Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinea Cruris
1. Definisi
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan
sekitar anus. Kelainan inidapat bersifat akut atau menahun, bahkan
dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit
dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke
daerahsekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian
tubuh yang lain. Tinea crurismempunyai nama lain eczema
marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch.1
2. Penyebab utama dari tinea cruris
Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophythonfluccosum
Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%)1
3. Epidemiologi
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di
daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa,
terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang
berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang
yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar
yang kotor dan lembab.3
4. Patofisiologi
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang
mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan
tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur,
pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui
kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau
autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur
ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat
memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan
kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan keratin yang
14

mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke


jaringan

epidermis

dan

menimbulkan

reaksi

peradangan.

Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan


timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm).
Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu
reaksi peradangan.5
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di
kulit adalah5:
a. Faktor virulensi dari dermatofita.
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur
antropofilik, zoofilik, geofilik.Selain afinitas ini massing-masing
jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam halafinitas
terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya:
Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython
fluccosum paling sering menyerang liapt pahabagian dalam.
b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang
jamur.
c.

Faktor suhu dan kelembapan


Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamut,
tampak pada lokalisasi ataulokal, dimana banyak keringat seperti
pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserangpenyakit
jamur.

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan.


Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana
terlihat insiden penyakitjamur pada golongan sosial dan ekonomi
yang lebih rendah sering ditemukan daripadagolongan ekonomi
yang baik.
e. Faktor umur dan jenis kelamin

15

5.

Manifestasi Klinis6
a. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis

yang

dilakukan,

ditemukan

gatal

di

selangkangan kanan dan kiri. Awal mula hanya berupa bintik


kemerahan yang kemudian semakin meluas. Keluhan gatal dirasakan
semakin memberat terutama malam hari dan saat berkeringat. Selain
itu pasien mengeluh kesemutan di daerah tungkai atas dan nyeri pada
sendi jari tangan.
b. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan status dermatologis
1) Inspeksi
a) Lokasi
: regio inguinalis bilateral
b) Morfologi
Regio inguinalis bilateral
UKK primer
: makula hiperpigmentasi batas tegas
UKK sekunder
: skuama halus di bagian tepi.
2) Palpasi

: teraba kasar dan berbatas tegas

c. Manifestasi tinea cruris :


1) Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal,
distal lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis
2) Daerah bersisik
3) Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif
4) Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama
diatasnya dan disertai likenifikasi
5) Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama
6) Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
7) Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi,

dan

impetiginasi mungkin muncul karena garukan


8) Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid
topikal sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama,
dan mungkin terdapat pustula folikuler
9) Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan
tinea pedis

16

TINEA KRURIS
6. Diagnosis6
Diagnosis Untuk menegakkan Tinea kruris, dibutuhkan penilaian
asosiasi gambaran klinis dengan uji diagnostik untuk mengisolasi dan
mengidentifikasi jamur. Bahan yang diperiksa berupa kerokan kulit.
Bahan

harus

diperoleh

sesteril

mungkin

untuk

menghindari

pencemaran jamur lain. Kemudian bahan dapat dilakukan pemeriksaan


secara langsung maupun secara biakan. Menurut Goedadi (2001) dan
Nasution M.A. (2005), untuk mengetahui suatu ruam yang disebabkan
oleh infeksi jamur, biasanya kita lakukan pemeriksaan kerokan dari
tepi lesi yang meninggi atau aktif tersebut. Spesimen dari hasil
kerokan tersebut kita letakkan di atas deck glass dan ditetesi dengan
larutan KOH 10-20 %. Kemudian kita tutup dengan object glass
kemudian

dipanaskan

dengan

lampu

Bunsen

sebentar

untuk

memfiksasi, kemudian dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran


40 kali. Pemeriksaan mikroskopik secara langsung menunjukkan hifa
yang bercabang atau artospora yang khas pada infeksi dermatofita.
Sedangkan untuk mengetahui golongan ataupun spesies daripada
jamur dilakukan pembiakan dengan media yang standar yaitu

17

Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Kadang-kadang kita perlukan juga


mikobiotik. Setelah kurang lebih dua minggu koloni daripada jamur
mulai dapat kita baca secara makroskopis.
7. Penatalaksanaan5
Terdapat banyak obat antijamur topikal untuk pengobatan infeksi
dermatofit. Lokasi ini sangat peka nyeri, jadi konsentrasi obat harus
lebih rendah dibandingkan lokasi lain, misalnya asam salisilat, asam
benzoat, sulfur, dan sebagainya. Obat-obat topikal ini bisa digunakan
bila daerah yang terkena sedikit, tetapi bila infeksi jamur meluas maka
lebih baik menggunakan obat oral sistemik (Graham-Brown, 2002).
Menurut Bagian Farmakologi FK UI (1995), Bagian Kesehatan Anak
FK UI (2002), dan Nasution M.A. (2005), obat-obat pada infeksi jamur
pada kulit ada 2 macam yaitu :
a. Obat topikal, misalnya :
1) Golongan Mikonazole,\
2) Golongan Bifonazole
3) Golongan Ketokonazole
Pengobatan umumnya 2x/hari minimal selama 3 minggu atau 2
minggu sesudah tes KOH negatif dan klinis membaik.
b.
1)

Obat per oral, misalnya :


Golongan Griseofulvin, dosis : Anak : 10 mg/kgBB/hari
(microsize). 5,5 mg/kgBB/hari (ultra-microsize). Dewasa :

2)

500-1000 mg/hari/
Golongan Ketokonazole, dosis : Anak : 3-6 mg/kgBB/hari.

3)

Dewasa : 1 tablet (200 mg)/hari.


Golongan Itrakonazole, dosis : Anak : 3-5 mg/kgBB/hari.

4)

Dewasa : 1 kapsul (100 mg)/hari.


Golongan Terbinafin, dosis : Anak : 3-6 mg/kgBB/hari. 10-20
kg : 62,5 mg ( tablet)/hari. 20-40 kg : 125 mg ( tablet)/hari.
Dewasa : 1 tablet (250 mg)/hari.

18

B. Tinea Corporis
1. Definisi
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak
berambut (glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan
lipat paha.1
2. Etiologi
Penyebab tersering Tinea Korporis adalah Trichophyton rubrum
dan Trichophyton mentagrophytes.1
3. Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk
infeksi kulit tersering. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang
dapat menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi
jamur superfisial ini relatif sering terkena pada negara tropis (iklim
panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi eksaserbasi.
Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di
Amerika Serikat penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum,
Trycophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Trycophyton
tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea korporis adalah
Tricophyton rubrum dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan di
Eropa penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, sementara
di Asia

penyebab

terseringnya

adalah

Tricophyton

rubrum,

Tricophyton mentagropytes dan Tricophyton violaceum.3


19

4. Patogenesis5
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang
filament terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel
jamur merupakan karakteristik utama yang membedakan jamur,
karena banyak mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin.
Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus, mitokondria,
ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan sentriol
dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Benang-benang hifa
bila bercabang dan membentuk

anyaman

disebut miselium.

Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau


membentuk spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu
alat reproduksi yang dibentuk hifa, besarnya antara 1-3, biasanya
bentuknya bulat, segi empat, kerucut atau lonjong. Spora dalam
pertumbuhannya

makin

lama

makin

besar

dan

memanjang

membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual


(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa
penggabungan). Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur
atau elemen jamur yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum
korneum. Pada saat perlekatan, jamur dermatofita harus tahan
terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur dan
kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam
lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang tertutup dan
maserasi memudahkan masuknya jamur ke epidermis. Masuknya
dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik
respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun
nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi
jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi,
keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang
mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan respons
radang.

Respons

radang

merupakan

mekanisme

pertahanan

nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur.


20

Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah


komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi
organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah lisozim, sitokin,
interferon, komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua
merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan
fungsi utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing.
Makrofag juga terlibat dalam respons imun yang spesifik. Selsel lain
yang termasuk respons radang nonspesifik ialah basophil, sel mast,
eosinophil, trombosit dan sel NK (natural killer). Neutrofil
mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur.
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur
setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan
limfosit B merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan
tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme termasuk
pengenalan dan mengingat organism asing, sehingga terjadi
amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merspons secara
cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi antibodi,
sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi.
Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme
ini dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen.
5. Manifestasi klinis6
a.
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis yang dilakukan, ditemukan gatal di regio
b.

abdomen.
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan status dermatologis ditemukan :
1) Inspeksi
- Lokasi
: regio abdomen
- Morfologi
Regio abdomen
a) UKK primer
: papul dasar eritem
b) UKK sekunder
: skuama halus
- Distribusi
: lokalisata di abdomen
- Konfigurasi
: geografika
2) Palpasi
: teraba kasar dan berbatas tegas
21

c. Gambaran klinis dimulai dengan


1) Lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan
perkembangan kearah luar,
2) Bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran
yang polisiklik, arsinar dan sirsinar.
3) Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai
dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada
bagian tengah lesi relatif lebih tenang.
4) Tinea korporis yang menahun, tandatanda aktif menjadi hilang
dan selanjutnya hanya meninggalkan daerah hiperpigmentasi
saja.
5) Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat dan
kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
6) Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu
atau dengan binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang
terjadi karena kontak dengan mamalia liar atau tanah yang
terkontaminasi.
7) Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya
pakaian, perabot dan sebagainya

Tinea Korporis
6. Pemeriksaan Penunjang1
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu
dengan

pemeriksaan

mikroskopis,

kultur,

laboratorium
pemeriksaan

antara
lampu

lain
wood,

pemeriksaan
biopsi

dan
22

histopatologi, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan dengan


menggunakan PCR. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan
membuat preparat langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan
dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau sesudah
dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop.
Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa
(benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga
spora berupa bola kecil sebesar 1-3. Kultur dilakukan dalam media
agar sabaroud pada suhu kamar (25- 30C), kemudian satu minggu
dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur
dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora.
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan
sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak
dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi
oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat
dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang
memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum
dan T.schoenleinii.
7. Diagnosa6
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium yaitu mikroskopis langsung dan kultur.
8. Pengobatan5
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non
medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.
a.

Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan
non medikamentosa adalah sebagai berikut:
1) Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang
terkena infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir
untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
2) Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara
bergantian dengan orang yang terinfeksi.
23

3) Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air


panas untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
4) Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah
tumbuh.
5) Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang
dapat menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan
bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara.
6) Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu
dan bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
7) Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi
jamur. Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet
b. Medikamentosa5

Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan


pengobatan

sistemik.

Pada

tinea

korporis

dengan

lesi

terbatas,cukup diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi


antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi
obat oral dan topikal diperlukan pada lesi yang luas atau kronik
rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate
imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal
infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat
terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah secara terbuka.
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi
antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat
perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien.
1) Pengobatan Topikal Pengobatan topikal merupakan pilihan
utama. Efektivitas obat topikal dipengaruhi oleh mekanisme
kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat
tersebut. Selain obat-obat klasik, obatobat derivate imidazole
dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi masalah tinea
korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol
kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4
minggu atau sampai hasil kultur negative. Selanjutnya
24

dianjurkan juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10


hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud
mengurangi kekambuhan.
2) Pengobatan Sistemik Menurut Verma dan Heffernan (2008),
pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis
adalah:
a) Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama.
Dosis untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan
dewasa 500-1000 mg/hari
b) Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis
yang resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal.
Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.
c) Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta
terbinafin dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan
tinea korporis.

25

Anda mungkin juga menyukai