Anda di halaman 1dari 13

Asma Bronkial pada Anak

Antonius Jonathan*
NIM 102011182
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jakarta
Pendahuluan
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa ke poliklinik RS karena sering batuk sejak 3
bulan yang lalu. Batuk terutama terjadi pada malam hari dan tidak disertai demam. Pasien telah
sering dibawa berobat ke puskesmas namun tidak banyak mengalami perubahan. Seminggu
terakhir, batuk pilek yang dialami anak semakin sering. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
takipneu dan pada auskultasi paru terdengar suara mengi (wheezing). Dengan gejala yang cukup
lama dialami anak tersebut, berdaraskan pemeriksaan fisik dan hasil anamnesis diagnosis yang
diambil adalah asma bronkial. Asma diartikan sebagai penyakit radang kronis dari saluran
pernafasan yang ditandai dengan meningkatnya respons cabang tracheobronchial terhadap
stimulus yang berulang. Asma merupakan penyakit yang hilang timbul, dengan eksaserbasi
akut menyebar. Umumnya waktu serangan pendek, terjadi antara beberapa menit hingga
beberapa jam, dan secara klinis pasien dapat pulih sempurna setelah serangan. Walaupun jarang
terjadi, serangan akut dapat menimbulkan kematian.
Pada masa awal, gejala yang dialami anak tersebut tidaklah spesifik sehingga dari gejala tersebut
kita dapat menduga beberapa macam penyakit yang memiliki gejala serupa seperti bronkitis,
bronkiolitis, yang dimana sama-sama memiliki gejala dasar batuk dan gangguan pernapasan. 1
Namun dalam hal ini ada satu tanda khas yang dialami oleh penderita asma, yaitu pada
pemeriksaan fisik auskultasi paru didapatkan bunyi wheezing. Dalam kasus ini kita harus bisa
mencari lebih spesifik lagi apa pencetus asma pada anak ini. Dengan jangka waktu penyakit
yang cukup lama, mungkin akan sulit untuk menemukan penyebabnya namun hal ini bukanlah
tidak mungkin. Kita dapat melakukan beberapa pertanyaan dalam melakukan anamnesis
sehingga kita dapat menuju diagnosis yang tepat. Oleh karena itu akan dibahas lebih lanjut lagi
pada pembahasan berikut untuk dapat lebih memastikan lagi diagnosis yang tepat.

*Alamat Korespondensi:
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: antoniussjoo@yahoo.com

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk dapat membantu mendiagnosa, pada tahap ini merupakan tahapan
awal dari berbagai macam tahapan. Salain anamnesis terdapat juga pemeriksaan fisik yang
dimana menjadi point penting. Dalam anamnesis keluhan utama merupakan bagian penting dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik.2 Anamnesis ini biasanya memberikan informasi terpenting
untuk mencapai diagnosis banding, dan memberikan wawasan vital mengenai gambaran keluhan
yang menurut pasien paling penting. Anamnesis ini sebaiknya mencakup sebagian besar waktu
konsultasi. Anamnesis yang didapat harus dicatat dan disajikan dengan kata-kata pasien sendiri,
dan tidak boleh disamarkan dengan istilah medis. Jika tidak bisa didapatkan anamnesis yang
jelas dari pasien, maka anamnesis harus ditanyakan pada kerabat, teman, atau saksi lain.2,3
Dalam kasus ini anak laki-laki berusia 6 tahun tersebut mengeluh sering batuk sejak 3 bulan
yang lalu. Batuk terutama terjadi pada malam hari dan tidak disertai demam. Riwayat
pengobatan pasien sudah pernah dilakukan yaitu dengan dibawa berobat ke puskesmas namun
tidak banyak mengalami perubahan. Gejala yang dialami seminggu terakhir, batuk pilek yang
dialami anak semakin sering. Untuk dapat menunjang anamnesis perlu dilakukan pemeriksaan
fisik dan pemeriksan penunjang. Pemeriksaan fisik dalam hal ini lebih mengarah kebagian
thoraks. Yang dimana akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.
Setelah menanyakan hal-hal mengenai keluhan utama dari pasien tersebut, kita harus bisa
menggali lebih dalam lagi mengenai gejala-gejala tersebut, apa yang menjadi pemicu dari gejala
tersebut. Apakah dahulu pernah mengalami hal yang serupa, apakah sudah diberikan tindakan
pengobatan.3 Hal ini sangat penting untuk memperkirakan hasil berdasarkan risiko-risiko yang
mungkin dapat terjadi. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang kita
baru dapat menegakkan diagnosis untuk pasien tersebut, walaupun kita tetap harus membuat
diagnosis banding untuk membuat diagnosis tersebut menjadi lebih akurat dan tepat.
Pemeriksaan Fisik
Untuk dapat diperoleh informasi yang akurat, pemeriksaan dada harus dilaukan dengan cermat
dan sistematis, yang melitupi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Untuk itu dipergunakan
batas-batas untuk menentukan lokasi keadaan fisiologis maupun patologis, berupa garis-garis
referensi yang lazim dipergunakan baik pada pasien dewasa maupun pada anak, seperti garis
midsternal, garis sternal, garis parasternal, garis midklavikula, garis aksilaris anterior, garis

aksilaris media pada thoraks bagian depan dan pada thoraks bagian belakang terdapat garis
aksilaris posterior, garis midspinalis, dan garis midskapularis. Pada awal pemeriksaan lakukan
inspeksi terlebih dahulu dimulai dari bentuk apakah berbentuk normal, pektus karinatum, pektus
ekskavatum, atau barrel chest.
Kemudian lihat kondisi dari dinding thoraks apakah simetris pada keadaan statis maupun
dinamis, kemudian perhatikan juga kondisi pergerakan dada pada saat pernapasan. Vokal
fermitus dengan cara mengajak anak berbicara misalnya disuruh mengatakan tujuh puluh tujuh.
Normal akan teraba getaran yang sama pada kedua tangan yang diletakan pada kedua sisi dada,
kemudian kedua dsisi punggung. Fermitus suara ini meninggi bila ada konsolidasi, misalnya
pada pneumonia. Fermitus akan mengurang apabila terdapat obstruksi jalan napas, atelektasis,
pleuritis, efusi pleura, pleuritis dengan schwarte, serta tumor antara paru dan dinding dada. Bila
ada mukus yang banyak pada saluran napas bagian akan teraba fermitus yang kasar. Setelah
melakukan tindakan palpasi dilanjutkan dengan pemeriksaan perkusi pada dada, yang dimana
normalnya bunyi yang dihasilkan pada perkusi adalah sonor, namun dapat terjadi bunyi pekak
apabila terdapat konsolidasi jaringan.
Setelah perkusi pemeriksaan terakhir adalah auskultasi dimana kita mendengarkan suara dari
pernapasan yang dilakukan pada dada dan punggung. Suara napas normal yang kita dengar
adalah vesikular, dan bronkial, namun tidak menutup kemungkinan kita mendengar suara
patologis seperti dalam kasus ini yaitu wheezing. Wheezing merupakan jenis ronki kering yang
terdengar lebih musikal atau sonor dibandingkan dengan ronki kering lainnya. Mengi lebih
sering terdengar pada fase ekspirasi. Mengi pada fase inspirasi biasanya menandakan adanya
obtruksi saluran napas atas atau edema laring. Sedangkan bunyi mengi pada fase ekspirasi
menandakan adanya obstruksi saluran napas bagian bawah seperti asma dan bronkiolitis. Pada
pemeriksaan fisik penderita asma, umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien tidak
mengalami serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat dapat
dijumpai mengi di luar serangan.
Gambaran Klinis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk dan/atau
mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan
sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan
aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit

mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai,
pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan fungsi paru dan pemeriksaan
hiperreaktivitas saluran napas. Pada pemeriksaan fungsi paru, ada banya kcara yang dapat
digunakkan untuk mengukur fungsi paru mulai dari pengukuran sederhana, yaitu peak
expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse oxymetryI, spirometri,
sampai pengukuran yang kompleks yaitu muscle strength testing, volume paru absolut, serta
kapasitas difusi. Pemeriksaan fungsi paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam
evaluasi diagnostik anak dengan batuk, mengi rekuren, aktivitas terbatas, dan keadaan lain yang
berkaitan dengan sistem respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat apabila
ada manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau
lebih aspek fungsi paru, yaitu volume paru, fungsi jalan napas, dan pertukaran gas.
Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif seperti kelemahan otot napas,
deformitas dinding dada, atau penyakit interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan
kelainan obstruktif kalan napas. Dalam kasus ini untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun)
pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Berdasarkan pada Pedoman Nasional Asma
Anak (PNAA) 2004, pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3
cara yaitu didapatkannya:
1.

Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%

2.

Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

3.

Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Penilaian variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama lebih kurang 2 minggu.
Selain itu ada juga uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise),
udara kering dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis. Pengukuran
ini sensitif terhadap asma, tetapi spesisifitasnya rendah. Artinya, hasil yang negatif dapat
membantu menyingkirkan diagnosis asma presisten, sedangkan hasil positif tidak selalu berarti
bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan karena hiperreaktivitas saluran napas

juga terdapat pada pasien rinitis alergi dan kondisi lain seperti fibrosis kistik, bronkiektasis, dan
penyakit paru obstruktif menahun. Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE
spesifik dalam serum tidak banyak membantu dalam diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini
dapat membantuk menentukan faktor risiko pencetus asma.
Uji kulit maupun pemeriksaan kadar IgE total mempunyai nilai negatif palsu yang tinggi, tetapi
jika positif, hasilnya bermakna. Penelitian TCRS menunjukkan bahwa nilai IgE total yang tinggi
pada usia <1 tahun tetapi tidak pada saat lahir, merupakan faktor yang dapat memprediksi
tingginya IgE pada usia 6 tahun dan 11 tahun dan berhubungan dengan mengi berkepanjangan.
Sebaliknya anak dengan mengi pada tahun pertama kehidupan tetapi memiliki IgE normal, akan
sembuh dari gejala mengi. Pengukuran IgE total lebih bermanfaat untuk penelitian daripada
untuk penerapan individual, sedangkan tes alergi yang spesifik mungkin lebih bermanfaat bagi
penerapan individual.

Diagnosis Kerja
Asma didefinisikan sebagai penyakit obstruksi jalan napas yang reversibel yang ditandai oleh
serangan batuk, mengi, dan dispnea pada individu dengan jalan napas hiperaktif. Tidak semua
asma terbukti memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap
asma.
Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2003, prevalensi
serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak dan pada dewasa > 18 tahun,
38 per 1000. Jumlah perempuan yang mengalami serangan lebih banyak daripada laki-laki.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan
laporan NCHS pada tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional Amerika
Serikat pada tahun 1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta
anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di
Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat
Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta kasus)
Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian anak
akibat asma pada tahun 1998.

Etiologi
walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi tidak kecil, yaitu 3-5%, etiologi asma belum
dapat ditetapkan dengan pasti. Tampaknya terdapat hubungan antara asma dengan alergi. Pada
sebagian besar penderita asma, ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya juga
sering dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi,
jika ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada keluarganya. Hal ini
menimbulkan pendapat bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan seseorang menderita
asma. Faktor genetik yang diturunkan adalah kecenderungan memproduksi antibodi jenis IgE
yang berlebihan. Seseorang yang mempunyai predisposisi memproduksi IgE berlebihan disebut
mempunyai sifat atopik, sedangkan keadaannya disebut atopi. Namun, ada penderita asma yang
tidak atopik dan juga serangan asmanya tidak dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Pada
penderita ini, jenis asmanya disebut idiosinkratik. Biasanya serangan asma didahului oleh
infeksi saluran pernapasan bagian atas.
Patogenesis
Seperti dikemukakn bahwa banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya asma, sehingga belum
ada patogenesis yang dapat menerangkn semua penemuan pada penyelidikan asma. Salah satu
sel yang memegng peranan penting pada patogenesis asma adalah sel mast. Sel mast dapat
terangsang oleh berbagai penetus misalnya alergen, infeksi, exercise dan lain-lain. Sel ini akan
mengalami degranulasi dan mengeluarkan bermacam-macma mediator misalnya histamin, 'slow
reacting substance or anaphylaxis' (SRS-A) yang dikenal sebagai lekotrin. 'Eoxinophyl
chemotctic of anaphylaxis' (ECF-A), 'neutrophyl chemotactic factor of anaphylaxis' (NCF-A),
'platelet activating factor' (PAF), bradikinin, enzim-enzim dan peroksidase. Selain sel mast, sel
basofil dan beberapa sel lain dapat juga mengeluarkan mediator.
Bila alergen sebagai pencetus maka alergen yang masuk ke dalam tubuh merangsang sel plasma
atau sel pembentuk antibodi lainnya untuk menghasilkan antibodi reagenik, yang disebut juga
imunoglobulin E (IgE). Selanjutnya IgE akan beredar dan menempel pada reseptor yang sesuai
pada dinding sel mast. Sel mast yang demikian disebut sel mast yang tersensitasi. Apabila
alergen yang serupa masuk ke dalam tubuh, alergen tersebut akan menempel pada sel mast yang
tersensitasi dan kemudian akan terjadi degradasi dinding dan degranulasi sel mast. Mediator
dapat bereaksi langsung dengan reseptor di mukosa bronkus sehingga menurunkan siklik AMP
kemudian terjadi bronkokonstriksi. Mediator dapat juga memyebabkan bronkokonstriksi dengan

mengiritasi reseptor iritan

Perubahan histologik yang sama dapat dijumpai pada keadaan tanpa serangan akut akibat
pajanan kronik derajat rendah ke satu atau lebih pemicu asma. Melalui berbagai jalur, zat-zat
pemicu tersebut merangsang degranulasi sel mast di jalan napas yang menyebabkan pembebasan
berbagai mediator yang bertanggung jawab untuk perubahan yang terjadi. Mediator yang
tepenting mungkin adalah leukotrien C, D, dan E tetapi terdapat bukti bahwa histamin, PAF,
neuropeptida, zat-zat kemotaktik, dan berbagai protein yang berasal dari eosinofilia juga
berperan penting dalam proses ini. Obstruksi menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas
(terutama pada ekspirasi karena penutupan jalan napas saat ekspirasi yang terlalu dini),
hiperinflasi paru, penurunan elastisitas, dan frecuency-dependent compliance paru, peningkatan
usaha bernapas dan dispneu, serta gangguan pertukaran gas oleh paru.
Obstruksi yang terjadi tiba-tiba besar kemungkinannya disebabkan oleh penyempitan jalan napas
halus, dan biasanya berespons baik terhadap terapi bronkodilator. Asma yang menetap atau
terjadi setiap hari hampir selalu memiliki komponen peradangan atau fase lambat yang
menyebabkan penyakit jalan napas halus kronik dan kurang berespons terhadap terapi
bronkodilator saja. Eosinofil diperkirakan merupakan sel efektor utama pada patogenesis gejala
asma kronik, dimana beberapa mediatornya menyebabkan kerusakan luas pada sel epitel
bronkus serta perubahan-perubahan inflamatorik. Walaupun banyak sel mungkin mengeluarkan
sitokin (termasuk sel epitel, sel mast, makrofag, dan eosinofil itu sendiri) yang mempengaruhi
diferensiasi, kelangsungan hidup dan fungsi eosinofil, sel T tipe TH2 dianggap berperan sentral,
karena sel ini mampu mengenali antigen secara langsung.
Patofisiologi
Suatu serangan akut asma akan disertai oleh banyak perubahan di jalan napas yang
menyebabkan penyempitan :
1.

Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang dipicu oleh mediator agonis yang
dikeluarkan oleh sel inflamasi. Akibatnya terjadi hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh
darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Selain itu, dapat pula terjadi hipersekresi
mukus dan pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris

seluler.
2.

Hiperaktivitas saluran respiratorik

Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian histamin dan
metakolin dengan konsentrasi kurang 8 g% didapatkan penurunan Forced Expiration Volume
(FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang
lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis
alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus
tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas
untuk mengeluarkan mediatornya
3.

Hipersekresi kelenjar mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran nafas pasien
asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi
yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang
fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat
yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator.
4.

Kontraksi otot polos saluran respiratorik

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini disebabkan
oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada
matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan
peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan
pada struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.
5.

Keterbatasan aliran udara irreversible

Penebalan saluran napas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian kartilago dan
membranosa dari saluran napas. Bersamaan dengan perubahan pada bagian elastik dan hilangnya
hubungan antara saluran napas dengan parenkim disekitarnya, penebalan dinding saluran napas
dapat menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran napas yang gagal untuk kembali
normal dan terjadi terus menerus pada subgroup pasien asma. Dalam proses ini kekauan yang
terjadi pada otot polos menyebabkan aliran udara pernapasan terhambat sehingga menjadi
irreversible.

6.

Eksaserbasi

Gejala yang memburuk merupakan karakteristik utama dari asma. Terdapat banyak faktor yang
dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi, termasuk stimulus yang hanya menyebabkan
bronkokontriksi dan stimulus yang menyebabkan inflamasi saluran napas. Olahraga dan
hiperventilasi pernapasan, dengan keadaan udara dingin dan kering, menyebabkan
bronkokontriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti histamin atau leukotrien
sistenil yang dapat menstimulasi kontraksi otot polos. Stimulus yang hanya menyebabkan
bronkokontriksi tidak akan memperburuk respons bronkial yang diakibatkan oleh stimulus yang
lain sehingga hanya bersifat sementara saja. Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa
hari, sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran napas dan terkadang dapat juga terjadi
akibat paparan alergen yang menimbulkan eksaserbasi pada pasien asma.
7.

Asma nokturnal

Asma yang memburuk pada malam hari seusai dengan siklus nokturnal, ditemukan secara klinis
sebagai karakteristik pada sejumlah pasien. Biopsi bronkial pasien asma yang mengalami
obstruksi nokturnal tidak menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel T, eosinofil ataupun sel
mast pada pemeriksaan yang dilakukan pada pukul 04.00. Namun demikian, biopsi transbronkial
telah membuktikan terdapatnya akumulasi eosinofil dan makrofag di alveolus dan jaringan
peribronkial pada malam hari. Penemuan berikutnya yang menarik adalah mengenai pernan
inflamasi adventisial pada saluran napas perifer, yang berhubungan dengan beratnya proses
penyempitan saluran napas.
8.

Abnormalitas gas darah

Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas pada saat serangan terjadi. Derajak hipksemia
arteri, secara kasar berhubungan dengan beratnya obstruksi saluran napas yang terjadi secara
merata diseluruh paru. Seringkali, paru tertutup secara total, sementara yang lain dapat
menyempit atau sebaliknya tidak mengalami obstruksi sama sekali. Adanay ketidakcocokan
antara ventilasi dan perfusi menyebabkanperbedaan oksigen antara arteri dan alveolus melebar
dan tekanan oksigen 60-90 mmHg dapat ditemukan pada pengukuran saat serangan asma berat
berlangsung. Hipokapnea yang dapat ditemukan pada serangan asma ringan sampai sedang,
dapat dilihat dari usaha bernapas yang lebih. Peningkatan PCO 2 arteri mengindikasi bahwa
obstruksi yang terjadi sangatlah berat hingga otot pernapasan tidak dapat lagi mempertahankan
laju ventilasi melalui respirasi paksa, yang dapat dilihat dari usaha bernapas yang lebih. Adanya
perburukan obstruksi saluran napas atau kelelahan otot ataupun juga penurunan usaha bernapas
dapat memperberat penurunan ventilasi alveolar.

Penatalaksanaan

Komplikasi

Faktor Risiko
Berbagai faktor risiko dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat
ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut sudah
disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut
antara lain seperti jenis kelamin, sosio-ekonomi, alergen, infeksi respiratorik, atopi, lingkungan
dan lain-lain.
Prognosis
Sejalan dengan bertambahnya usia anak, sebagian besar anak akan mengalami perbaikan. Pada
anak-anak prasekolah yang mengalami mengi hanya pada saat pilek, mungkin gejala akan
menghilang setelah usia 5-8 tahun. Secara umum, semakin berat suatu asma maka perbaikan
akan tercapai pada usia yang lebih tua. Asma mungkin berulang pada masa dewasa, dan remaja
sebaiknya tidak merokok dan menghindari alergen potensial di tempat bekerja.
Diangosis Banding
Bronkiolitis
Bronkiolitis paling sering disebabkan oleh infeksi respiratory syncytial virus (RSV), secara
klinis dan radiografis dapat mirip dengan asma. Namun, mengi pada penyakit ini tidak cepat
berespons terhadap bronkodilator, dan tidak dijumpai eosinofilia. Bronkitis paling sering terjadi
pada 6 bulan pertama kehidupan dan terutama selama musim dingin. Infeksi berulang oleh RSV
sering terjadi, tetapi mengi jarang timbul pada infeksi kedua dan ketiga. Dengan demikian,
riwayat mengi dan dispneu rekuren paling besar kemungkinannya disebabkan oleh asma bukan
oleh bronkiolitis rekuren. Tidak semua bayi yang terinfeksi oleh RSV akan memperlihatkan
mengi, tetapi mengi pada RSV bersifat prediktif-sedang bagi timbulnya asma dimasa
mendatang. Bronkiolitis obliterans juga terjadi pada bayi setelah infeksi berat virus pada paru,
biasanya oleh adenovirus. Pasien yang dapat bertahan hidup akan mengalami sekuele penyakit

paru obstruktif kronik yang kurang berespons terhadap bronkodilator. Kadang-kadang serangan
laringotrakeobronkitis berulang disangka asma atau sebaliknya. Namun, adanya suara serak,
stridor inspirasi, dan batuk menyalak mirip anjing laut yang khas mempermudah diagnosis
laringitis spasmodik
Pneumonitis Hipersensitif (Alergika)
kelainan yang dimediasi proses imunologik ini terjadi karena debu atau antigen yang terhirup.
Perubahan histologiknya meliputi pneumonitis interstisial bronkiolosentrik serta fibrosis dan
granuloma nonkaseosa yang terbentuk secara longgar dengan jumlah yang bervariasi.
Penghentian pajanan secara dini terhadap agen penyebab jejas akan mencegah perjalanan
penyakit menjadi batuk fibrosis kronik yang serius. Manifestasi klinisnya beragam dan meliputi
batuk-batuk, dispneu, demam, gambaran densitas yang difus serta noduler pada pemeriksaan
radiologi dan disfungsi paru yang berpola restriktif.
Bronkitis kronik
Belum ada persesuaian pendapat mengeni definisi bronkitis kronik pada anak seperti telah
dikemukakan sebelumnya. Dengan demikian penanggulngan anak dengan gejala utama batuk
kronik dan atau berulng dapat beraneka ragam dengan kemungkinan justru merugikan penderita.
Kesepakatan definisi batuk kronik dan atau berulang (BKB) ialah keadaan klinis yang
disebabkan oleh berbagai penyebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya
selam 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling sedikit 3 kali dalam 3 bulan dengan atau
tanpa disertai gejala respiratorik dan non respiratorik lainnya.
Bronkitis kronik dapat disebabkan oleh berbagai macam hal seperti asma, infeksi kronik saluran
pernapasan atas, kelainan jantung bawaan, fibrosis kistik, dan banyak lainnya. Selain itu dapat
terjadi oleh beberapa faktor yang berasal dari lingkungan seperti asap rokok dan polusi udara.
Gambaran patologi bronkitis pada anak juga belum jelas karena datanya masih terbatas,
menyempitnya salurn napas mungkin juga mengurangi kemampuan kerja dan menurunkan daya
tahan saluran napas terhadap infeksi virus. Inflamasi, edema dan produksi mukus yang
bertambah, timbul dan menghilang lebih lambat daripada timbul dan menghilangnya
bronkospasme. Tergntung pada keseimbangan antara reaksi lambat dan cepat itulah kesan
penemuan klinis yang didapat. Anak dengan reaktivits otot bronkus yang menonjol akan
didiagnosis sebagai asma. Sedangkan anak dengan reaktivitas otot bronkus yang kurang tetapi
produksi lendirnya berlebih dan menunjukkan batuk produktif yang lama di temukan sebagai
bronkitis kronik. Oleh karena itu dalam mendiagnosis asma perlu dibandingkan dengan bronkitis

sebagai kemungkinan lain yang dapat terjadi.

Penutup
Berdasarkan pada pembahasan tersebut, pasien menderita hepatitis akut virus yang disebabkan
oleh virus hepatitis A. Untuk lebih memastikan lagi, kita harus menunggu hasil serologi terhadap
IgM anti HAV. Selain itu kita juga perlu memeriksa HbsAg untuk mengetahui apakah ada
kemungkinan pasien tersebut menderita hepatitis akut virus yang disebabkan oleh virus
hepaititis B yang dimana memiliki gejala yang hampir sama. Pada keluhan awal dari pasien
tersebut kita tidak dapat menarik kesimpulan bahwa pasien tersebut mengalami hepatitis akut
virus, karena pada gejala awal dari penyakit ini memiliki gejala yang hampir serupa dengan
berbagai jenis penyakit lainnya. Seperti dalam hal ini yang mendekati adalah leptospiroris yang
disebabkan oleh bakteri Leptospira, karena hal ini di dasarkan pada riwayat pasien mengenai
makan di tempat yang kurang bersih. Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan untuk membedakan
gejala seperti dalam hal ini dapat dilakukan beberapa pemeriksanaan penunjang untuk
memastikan penyebab dari keluhan pasien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.h.178180.
2. Gleadle J. At a galance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007.h.62-63.157-159.
3. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005.h.63-78.
4. Bickley LS. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. 8 th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.323-344.
5. Ganong WF, McPhee SJ. Patofisiologi penyakit pengantar menuju kedokteran klinis. 5 th
ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.h.441-449.
6.

7.
8. Elizabeth JC. Buku saku patofisiologi. 3 rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2009.h.665-669.
9.
10.
11.
12.
13.

Anda mungkin juga menyukai