http://al-charish.blogspot.com/2011/12/sekilas-tentang-pesantren.html
Wahai Tuhan kami, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan
lepaskanlah kekauan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku..(QS Al-Qashash [28]: 16)
(diskusi psikologi
tentang manajemen belajar bagi santri di pondok pesantren)
Pondok Pesantren.
Pesantren atau pondok pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional
tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum agama dan
ajaran Islam datang di tanah Nusantara ini. Oleh karena itu nama pondok pesantren itu sendiri
berasal dari dua kata bahasa asing yang berbeda. Pondok berasal dari bahasa arab funduq
yang berarti tempat menginap atau asrama (Dhofier, 1994). Kata pesantren berasal dari kata
santri dengan awalan pe - dan akhiran -an , Kata santri, berasal dari bahasa Tamil (India)
yang berarti para penuntut ilmu atau diartikan juga guru mengaji (Dhofier, 1994). Akibat dari
makna yang dikandung oleh namanya itu, sebuah pondok pesantren selalu mempertahankan
unsur-unsur aslinya, yaitu : pondok, masjid, pengkajian kitab-kitab klasik, santri, dan kiai
(Dhofier, 1994). Kelima unsur tersebut selalu ada dalam setiap pondok peasantren.
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pondok pesantren, yaitu sebagai lembaga
pendidikan dan sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun pada saat ini telah banyak
terjadi perubahan pada lembaga pondok pesantren, namun inti fungsi utama tersebut masih
tetap melekat pada pesantren, meskipun fungsi pesantren telah melebar tidak hanya pada
kedua fungsi tersebut. Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga penyiaran
agama tetap dijaga dan dipelihara oleh pesantren dari pengaruh modernisasi. Ini dilakukan
karena pesantren mempunyai wilayah sosial yang mengandung daya resistensi terhadap
pengaruh buruk modernisasi (Daud, 1995).
Namun demikian lembaga pondok pesantren tidak semata-mata hanya dilihat sebagai salah
satu manifestasi dari keislaman, melainkan harus dilihat pula sebagai sesuatu yang bersifat
indonesia karena sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun, lembaga pondok sudah ada di
Indonesia. Jelasnya, pondok adalah merupakan hasil penyerapan akulturasi dari masyarakat
Indonesia terhadap kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam yang kemudian
menjelmakan suatu lembaga yang lain, dengan warna Indonesia, yang berbeda dengan apa
yang dijumpai di India atau Arab (Rahardja.1995).
Pondok dengan cara hidupnya yang kolektif barangkali malahan merupakan salah satu
perwujudan atau wajah dari semangat dan tradisi dari lembaga gotong royong yang umum
terdapat di masyarakat pedesaan. Nilai nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan),
taawun (tolong menolong atau koperasi), ittihad (persatuan), thalabul ilmu (menuntut ilmu),
ikhlas (ihlas), jihat (berjuang), thaat (patuh kepada tuhan, rasul, ulama, kiai dan kepada
mereka yang diakui sebagai pemimpin), dan berbagai nilai yang secara ekplisit tertulis
sebagai ajaran Islam, ikut mendukung eksistensi pondok pesantren.
Inti pendidikan yang ditanamkan di pondok pesantren adalah pendidkan watak dan
pendidikan keagamaan. Sebagai komunitas belajar keagamaan, pesantren mempunyai
hubungan sangat erat dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam masyarakat pedesaan
tradisionil, kehidupan keagamaan merupakan bagian yang menyatu dengan kenyataan hidup
masyarakat sehari-hari. Tempat-tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan merupakan
pusat kehidupan pedesaan, sedangkan pimpinan keagamaan di desa adalah merupakan
sesepuh yang berwibawa yang diakui nasihat dan petunjuk-petunjuknya oleh masyarakat
sekitarnya. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan pesantren, kiai mempunyai kedudukan
sangat penting, ia merupakan figur central dari dinamika sebuah pondok pesantren, terutama
pada pondok pesantren tradisonal.
Pada tataran pondok pesantren tradisional, asal usul pesantren, biasanya memang diawali
oleh bermukimnya seorang kiai pada suatu tempat tertentu. Tempat ini kemudian didatangi
oleh para santri (pelajar) yang ingin belajar mengaji kepadanya. Para santri ini dilayani oleh
kiai tersebut dengan suka rela. Setelah beberapa waktu, datanglah kepada kiai itu seorang
demi seorang warga masyarakat sekitarnya, yang kemudian disusul oleh warga tetangga desa
yang terdekat, orang dari daerah lain dan seterusnya ( Chirzin, 1979).
Sistem Pengajaran Pada Pesantren
Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren (tradisional) , dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, di mana di antara masing-masing sistem mempunyai
ciri khas tersendiri , yaitu :
a. Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti sodoran atau yang disodorkan. Yang
dimaksud dengan sistem sorogan adalah sistem belajar seorang santri yang menyorog-kan
(menyodorkan) kitab yang akan dikajinya kepada kiai, memohon agar dibimbing
mempelajari kitab tersebut. Sistem sorogan ini memungkinkan terjadinya proses belajar
mengajar yang bersifat personal, karena santri dilayani sebagai pribadi oleh kiai, tidak
bersama-sama dengan santri yang lain. Dalam sistem sorogan ini, seorang santri bebas
menentukan program yang dipilihnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Ia bebas
pula menentukan kitab-kitab yang akan dikajinya dan bebas pula memilih guru atau kiai yang
membimbingnya. Santri yang memilih sistem ini mengevaluasi sendiri hasil studinya.
Kenaikan tingkat pun ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan dengan berpindahnya buku
kajian yang dipergunakan. Mereka yang telah tamat mengkaji buku-buku tertentu, tidak
diberikan ijazah atau sertifikat oleh pesantren bersangkutan, karena ijazah, menurut kalangan
pesantren diberikan oleh masyarakat kelak, kalau masyarakat menerima dia dan mengakui
ilmu serta kecakapannya.
Kiai yang menangani pengajaran dengan sistem sorogan ini harus mengetahui dan
mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca
dan mengkaji kitab-kitab. Sistem sorogan ini menggambarkan, bahwa seorang kiai di dalam
memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri
yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.
Sistem sorogan yang memberikan pelayanan personal dan kebebasan kepada santri untuk
menentukan program studinya itu, serta keikutsertaannya dalam perencanaan dan
pelaksanaan pendidikan dirinya, merupakan sistem memberikan iklim yang baik bagi
pertumbuhan pribadi santri yang bersangkutan, kemampuan berinovasi dan bertanggung
jawab sendiri mengenai pilihan dan tindakan yang dilakukannya (Chirzin, 1979).
b. Bandongan
Sistem pengajaran bandongan ini sering disebut dengan halaqah. Dalam sistem ini kelompok
santri yang terdiri lima sampai lima ratus orang santri, medengarkan seorang kiai atau guru
membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas kitab-kitab yang ditulis
dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri (menyimak) dan membuat
catatan-catatan yang diperlukan ditempat-tempat kosong pada kitab yang dipegangnya.
Dalam pelaksanaannya para santri duduk melingkar belajar bersama di bawah bimbingan
seorang guru. Sistem bandongan ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin
pribadi para santri.
Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah ini lebih banyak pada keikutsertaan
santri dalam pengajian. Sementara kiai berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran
kepada santri bahwa pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukalaf. Kiai tidak
memperdulikan apa yang dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kiai
dalam hal ini memandang penyelenggaraan pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah
SWT.
Sistem bandongan ini relatif lebih sulit dibandingkan dengan sistem pengajaran sorogan.
Karena sulitnya pelaksanaan sistem ini, banyak murid pengajian di daerah pedesaan yang
gagal mengikutinya. Dalam bahasa SKS (satuan kredit semester) banyak santri yang DO
(droup out) karenanya. Oleh karena itu, sistem sorogan seyogyanya dilakukan lebih dahulu,
sebelum mengikuti sistem bandongan. Pelaksanaan pengajian/pengajaran dengan sistem
bandongan ini oleh masyarakat pesantren di Jawa Timur sering disebut weton, atau sekurang-
kurangnya membaurkan saja istilah tersebut.
c. Weton.
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian atau
pengajaran weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat
tertentu, misalnya pada setiap hari Jumat dan sebagainya. Apa yang hendak dibedah kiai
tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang biasanya atau dipastikan dan dibaca secara
berurutan, tetapi kadang-kadang guru hanya memetik di sana sini saja. Peserta pengajian
weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kiai kepada peserta pengajian
bermacam-macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan
secara bebas.
Tridharma Pondok Pesantren
di dalam menjalankan fungsi dan peranannya, kegiatan pondok pesantren tercakup dalam tri
dharma pondok pesantren, yaitu :
1. Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
2. Pengembangan keilmuan yang bermanfaat
3. Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara (Hasbullah, 1996)
Bagaimana Menata Belajar di Pesanten?
Berangkat dari kekhasan model pembelajaran yang ada di pesantren maka cara belajar siswa
santri pondok pesantren pun sedikit berbeda dengan cara belajar siswa siswi pada umumnya.
Letak pokok perbedaan tersebut adalah pada aspek kemandirian dan pengambilan keputusan
dalam belajar. Di pondok pesantren (boarding school) siswa santri dituntut untuk secara
mandiri mengambil keputusan dalam proses pembelajarannya. Meskipun secara psikologis
siswa santri PP belum dapat digolongkan sebagai manusia dewasa penuh, tetepi mereka
dipaksa harus bersikap secara dewasa. Namun secara umum (dalam tinjauan psikologis)
apapun model pembelajaran yang dijalankan siswa/santri sebagai peserta didik adalah sama
saja. Mari kita ikuti bersama pemaparan lebih jauh tentang cara belajar efektif di pesantren.
1. Apakah Belajar itu ?
Belajar adalah merupakan aktivitas mental tingkat tinggi yang melibatkan unsur kognisi,
afeksi, konasi dan psikomotorik. Untuk dapat belajar secara baik, sehat dan benar diperlukan
mental yang sehat, fisik yang sehat dan sikap yang sehat.
Landasan utama bagi pembentukan cara belajar yang baik pada setiap diri siswa/santri ialah
memiliki sikap mental tertentu. Suatu sikap mental yang ditumbuhkan dan dipelihara dengan
sebaik-baiknya akan membuat seorang siswa/santri mempunyai senjata berupa kesediaan
mental . Tanpa kesiapan mental itu para siswa/santri pada umumnya tidak akan dapat
bertahan terhadap berbagai kesukaran-kesukaran yang dihadapi di bangku sekolah . Sikap
mental yang perlu diusahakan oleh setiap mahasiswa sekurang-kurangnya meliputi empat
segi, yaitu:
1. Tujuan Belajar
2. Minat terhadap Pelajaran
3. Kepercayaan pada diri sendiri
4. Keuletan
Tujuan Belajar
Belajar harus diarahkan kepada suatu cita-cita tertentu. Cita-cita yang diperjuangkan dengan
berbagai kegiatan belajar itu lalu menjadi tujuan belajar dari setiapSiswa/santri. Biasanya
tujuan belajar bersambung pula dengan tujuan hidupnya. Apakah kelak ia ingin menjadi ahli
hukum, pengacara, notaris, akuntan, insinyur, dokter, militer, dai, kyai, ulama dan
sebagainya. Tujuan belajar yang bersambung dengan cita-cita di masa depan itu akan
merupakan suatu pendorong untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tanpa motif tertentu ,
semangat belajar seseorang siswa/santri akan mudah padam karena ia tidak merasa
mempunyai sesuatu kepentingan yang harus diperjuangkan. Oleh karena itu, karena saat ini
anda telah menentukan pilihan pada institusi pondok pesantren maka , bulatkan tekad dan
cita-cita anda untuk menjadisantri yang baik. Kalau cita-cita anda di luar dunia pengetahuan
agama maka lebih baik anda segera cabut dari Pesantren saat ini juga. Jangan sekolah/belajar
karena prinsip daripada nggak sekolah, atau karena tidak diterima di sekolah lain !!
Dalam menentukan cita-cita itu, hendaklah seorang pelajar tidak semata-mata berpegang
pada hasrat hatinya saja. Kemampuan diri sendiri juga harus diperhitungkan. Telitilah
kelemahan-kelemahan diri sendiri berdasarkan angka-angka raport selama di sekolah
sebelumnya. Kemampuan keuangan juga perlu diperhitungkan, jangan sampai sekolah
berhenti di tengah jalan karena ketiadan biaya.
1. Minat Terhadap Pelajaran.
Setelah mulai belajar, hendaknya setiap siswa/santri menaruh minat yang sebasar-besarnya
terhadap pelajaran yang diikuti. Minat itu tidak hanya ditujukan kepada satu atau dua mata
pelajaran yang pokok saja, melainkan juga terhadap semua mata pelajaran. Suatu mata
pelajaran (mata kuliah) hanya akan dapat dipelajari dengan baik apabila si pelajar dapat
memusatkan perhatiannya terhadap pelajarannya itu. Minat merupakan salah satu faktor yang
memungkinkan terjadinya konsentrasi itu. Dengan kata lain tanpa minat tidak akan terjadi
perhatian. Contoh misalnya : Seorang pecatur atau pemain kartu, dapat sehari penuh duduk
dan memusatkan perhatian dan pikirannya bermain catur atau kartu, karena ia mempunyai
minat yang besar terhadap catur dan kartu. Demikian pula seorang pemancing yang mampu
duduk berjam-jam di tengah gelapnya malam atau teriknya matahari, karena ia sangat
berminat dan menyukai pekerjaan memancing.
Minat selain memungkinkan pemusatan perhatian, juga akan menimbulkan kegembiraan
dalam usaha belajar. Keriangan hati akan memperbesar daya kemampuan belajar seseorang
dan juga membantunya untuk tidak mudah melupakan apa yang dipelajarinya itu. Belajar
dengan perasaan yang tidak gembira akan membuat pelajaran itu terasa sangat berat.
2. Kepercayaan Pada Diri Sendiri.
Setiap siswa/santri harus yakin bahwa ia mempunyai kemampuan untuk memperoleh hasil
yang baik dalam usaha belajarnya. Dengan adanya self confidance (rasa percaya diri ) dan
self acceptance (penerimaan diri sendiri) ini mahasiswa pasti akan dapat mengikuti dan
mengerti pelajaran-pelajaran di pesantrennya/disekolahnya dengan baik. Namun demikian,
dalam membangun rasa percaya diri ini seorang siswa/santri juga harus rasional , dalam arti
tidak asal percaya diri tanpa mempersiapkan diri dengan baik. Rasa percaya diri harus
dibarengi dengan sikap waspada, sehingga siswa/santri tidak terjebak pada sikap asal wani
dan asal maju saja. Kalau ini yang terjadi, maka ini namanya sembrono.
Setelah belajar dengan baik, ujian-ujian hendaknya diikuti dengan penuh percaya diri. Jangan
merasa ragu-ragu untuk menempuh ujian, selama anda telah benar-benar mempersiapkan diri
dengan belajar sebelumnya. Kata belajar yang dimaksud di sini bukan sekedar menghafal
materi pelajaran semalam suntuk, tetapi lebih pada memahami (understanding) pada isi
pelajaran.
Siswa/santri yang memiliki rasa percaya diri postip, pasti tidak akan pernah melakukan
kecurangan-kecurangan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Misalnya
mencontek, menyalin pekerjaan teman atau memanipulasi tugas dengan membohongi
guru/ustad-nya dan sebagainya. Menyontek adalah cerminan tidak adanya rasa percaya diri.
Kalau masalahnya takut tidak lulus maka penyelesainnya bukan dengan cara menyontek,
tetapi dialogkan dengan guru/ustad mengapa setelah menempuh 2 atau 3 kali ujian koq belum
lulus juga. Hindari tindakan menyontek sejak awal anda sekolah. !!
Kepercayaan pada diri sendiri perlu sekali dipupuk sebagai salah satu persiapan rohani untuk
berjuang disekolah/pondok pesantren. Kepercayaan itu dapat dipupuk dan dikembangkan
dengan jalan belajar tekun. Hendaknya setiap siswa/santri menginsafi sepenuhnya bahwa
tidak ada mata pelajaran yang tidak dapat dipahami kalau ia mau belajar dengan giat setiap
hari. Selanjutnya hendaknya siswa/santri tidak terlampau bergantung diri kepada kawan di
dalam usaha belajarnya. Tugas tugas mandiri (take home examination) cobalah selalu
diselesaikan sendiri, baru kalau benar-benar mentok dibahas bersama-sama teman lainnya.
3. Keuletan
Yang memulia pekerjaan itu banyak, tetapi yang dapat bertahan hingga proses pekerjaan itu
berakhir hanyalah sedikit, Demikian pula yang memasuki pondok pesantren setiap tahunnya
sangat banyak, tetapi yang bisa bertahan sampai pelajarannya selesai tidaklah banyak.
Kehidupan siswa/santri selama belajar di PP itu penuh dengan kesulitan- kesulitan. Mulai dari
kesulitan akademik, kesulitan finansial, kesulitan sosiokultural, kesulitan lingkungan dan
sebagainya, Kesulitan-kesulitan tersebut akan lebih terasa bagi siswa/santri yang jauh dari
keluarga atau berasal jauh dari luar kota. Oleh karena itu setiap siswa/santri harus mempunyai
keuletan dan kesemamptaan jasmani rohani, mental maupun fsiknya. Keuletan rohani
jasmani akan membuat mahasiswa beranai menghadapi segala kesulitan dan tidak mudah
putus asa. Untuk memupuk keuletan itu maka hendaklah kesulitan itu ditempatkan /
dipandang sebagai tantangan yang harus dihadapi bukan sebagai penghambat yang
membuatnya nglokro. Motivasi yang kuat akan menjadi sumber yang besar dalam
menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan tadi.
Artikel Terkait
|
This entry was posted on 16:02 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS
2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar:
Poskan Komentar
Followers
http://solehamini.blogspot.com/2011/10/mental-pembelajar-santri-pondok.html
EKSISTENSI pondok pesantren di tengah arus modernitas saat ini tetap signifikan. Sebagai
lembaga pendidikan tertua di Indonesia pesantren memiliki kontribusi penting dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan ini layak dipertimbangkan dalam
proses pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan dan moral. Ditinjau secara
historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan dan
mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara
mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekitarnya. Pesantren telah
lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia
pesantren sendiri.
Dalam rangka mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan SDM yang berkualitas
dan merumuskan langkah strategis pesantren dalam membangun pendidikan, pada tanggal
30-31 Maret 2012 yang lalu, Majelis Komunikasi Alumni Babakan (Makom Albab)
bekerjasama dengan Yayasan Amal al-Biruni menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk
Pesantren, Kepemimpinan Nasional dan Masa Depan Indonesia. Menurut Dr. H. Affandi
Mochtar, MA, penggagas acara ini menjelaskan, di samping diselenggarakan untuk menjalin
silaturrahim dan mempererat tali persaudaraan di antara para alumni Pondok Pesantren
Babakan Ciwaringin Cirebon, juga dalam rangka Haul al-Maghfurlah KH. Amin Sepuh dan
KH. Muhammad Sanusi. Di masa kepemimpinan kedua tokoh kharismatik ini, menurut
Affandi, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin berada di puncak kemajuan dan berada
dalam satu komando kepengasuhan yang menyatu sebelumnya akhirnya, pada periode-
periode selanjutnya, berkembang menjadi beberapa pesantren yang masing-masing dipimpin
oleh seorang kyai.
Tidak hanya itu, Agung juga mengatakan bahwa dari pondok pesantren telah lahir kader-
kader ideal bangsa yang membawa masyarakat Indonesia mampu menapaki modernitas tanpa
kehilangan akar spiritualitasnya. Sampai saat ini model pendidikan pondok pesantren masih
tetap bertahan dari segala zaman, tidak pernah lapuk dimakan usia seperti buah kelapa,
bahkan semakin tua semakin banyak santannya. Seluas apapun pengaruh modernisasi dan
kemajuan teknologi, namun pondok pesantren tetap mampu bertahan, tetap konsentrasi dan
fokus dalam mengkaji pengetahuan agama Islam. Sekalipun dalam sistem pembelajarannya
menggunakan pola tradisional, seperti sorogan, bandongan, halaqah dan seterusnya. Tetapi
metode-metode itu tetap unggul dan ampuh memberikan kesan sepanjang hayat para santri
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan agama di pesantren. Dalam perkembangan terakhir
terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan masyarakat.
Sejarah telah mencatat prestasi pesantren dalam membentuk kultur benteng pertahanan bagi
nilai-nilai religius yang terbentuk dari pola kehidupan antara kiyai dan santri yang memiliki
karakter khusus yang mampu menghubungkan ikatan lahir-batin. Antara keduanya senantiasa
saling menghormati, sehingga terwujudlah komunitas dua arah yang menyatu. Di satu sisi
sebagai komunitas yang sangat patuh, dan di sisi yang lain sebagai komunitas pemimpin yang
mampu mewujudkan suri tauladan yang baik. Kekhasan ini masih ditambah dengan prinsip-
prinsip pesantren yang luhur, seperti kesederhaan, perjuangan tanpa pamrih, spiritualitas yang
tinggi, ketekunan dan kedisiplinan.
Untuk itu, dalam upaya pengembangan mutu pendidikan pesantren, menurut Menko,
pemerintah memberikan perhatian yang besar dalam upaya turut membangun dan mendorong
para santri yang dididik di pesantren dengan pembekalan yang berkaitan dengan
pemberdayaan ekonomi. Pemerintah, misalnya, telah mencanangkan program yang disebut
Program Pemberdayaan Ekonomi Pesantren (PPEP). Program PPEP ini salah satunya
dimaksudkan untuk ikut menanggulangi kemiskinan di tanah air, supaya para santri memiliki
kemampuan di samping memperdalam agama juga pengetahuan tentang basis-basis ekonomi.
Dengan begitu diharapkan mereka bisa mandiri dan bisa melakukan hal-hal yang juga
mendidik masyarakat lingkungannya, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi
kerakyatan. Memang alokasinya masih terbatas, masih berkisar 100 pesantren, dan jumlahnya
dananya juga tidak terlalu besar, yaitu antara 100 atau 200 juta per pesantren. Alokasi ini
dilakukan untuk membantu berbagai hal di pondok pesantren dalam rangka pengembangan
ekonomi, antara lain: pertama, mengembangkan modal usaha koperasi atau kopontren;
kedua, mengembangkan pos kesehatan di pesantren agar para santri betul-betul sehat baik
jasmani maupun rohani, dan bisa mengetahui bahwa tindakan kesehatan tidak hanya berupa
tindakan pengobatan atau kuratif, tetapi juga tindakan pencegahan atau preventif; ketiga,
mengembangkan usaha ternak di pesantren, seperti ternak sapi, kambing, unggas, dsb.;
keempat, mengembangkan keterampilan dalam pembangunan, misalnya hal-hal yang
berkaitan dengan teknik dan sebagainya.
Itulah sasaran-sasaran yang menjadi fokus perhatian pemerintah, di samping yang sudah ada
dan sudah berjalan selama ini yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang juga
diberikan kepada pondok-pondok pesantren yang sudah terdaftar dan betul-betul memiliki
kegiatan-kegiatan layaknya pondok pesantren. Juga ada beasiswa bagi para santri, lebih-lebih
para santri yang berprestasi dan para santri yang lemah secara ekonomi. Bahkan, pada tahun
2011 yang lalu sekirat 1.8 juta santri diberi beasiswa untuk menghadapi berbagai gejolak
akibat kenaikan BBM, dan untuk tahun ini sudah diduakali lipatkan menjadi 3 juta santri.
Dan tentu saja pada waktunya ada beberapa program yang turut memberikan stimulasi-
stimulasi dalam perbaikan infrastruktur pesantren itu sendiri.
Sementara itu, sebagai salah satu nara sumber dalam seminar tersebut, Wakil Gubernur
Lemhanas Letjend Tri Moeldoko, berupaya meyakinkan seluruh insan pesantren agar tidak
lagi merasa termarginalkan dalam proses pembangunan nasional. Dalam konteks ini,
menurutnya, pesantren justru mempunyai lima peran yang sangat stretegis: pertama, sebagai
lembaga keagamaan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama; kedua, sebagai lembaga pendidikan
yang menjadi wadah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ekonomi dan
budaya; ketiga, sebagai lembaga sosial dan ketahanan moral yang menjaga harmonisasi
masyarakat dan juga melakukan kontrol sosial; keempat, sebagai agen of change atau agen
perubahan; kelima, yang lebih penting lagi, sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan
kader-kader pemimpin masa depan. Para insan pesantren harus memikirkan bagaimana peran-
peran ini kembali untuk kemanfaatan umat dan masyarakat secara lebih luas, bukan hanya
untuk kelompok-kelompok tertentu saja.
Di antara pandangan Masdar yang sangat menarik adalah, bahwa Nusantara merupakan
wilayah keislaman yang damai. Karena Islam yang dianut dari waktu ke waktu tidak
ditegakkan dengan perang, tetapisecara umummelalui ajaran dan tradisi para guru sufi
(tarekat) di zawiyah-zawiyah, yang kemudian lembaga pendidikannya disebut pesantren. Dan
ini telah memberikan corak begitu besar kepada keberislaman masyarakat muslim Indonesia
yang bersifat damai dan lebih menekankan prilaku yang luhur dan anti-kekerasan. Tentu saja
ini berbeda dengan Islam di Timur Tengah, yang dari waktu ke waktu ditegakkan dan dikawal
dengan pedang, perang dan pertumpahan darah. Apalagi Islam mutakhir yang terlahir dari
negeri sana mengekspor Islam garis keras di Nusantara ini.
Terdapat banyak harapan dari eksponen pesantren yang hadir dalam seminar tersebut yang
juga menampilkan para narasumber lain yaitu Prof. Dr. Ahmad Mubarok, Endin Soefihara,
Teguh Juwarno dan KH. Maman Imanul Haq, khususnya agar Pondok Pesantren Babakan
Ciwaringin Cirebon dan pesantren-pesantren di seluruh Indonesia pada umumnya bisa
menjadi lebih maju. Harapan itu di antaranya: pertama, konsisten menerapkan sistem
pendidikan yang berpegang teguh kepada ajaran keagamaan yang benar sebagaimana tujuan
utama pondok pesantren dalam membina dan mendidik para santri. Kedua, menciptakan
kondisi pembelajaran yang tidak taassub atau fanatik atau ekstrem sehingga para santrinya
tidak mudah menyalahkan ajaran agama atau keyakinan orang lain yang tidak sepaham.
Sebab pada hakikatnya Islam adalah agama rahmat-an li al-alamin (membawa rahmat bagi
semesta alam), mengajarkan berbagai kebajikan, kedamaian, hidup rukun dan harmonis.
Ketiga, mampu mengajarkan agama dengan cara pandang yang luas dan komperhensif atau
yang utuh, dan diharapkan agar turut mengembangkan wawasan kebangsaan yang saat ini
sedang mengalami erosi. Bangsa Indonesia yang dulu dikenal ramah, bahkan orang-orang
Arab yang datang ke sini dulu sangat terkagum-kagum, tetapi sekarang hal itu sudah mulai
memudar. Jangankan dengan bangsa luar, dengan bangsa sendiri saja sering ribut. Dalam hal
ini, pesantren dituntut memberikan edukasi dan pendidikan terhadap masyarakat, terutama
pendidikan bahwa penyelesaian apapun terkait masalah-masalah sosial-kemasyarakatan,
hanya bisa diselesaikan dengan suasana tenang dan damai, bukan dalam suasana emosional,
apalagi kalau sampai menggunakan cara-cara kekerasan. Pendidikan seperti ini kiranya
merupakan bagian dari pendidikan karakter bangsa. Dan para santri serta alumni pesantren
mempunyai kelebihan, di samping pendidikan agama yang mendalam, juga kemampuan
berkomunikasi yang sangat baik. Dengan demikian pesantren akan memberikan kesejukan,
menciptakan suasana yang kondusif, damai dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat,
baik kehidupan seagama maupun antaragama. Tidak terbawa oleh paham-paham yang sesat
atau sebaliknya dapat terpengaruh oleh paham-paham yang suka membuat teror terhadap
sesame umat maupun para aparatur negara.
Kelima, pesantren diharapkan menjadi lembaga pendidikan yang peduli dan berbudaya
lingkungan, memperhatikan dan mengaplikasikan aspek kesehatan, seperti makan minum
santrinya, sistem perairannya, sistem pembuangan limbah, dll.
Harapan-harapan tersebut setidaknya bisa menjadi stimulus bagi pesantren dalam mencetak
pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarakter yang mampu menghadapi tantangan-tantangan
dari manapun datangnya. [Roland Gunawan]
http://rolandgunawan.blogspot.com/2012/04/pesantren-menyongsong-masa-depan.html