Anda di halaman 1dari 5

NEPOTISME

Kita butuh beberapa orang lagi.


Di posisi mana, pak?
Divisi Analisa dan Evaluasi Sistem. Punya kenalan?
Mmm...
Email ya! Lima orang...
Belum sempat Mei Ling menyanggupi, atasannya sudah pergi. Meninggalkan sebuah tugas
penting dan rahasia menurutnya.
Mei Ling terduduk di kursi. Menghela nafas panjang. Matanya memang tepat di depan
monitor. Namun pikirannya menembus dinding ruang. Keluar gedung perkantoran.
Melayang. Berubah wujud menjadi seekor elang. Terbang rendah. Hanya dengan beberapa
kali kepakan sayap, ia mampu menempuh puluhan meter dengan sayap tetap terbentang.
Dengan mata tajamnya mencoba fokus pada mangsa yang ia cari. Hampir di setiap jengkal
tanah ia sapu. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua.
Dari sekian banyak karyawan yang memiliki kompetensi, yang saat ini ditugaskan di
beberapa daerah, Mei Ling harus memilih lima orang saja. Dan itu adalah temannya. Untuk
menikmati rumitnya lalu lintas Jakarta. Setelah mungkin menderita dengan suasana damai di
remote area.
Jangan lupa kawan ya Mei...
Asyik punya koneksi di Jakarta!
Ajak-ajak kami ya...
Sekelumit ungkapan-ungkapan rekan kerja Mei Ling saat melepas kepergiannya alih tugas ke
Kantor Pusat, tiba-tiba tertayang di dinding partisi meja kerja. Seperti tayangan film di layar
tancap, yang ditonton seorang bocah kecil yang duduk jongkok tepat di bawahnya.
Bagaimana harus memilih? Haruskah memberikan kebahagiaan kepada lima orang kawan,
dengan mengorbankan karyawan yang lain?
Mei Ling segera membuka program excel. Membuat daftar teman-temannya. Membuat dua
kolom dari setiap orang dengan nama kolom kelebihan dan kekurangan. Berusaha untuk
objektif. Melepas dari belenggu kedekatan. Mengabaikan besar kecilnya intensitas
komunikasi. Namun rasanya ia tak bisa. Dengan memilih hanya teman-temannya, dengan
mengabaikan karyawan lain yang tak ia kenal, sudah menjadi sebuah perasaan bersalah
tersendiri.

Dari sekian banyak teman, ia teringat pada Leila. Gadis sederhana yang sedang bertugas di
Mukomuko. Kota kecil dengan bentuk hanya satu garis lurus sejauh tujuh kilometer.
Posisinya ditempuh enam jam perjalanan darat dari kota Bengkulu, ke arah utara Sumatera.
Berbatasan dengan Sumatera Barat.
Sudah empat tahun di sana. Semenjak sempat menolak dipindahtugaskan setelah tiga tahun di
Bandung karena harus meninggalkan ibunya seorang diri. Ibu yang telah sepuh. Dan sering
sakit-sakitan.
Mei Ling masih merasakan hangat air mata Leila saat mereka berpelukan. Pelukan
perpisahan bagi Mei Ling. Namun kepedihan bagi Leila. Sebelum akhirnya Mei Ling ke
Jakarta dan Leila ke Mukomuko.
Jakarta Bandung, cukup dengan dua jam perjalanan. Rasanya Leila akan sangat bahagia jika
ia dimutasikan ke Jakarta. Setidaknya lebih dekat tempat tinggal ibunya dibanding ia di
Mukomuko. Kalaupun tidak dapat dimutasikan ke kota asalnya.
Mei Ling pun akan sangat bahagia, jika melihat Leila bahagia. Namun, dari segi kemampuan
tentang komputer, prasyarat untuk bisa memenuhi tugas atasannya, Leila bukanlah orang
yang tepat. Ia hanya sebatas user. Dan pekerjaan di Mukomuko pun hanya berkutat dengan
masalah Tata Usaha dan Rumah Tangga.
Ah! Atas nama kemanusiaan. Pikirnya.
Mei Ling melihat nomor urut berikutnya yang terisi nama Novan dan Reza. Dua nama yang
ia kenal sebagai penggila internet. Gamer. Sekaligus pernah kepergok sedang belajar bahasa
pemrograman. Memenuhi requirement si bos, pikirnya. Namun Mei Ling masih menyimpan
dendam. Kenangan pahit masa lalu dengan salah satunya. Mei Ling pernah sakit hati ketika
akun facebook-nya di hack.Lalu pelaku mem-posting gambar-gambar seronok, yang bagi
sebagian lelaki justru dinikmati. Dan gemparlah dunia. Dunia pertemanan dengan Mei Ling.
Satu per satu teman yang awalnya tidak mengetahui duduk masalah, menyayangkannya
sifatnya. Sebelum akhirnya diketahui bahwa semuanya ulah seseorang dari salah satu diantara
mereka yang tak bertanggung jawab.
Baru dua orang. Ya. Mei Ling baru memilih dua kandidat. Dan ia masih perlu menyeleksi
sekian banyak teman untuk menduduki posisi tiga hingga lima.
Sesaat Mei Ling menatap jendela. Bukan untuk melihat kondisi luar. Tapi siapa tahu ada
bayangan wajah yang melintas, dan pas untuk dimasukan ke dalam daftar. Memang benar!
Satu per satu tergambar di kaca jendela.
Oded, bertugas di Wamena. Lelaki asal Garut yang kental dengan logat sunda. Spontanitas
dalam komunikasi menjadi andalannya. Celetukan-celetukan segar seolah tanpa harus

berpikir. Mengalir tanpa ada hambatan. Wajar kalau ia pintar berdebat. Rasanya kalau
Prabowo kenal, mungkin Oded akan dijadikan pasangannya maju di bursa capres tahun ini.
Setidaknya, cukup menerima limpahan pertanyaan jika pertanyaan moderator acara debat
capres tak bisa dijawabnya.
Ada juga yang bertugas di Putussibau. Banyak yang menebak ia orang jawa, yaitu wilayah
sebelah timur Jawa Barat (karena orang sunda dan betawi, pantang untuk dipanggil orang
jawa). Padahal ia kelahiran Sikka Nusa Tenggara Timur. Barto Suseno. Ketika ditanya
mengapa namanya seperti itu, ia dengan enteng menjawab Brotoseno itu kan nama lain dari
Bima. Dan Bima itu kan ada di NTB. Nah, untuk wilayah NTT, papaku kasi nama aku Barto
Suseno, supaya tidak sama dengan Bima di NTB, kawan!
Mei Ling tersenyum mengingatnya. Ia berdiri. Mendekati jendela. Lalu menatap sebuah
gedung tinggi.
Apakah kau percaya bahwa gedung itu berjenis kelamin ganda?
Mei Ling hanya tertawa geli mendengar pertanyaan itu.
Hei! Ini Serius....
Mana aku percaya sama orang pengkhayal seperti kamu!
Ayolah. Tolong bedakan antara pengkhayal dengan penulis! Penulis itu memiliki kekuatan
imajinasi yang tak dapat dikalahkan oleh superhero manapun. Justru superhero itulah yang
lahir dari penulis...
Nah. Kau sendiri yang menegaskan. Itu imajinasi kamu saja!
Tunggu! Jangan pergi dulu...
Tangan kiri Mei Ling diraihnya. Sekejap, tangan kanannya pun sudah ada di genggaman
lelaki itu. Mereka berhadapan. Bertatapan. Jantung merekapun berdegup pada frekuensi yang
sama.
Dengar. Apa yang tampak dan kau lihat dari sebuah gedung itu adalah kebahagiaan. Dan kau
harus yakin, yang membuat mereka bahagia itu adalah rasa saling percaya. Dan rasa saling
percaya itulah yang tak terlihat siapapun, kecuali tukang bangunan, ketika membuat pondasi
gedung.
Mei Ling kembali tersenyum memandang gedung. Lalu kembali ke mejanya dan
mengetikkan nama seseorang di layar PC-nya.
Dua lagi, pikirnya. Tapi ketiga kandidat yang telah ia pilih, ragu untuk dikatakan objektif.
Sekiranya bisa adil, semestinya satu diantara dua orang yang sudah mahir di dunia komputer
tadi, bisa menduduki posisi kedua. Atau bahkan pertama. Karena secara realita yang memiliki

kemampuan dalam bidang komputer hanya dua orang. Satu berkompeten tapi tak terpilih
karena ada dendam pribadi. Sedang satu tak berkompeten tapi terpilih karena ada rasa
pribadi.
Ah. Abaikan saja perasaan itu, Mei! Satu hal, tuntaskan pekerjaanmu!
Tapi, aku merasa tidak nyaman dengan hal ini...
Mungkin perlu secangkir cappucino, atau teh hangat?
Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan. Nada bicara Mei Ling mulai meninggi.
Organisasi macam apa ini, karyawan yang sudah di pusat tak sehasta pun beranjak dari
kursinya, sementara yang di luar jawa di lempar sana sini. Institusi macam apa, bila
rekrutmen dan pola mutasi hanya berdasarkan kedekatan dan selera pribadi?
Bukti kalau kau kepercayaan atasanmu, Mei.
Bukankah nabi dan rasul juga kepercayaan Tuhan? Namun sistem Tuhan-lah yang
menentukan takdir baik buruk umatnya?
Jangan samakan sistem Tuhan dengan sistem organisasi.
Kalau bukan dari Tuhan, kita belajar dari mana?
Mei Ling pergi. Sebagaimana perginya bisikan misterius. Tak jauh. Hanya ke toilet.
Di depan wastafel ia berdiri. Memandang cermin. Mencoba untuk berbagi kegalauan.
Mencoba untuk menumpahkan segala keresahan. Karena sebaik-baik sahabat masih punya
peluang untuk menutupi-nutupi. Tapi tidak bagi cermin. Ia akan menyampaikan padamu apa
adanya, sejujur-jujurnya. Walau sejatinya kegalauan itu akan terpantul kembali padamu.
Namun biasanya dari pantulan itulah yang memicu terbentangnya sebuah jalan yang sedang
kau cari. Walau mungkin bukan yang terbaik.
***
Bagaimana, Mei?
Mungkin saat ini kita belum bisa membuat sistem pola mutasi yang ideal, Pak. Tapi, dengan
tugas yang bapak berikan pada saya, kita bisa memulai untuk sistem perekrutan analis,
programmer serta tenaga TI lainnya.
Dengan?
Assesment TI.
Bagus. Ide Cemerlang!
Kita mesti membuat Tim, Pak
Maksudmu Tim Assesment TI, kan?

Betul.
OK. Saya setuju. Tolong masukkan si Bobby dan si Roni dalam tim, ya!
Mei Ling mengerutkan dahi. Bukankah Bobby dan Roni adalah dua kakak beradik,
keponakan si Bos?

Anda mungkin juga menyukai