_Kasus_Timor_Timur_checked.rar. Diakses
tanggal 4 Desember 2009
78
http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com.content&view=article&kid=469%3A
korban pelanggaran ham. Diakses tanggal 4 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Akan tetapi ke empat orang tersebut tidak dibebaskan yang akhirnya Amir Biki
mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa yang
bergerak kearah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu
regu Arhanud yang dipimpin oleh Sersan dua Sutrisno Mascung di bawah
komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang
sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang
terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.
Pengadilan HAM Tanjung Priok memeriksa dan mengadili 14 orang
terdakwa yang diduga bertanggung jawab dalam peristiwa pelanggaran HAM
Tanjung Priok. Dari 14 orang terdakwa tersebut, 12 orang dinyatakan terbukti
bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi hukuman, dan 2
orang terdakwa lainnya dinyatakan tidak terbukti
bersalah. 79 Mengenai
c.kasus Arbepura
kasus Arbepura ini bermula dengan penyerangan massa pada 7
Desember 2000, terhadap Mapolsek Abepura yang mengakibatkan seorang polisi
meninggal dunia (Bripka Petrus Eppa) dan tiga orang polisi lainnya luka-luka.
79
Yang dinytakan bersalah adalah R. Butar-Butar dan Sutrisno,dkk. Sedangkan yang tidak
bersalah adalah Sriyatno dan Pranowo
80
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Disertai pembakaran ruko yang berjarak seratus meter dari Mapolsek. Terjadi juga
penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor dinas otonom Kotaraja. Pasca
penyerangan massa ke Malpolsek Abepura tersebut, Kapolres Jayapura AKBP
Drs. Duad Sihombing, SH setelah melapor kepada Wakapolda Brigjend (Pol) Drs.
Moersoetidarno Moehardi D. yang langsung melaksanaka perintah perasi untuk
pengejaran dan penyekatan ke tiga
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Negeri Makasar. Pengadilan HAM ini, berlainan dengan Pengadilan HAM TimorTimur dan Tanjung Priok yang bersifat Ad Hoc, karena perkara Arbepura ini
terjadi setelah UU Pengadilan HAM berlaku Efektif. Keduanya dibebaskan
pengadilan dengan alasan peristiwa Arbepura bukan merupakan pelanggran HAM
Berat sebagaimana dimaksud dalam UU Pengadilan HAM.
Di samping kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung
Priok dan Arbepura yang telah diadili dalam Pengadilan HAM.,ada beberapa
kasus-kasus yang diduga merupakan Kejahatan HAM Berat. Kasus-kasus tersebut
dapat berupa pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara (melalaui
aparatnya) terhadap rakyat, 81
sendiri, yakni antara kelompok rakyat yang satu dengan kelompok rakyat yang
lainnya. 82 Bebrapa kasus tersebut antara lain:
a. Kasus Aceh
Kelahiran Gerakan Aceh Merdeka tanngal 4 Desember 1979
menyebabkan konflik yang semakin meluas di Aceh, karena pihak pemerintah dan
GAM saling bersikukuh pada prinsipnya masing-masing. Hal ini telah
mengakibatkan puluhan ribu kasus Pelanggaran HAM yang menimpa rakyat sipil
ketika berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh tahun 1989 hingga
1998. Pendekatan Keamanan yang dilakukan Pemerintah tersebut mengakibatkan
puluhan ribu anak menjadi yatim dan wanita menjanda, ribuan orang meninggal
81
Atau yang lazim dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang bersifat vertikal
82
Atau yang lazim dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang bersifat horizontal
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dunia, hilang dan disiksa, ratusan wanita dperkosa dan kehilangan tempat tinggal
serta barang-barang berharga, puluhan anak lahir tanpa bapak.. 83
Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dalam
periode tahun 2001 warna kekerasan masih mengental di bumi Aceh , dan tercatat
tidak kurang dari 2.325 kasus aksi kekerasan terhadap kemanusiaan telah terjadi.
Kasus-kasus kekerasan yang dimaksud meliputi sekitar 1.000 kasus pembunuhan,
683 kasus penyiksaan, 107 kasus penghilangan orang secara paksa, dan 535 kasus
penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang. 84
Sebagai bahan perbandingan, menurut Komosi untuk Orang Hilanag dan
Korban Tindak Pidana Kekerasan (Kontras), sepanjang tahun 2001, hingga bulan
September, terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri sebanyak
353 peristiwa, GAM sebanyak 62 peristiwa, dan 357 peristiwa yang tidak
teridentifikasi. 85
Selanjutnya pasca pencabutan DOM 8 Agustus 1998 lalu oleh Panglima TNI
Jendral Wiranto, berbagai kerusuhan dan tragedi terus berlanjut, akibatnya korban
kembali berjatuhan, mulai dari tragedi kerusuhan Lhoksumaw, tragedy Gedung
KNPI, tragedi Idi Cut, tragedi KKA, Penembak Misterius (Petrus) dan
mengungsinya masyarakat dalam jumlah besar dari desa mereka. Selanjutya
investigasi TPF-DPR RI, komnas HAM, TGPF Pemda yang hinnga kini belum
mampu satu orang pun pelaku pelanggaran HAM di Aceh di seret ke Pengadilan.
83
84
Sumber data dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) Banda Aceh
di
Aceh
2001,
85
http://
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Ibid
87
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Kasus Semanggi I (13 November 1998) terjadi saat para mahasiswa yang
sedang berunjuk rasa untuk menentang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR pada
bulan November 1998 bentrok dengan aparat keamanan di kawasan Semanggi,
yang mengakibatkan sejumlah orang tewas. Sedangkan kasus Semanggi II (22-24
September 1999) terjadi pada saat mahasiswa yang sedang berunjuk rasa untuk
menolak
diberlakukannya
Rancangan
Undang-Undang
(RUU)
tentang
88
Muladi soal Kasus Trisakti dan Semanggi I-II: Lebih Baik Diselesaikan dengan Hukum
Nasional, Kompas, 16 Mei 2002 Halaman 7
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN
HAK ASASI MANUSIA BERAT
Universal
Hak
Asasi
Manusia
(DUHAM)
yang
89
http://legal.daily-thought.info/2008/03/prinsip-prinsip-perlindungan-ham/ diakses
tanggal 4 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
1. Prinsip Universalitas
Prinsip universalitas dimaksudkan bahwa Hak Asasi ini adalah milik
semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam
DUHAM Pasal 1:
All human beings berarti bahwa everyone (setiap orang) memiliki hak yang
sama atau dengan kata lain no one (tiadak seorang pun) boleh diabaikan hakhaknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau
asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status lainnya. Penggunaan istilah
yang menunjukan prinsip uversalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM
lainya, seperti CCPR menggunakan kata every human beings di Pasal 6, kata
every one di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16,
Pasal 17 (2), Pasal 18 (1), Pasal 19 dan Pasal 22. sedangkan istilah all person
dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, anyone di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta
kata no one di Pasal 6,7,11,15 dan 17 (1) . di Konvensi HAM Amerika
(American Convention of human rights 1969) juga dijumpai hamper di setiap
pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal pengguanaan istilah every
one, every person, any one, no one secara bergantian. Lebih menarik
dalam salah satu ketentuan, yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah every
minor child yang menunjukan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil
diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan Negara Amerika
Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini, sedangkan dalam African Charter
Human Rights and Peoples Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu every individual dan all
peoples. Istilah-istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM No. 39 Tahun
1999.
2. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi
Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang
sama tanpa dibeda-dibedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki
hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan
berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahsa, agama, politik yang dianut,
kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.
Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1: All human beings are
bom free and equal in dignity and rights. Begitu pula yang disebutkan
dalam CESCR Pasal 2: everyone is entitled to all rights and freedoms set
forth in this declaration, without dinstintion of any kind, such as race, colour,
sex, language, religion, political, ..
Perlindungan HAM di benua Eropa, Amerika, dan Afrika, prinsip
equality ini juga diadopsi secara jelas. Di Amerika misalnya, berdasarkan
konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) pada
bagaian pembukaan menyadari bahwa HAM bukan diturunkan oleh Negara
dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia
dan oleh karenanya menurut konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin
perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat.
Jadi jelas bahwa menurut konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah
AS berhak mndapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang
lebih solid.
Di Negara Islam seperti Arab Saudi, menurit The Arab Charter of
Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan
Alenia II menyatakan bahwa dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap
manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam
mencapai prinsip yang telah ada dalam hukum Islam termasuk hidup
berdampingan dengan beda agam. Sedankan prinsip tanpa diskriminasi secar
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tegas dinyatakn dalam Bagian Kedua pasal 2 bahakan secara eksplisit pelanggaran
diskriminasi terhadap pria dan wanita.
Tahun 1999 dan UU No.26 Tahun 2000, perlindungan Hak Asasi Manusia sudah
menjadi asas pokok dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini terbukti dari
pernyataan UUD Republik Indonesia 1945 dalam pembukaannya di Alinea
pertama yang menyatakan bahwa Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka
penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan . Hal
ini berarti adanya freedom to free yaitu kebebasan untuk merdeka, dan
pengakuan atas perikemanusiaan telah menjelaskan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Dalam
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
korban kejahatan,
terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini
disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai
baik hukum pidana materil, maupan hukum pidana formil, maupun hukum
pelaksanaan pidana. 91
Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Asas manfaat
91
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Pengadilan HAM, maka ketentuan yang berlaku adalah berdasarkan hukum acara
pidana biasa. 92 Selain itu menurut Muladi, jika UU Pengadilan HAM dan KUHAP
tidak mengatur, maka tidak ada salahnya mengadopsi ketentuan-ketentuan yang
diatur dalm Statuta Roma besrta segenap aturan dan prosedur sebagai
lampirannya, hal ini didasari dengan salah satu sumber hukum yaitu Customary
Law. 93
Adapun asas-asas hukum acara pidana yang terkait dengan perlindungan
saksi dan korban antara lain:
1. Asas Equality Before The Law
Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechstaat)
sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum
(gelijkheid van iedeer voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat
mengandung makna perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection
on the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice
under the law). Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal adanya perlakuan
yang berbeda terhadap orang-orang yang terkait dengan peradilan (forum
prevelegiatum) baik sebagai saksi, tersangka, maupun korban, sebagaiman
ditentukan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Penjelasan umum Pasal 3 KUHAP, dank arena itu pulalah untuk menjaga
kewibawaan penagadilan, maka segala intervensi terhadap peradilan dilarang
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
92
Hukum acara pidana yang dimaksud Pasal 10 UU No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang dihubungkan dengan Pasal 2 UU No.26 tentang Pengadila HAM tersebut
merupakan hukum acara pidana yang berlaku untuk pengadilan di lingkungan peradilan umum.
93
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Pasal 9 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 95, pasal 96
dan Pasal 97 KUHAP.
95
Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentnag Pengadilan HAM, jo PP No. 3 Tahun 2002
tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat, jo pasal 6, pasal 7 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan
Korban.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
96
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya,
Alumni, Bandung, 2007 Halaman 18
97
98
UU No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan UU N0. 31 Tahun 1999
Tentang Tindak Pidna Korupsi
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Tidak Diskriminatif
4.
Kepastian Hukum
Berat
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
HAM
secara
keseluruhan.
Tidak
ada
HAM
tanpa
pemulihan
atas
pelanggarannya. 99
Istilah reparation adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe
pemulihan baik material maupun non-material bagi para korban pelanggran HAM;
pemulihan itu lebih dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk
pemulihan kepada para korban. 100
Basic principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power
memberikan penjelasan yang berkaitan dengan Restitusi, yaitu offender or third
parties responsible for their behaviour should, where appropiate, make fair
restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include
the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of
expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the
restorstion of rights.
Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM memberikan pengertian
kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku
tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban
atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:
a. Pengembalian harta milik
b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan
c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu
Pengertian kompensasi dalam penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM
memiliki kemiripan dengan pengertian dalam Basic Principles of Justice for
99
100
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Stephen Scrafher, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968, Halaman
112 dalam Andrey Sujatmoko,Op.cit, Halaman 156
102
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
namun tidak diragukan sifat pidananya. Salah satu bentuk restitusi menurut
sistem ini adalah denda kompensasi (compensatory fine). Denda ini
merupakan kewajiban yang bernilai uang yang dikenakan kepada terpidana
sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban disamping pidana
yang seharusnya diberikan
4. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan
didukung oleh sumber-sumber penghasilan Negara. Disini kompensasi tidak
memepunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana.
Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetap
negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang
dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa
Negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal
mencegah terjadinya kejahatan.
5.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
104
C. Mekanisme Pemberian
103
O.C Kaligis, Human Rights and Terorism, O.C Kaligiss & Associates, Jakarta 2008,
Halaman 23
104
Ibid, Halaman 27
105
Yang dimaksud pemulihan (repation) adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe
pemulihan baik material maupan immaterial bagi para korba pelanggaran HAM. Dalam hal ini
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
HAM yang berat . 106 UU ini mengatur tentang hak korban untuk mendapatkan
kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan kepada korban pelanggran HAM
yang berat, sementara restitusi merupakan ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana. 107
Pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban sedikt berbeda
dengan UU Pengadilan HAM yang juga memberikan pengaturan atas hak
kompensasis dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM yang Berat. Untuk
implementasi hak-hak korban tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Terhadap korban Pelanggaran HAM yang Berat.
Terdapat tiga aturan pokok dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia dalam konteks untuk menganalisa regulasi tentang kompensasi dan
restitusi.
Tabel 1 108
Regulasi Nasional tentang Korban
No
Regulasi
1.
Tentang
Keterangan
pemulihan merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban, yang
diantaranya mencakup kompensasi, restibusi, dan rehabilitasi.
106
Pelanggaran HAM yang Berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 adalah kejahatan
genosida dan kejahatn terhadap kemanusiaan. (pasal 7)
107
108
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
yang
berdasarkan
kekeliruan
UU
mengenai
atau
orangnya
karena
atau
dapat
penggabungan
menetapkan
perkara
gugatan
untuk
anti
Peraturan
Pemerintah
Pelaksanaan
Kitab
No. Undang-Undang
27 Tahun 1983
tanggung
jawab
untuk
3.
Keputusan
Menteri
Ganti Kerugian
Keuangan RI No.
KUHAP
983/KMK.01/198
3
Tgl
31
Desember 1983
4.
2000
5.
Peraturan
Rehabilitasi
terhadap
Pelanggaran
yang berat
korban
6.
UU No. 13 Tahun Perlindungan Saksi dan 1. Mengatur tentang hak atas kompensasi
2006
Korban
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kerugian bagi orang tersebut. Kata dapat mengandung arti bahwa hakim ketua
sidang berwenang untuk menerima atau menolak untuk menggabungkan perkara
ganti kerugian dengan perkara pidananya. Dengan demikian diberikan keleluasaan
bagi hakim ketua sidang untuk menentukan kebijakan apakah digabungkan atau
diajukan secara perdata. Hal ini berhubungan dengan permintaan penggabungan
perkara perdata yang menyangkut orang lain yang tidak terlibat dengan perbuatan
pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka hakim ketua
sidang kemungkinan akan menolak untuk menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian tersebut. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.
01. PW. 07. 03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksannan KUHAP yang dimuat
pada bidang pengadilan, antara lain dirumuskan:
gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata diabungkan
pada perkara pidananya, yang anti rugi tersebut dipertanggungjawabkan
kepada pelaku tindak pidana..
Jika turut dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, maka hakim ketua
sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan ganti kerugian tersebut.
Sedangkan jika hanya terdakwa saja yang digugat pertanggungjawabannya maka
hakim ketua sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan perkara
tersebut. Permintaan penggabungan perkara ganti kerugian tersebut. Sedangkan
jika hanya terdakwa saja yng digugat pertanggungjawabannya maka hakim ketua
sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan perkara ganti kerugian hanya
dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pidana atau jika penuntut umum tidak hadir maka permintaan tersebut diajukan
selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 109
Mengenai yang dapat dimintakan ganti kerugian diatur dalam pasal 99
KUHAP, yang berbunyi:
1. apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada
perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk
mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan
tersebut.
2. kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili
gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentnag penetapan hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Berdasarkan pasal 99 ayat (2) KUHAP, ganti kerugian yang dapt diputus
hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikelurakan oleh pihak yang
dirugikan, sehingga tuntutan lain daripada itu harus dinyatakan tidak dapt diterima
dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa.
Jika pada amar putusan dimuat tidak dapat diterima dan harus diajukan
sebagai perkara perdata biasa, maka pengajuan perkara perdata yang dimaksud,
bukan merupakan perkara neb is in idem.110
109
Pasal 98 KUHAP
110
Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum
Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, Halaman 85
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
yang dibebani kewajiban dalam amar putusan untuk membayar ganti kerugian
akan tetapi tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya, maka penggugat dapat
mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara
agar putusan tersebut dieksekusi. Permintaan tersebut dapat dilakukan secara lisan
maupun tertulis. Berdasarkan permintaan eksekusi tersebut maka Ketua
Pengadilan Negeri atau hakim yang memutus perkara tersebut, memerintahkan
kepada terpidana (tergugat) untuk selambat-lambatnya dalam waktu 8 hari agar
memenuhi putusan tersebut. Apabila setelah lewat waktu 8 hari terpidana belum
memenuhi kewajibannya, maka hakim akan menerbitkan surat perintah untuk
menyita barang bergerak milik terpidana yang diperkirakan senilai dengan
kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi. Jika barang bergerak tersebut tidak
mencukupi, maka barang yang tidak bergerak ikut disita. Penyitaan ini dinamakan
penyitaan eksekutorial yang dilakukan oleh Panitera dibantu dengan 2 orang
saksi. 111
Pada prakteknya gugatan ganti kerugian yang ditempuh melalaui
prosedur penggabungan perkara pidana dan perdata, mengalami beberapa kendala
antara lain: 112
1. Tanggung jawab mengganti kerugian bersifat individual, yakni ditujukan
kepada pelaku tindak pidana saja dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihak
lain. Hal ini mengakibatakan tidak memungkinkan bagi korban untuk
mendapatkan
jaminan
dilaksanakannya
putusan
ganti
rugi
ketidakmampuan pelaku.
111
Ibid, Halaman 96
112
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
akibat
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku
tidak
mampu
memberikan
ganti
kerugian
sepenuhnya
yang
menjadi
tanggungjawabnya.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
pengganti biaya untuk tindakan tertentu.
Berdasarkan ketentuan diatas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran
HAM yang berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan
Negara. Pelaku kejahatan atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian
korban, dan inilah yang didefinisikan dengan restitusi. Sementara dalam
kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh
pemerintah ketika pelaku atau pihak ketiga tidak mampu membayar ganti
kerugian secara penuh kepada korban. Dengan ketentuan ini, muncul konsep
tanggung jawab Negara terhadap korban kejahatan (korban pelanggaran HAM
berat).
Namun, dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak diojelaskan bagaiman
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dimohonkan, hanya disebutkan harus
dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. 113 Karena dalam PP No. 3 Tahun 2002
tidak diatur mengenai tata cara pengajuan permohonan kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi maka tata cara pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam
Pengadilan HAM dilakukan sesuai dengan tata cara ganti kerugian dan rehabilitasi
dalam KUHAP.
113
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Terjadi pembedaan dalam menentukan tanggung jawab pemenuhan hakhak korban khususnya berkaitan dengan restitusi. Dalam UU Perlindungan Saksi
dan Korban, restitusi dapat diberikan kepada semua korban tindak pidana yang
terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana
hak atas kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tangung jawab pelaku dan
tidak menyertakan kewajiban bagi para pihak ketiga, sebagaimana pengertian
restitusi dalam UU Pengadilan HAM.
Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefinisian yang sedikit
berbeda tentang kompensasi dan restitusi, yakni yang diatur dalam UU Pengadilan
HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Tabel 2 114
Hak-hak korban atas Kompensasi dan Restitusi
No.
Regulasi
1.
Hak-Hak Korban
Keterangan
korban
kejahatan
ketiga
kejahatan
yang terjadi
atas
yang
pada
114
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
ini
diberikan
korban
kepada
kesalahan
prosedur
dan
Kompensasi untuk
adalah
ganti korban
memberikan
kerugaian
sepenuhnya
ganti
yang
Restitusi
kehilangan
atan
penderitaan
3.atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
untuk
Rehabilitasi:
Rehabilitasi untuk
kedudukan
misalnya
semula,
kehormatan,
nama
kedudukan
misalnya
semula,
kehormatan,
nama
bagi
korban
Bantuan
rehabilitasi psikososial
adalah
bantuan
yang
diberikan
oleh
psikolog
korban
menderita
atau
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kepada
yang
trauma
masalah
kejiwaan
lainnya
untuk
memeulihkan
kembali
kondisi
kejiwaan korban.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Pemenuhan hak korban atas kompensasi dan restitusi telah diatur dalam
UU Pengadilan HAM. Hukum Acara Pengadilan HAM yang digunakan, selama
tidak
diatur
khusus,
mengacu
khusus
pada
ketentuan
dalam
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pada
hukum
internasional,
setidaknya
terdapat
dua
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
karena pelaku tidak mampu, tetapi sudah menjadi kewajiban Negara (state
117
Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara
ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti : kerugian
fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang (lost
opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan
mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; kerugian terhadap hak
milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap reputasi atau martabat;
biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat dan
mengakibatkan adanya korban.
Hasilnya dapat dilihat dari tiga Pengadilan HAM yang sudah
dilaksanakan di Indonesia. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan
kompensasi. Pengalaman Pengadilan HAM berat di Timor-timur menunjukan
bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah
terjadinya
pelanggran
HAM
tersebut
tetapi karena
pelaku
tidak
dapat
dimintai
118
Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan,2006, halaman 17
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pelaku. 119 Padahal, sudah menjadi prinsip hukum HAM Internasioanal bahwa
korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan kompensasi (dan restitusi) tanpa
harus menunggu apaakah pelakunya dipidana atau tidak.
Disamping kekeliruan pengadopsian konsep hak atas pemulihan korban,
UU Pengadilan HAM juga menimbulkan sejumlah permasalahan, terutama yang
berkaitan dengan prosedur dalam pemenuhan hak-hak korban. Hal ini terkait
dengan adanya klausus yang menyatakan bahwa korban dapat memperoleh hakhaknya melalui proses pengadilan. Padahal prosedur yang tersedia di pengadilan
tersebut tidak disiapkan secara jelas dan lengkap. Akibatnya, prosedur yang
tersedia tersebut semakin menjauhkan hak korban atas kompensasi dan restitusi.
Salah satu masalah mendasar berkaitan dengan pemberian kompenasasi
dan restitusi adalah adanya klausul yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi,
dan rehabilitasi harus dalam amar putusan pengadilan. 120
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa korban baru akan
mendapatkan kompensasi dan restitusi ketika sudah ada putusan Pengadilan HAM
yang berkekuatan tetap, yakni ketika tidak ada lagi upaya hukum yang dapat
ditempuh atau semua upaya hukum sudah ditempuh, mulai dari banding, kasasi
dan peninjauan kembali, sehingga putusan kompensasi tidak bisa segera
dieksekusi atau dilaksanakan. Akibatnya korban tidak dapat segera melakukan
pemulihan, dan semakin panjang pula jalan ynag harus ditempuh oleh korban
untuk mendapatkan hak-haknya.
119
Pasal 35 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 jo Pasal 6 ayat (1) PP No. 3 Tahun 2002.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
122
PP No. 3 Tahun 2002 dikeluarkan ada tanggal 13 Desember 2002, sedangkan proses
persidangan telah dilangsungkan sejak februari 2002.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
berkepentingan, dalam hal ini korban, jaksa penuntut umum, dan hakim, tidak
dapat langsung memahami dan menginternalisasi ketentuan yang terdapat
didalamnya. Akibatnya, hakim dan jaksa penuntut umum, terutama jaksa penuntut
umum tidak mampu memaknai signifikasi dan pentingnya hak-hak pemulihan
bagi korban.
Dalam kasus Tanjung Priok dan Arbepura, para korban mengajukan
permohonan secara langsung ke pengadilan pada saat mereka diperiksa sebagai
saksi di pengadilan. Mekanisme ini sebenarnya cukup baik, mengingat korban
dapat secara langsung meminta apa saja yang diinginkn kepada majelis hakim
yang memeriksa perkaranya. Permasalahannya adalah hanya para korban yang
dipanggil pengadilan saja yang dapat mengajukan permohonan atas kompensasi
dan restitusi, sedangkan korban yang tidak dipanggil untuk menjadi saksi di
pengadilan tidak memiliki peluang untuk mengajukan permohonan tersebut.
Disamping pengajuan secara langsung ke pengadilan, korban juga
menyampaikan permohonannya melalui jaksa penuntut umum. Ini dilakukan
korban dengan harapan pada saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan,
akan disertakan permohonan kompensasi dan restitusi yang dimohonkan para
korban. Berbagai cara yang ditempuh korban ini dilakukan untuk memenuhi
ketentuan Pasal 35 Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2000 yang menentukan
bahwa kompensasi dan restitusi harus dicantumkan dalam amar putusan.
Secara umum PP No. 3 Tahun 2002 hanya menetapkan pihak yang
berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi serta instansi pemerintah terkait
yang berwenang melakukan pembayaran, namun tidak menyinggung jumlah atau
besaran kompensasi dan restitusi yang dapat diajukan atau diklaim oleh korban.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
124
2004
123
124
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
125
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tugas
memeberikan
pertimbangan
hukum
dalam
pemberia
Pasal 6 UU KRR.
128
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum yang tetap dalam memberikan hak kepada korban berupa kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi,
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Pengakuan atas hak-hak korban kejahatan telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari pengaturan hak ganti rugi
kepada korban dalam KUHAP, UU Pengadilan HAM, dan UU Perlindungan
Saksi dan Korban. Namun, adanya berbagai peraturan tersebut di atas
mengakibatka adanya kerancuan dalam penggunaan istilah kompensasi dan
restitusi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan
regulasi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan regulasi
dan menyebabkan ketidakjelasan dalam implementasinya. Dalam UU Pengadilan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dan
restitusi
maupun
mengaenai
prosedur
pemenuhannya.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pengaturan khusus tentnag ganti kerugian, bentuk ganti kerugian, dan siapa saja
yang menjamin mengenai ganti kerugian bagi korban. Dengan dibentuknya Unit
Saksi dan Korban oleh Panitera yang mempunyai tugas dan wewenang yang jelas
seperti yang ditentukan dalam Statuta Roma beserta hukum acaranya, dapat
memudahkan korban untuk meminta hak-haknya dalam mendapatkan kompensasi
dan restitusi.
2. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal pemenuhan hak korban
berupa kompensasi dan restitusi sudah dilakukan dengan dikeluarkannya PP
No. 3 Tahun 2002
B.
Saran
1.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran HAM
Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta,
Berat
2005.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Jakarta, Edisi
dalam
masyarakat
Komunal,
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung, 2003.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, cetakan ke-2, 2006.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam
Perspektif Hukum Dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005.
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2005
2. Artikel
Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi
ilmiah Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP yang diselenggarakan di
Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni 2007.
Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi
dan Korban Catatan Atas Pengalaman Pengadilam HAM Ad Hoc Kasus
Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur , Elsam , Jakarta, 2005.
____________________________________________________Perlindungan
Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam , Jakarta, 2005.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
3. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Saksi
dan Korban Pelanggaran HAM yang Berat
4. Internet
www.google.com http//one.indoskripsi.com/note/7402, Pengertian Perlindungan
Hukum. Diakses 3 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
http://myfilesexpress.com/download.php?file=Pengadilan_HAM_Kasus_Timor_Timur_checke
d.rar. Diakses tanggal 4 Desember 2009
http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com.content&view=article&kid=46
9%3Akorban pelanggaran ham. Diakses tanggal 4 Desember 2009
http://legal.daily-thought.info/2008/03/prinsip-prinsip-perlindungan-ham/ diakses
tanggal 4 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................
i
ABSTRAKSI..
vi
DAFTAR ISI
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........
1
B. Permasalahan..
6
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Pengertian Korban............................................
8
2.
3.
F. Metode Penelitian.
20
G. Sistematika Penulisan
22
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB IV PENUTUP
C. Kesimpulan
106
D. Saran..
108
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.