Anda di halaman 1dari 23

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA

DAN APLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN


PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Fathor Rachman Utsman
Dosen STIK Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep

Abstract: An islamic leader who was delivering the most successful and monumental in controlling and developing several
branches of science is Avicenna. He also examined education in
several aspects, such as the human essence, the purposes of education, curriculum, teaching methods, and concepts of teacher. The
applications of his thoughts were emphasizing on: the first, the
importance of early childhood education; the second, the importance of moral education; the third, the urge of making education
of al-Quran as a model; the fourth, soul -oriented education (annafs); and the fifth, the need to build non-dichotomy educational
paradigm or integral education.
Kata kunci: Ibnu Sina, pendidikan Islam, manusia, tujuan pendidikan, metode pembelajaran, guru, kurikulum

Pendahuluan
Pada zaman kebangkitan Islam (abad VII-XII M), hampir semua
sarjana muslim saat itu tidak merasa cukup hanya dengan menguasai
satu cabang ilmu pengetahuan saja. Mereka selalu melengkapi dirinya
dengan berbagai macam kompetensi dan selalu berusaha untuk
menguasai berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Kecenderungan seperti ini merupakan sebuah kebiasaan para tokoh Islam
dalam rangka meningkatkan kualitas diri sekaligus sebagai upaya
untuk memajukan Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh dasar dan
pandangan Islam sendiri terhadap eksistensi ilmu pengetahuan dan
pentingnya penguasaan berbagai disiplin ilmu bagi umat Islam.
Islam mempunyai pandangan yang komprehensif terhadap hidup
dan ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan kehidupan. Untuk itu, Islam memandang bahwa

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

sebaik-baiknya manusia, lebih-lebih ulama ialah orang yang dapat


menguasai sebanyak mungkin cabang-cabang ilmu pengetahuan.
Di antara tokoh Islam yang paling berjaya dan berjasa dalam
menguasai beberapa cabang ilmu ialah Ibnu Sina. Ia bukan saja
seorang ahli kedokteran kelas dunia, tetapi juga seorang yang cakap di
bidang sains dan falsafah. Di samping itu Ibnu Sina juga merupakan
ahli politik yang lincah dan ahli kemasyarakatan yang berkaliber
dunia. Ia dikenal di Eropa sebagai Avicenna yang disebut sebagai the
greatest Muslim thinker and the last of the Muslim philoshopher in the
East.1
Bagi banyak orang, ia adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan
masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan
dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat
terkenal adalah Qnn f al-Thib yang merupakan rujukan di bidang
kedokteran selama berabad-abad. Meskipun ia lebih dikenal sebagai
seorang filosof dan ahli di bidang kedokteran, beberapa kajian yang
dilakukan oleh generasi sesudahnya tentang pemikiran Ibnu Sina
ditemukan beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam.
Oleh sebab itu, Ibnu Sina juga tercatat sebagai salah satu tokoh
pendidikan Islam yang memiliki pemikiran brilliant dan beberapa
teorinya masih cukup relevan dikembangkan dalam konteks pendidikan Islam modern.
Pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam memang telah
banyak dikaji oleh para ahli, tetapi tidak berarti kajian tersebut berhenti di situ saja. Pemikiran Ibnu Sina yang tertulis dalam karyakaryanya akan tetap relevan untuk dianalisis secara kritis hingga saat
ini sehingga menimbulkan dinamika keilmuan yang diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang bersifat solutif terhadap berbagai permasalahan pendidikan Islam dewasa ini, termasuk juga problem pendidikan di Indonesia.

1M.

Ihsan Dacholfany, Sistem dan Pendidikan Menurut Ibnu Sina. Makalah ini ditulis
dan diterbitkan dalam Bahasa Malaysia di http://www.teknologipendidikan.net/sistemdan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina. Diambil pada hari Ahad, 21 Juni 2009

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

37

Fathor Rachman Utsman

Biografi dan Karya Ibnu Sina


Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina bernama lengkap Abu Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn
Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia lahir pada tahun 370 H/980 M di Afshana
(Kharmisin), sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah
Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya bernama Abdullah, seorang
sarjana terhormat penganut Syiah Ismailliyah,2 berasal dari Balkh
Khorasan, suatu kota yang termasyhur di kalangan orang-orang Yunani dengan nama Bakhtra. Ayahnya tinggal di kota Balkh, tetapi beberapa tahun setelah lahirnya Ibnu Sina, keluarganya pindah ke Bukhara
karena ayahnya menjadi gubernur di suatu daerah di salah satu pemukiman Daulat Samaniyah pada masa pemerintahan Amir Nuh ibn
Mansur,3 sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia).
Ibunya, bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk
wilayah Afghanistan. Ada yang menyebutkan ibunya sebagai orang
yang berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 Masehi, wilayah
Afghanistan ini termasuk daerah Persia.4
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam
Ismailiyah, pemikiran Ibnu Sina independen dengan tingkat kecerdasan dan ingatan luar biasa. Banyak orang yang mengaguminya, sebab
ia adalah seorang anak yang luar biasa kepandaiannya (child prodigy).
Sejarah mencatat, bahwa ia memulai pendidikannya pada usia 5 tahun
di kota kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang ia pelajari adalah alQuran, setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu
agama Islam. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, pada usia 10
tahun telah hafal al-Qur'an dan lim dalam berbagai ilmu keislaman
yang berkembang saat itu, seperti tafsir, fiqih, kalam, filsafat, logika
dan pengobatan.

2Imam

Tholkhah & Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi
dan Integrasi Keilmuan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 248.
Meskipun ayahnya seorang penganut paham Syiah Ismailliyah, dan Ibnu Sina
sendiri banyak belajar kepada ulama-ulama Ismailliyah, ia sendiri menolak identitas
tersebut.
3Muhammad Tolhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Jakarta:
Lantabora Press, 2006), hlm. 116.
4Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, suatu Kajian Filsafat Pendidikan
Islam, cet. III (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 61.

38

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

Ketika anak genius ini berusia 17 tahun, ia telah memahami


seluruh teori kedokteran yang ada di masanya dan melebihi siapa pun
juga. Karena kepintarannya itulah, ia diangkat sebagai konsultan
dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi setelah ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibn Manshur, di mana sebelumnya tidak seorang
pun yang dapat menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi
Menteri oleh Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan,
karena berhasil mengobati penyakitnya.
Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan
pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "kedokteran tidaklah ilmu
yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika,
sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang
sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat-obat
yang sesuai".5 Kemasyhuran sang fisikawan muda menyebar dengan
cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran secara otodidak dan
mendalam, hingga ia dikenal sebagai seorang dokter profesional dan
termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya
melakukan penelitian dan praktik pengobatan. Berkenaan dengan ini
ada sebagian yang mengatakan bahwa Ibnu Sina mempelajari
kedokteran dari Ali Abi Sahl al-Masity dan Abi Mansur al-Hasan ibn
Nuh al-Qomary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran yang ditekuninya mengalami perkembangan yang luar biasa karena didukung
oleh keluasan teori dan praktik.
Di antara guru yang mendidiknya adalah Abu 'Abd Allh al-Ntili
dan Abi Muhammad Ism'il ibn al-Husyain. Dengan kejeniusannya, ia
mampu menguasai ilmu yang diterimanya, bahkan melebihi gurunya.
Meskipun Ibnu Sina sempat kebingungan untuk memenuhi hasrat
belajarnya yang tak kunjung terpenuhi dari guru yang telah ia temui,
akhirnya ia dapat lebih banyak belajar di perpustakaan istana, Kutub
Khana. Ia diberi kebebasan belajar di perpustakaan ini karena keberhasilannya menyembuhkan sang pangeran, sebagaimana yang telah
disinggung di atas. Beragam ilmu pengetahuan yang ia pelajari dan
5Mohammad

Kosim, Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina, (4 Februari 2009).


Makalah Filsafat Pendidikan Islam yang ditulis di http://mhdkosim.blogspot.com/
2009/02/makalah-filsafat-pendidikan-islam_04.html. Diambil pada hari Ahad, 21 Juni 2009

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

39

Fathor Rachman Utsman

kuasai di perpustakaan ini, termasuk di bidang filsafat. Namun, dalam


mempelajari filsafat ini, terkadang ia memperoleh kesulitan. Pada
beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia meninggalkan
buku-bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus
shalat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan-kesulitannya.
Ia secara tekun melanjutkan kegiatan belajarnya dan menstimulasi
perasaannya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics
dari Aristoteles, sampai kata-katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi
artinya tak dikenal, sampai suatu hari ia menemukan pencerahan dari
uraian singkat al-Farabi, yang dibelinya di suatu Bookstall seharga tiga
dirham. Dengan mengenal pemikiran al-Farabi, ia mengaku berhutang
budi kepada al-Farabi.
Sejak itu ia tidak perlu lagi belajar "meluas" tapi hanya perlu meningkatkan pemahamannya secara "mendalam" atas apa yang sudah
dipelajari pada saat ia memasuki usia delapan belas tahun. Ketika ia
memasuki usia senja, ia pernah menyatakan kepada muridnya, alJuzjani, bahwa sepanjang tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari
tidak lebih dari yang ia ketahui sebagai seorang pemuda berusia 18
tahun. Menurut Ibnu Sina masa muda sangat menentukan keberhasilan seseorang.
Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu
Sina tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya. Tatkala perpustakaan istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibnu Sina yang
membakarnya supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada di
sana, kecuali Ibnu Sina sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga
pernah dipenjarakan oleh putra al-Syam al-Daulah hanya karena
ketidaksenangan, atau kedengkian. Setelah beberapa bulan, ia dapat
meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan kemudian disambut
oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini kemudian ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual muslim yang disegani.
Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 980
H/1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia
wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.6

6Imam

40

Tholkhah & Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 250.

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

Karya-karya Ibnu Sina


Ibnu Sina dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam melahirkan karya tulis, meskipun ia sibuk dalam pemerintahan dan
tugasnya sebagai "dokter". Buku-bukunya hampir meliputi seluruh
cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa,
fisika, logika, politik dan sastra Arab. Di antara karya tulisan yang ia
tinggalkan dan berpengaruh terhadap generasi-generasi sesudahnya
adalah:
a. Al-Syif', terdiri dari 18 jilid berisikan uraian tentang filsafat yang
mencakup empat bagian, yaitu: ketuhanan, fisika, matematika, dan
logika. Dalam kitab ini juga ditemukan beberapa pemikirannya
tentang pendidikan;
b. Al-Najt, merupakan ringkasan dari al-Syif' yang ditujukan kepada
para pelajar yang ingin mempelajari dasar-dasar ilmu hikmah
secara lengkap;
c. Al-Qnn f al-Thibb (Canon of Medicine), berisikan tentang ilmu
kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan
berjenis-jenis penyakit dan lain-lain.
d. Al-Isyrt wa al-Tanbht, berisikan uraian tentang logika dan
hikmah.
Masih banyak karya lainnya yang telah ditulis. Semuanya sekitar
250 karya yang di antaranya banyak berbicara tentang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Karya-karya ini sebagian besar berbahasa
Arab, tapi ada sebagian kecil di antaranya berbahasa Persia, seperti
Danishnamah 'Ala'i (buku ilmu pengetahuan yang dipersembahkan
kepada 'Ala al-Dawlah). Buku ini merupakan karya filsafat pertama di
Persia Modern.
Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
Hakikat Manusia
Membahas tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian
tentang hakikat manusia. Pandangan seseorang terhadap manusia
akan berpengaruh terhadap konsep-konsep pendidikan yang ia
kemukakan. Demikian halnya Ibnu Sina, juga memiliki pandangan
tentang hakikat manusia. Bahkan dalam kajian filsafat, pembahasan
tentang Ibnu Sina tidak pernah terlepas dari pemikirannya tentang
manusia, khususnya tentang konsep jiwa. Secara garis besar, manusia
Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

41

Fathor Rachman Utsman

terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Keduanya mesti dipelihara


dalam kelangsungan hidup di dunia ini. Demikian halnya dengan
Ibnu Sina, meskipun ia sebagai seorang dokter yang mengkaji tentang
organ tubuh manusia secara jasmani, tetapi ia juga memiliki pemikiran yang unik tentang jiwa.
Sebagaimana al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran (emanasi). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama; demikian seterusnya sehingga
tercapai akal kesepuluh dan bumi. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal
pertama mempunyai dua sifat yaitu: 1) sifat wajib wujudnya, sebagai
pancaran dari Allah (wjib al-wujd li ghairih); dan 2) sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (mumkin al-maujd li
dztih).
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Hanya saja
Ibnu Sina menguraikan lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran
yang terkandung dalam al-Qur'an. Adapun pembagian jiwa tersebut
adalah:
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatyah). Daya ini terbagi tiga macam,
yaitu ghadzyah (makan); munmyah (tumbuh); muwallidah (mereproduksi). Daya jiwa nabatyah ini adalah jiwa terendah dari dua
jiwa yang lain.
b. Jiwa binatang (hayawanyah). Daya jiwa ini terdiri dari dua macam,
yakni: 1) Daya jiwa hayawanyah muhrikah (menggerakkan) sesuai
dengan tuntutan daya-daya keinginan; 2) Daya jiwa hayawanyah
mudrikah (menanggap); ialah jiwa menangkap dari penginderaan
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar, dan yang
datang dari dalam jiwa atau dalam dirinya sendiri.
c. Jiwa manusia (insnyah), yang disebut juga al-nafs al-nthiqt, mempunyai dua daya, yaitu: 1) daya praktis (al-'milah), hubungannya
dengan jasad. Daya jiwa al-'milah disebut juga al-'aql al-'amali (akal
atau intelegensia praktis), yakni daya jiwa insani yang punya kekuasaan atas badan manusia yang dengan daya jiwa inilah manusia
melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dia dengan binatang; 2)
Daya teoretis (al-'limah) hubungannya dengan hal-hal yang
abstrak. Daya jiwa al-'limah disebut juga "aql al-nazhari" (akal inte42

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

legensia teoretis), daya jiwa ini menemukan konsep-konsep umum


yang ditimbulkan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai beberapa tingkatan akal, yaitu; a) al-'aql bi al-quwwb, yaitu intelegensia yang berkembang disebabkan proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui proses belajar mengajar ataupun pengalaman-pengalaman. Di dalamnya terdapat; a) al-aql al-hayulan (akal
material), al-'aql al-malakt, (kebenaran aksioma) dan al-aql bi al-fi'l,
(akal aktual); b) al-aql al-mustafd (konsepsi rasional). Jadi, akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu
pengetahuan dari akal aktif.
Menurut Ibnu Sina, untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal
manusia, diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat jelas peran penting pendidikan bagi
pengembangan diri manusia. Ia juga menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya, jika yang lebih berpengaruh jiwa binatang
maka orang itu akan menyerupai sifat-sifat binatang. Sebaliknya jika
jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum berpisah
dengan badan, maka ia akan memperoleh kesenangan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak
sempurna akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia akan
sengsara selama-lamanya di akhirat.
Kemudian Ibnu Sina juga membedakan antara jiwa dan jasad.
Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak
membawa kepada hancurnya roh (jiwa). Akan tetapi jiwa yang kekal
adalah jiwa insniyah di mana kelak akan mendapat pembalasana di
akhirat, sementara jiwa tumbuh-tumbuhan dan hewan akan hancur
bersama hancurnya jasad. Dengan demikian, jiwa memiliki kedudukan sangat penting daripada jasad. Hal ini berimplikasi kepada
konsepnya tentang pendidikan yang mengutamakan pendidikan jiwa.
Tujuan Pendidikan
Ibnu Sina menerangkan tujuan pendidikan memiliki tiga fungsi
yang kesemuanya bersifat normatif. Pertama, tujuan itu menentukan
haluan bagi proses pendidikan. Kedua, tujuan itu bukan hanya menentukan haluan yang dituju tetapi juga sekaligus memberi rangsangan.
Ketiga, tujuan itu adalah nilai, dan jika dipandang bernilai, dan jika
Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

43

Fathor Rachman Utsman

diinginkan, tentulah akan mendorong pelajar mengeluarkan tenaga


yang diperlukan untuk mencapainya. Tujuan itu mempunyai fungsi
untuk menjadi kriteria dalam memulai proses pendidikan.
Berangkat dari pandangan tersebut, Ibnu Sina mengemukakan
bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah
perkembangannya yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti7. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu
Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar
dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan
pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina
berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan pada pendidikan
bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan
pekerjaan secara profesional.
Dengan demikian, adanya pendidikan jasmani diharapkan seorang
anak akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari dan
sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan
pula dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya. Begitu pula tujuan pendidikan keterampilan, diharapkan bakat
dan minat anak dapat berkembang secara optimal.
Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia
yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan
bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang
meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan
yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak
mulia meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus
berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak
7Ahmad

44

D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Maarif, 1990), hlm. 2.

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa'dah). Kebahagiaan menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap.
Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti,
kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat
tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini
menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual
mendapat penekanan yang lebih.
Menurut Hasan Langgulung, salah satu fungsi tujuan pendidikan
adalah sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan yang
terbagi pada tiga tahap, yaitu tujuan khusus (objectivies), tujuan umum
(goals), dan tujuan akhir (aims).8 Apabila dikaitkan dengan rumusan
tujuan pendidikan Ibnu Sina di atas, maka tujuan akhir adalah
"pengembangan akal". Sebab, bagi Ibnu Sina akal (intellect) adalah
puncak dari kejadian ini.
Walaupun para pakar pendidikan yang terkemudian memberi
definisi yang berbeda dengan Ibnu Sina, tetapi sebagian besar mereka
setuju bahwa akal adalah satu-satunya keistimewaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk yang lain. Sementara tujuan yang bersifat
khusus (objectives) adalah mencari kerja untuk hidup. Tujuan ini juga
bisa disebut tujuan vokasional yang termasuk dalam tujuan khusus.
Hal ini dapat dirumuskan berdasarkan tujuan pendidikan keterampilan sesuai dengan bakat minat anak, sebagaimana yang telah
disinggung di atas.
Dari beberapa tujuan yang dikemukakan di atas, secara sederhana
dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Sina
adalah "mengembangkan potensi anak didik secara optimal sehingga
memiliki akal yang sempurna, akhlak yang mulia, sehat jasmani dan
rohani serta memiliki keterampilan yang sesuai dengan bakat dan
minatnya sehingga ia memperoleh kebahagiaan (sa'dah) dalam hidupnya.
Kemudian, jika dikaitkan antara tujuan-tujuan yang dikemukakan
di atas, jelaslah bahwa Ibnu Sina telah merumuskan tujuan secara
sistematis. Tujuan pendidikan Ibnu Sina bersifat hirarkis-struktural.
Artinya, di samping memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan
8Hasan

Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, cet.
III (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hlm. 21.

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

45

Fathor Rachman Utsman

yang bersifat universal (atau tujuan akhir) sebagaimana dikutip pada


bagian pertama, juga memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan
yang bersifat kurikuler atau tiap bidang studi dan tujuan yang bersifat
operasional.
Hanya saja rumusan tujuan pendidikan Islam Ibnu Sina, selain dari
falsafahnya tentang hakikat manusia, juga dipengaruhi oleh perjalanan atau pengalaman hidupnya yang cerdas dengan pemikiranpemikiran brilliant, juga terjun dalam pekerjaan sebagai tabib/dokter
sesuai dengan keilmuan yang dikuasainya. Artinya, Ibnu Sina menghendaki orang lain bisa meneladani apa yang telah ia perbuat. Dengan
demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rumusan tujuan
pendidikan Ibnu Sina juga bersifat teoritis-praktis.
Kurikulum
Kurikulum dalam arti sempit adalah seperangkat mata pelajaran
yang harus dikuasai oleh anak didik untuk mencapai tujuan tertentu.
Dengan demikian, ilmu apa saja yang dipelajari dan dikuasai oleh
anak didik dapat disebut kurikulum. Ibnu Sina juga menyinggung
tentang beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak
didik. Abuddin Nata menyimpulkan bahwa rumusan kurikulum Ibnu
Sina didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik, yaitu:9
a. Usia 3-5 tahun
Menurut Ibnu Sina, pada usia ini anak didik perlu diberi mata
pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan
kesenian. Masing-masing materi ini memiliki tujuan dan cara
pengembangannya dapat dilakukan sebagai berikut:
Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara
demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja di antara anak
didik yang perlu diberi pendidikan olah raga sekedarnya saja, dan
mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih berolahraga lebih
banyak lagi. Pelajaran olah raga atau gerak badan tersebut
diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik anak
dan fungsi organ tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat
9Nata,

46

Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 70-74.

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

fisik adalah tempat bagi jiwa yang harus dirawat agar tetap sehat
dan kuat.
Adapun pelajaran akhlak/budi pekerti diarahkan untuk membekali anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan
hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan
dalam rangka membina kepribadian anak sehingga jiwanya
menjadi suci dan terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk yang
dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sulit diperbaiki kelak
pada usia dewasa. Dengan demikian, Ibnu Sina memandang pelajaran akhlak sangat penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini.
Sedangkan pelajaran pendidikan kebersihan juga mendapat
perhatian Ibnu Sina. Pendidikan ini diarahkan agar anak memiliki
kebiasaan mencintai kebersihan yang juga menjadi salah satu
ajaran mulia dalam Islam. Untuk pendidikan seni suara dan
kesenian diperlukan agar anak memiliki ketajaman perasaan dalam
mencintai serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu
dimiliki sebagai salah satu upaya untuk memperhalus budi yang
pada gilirannya akan melahirkan akhlak yang senang keindahan.
Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan kepada anak pada
usia 35 tahun, menunjukkan bahwa Ibnu Sina telah memandang
penting pendidikan pada usia dini.
b. Usia 6 -14 tahun
Kurikulum untuk anak usia 6 - 14 tahun menurut Ibnu Sina
adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an,
pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan pelajaran olah raga.
Pelajaran al-Qur'an dan pelajaran agama yang paling utama
diberikan kepada anak yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya.
Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an menurut Ibnu Sina
berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang
memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, juga untuk mendukung
keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran
tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lain-nya
yang sumber utamanya adalah al-Qur'an.
Pelajaran keterampilan diperlukan untuk mempersiapkan anak
agar mampu mencari penghidupannya kelak. Dalam pendidikan
modern pelajaran ini dikenal dengan vokasional. Pelajaran sya'ir
Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

47

Fathor Rachman Utsman

dibutuhkan pada usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada
tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang
mengandung nilai-nilai pendidikan dalam menuntun perilakunya,
di samping petunjuk al-Qur'an dan Sunnah.
Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat usia ini.
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran adalah
olah raga adu kekuatan, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan
dengan satu kaki dan mengendarai unta. Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan anak dan disuasaikan dengan tingkat perkembangannya.
Berdasarkan pemikiran di atas, jika pada usia 3-5 tahun lebih
ditekankan pada aspek afektif atau pendidikan akhlak, maka pada
usia 6-14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek
kognitif. Bahkan pada usia ini telah diajarkan al-Qur'an dengan
membaca, menghafal dan memahami tata bahasanya. Dengan
demikian, aspek afektif dan psikomotorik sudah banyak mendapat
sentuhan. Hal ini beralasan mengingat pada usia ini, otak anak
didik telah berkembang dan mulai mampu memahami persoalan
yang abstrak.
c. Usia 14 tahun ke atas
Pada usia 14 tahun ke atas, Ibnu Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak berbeda dengan usia
sebelumnya. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak
usia 14 tahun ke atas, sangat banyak jumlahnya. Namun pelajaran
tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat anak. Ini
menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak
didik. Dengan cara demikian, anak akan memiliki kesiapan untuk
menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan
kepada para pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan
dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut
oleh anak didiknya. Jadi, pada usia ini, anak didik diarahkan untuk
menguasai suatu bidang ilmu tertentu (spesialisasi bidang keilmuan).
Di antara mata pelajaran tersebut dapat dibagi ke dalam mata
pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Tampaknya pembagian
48

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi


ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi, Ibnu Sina banyak
menambahkan ilmu-ilmu lain ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis yang berdasarkan kepada ajaran Islam.
Adapun ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut adalah:
1) Ilmu yang bersifat teoritis meliputi: a) ilmu tabi'i, (mencakup
ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam), ilmu
tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia;), b) ilmu matematika; c) ilmu ketuhanan, disebutnya ilmu paling tinggi
(mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa
pembawa wahyu, mu'jizat, berita ghaib, ilham, dan ilmu tentang
kekekalan ruh, dan sebagainya).
2) Ilmu yang bersifat praktis, meliputi: a) ilmu akhlak; b) ilmu
pengurusan rumah tangga, c) ilmu politik, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadilan
dengan menetapkan undang-undang dan syariat.
Dari uraian pemikiran Ibnu Sina tentang kurikulum di atas, dapat
dipahami bahwa konsep kurikulum yang ditawarkannya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, dalam penyusunan kurikulum hendaklah mempertimbangkan aspek psikologis anak. Oleh karena itu, mengenal psikologi
anak sangat penting dilakukan yang dalam kajian pendidikan modern
mencakup tugas perkembangan pada setiap fase perkembangan,
mengenal bakat minat, serta persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing tingkat perkembangan. Dengan begitu maka mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan akan mudah dikuasai oleh anak didik.
Kedua, kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan
potenanak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual, dan akhlaknya. Namun masing-masing unsur tersebut mendapat
penekanan lebih pada masing-masing tingkat usia. Pada usia dini,
pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada usia remaja diseimbangkan antara afektif, psikomotorik dan kognitif. Sedangkan
pada usia 14 tahun ke atas ditekankan pada pendalaman materi sesuai
dengan keahlian dan kesenangan anak.
Ketiga, kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina bersifat pragmatisfungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keteTadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

49

Fathor Rachman Utsman

rampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau


berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap
lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan
pekerjaan yang ada di masyarakat.
Keempat, kurikulum yang disusun harus berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral. Hal ini dapat
dilihat dari pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an yang ditawarkan oleh Ibnu Sina sejak usia kanak-kanak.
Kelima, kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis
akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan seni dan syair merupakan bukti bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang
serius terhadap pendidikan akhlak. Sedangkan perhatian Ibnu Sina
terhadap pendidikan al-Qur'an sejak dini membuktikan ia memahami
bahwa semua ilmu berasal dari Allah dan harus terintegrasi antara
iman, ilmu, dan amal.
Metode Pembelajaran
Ibnu Sina juga memiliki beberapa konsep metode pembelajaran.
Pada dasarnya metode pembelajaran yang ia tawarkan memiliki perbedaan antara materi yang satu dan materi pelajaran lainnya. Artinya,
pemilihan dan penetapan metode harus mempertimbangkan karakteristik dari masing-masing materi pelajaran, di samping juga harus
mempertimbangkan tingkat perkembangan/psikologis anak didik.
Hal itu bisa dilihat dari beberapa metode yang ditawarkannya. Menurut Abuddin Nata, di antara metode yang ditawarkan Ibnu Sina adalah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang,
dan penugasan.10 Ketujuh metode pembelajaran ini akan dijelaskan di
bawah ini, ditambah lagi dengan metode dera dan hukuman (metode
targhb dan tarhb).11

10Ibid.,

hlm. 74-76.
ini merupakan temuan Ali al-Jumbulati dalam mengkaji pemikiran
pendidikan Ibnu Sina. Pendapat ini dikutip juga oleh Mohammad Kosim dalam
tilisannya tentang, Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina, (4 Februari 2009).
yang
ditulis
di
http://mhdkosim.blogspot.com/2009/02/makalah-filsafat-pendidikanislam_04.html. Diambil pada hari Ahad, 21 Juni 2009
11Metode

50

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

a. Metode talqn; perlu digunakan dalam mengajarkan membaca alQur'an, mulai dengan cara memperdengarkan bacaan al-Qur'an
kepada anak didik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak
tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut
perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia
hafal.
b. Metode demonstrasi; dapat digunakan dalam pembelajaran yang
bersifat praktik, seperti cara mengajar menulis. Menurut Ibnu Sina
jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka
terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid
untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan
makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara
menulisnya.
c. Metode pembiasaan dan keteladanan; termasuk salah satu metode
pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan
akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan
dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak.
Ibnu Sina mengakui adanya pengaruh "mengikuti atau meniru"
atau contoh tauladan baik dalam proses pendidikan di kalangan
anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara
thab'yah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan
meniru (mencontoh) segala yang dilihat, di rasakan dan yang
didengarnya.
d. Metode diskusi; dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran
di mana siswa di hadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan
dipecahkan bersama. Ibnu Sina mempergunakan metode ini untuk
mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis.
Pengetahuan model ini pada masa Ibnu Sina berkembang pesat.
Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan metode ceramah, maka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu
pengetahuan tersebut.
e. Metode magang; Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam
kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina
yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktik. Metode ini akan menimbulkan manfaat ganTadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

51

Fathor Rachman Utsman

da, yaitu di samping akan membuat anak didik mahir dalam suatu
bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja
yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis.
f. Metode penugasan; dilakukan dengan menyusun sejumlah modul
atau naskah kemudian menyampaikan kepada para murid untuk
dipelajarinya. Cara ini antara lain ia lakukan kepada salah seorang
muridnya bernama Abu ar-Raihan al-Biruni dan Abi Husain
Ahmad as-Suhaili. Dalam bahasa Arab, pengajaran dengan penugasan ini dikenal dengan istilah al-ta'lm bi al-marsil (pengajaran
dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul).
g. Metode targhb dan tarhb; dalam pendidikan modern dikenal istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk
reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik.
Namun, dalam keadaan terpaksa, metode hukuman (tarhb) atau
punishment dapat dilakukan dengan cara diberi peringatan dan
ancaman lebih dulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan,
tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi
dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia
kembali kepada perbuatan baik. Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, dan
dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang
positif dalam jiwa anak.
Dari beberapa metode yang diuraikan di atas, menunjukkan
bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan. Paling tidak ada empat karakteristik metode yang ditawarkan
oleh Ibnu Sina, yaitu: pertama, pemilihan dan penerapan metode harus
disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran; kedua, metode juga
diterapkan dengan mempertimbangkan psikologis anak didik, termasuk bakat dan minat anak; ketiga, metode yang ditawarkan tidaklah
kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
anak didik; dan keempat, ketepatan dalam memilih dan menerapkan
metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.

52

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

Konsep Guru
Guru memiliki peran sangat penting dalam pendidikan. Ibnu Sina
pun menulis beberapa pemikirannya tentang konsep guru, terutama
menyangkut tentang guru yang baik. Menurutnya, guru yang baik
adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh
dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni12.
Kemudian Ibnu Sina juga menambahkan bahwa seorang guru itu
sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi
pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak,
adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anakanak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu guru
juga harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan
diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang
yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan
dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Ibnu Sina juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga
melatih segi keterampilan, mengubah budi pekerti dan kebebasannya
dalam berfikir. Ia juga menekankan adanya perhatian yang seimbang
antara aspek penalaran (kognitif) yang diwujudkan dalam pelajaran
bersifat pemahaman; aspek penghayatan (afektif) yang diwujudkan
dalam pelajaran bersifat perasaan; dan aspek pengamalan (psikomotorik) yang diwujudkan dalam pelajaran praktik.
Rumusan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Sina menginginkan
seorang guru memiliki kompetensi keilmuan yang bagus, berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola
bagi anak didiknya. Hal ini penting, sebab jika guru tidak memiliki
wawasan yang luas tentang materi pelajaran yang diasuhnya dan
kurang memiliki kharismatik, tentulah anak didik kurang menyukainya. Jika hal itu terjadi, maka ilmu akan sulit didapat, meskipun
diketahui tetapi keberkahannya jelas berkurang.

12Tolhah

Hasan, Dinamika Pemikiran , hlm. 119.

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

53

Fathor Rachman Utsman

Aplikasi Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina dalam Pengembangan


Pendidikan Islam di Indonesia
Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam yang
telah diuraikan di atas, ada beberapa pemikirannya yang menurut
penulis tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Bahkan aktualisasi pemikiran
Ibnu Sina ini bisa menjadi pendidikan alternatif dalam mewujudkan
pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan zaman. Adapun
yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran Ibnu Sina tersebut
adalah sebagai berikut.
Pertama, pentingnya pendidikan anak usia dini. Di Indonesia dalam konteks ini sudah cukup serius melangsungkan proses pendidikan sejak dini, terutama dengan maraknya Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD). Anak usia dini menurut Ibnu Sina perlu diperhatikan
secara serius dan harus mendapatkan pendidikan yang maksimal terutama dalam hal pembiasaan anak melakukan perbuatan-perbuatan
yang baik, karena masa ini akan menentukan karakter dan tingkat perkembangan pendidikan anak pada masa yang akan datang.
Kedua, pentingnya pendidikan akhlak. Sebagaimana yang diuraikan di atas, pendidikan akhlak menjadi salah satu tujuan pendidikan
dalam pemikiran Ibnu Sina. Pentingnya pendidikan akhlak ini juga
tergambar dalam kurikulum yang ia tawarkan, serta metode dan sikap
guru yang mengutamakan keteladanan di samping kompetensi keilmuan. Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas penting. Bahkan akhlak mulia menjadi
salah satu indikator penting dalam rumusan tujuan Pendidikan
Nasional (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003). Namun dalam tataran
pelaksanaan pendidikan akhlak, tampaknya belum ditemukan formulasi yang tepat dan jelas. Padahal persoalan akhlak menjadi problema
utama yang terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, perhatian tokoh dan
praktisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia sangat
dibutuhkan untuk membangun karakter (caracter building) bangsa ini
ke arah yang lebih bermartarbat dan terhormat.
Perhatian itu hendaknya terwujud dalam kebijakan pendidikan,
seperti rekruitmen guru harus mempertimbangkan kepribadiannya,
bukan hanya melalui tes tertulis secara kognitif, kurikulum yang
diterapkan hendaknya berbasis akhlak, sekolah-sekolah yang mela54

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

kukan kecurangan harus ditindak tegas, dan sebagainya. Selain itu


perlu ada perubahan paradigma bahwa persoalan akhlak bukan hanya
tugas guru agama saja, akan tetapi juga menjadi tugas semua guru,
terutama guru yang beragama Islam secara bersama bertanggung
jawab menerapkan pendidikan akhlak (sesuai tuntunan Islam).
Ketiga, pendidikan al-Qur'an sebagai model. Ibnu Sina yang sering
dikenal dunia internasional sebagai ahli di bidang kedokteran (termasuk rumpun sains) dan filosof, ternyata memahami benar tentang alQur'an. Bahkan pada usia yang masih muda, sekitar 10 tahun, ia telah
menghafal seluruh al-Qur'an. Itu artinya al-Qur'an sangat menentukan
keberhasilan Ibnu Sina sebagai seorang ilmuan tiada tandingan di
masanya. Tampaknya ia juga menyadari pengaruh al-Qur'an tersebut
sehingga ia menawarkan pentingnya mempelajari al-Qur'an yang
dimulai sejak dini bahkan perlu mengajarkan untuk menghafalnya
pada usia 6 - 14 tahun.
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tampaknya pendidikan al-Qur'an kurang mendapat perhatian serius. Tingkat Sekolah
Dasar, misalnya, masih lebih memfokuskan belajar baca tulis alQur'an, sementara di madrasah, al-Qur'an hanya menjadi salah satu
pelajaran yang digabung dengan Al-Quran-Hadits, itu pun kadangkadang kurang maksimal. Untuk itu orang tua harus mengajarkan alQur'an sejak dini kepada anaknya. Sementara pihak sekolah, seharusnya mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an ke seluruh mata pelajaran,
khususnya untuk tingkat pendidikan SMP/MTs dan MA/SMA. Dalam hal ini, seluruh guru bidang studi perlu mendapat pelatihan dan
pembinaan khusus untuk dapat mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an
tersebut ke dalam pelajaran yang diasuhnya. Dengan upaya ini, diharapkan anak didik akan merasa semakin dekat dengan al-Qur'an
serta akan lahir generasi penerus Ibnu Sina sebagai "ulama yang
ilmuwan, atau ilmuwan yang ulama".
Keempat, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs). Salah
satu pemikiran penting Ibnu Sina dalam filsafat adalah konsep jiwa.
Jika ditelusuri pemikiran pendidikan Islam Ibnu Sina tampaknya akan
diarahkan kepada pengembangan potensi anak didik agar memiliki
tingkat jiwa yang tertinggi. Penulis memahami bahwa konsep jiwa
yang ditawarkannya telah mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagaimana yang dikenal dewasa ini, bahkan
Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

55

Fathor Rachman Utsman

melebihi dari konsep itu. Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi kepada kecerdasan jiwa tersebut. Salah satu di antaranya
yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa (tazkiyah
al-nafsiyyah). Dengan jiwa yang suci, niscaya akan memudahkan anak
didik menguasai berbagai ilmu yang dipelajarinya serta mudah pula
dibina kepribadiannya. Tegasnya, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs) dapat mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk
kepribadian yang berakhlak mulia. Profil anak didik seperti sangat
dibutuhkan dalam konteks kekinian.
Kelima, perlu membangun paradigma pendidikan non-dikotomik,
atau pendidikan integralistik. Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina di
atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang diinginkan bersifat
integral atau nondikotomik. Integralistik itu dapat dilihat antara jasad
dan rohani, teoritis dan praktis, serta ilmu "umum" dengan "agama".
Adanya paradigma integralistik atau nondikotomik telah membuat
Ibnu Sina sebagai seorang saintis sekaligus ulama terkemuka, paling
tidak ke-ulama-annya dapat dilihat dari pemikiran filsafatnya serta
penguasaannya terhadap ilmu al-Qur'an. Akhirnya, teori-teori yang
dihasilkannya tetap berlandaskan kepada ajaran Islam.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, paradigma semacam ini
harus terbangun. Adanya istilah "pendidikan umum" dan "pendidikan
agama" yang biasa dikenal di negeri ini sering kali menimbulkan paradigma dikotomik yang mempertentangkan antara satu ilmu dengan
yang lain. Paradigma semacam ini menimbulkan beberapa persoalan,
seperti: ilmu yang dimiliki tidak mengantarkan seseorang untuk dekat
dengan Allah, sikap beragama hanya urusan privasi seseorang, pembinaan akhlak hanya tugas guru agama yang banyak berbicara tentang
nilai, kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih menguat,
dan sebagainya. Oleh karena itu, pemikiran Ibnu Sina ini patut
diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia
yang berkualitas: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta cerdas
dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga menemukan
kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.
Penutup
Dari uraian pemikiran pendidikan Ibnu Sina di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan harus diberikan sejak usia dini hing56

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina

ga pada masa dewasa dengan cara melihat aspek psikologis anak


didik. Masing-masing tingkatan usia tersebut memerlukan materi tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan/psikologis anak. Pada usia
dini lebih ditekankan pada aspek afektif/akhlak, pada usia remaja,
akan dikenalkan berbagai ilmu-ilmu dasar, sementara itu, pada usia
dewasa diarahkan kepada keahlian atau spesifikasi keilmuan sesuai
dengan bakat dan minatnya. Kurikulum tersebut sudah bersifat
hirarkis-sturuktural.
Metode pembelajaran harus mempertimbangkan aspek psikologis
anak dan jenis materi pelajaran yang diberikan. Dalam penyajian metode ini, seorang guru harus memerhatikan pembinaan akhlak, baik
akhlak guru sendiri sebagai teladan maupun perilaku anak didik yang
harus diarahkan kepada yang baik. Oleh karena itu seorang guru
selain dituntut untuk cerdas dan kompeten dalam bidangnya, juga
dituntut memiliki akhlak yang mulia, penuh kharisma sehingga menjadi teladan dan idola bagi anak didiknya.
Pemikiran Ibn Sina di atas membuktikan bahwa ia adalah seorang
tokoh pendidikan Islam, di samping bidang-bidang lain yang dikuasainya. Oleh karena itu di antara pemikirannya patut dianalisis dan
perlu dijadikan referensi dalam pengembangan pendidikan Islam saat
ini. Dalam hal ini, pemikirannya patut dikembangkan dan diaktualisasikan karena dianggap relevan dengan kondisi pendidikan Islam,
khususnya di Indonesia. Wa Allh alam bi al-Shawb.*

Daftar Pustaka
Dacholfany, M. Ihsan. Sistem dan Pendidikan Menurut Ibnuu Sina.
Makalah ini ditulis dalam Bahasa Malaysia di http://www.teknologipendidikan.net/sistem-dan-pendidikan-menurut-Ibnuu-sina.
Hasan, Muhammad Tolhah. Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan
Islam. Jakarta: Lantabora Press, 2006.
Kosim, Mohammad. Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibnu
Sina. Dalam http://mhdkosim.blogspot.com/2009/02/makalah-filsafatpendidikan-islam_04.html.

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

57

Fathor Rachman Utsman

Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi


dan Pendidikan, cet. III Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.
Marimba, Ahmad D. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Maarif,
1990.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. III. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003.
Tholkhah, Imam dan Barizi, Ahmad. Membuka Jendela Pendidikan;
Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.

58

Tadrs. Volume 5. Nomor 1. 2010

Anda mungkin juga menyukai