Ref Ratna (Syok)
Ref Ratna (Syok)
PENDAHULUAN
Syok adalah sindrom gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara menyeluruh
sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Akibatnya, terjadi gangguan
fungsi sel atau jaringan atau organ, berupa gangguan kesadaran, fungsi pernapasan, sistem
pencernaan, perkemihan, serta sistem sirkulasi itu sendiri. Sebagai respon terhadap
menurunnya pasokan oksigen, metabolisme energi sel akan berubah menjadi metabolisme
anaerobik. Keadaan ini hanya dapat ditoleransi tubuh untuk sementara waktu, dan jika
berlanjut, timbul kerusakan nirpulih pada jaringan organ vital yang dapat menyebabkan
kematian. Syok bukanlah suatu penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan.
Syok dapat terjadi setiap waktu pada siapapun.
Syok bukan merupakan suatu diagnosis. Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi
akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul
akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti, perdarahan yang massif, trauma
atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok
kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang
tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat repons imun (syok anafilaktik).
Syok bersifat progresif dan terus memburuk. Lingkaran setan dari kemunduran yang
progresif akan mengakibatkan syok jika tidak ditangani secara agresif selagi dini. Syok
merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke jaringan,
sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Dalam keadaan berat terjadi kerusakan
sel yang tidak dapat dipulihkan lagi (syok ireversibel); oleh karena itu penting untuk
mengenali keadaan yang dapat disertai syok, gejala dini dan penanggulangannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Syok adalah sindrom gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara menyeluruh
sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Akibatnya, terjadi gangguan
fungsi sel atau jaringan atau organ, berupa gangguan kesadaran, fungsi pernapasan, sistem
pencernaan, perkemihan, serta sistem sirkulasi itu sendiri.
Patofisiologi
Hipoperfusi pada syok menyebabkan terganggunya pasokan oksigen ke sel (lebih
tepatnya, mitokondria) sehingga metabolisme sel terganggu dan akibatnya pembentukan ATP
berkurang. Hipoperfusi juga mencetuskan refleks aktivasi sistem simpatis yang meningkatkan
kontraktilitas dan frekuensi denyut jantung sehingga meningkatkan curah jantung. Selain itu,
terjadi pengeluaran katekolamin, angiotensin, vasopressin serta endotelin yang akan
meningkatkan tonus pembuluh darah agar tekanan perfusi dapat dipertahankan dan perfusi
menjadi cukup.
Hipoksia membuat jaringan berusaha mengekstraksi O2 semaksimal mungkin agar
kebutuhan metabolisme tercukupi. Ketika segala refleks pertahanan tersebut sampai pada
batas toleransi dan hipoksia tidak teratasi, maka mitokondria akan terganggu dan
pembentukan ATP menurun. Semua sistem dalam tubuh pun tidak berfungsi sehingga terjadi
kegagalan organ menyeluruh, seperti gagal otak, gagal jantung, vasoplegia, penumpukan
asam laktat, gagal ginjal, gagal sistem pencernaan yang diikuti dengan perpindahan kuman
dan bahan toksin ke aliran darah (translokasi), dan berakhir dengan kematian. Kegagalan
organ multiple dan kematian berbanding lurus dengan lama dan beratnya hipoksia.
Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat:
1. Tahap I, syok terkompensasi (non-progresif), yaitu tahap terjadinya respons
kompensatorik, dapat menstabilkan sirkulasi dan mencegah kemunduran lebih lanjut.
Pada tahap ini, mekanisme kompensasi sirkulasi yang normal pada akhirnya akan
menimbulkan pemulihan sempurna tanpa terapi dari luar.
2. Tahap II, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan
kemunduran fungsi organ. Pada tahap ini, tanpa terapi, syok menjadi semakin buruk
sampai timbul kematian.
3. Tahap III, refrakter, (atau ireversibel), yaitu tahap saat kerusakan sel yang hebat tidak
dapat lagi dihindari, yang pada akhirnya menuju kematian.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penunjang diagnosis yang dapat digunakan pada syok antara lain ekokardiografi untuk
memastikan tamponade jantung, EKG untuk membedakan oklusi koroner dengan infark
miokard atau embolus paru yang besar, dll. Pemantauan dilakukan terus menerus terhadap
suhu badan, denyut nadi, tekanan darah, pernapasan dan kesadaran. Pemantauan tekanan
vena sentral diperlukan sebagai pegangan untuk mengatur pemberian cairan parenteral dan
2
1. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan jenis syok yang paling sering ditemukan. Syok
hipovolemik disebabkan oleh tidak cukupnya volume sirkulasi, seperti akibat perdarahan
dan kehilangan cairan tubuh lain. Jenis cairan tubuh yang keluar ialah darah, plasma, dan
cairan ekstrasel.
Menurut derajat volume sirkulasi yang hilang, syok hipovolemik dibagi menjadi
empat kelas :
Parameter
Kelas
I
II
III
IV
<750
750-1500
1500-2000
2000
<15%
15-30%
30-40%
40%
<100
>100
>120
>140
Tekanan darah
Normal
Turun
Turun
Turun
14-20
20-30
30-40
>35
>30
20-30
5-15
Sangat kurang
Kesadaran
Normal
Gelisah
Bingung
Tidak sadar
Namun, perbedaan ini mungkin tidak terlalu jelas pada penderita syok hemoragik
sehingga resusitasi cairan harus diarahkan pada respons terhadap tindakan awal dan
bukan hanya mengandalkan klasifikasi awal saja. Pengelompokan ini berguna untuk
memastikan tanda dini dan patofisiologi keadaan syok.
Syok hipovolemik dapat digolongkan lebih lanjut ke dalam syok hemoragik atau
non-hemoragik. Perdarahan dapat bersifat terlihat (misalnya, akibat luka atau
hematemesis pada tukak lambung) atau tidak terlihat (perdarahan dari saluran cerna,
seperti pada tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis
dan patah tulang besar atau majemuk). Perdarahan dalam jumlah banyak akan
mengganggu perfusi jaringan sehingga timbul hipoksia. Respons jaringan terhadap hal ini
bervariasi menurut jenis jaringan. Otot merupakan jaringan yang lebih tahan terhadap
hipoksia dibandingkan dengan otak.
Syok hipovolemik non hemoragik terjadi akibat hilangnya cairan tubuh total dan
keluarnya cairan intravaskular ke kompartemen ekstravaskular atau interstisial, seperti
pada luka bakar luas, muntah hebat atau diare, obstruksi ileus, diabetes atau penggunaan
diuretik kuat, sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.
Ketika terjadi perdarahan derajat I, perfusi jaringan masih tidak terganggu dan
produksi ATP masih mencukupi kebutuhan sehingga kehidupan sel atau jaringan tidak
terganggu. Pada derajat II, sudah terjadi gangguan perfusi sehingga untuk
mempertahankan kehidupan sel atau jaringan yang vital diperlukan penarikan aliran
kapiler dari jaringan yang kurang vital ke jaringan yang vital untuk menjamin
tercukupinya kebutuhan ATP. Pada perdarahan derajat III dan IV, mulai terjadi gangguan
kehidupan sel akibat produksi ATP yang lebih kecil daripada kebutuhan. Kegagalan
kompensasi terjadi jika kehilangan cairan intravaskular hampir mendekati 50%. Jika
ketidakseimbangan ini terus berlangsung sampai pada taraf yang berat, terjadi kematian
sel atau jaringan.
Etiologi
4
Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan
curah jantung. Curah jantung yang rendah dibawah normal akan menimbulkan
beberapa kejadian pada beberapa organ :
-
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sisitemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energy untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan
otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan
energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan
nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang
melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata
(mean arterial pressure/ MAP) jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ
akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
Neuroendrokin
Hipovolemia, hipotensi, hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain.
Kardiovaskular
Tiga variable seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu
peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan
absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam
5
usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme
dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.
-
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang
banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis
dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras
angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan
garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen
meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomelurus, yang bersama-sama dengan
aldosteron dan vasopressin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi
urin.
Gambaran Klinis
Penurunan tekanan darah sistolik dianggap merupakan tanda khas syok
hipovolemik. Sebelum tekanan darah menurun, tubuh mengompensasi dengan
melakukan vasokonstriksi kapiler kulit sehingga kulit menjadi pucat dan dingin.
Selain itu, terjadi penurunan diuresis dan takikardi untuk mempertahankan curah
jantung dan peredaran darah. Akibat tindakan kompensasi ini, tekanan darah tidak
menurun untuk sementara waktu. Metabolisme jaringan hipoksik menghasilkan asam
laktat yang menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi takipnea. Akhirnya,
karena terus menerus kehilangan cairan intravaskular, tindakan kompensasi tidak
dapat mempertahankan tekanan darah yang memadai sehingga terjadi dekompensasi
yang mengakibatkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba.
Ekstremitas dingin
Sama, ditambah :
Sama, ditambah :
Takikardia
Diaporesis
Takipnea
Takikardia hebat
Vena kolaps
Oliguria
Hipotensi
Cemas
Hipotensi ortostatik
Perubahan kesadaran
(agitasi atau bingung)
Diagnosis
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila
6
perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau
hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka
biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan
kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal
tidak menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai
dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia.
Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia.
Penatalaksanaan
a. Bila disebabkan oleh perdarahan, hentikan dengan tourniket balut tekan atau
penjahitan.
b. Meletakkan penderita dalam posisi syok :
-
c. Perhatikan keadaan umum dan tanda-tanda vital; pelihara jalan napas. Bila perlu
lakukan resusitasi.
d. Pemberian cairan:
-
Sebelum darah tersedia atau pada syok yang bukan disebabkan oleh
perdarahan, dapat diberikan cairan :
o Plasma : plasmanate
o Plasma ekspander: plasmafusin (maksimum 20 mL/kg BB), Dextran 70.
(maksimum 15 mL/kgBB), periston, subtosan, Hemacell plasma ekspander
dalam jumlah besar dapat mengganggu mekanisme pembentukan darah.
o Cairan lain : ringer laktat, NaCl 0,9% harus dikombinasi dengan cairan
lain, karena cepat keluar ke ruang ekstravaskular.
Untuk memperoleh hasil yang optimal, letakkan botol infus setinggi mungkin
dan gunakan jarum yang besar; bila perlu gunakan beberapa vena sekaligus,
dan lakukan venaseksi.
Vasodilator
Dapat diberikan setelah terdapat perbaikan keadaan umum, sambil terus
diberikan cairan, dengan tujuan:
o Diagnostik: bila terjadi penurunan tekanan darah berarti tubuh masih
kekurangan cairan.
o Terapeutik: untuk memperbaiki perfusi organ penting dengan membuka
pre- dan post- capillary sphincter.
o Isoproterenol (Isuprel)
o Dopamine
mcg/kgBB/menit,
kemudian
o adrenergic blockers
Kortikosteroid
Bila secara klinik derajat syok tidak sesuai dengan perdarahan, atau bila
dengan penggantian cairan yang adekuat tidak terlihat perbaikan, pikirkan
kemungkinan insufisiensi korteks adrenal. Untuk itu berikan kortikosteroid
dosis besar, misalnya hidrokortison 300mg IV lambat (dalam 30 detik), dapat
diulang sampai mencapai dosis total 2-6 gram/24 jam.
Dapat juga digunakan preparat lain dengan perbandingan dosis: kortison 25,
hidrokortison 20, metil prednisolon 4 dan deksametason 0,75.
Sering memberikan efek yang memuaskan terutama pada syok hipovolemik
dan syok septik.
Koreksi asidosis
Diberikan Na-bikarbonat dengan dosis (0,3 x berat badan x base excess) meq
IV; pada kasus asidosis yang nyata base excess dianggap pemeriksaan gas
darah (Astrup) sebagai pedoman.
Diuretik
Bila tekanan darah dan CVP telah membaik tetapi diuresis tetap <30 mL/jam,
berikan manitol 20% 100 mL per drip dalam waktu satu jam:
o Bila setelah itu diuresis >40 mL/jam, pertahankan dengan dosis manitol
ulangan sampai mencapai dosis maksimum 100 gram/24 jam.
o Bila tetap <40 mL/jam, berikan asam etakrinat (Edecrine) 50-100 mg IV:
Bila tetap < 40 mL/jam, dianggap telah terjadi payah ginjal akut.
f. Transfusi darah
Penderita dengan perdarahan kelas IV hampir selalu segera memerlukan
transfusi darah serta tindak bedah darurat untuk menghentikan perdarahan.
Keputusan tersebut bergantung pada respons terhadap resusitasi cairan.
Kehilangan darah lebih dari 50% volume darah mengakibatkan kehilangan
kesadaran, hilangnya denyut nadi dan turunnya tekanan darah. Keadaan ini
dianggap sebagai keadaan praterminal, dan kalau tidak dilakukan tindakan yang
agresif, penderita akan meninggal dalam beberapa menit.
Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan yang keluar,
darah pada perdarahan dan plasma pada luka bakar. Akan tetapi, penanggulangan
segera dengan resusitasi dapat dimulai dengan pemberian cairan Ringer-laktat atau
kristaloid.
o Darah merupakan cairan resusitasi yang optimal bagi pasien trauma
dengan syok bila cairan elektrolit tidak mampu memulihkan tekanan darah
pasien. Bila perdarahan melebihi 25% volume darah dan hematokrit
9
sekitar 40%, transfusi sel darah merah harus diberikan untuk mencegah
hematokrit turun di bawah 30% ketika isovolume dicapai.
o Cara lain untuk menentukan apakah transfusi darah diperlukan atau tidak
dapat dilihat dari nilai saturasi oksigen vena sentral; bila <75%, transfusi
dapat dipertimbangkan.
o American College of Physicians, American Society of Anesthesiology dan
Canadian Medical Associations menganjurkan bahsa Hb sebesar 6-8 gr%
merupakan batas ambang untuk transfusi darah.
o Transfusi darah sebaiknya darah segar yang sesuai dan yang masih
mengandung semua komponen darah, tetapi pemeriksaan terhadap
penyakit menular (seperti HIV, sifilis dan lain-lain) mutlak dilakukan dulu.
Dapat diberikan transfusi komponen darah seperti packed red cell (PRC),
plasma beku segar (fresh frozen plasma), trombosit, dan lain-lain.
o Pada penderita syok hemoragik yang gawat sering terpaksa digunakan
darah donor universal. Pada lelaki sebaiknya diberikan darah golongan O
dengan Rh (+) sedangkan pada perempuan usia subur sebaiknya diberikan
golongan O dengan Rh (-) untuk menghindari sensitisasi ketika wanita itu
hamil kelak. Transfusi darah golongan O dalam jumlah kecil dapat
ditoleransi dengan baik, sedangkan dalam jumlah banyak dapat
menyebabkan koagulopati, asidosis, hipokalsemia, hipomagnesemia dan
hipotermia.
2. Syok Obstruktif
Syok obstruktif terjadi akibat obstruksi mekanis aliran darah diluar jantung, paling
sering akibat tamponade jantung, sehingga perfusi sistemik menurun. Akibatnya, terjadi
gangguan pengisian ventrikel dan perubahan volume aliran balik vena akibat kompresi
cairan pericardium yang menganggu curah jantung. Jika hal ini berlangsung lama, akan
terjadi gangguan perfusi sistemik dan oksigenasi jaringan sehingga timbul kerusakan sel.
Jumlah cairan pericardium yang dapat mempengaruhi pengisian diastolik jantung
bergantung pada akumulasi cairan dan daya regang perikardium.
Selain itu, syok obstruktif disebabkan juga oleh tromboemboli paru, obstruksi
mekanis a.pulmonalis, hipertensi pulmonal dan tension pneumothorax, yang mengganggu
curah jantung.
Gambaran Klinis
-
Takipnea
Takikardia
Hipotensi
10
Pada tension pneumothorax dapat dijumpai penurunan bunyi napas dan hipersonor
pada perkusi dada
Penatalaksanaan
Tatalaksana syok obstruktif yang disebabkan oleh tamponade jantung terdiri
atas oksigenasi, pemberian cairan, tirah baring dengan posisi Trendelenburg, dan
pemberian zat inotropik. Ventilasi mekanis bertekanan positif harus dihindari karena
dapat menurunkan alir balik vena. Tindakan medis definitif
berupa
perikardiosentesis, drainase perkutaneus subxifoid darurat, atau perikardiotomi. Jika
hemodinamika pasien tetap tidak stabil atau jika perikardiosentesis gagal (biasanya
karena darah dalam di kantung perikardium sudah membeku), harus dilakukan
torakotomi atau perikardiotomi terbuka untuk membuat pericardial window,
perikardiodesis, pirau perikardio-peritoneal, atau perikardiektomi.
3. Syok Kardiogenik
Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan.
Etiologi
Penyebab primer syok kardiogenik adalah kegagalan fungsi jantung sebagai
pompa sehingga curah jantung menurun. Delapan puluh persen syok kardiogenik
disebabkan oleh gangguan fungsi ventrikel kiri akibat infark miokard dengan elevasi
ST. Selain karena disfungsi miokard, penurunan kontraktilitas jantung, obstruksi
aliran ventrikel ke luar jantung, kelainan pengisian ventrikel, disritmia dan defek
septum juga turut menggagalkan fungsi jantung. Mortalitas akibat syok kardiogenik
adalah 95%.
a. Disebabkan oleh Disritmia
-
Bradidisritmia
Takidisritmia
Lesi Regurgitasi
o Insufisiensi aorta atau mitralis akut akibat rupture otot papilaris yang
nekrotik. Ini mengakibatkan sejumlah besar darah mengalir ke belakang
atau regurgitasi ke dalam atrium kiri dan sirkuit paru-paru, yang juga
mengakibatkan penurunan aliran darah ke depan atau curah jantung.
o Cacat septum ventrikel didapat (VSD) akibat ruptura septum yang
mengalami infark. Pirau darah dari ventrikel kiri yang bertekanan tinggi ke
11
Lesi Obstruktif
o Obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, seperti stenosis katup aorta
kongenital atau didapat, dan kardiomiopati hipertrofi obstruktif.
o Obstruksi saluran masuk ventrikel kiri, seperti stenosis mitralis, miksoma
atrium kiri, thrombus atrium.
c. Miopati
Patofisiologi
Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan
ventrikel kiri. Peristiwa patofisiologis dan respons kompensatoriknya sesuai dengan
gagal jantung, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan
kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sehingga menyebabkan kongesti paru dan
edema.
Dengan menurunnya tekanan arteri sistemik, maka terjadi perangsangan
baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpatoadrenal
menimbulkan refleks vasokonstriksi, takikardia dan peningkatan kontraktilitas untuk
menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas akan terus
meningkat sesuai dengan hukum starling melalui retensi natrium dan air. Jadi,
menurunnya kontraktilitas pada syok kardiogenik akan memulai respons
kompensatorik, yang meningkatkan beban akhir dan beban awal. Hal ini memberi
efek buruk pada miokardium karena meningkatkan beban kerja jantung dan
kebutuhan oksigen miokardium.
Aliran darah koroner yang tidak memadai (terbukti dengan adanya infark)
menyebabkan meningkatnya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
terhadap miokardium. Gangguan miokardium juga terjadi akibat iskemia dan nekrosis
fokal, yang akan memperberat lingkaran setan dari kerusakan miokardium. Dengan
bertambah buruknya kinerja ventrikel kiri, syok menjadi makin berkembang hingga
akhirnya terjadi gangguan sirkulasi hebat yang mengenai setiap sistem organ penting.
12
Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok menjadi ireversibel.
Beberapa organ terserang cepat dan lebih nyata daripada yang lain. Seperti telah
diketahui, miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini pada keadaan syok.
Selain bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhan terhadap oksigen, terjadi
beberapa perubahan lain. Metabolisme anaerob diinduksi oleh syok sehingga
miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan fosfat berenergi tinggi (adenosine
trifosfat) dalam kadar normal dan kontraktilitas ventrikel akan makin terganggu.
Hipoksia dan asidosis menghambat pembentukan energy dan mendorong berlanjutnya
kerusakan sel-sel miokardium. Kedua faktor ini juga menggeser kurva fungsi
ventrikel ke bawah dan ke kanan yang akan semakin menekan kontraktilitas.
Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan keluaran urine kurang
dari 20 ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, biasanya disertai
dengan berkurangnya keluaran urine. Sejalan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus, terjadi peningkatan BUN dan kreatinin. Bila hipotensi berat dan
berkepanjangan, dapat terjadi nekrosis tubular akut yang kemudian disusul dengan
gagal ginjal akut.
Selama hipotensi berat dapat dijumpai gejala defisit neurologik. Kelainan ini
biasanya tidak berlangsung terus jika pasien pulih dari syok, kecuali jika disertai
gangguan serebrovaskular.
Selama syok yang berkelanjutan, dapat terjadi penggumpalan komponenkomponen sel intravaskular sistem hematologik, yang akan meningkatkan tahanan
pembuluh darah perifer lebih lanjut. Koagulasi intravaskular difus (DIC) dapat
terjadi selama syok, yang akan memperburuk keadaan klinis.
Manifestasi Klinis
-
Anamnesis
13
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan :
o Tekanan darah sistolik yang menurun sampai <90 mmHg, bahkan dapat
turun sampai <80 mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan
adekuat.
o Denyut jantung biasanya cenderung meningkat sebagai akibat stimulasi
simpatis.
o Frekuensi pernapasan yang biasanya meningkat sebagai akibat kongesti di
paru.
o Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki.
o Pasien dengan infark ventrikel kanan atau pasien dengan hipovolemik
dapat menyebabkan kongesti paru.
o Vena-vena di leher sering meningkat distensinya.
o Letak impuls apical dapat bergeser pada pasien dengan kardiomiopati
dilatasi dan intensitas bunyi jantung akan menurun pada efusi perikardial
ataupun tamponade.
o Irama gallop dapat muncul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel
kiri yang bermakna.
o Regurgitasi mitral atau defek septal ventrikel, bunyi bising atau murmur
yang timbul akan sangat membantu dokter pemeriksa untuk menentukan
kelainan atau komplikasi mekanik yang ada.
o Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukkan
beberapa tanda-tanda antara lain :
14
Pembesaran hati
Pemeriksaan Penunjang
o Elektrokardiografi (EKG): gambaran rekaman elektrokardiografi dapat
membantu untuk menentukan etiologi dari syok kardiogenik. Misalnya
pada infark miokard akut akan terlihat gambarannya dari rekaman tersebut.
Demikian pula bila lokasi infark terjadi pada ventrikel kanan maka akan
terlihat proses di sandapan jantung sebelah kanan (misalnya elevasi ST di
sandapan V4R). Begitu pula bila gangguan irama atau aritmia sebagai
etiologi terjadinya syok kardiogenik, maka dapat dilihat melalui rekaman
aktifitas listrik jantung tersebut.
o Foto rontgen dada: pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan
tanda-tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang
berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral
akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang
tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama kali.
Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil kemungkinan terdapat gagal
ventrikel kanan yang dominan atau keadaan hipovolemia.
o Ekokardiografi: modalitas pemeriksaan yang non-invasif ini sangat banyak
membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok
kardiogenik. Pemeriksaan ini relative cepat, aman dan dapat dilakukan
secara langsung di tempat tidur pasien (bedside). Keterangan yang
diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antara lain: penilaian
fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental), fungsi katupkatup jantung (stenosis atau regurgitasi), tekanan ventrikel dan deteksi
adanya shunt (misalnya pada defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri
ke kanan), efusi perikardial atau tamponade.
o Pemantauan hemodinamik: penggunaan kateter SwanGanz untuk
mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru
sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok
kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan. Pasien
syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan terjadi
peningkatan tekanan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan tekanan
baji pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard
akut menunjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut cukup
adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hipovolemia yang
signifikan, akan menunjukkan tekanan baji pembuluh paru yang normal
atau lebih rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga
membutuhkan perhitungan afterload (resistensi vaskular sistemik).
15
Diagnosis
Menurut penelitian terakhir, sindrom peradangan sistemik ternyata menjadi
komponen penting dalam timbulnya syok kardiogenik. Kriteria diagnosis syok
kardiogenk adalah :
a. Tekanan darah sistol 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistol sebesar
30 mmHg secara mendadak
b. Hipoperfusi yang ditandai dengan produksi urin 20 cc/jam, gangguan fungsi
saraf pusat, dan vasokonstriksi perifer (akral dan keringat dingin).
Penatalaksanaan
17
4. Syok Distributif
a. Syok septik
Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg)
disertai tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan
secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah
dan perfusi organ. Syok septik disebabkan oleh septisemia yang biasanya
disebabkan oleh kuman gram negatif dan menyebabkan kolaps kardiovaskular.
Endotoksin basil gram negatif menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya
hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler akibat vasodilatasi perifer menyebabkan
hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
kehilangan cairan intravaskuler yang terlihat sebagai edema.
-
Etiologi
o Peritonitis yang disebabkan penyebaran infeksi dari uterus dan tuba
falopi, terkadang akibat dari abortus instrumentalis yang dilakukan
dalam kondisi tidak steril
o Peritonitis karena ruptur sistem saluran pencernaan, kadang-kadang
disebabkan oleh penyakit usus halus dan terkadang oleh adanya luka di
saluran cerna.
o Infeksi tubuh generalisata karena penyebaran dari infeksi kulit, seperti
infeksi streptococcus atau stafilococcus.
18
Gejala klinis
o Demam tinggi
o Seringkali terjadi vasodilatasi yang nyata di seluruh tubuh, terutama
pada jaringan yang terinfeksi
o Curah jantung yang tinggi pada sekitar separuh pasien, disebabkan
oleh adanya dilatasi arteriol di jaringan yang terinfeksi dan oleh
kecepatan metabolic yang tinggi dan vasodilatasi di tempat lain dalam
tubuh, akibat rangsangan toksin bakteri terhadap metabolisme selular
dan suhu tubuh yang tinggi
o Melambatnya aliran darah, disebabkan oleh aglutinasi eritrosit sebagai
respon terhadap jaringan yang mengalami degenerasi
o Pembentukan bekuan darah kecil di daerah yang luas dalam tubuh,
keadaan yang disebut koagulasi intravaskular diseminata
(disseminated intravascular coagulation). Hal ini juga menyebabkan
faktor-faktor pembekuan darah menjadi habis terpakai sehingga timbul
perdarahan di banyak jaringan, terutama pada dinding usus dan traktus
intestinal
o Kulit menjadi merah dan hangat, denyut nadi meningkat, suhu badan
mungkin tidak meningkat, hipoksia otak menyebabkan kegelisahan dan
akhirnya koma, oliguria.
Patofisiologi
Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis,
dimana endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan
menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi
yaitu : sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses
inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostatis dimana terjadi
keseimbangan antara proses inflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan
homeostatis pada proses inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas
individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi
yang melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi
yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat
destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan gangguan pada tingkat selular
pada berbagai organ.
19
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan
reusitasi yang perlu dilakukan segera mungkin. Resusitasi dilakukan secara
intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba unit gawat darurat.
Tindakan mencakup: a). breathing; b). circulation; c). oksigenisasi, terapi
cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik dan transfusi bila
diperlukan.
Resusitasi cairan pada syok septik dilakukan menggunakan cara early
goal directed therapy (EGDT). Target resusitasi ialah mencapai tekanan vena
sentral sebesar 8-12 mmHg dan tekanan arteri rerata sekitar 60-90 mmHg.
Untuk mencapai nilai tekanan arteri rerata ini, digunakan zat vasoaktif (dalam
hal ini vasokonstriktor). Vasokonstriktor yang dianjurkan menurut survival
sepsis campaign ialah noradrenalin, sedangkan pada pasien yang refrakter
terhadap noradrenalin, dapat digunakan vasopresin.
20
Sistem
Umum
Prodromal
Pernapasan
21
Hidung
Laring
Lidah
Edema
Bonkus
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Kulit
Mata
Gatal, lakrimasi
Gelisah, kejang
Penatalaksanaan
Syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat karena penderita berada
dalam keadaan gawat. Segera berikan 1 ml larutan adrenalin 1/1000 secara
subkutan untuk menimbulkan vasokonstriksi. Hidrokortison 200-500 mg
diberikan intravena untuk menstabilkan sel mast, dan sediaan antihistamin
intravena untuk menghambat reseptor histamin. Infus diberikan untuk
mengatasi hipovolemia.
Tindakan pencegahan syok anafilaksis harus diperhatikan sebelum
melakukan penyuntikan. Bila tidak ada kepastian mengenai kemungkinan
akan terjadi syok anafilaksis, sebaiknya dilakukan tes kulit dan selalu harus
disiapkan sediaan adrenalin, hidrokortison dan antihistamin.
c. Syok Neurogenik
Syok neurogenik disebut juga sinkope. Pada syok ini terjadi reaksi
vasovagal berlebihan yang menyebabkan vasodilatasi menyeluruh di regio
splanknikus sehingga perdarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya
disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok
neurogenik pada trauma terjadi karena hilangnya tonus simpatis, misalnya pada
cedera tulang belakang atau yang sangat jarang, cedera pada batang otak.
22
Hipotensi pada pasien dengan cedera tulang belakang disertai dengan pasokan
oksigen yang cukup karena curah jantung tinggi meskipun tekanan darahnya
rendah.
Penderita merasa pusing dan biasanya kemudian jatuh pingsan. Denyut
nadi lambat, tetapi umumnya kuat dan isinya cukup. Setelah penderita
dibaringkan, umumnya keadaan membaik spontan tanpa meninggalkan penyulit,
kecuali jika terjadi cedera karena jatuh.
Beberapa faktor neurogenik yang dapat menyebabkan hilangnya tonus
vasomotor adalah sebagai berikut:
1. Anastesi umum yang dalam sering kali menekan pusat vasomotor
sehingga menimbulkan paralisis vasomotor, dengan akibat syok
neurogenik.
2. Anastesi spinal, terutama bila menyeluruh keatas sepanjang medulla
spinalis, menghambat aliran impuls saraf simpatis keluar dari sistem
saraf dan dapat menjadi penyebab syok neurogenik yang kuat.
3. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kolaps paralisis vasomotor.
Banyak pasien yang mengalami gegar otak atau kontusio daerah basal
otak mengalami syok neurogenik yang hebat. Demikian juga,
meskipun iskemia otak selama beberapa menit hampir selalu
menyebabkan perangsangan vasomotor yang luar biasa, namun
iskemia yang berlangsung lama (lebih dari 5 sampai 10 menit) dapat
menyebabkan efek yang berlawanan tidak aktifnya neuron vasomotor
secara total dibatang otak dengan akibat syok neurogenik yang hebat.
Gejala Klinis
Gejala prodormalnya adalah pucat, berkeringat dingin, lemas badan
terasa melayang, kadang-kadang mual. Penderita jatuh pingsan diikuti
hipotensi dan bradikardi.
Penatalaksanaan
o Penderita segera dibaringkan dengan kepala lebih rendah; pada
pemeriksaan mungkin didapatkan bradikardi.
o Hilangkan penyebab; bila perlu dapat diberikan analgetik.
o Dalam hal lesi sumsum tulang, berikan kortikosteroid untuk mencegah
edema sumsum tulang.
Biasanya penderita akan sadar beberapa saat kemudian setelah
sirkulasi serebral membaik oleh tindakan diatas. Pada anastesi spinal, berikan
vasokonstriktor (biasanya efedrin) dan cairan infus tetes cepat serta posisi
kepala lebih rendah dari kaki. Pada trauma spinal berikan terapi sesuai
keadaan.
23
DAFTAR PUSTAKA
1.
De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buka Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3, Jakarta: EGC 2010. Hal 156-165.
2.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11, Jakarta: EGC 2008. Hal 300-301.
24
3.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Vol 1. Edisi 6, Jakarta: EGC
2006. Hal 641-644.
4.
Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 2, Jakarta: EGC 2001. Hal 338.
5.
Sudoyo AW, et al. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Edisi 5, Jakarta : Internal Publishing 2009.
Hal 242-261.
6.
Sampurna B, Purwadianto A. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara 2013. Hal 49-60.
7.
25