Anda di halaman 1dari 1

RESUME 6

RACHMAD DANIEL 20200510100094

MANAJEMEN PESANTREN DAN DINIYAH

Sejarah pondok pesantren di Jawa tidak lepas dari peran para Wali Sembilan atau lebih
dikenal dengan Walisongo yang menyebarkan Islam di pulau Jawa pada khususnya. Pada masa
Walisongo inilah istilah pondok pesantren mulai dikenal di Indonesia. Ketika itu Sunan Ampel
mendirikan padepokan di Ampel Surabaya sebagai pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang
berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Padepokan Sunan Ampel inilah
yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren yang tersebar di Indonesia.
Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang dirumuskan
dengan jelas sebagai acuan progam-progam pendidikan yang diselenggarakannya. Profesor
Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan utama pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau
wisdom (kebijaksanaan) berdasarkan pada ajaran Islam yang dimaksudkan untuk meningkatkan
pemahaman tentang arti kehidupan serta realisasi dari peran-peran dan tanggung jawab sosial.
Metode pendidikan membicarakan cara-cara yang ditempuh guru untuk memudahkan
murid memperoleh ilmu pengetahuan, menumbuhkan pengetahuan kedalam diri penuntut ilmu,
dan menerapkannya dalam dalam kehidupan. Untuk memahami cara-cara itu, maka tidak dapat
mengabaikan pengertian ilmu pengetahuan dan cara memperolehnya. Metode pengajaran di
pesantren adalah bandhongan atau wetonan dan sorogan. Kedua sistem itu digunakan setelah
para santri dianggap telah mampu membaca dengan lancar dan menguasai al-Qur’an. Dalam
metode bandhongan ini dilakukan dengan cara kyai/guru membacakan teks-teks kitab yang
berbahasa Arab, menerjemahkannya kedalam bahasa lokal, dan sekaligus menjelaskan maksud
yang terkandung dalam kitab tersebut.
Aspek kognitif yang semua santri menjadi aktif adalah metode pengajaran yang juga
menjadi ciri khas pesantren; yaitu sorogan. Metode sorogan adalah semacam metode CBSA
(Cara Belajar Siswa Aktif) yang santri aktif memilih kitab kuning, membacanya, kemudian
menerjemahkannya di hadapan kyai, sementara itu kyai mendengarkan bacaan santrinya dan
mengoreksi bacaan atau terjemahannya jika diperlukan. Penguasaan kitab kuning juga diasah
melalui forum yang biasa disebut musyawarah. Dalam forum ini, para santri membahas atau
mendiskusikan suatu kasus didalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk kemudian dicari
pemecahannya secara fiqh (yurisprudensi Islam).

Anda mungkin juga menyukai