Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Persalinan prematur merupakan masalah utama pada obstetri dan diseluruh dunia 30%
kasus terjadi bersamaan dengan kejadian preterm premature rupture of the membran
(PPROM). Pada tahun 2001 menurut data WHO, kejadian persalinan prematur
mencapai 11,9% dari seluruh kehamilan, dan jumlah bayi yang lahir prematur secara
bertahap meningkat pada dua dekade terakhir.Di negara industri seperti di Amerika,
proporsi bayi yang lahir prematur meningkat dalam 20 tahun terakhir dimana sekitar 1/8
kelahiran mengalami kelahiran prematur. Di Kanada bayi yang lahir pada usia kehamilan
36 minggu atau kurang meningkat dari 6,3 % pada tahun 1981 menjadi 6,8 % di tahun
1998. Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan Departemen
Kesehatan mengatakan bahwa angka kematian bayi akibat kelahiran prematur di
negara-negara Asia Tenggara mencapai sekitar 3 juta kasus setiap tahunnya,
sedangkan di Indonesia kasus kematian balita mencapai 46 kasus dari 1000 kelahiran
dimana persalinan prematur merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka
kematian penatal.1, 2, 3,4
Infeksi merupakan penyebab tersering dari PPROM serta persalinan
prematur, dan teridentifikasi pada lebih dari 30% kasus. Organisme yang seringkali
dihubungkan

dengan

persalinan

prematur

adalah:

Ureaplasma

urealyticum,

Mycoplasma hominis, Streptococcus agalactae, dan Eschericia coli . Postulat Koch


untuk organisme-organisme ini sebagai patogen pada persalinan prematur telah banyak
digunakan pada sejumlah penelitian menggunakan primata, kelinci atau hewan pengerat
hamil . Penelitian klinis menunjukkan bahwa amnionitis berhubungan dengan persalinan
prematur, PPROM dan kelainan kehamilan lain .Selain infeksi kebiasaan hidup seperti
merokok, alkohol, kurang gizi, penyalahgunaan narkotik juga mempunyai peranan pada
kejadian kelahiran prematur. Telah diteliti selama beberapa tahun bahwa kejadian
kelahiran prematur merupakan kondisi yang berhubungan dengan riwayat dalam
keluarga, serta ras , dimana mengarahkan kepekaan genetik sebagai penyebab
kelahiran prematur.4,5

Salah satu penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui prediktor


persalinan prematur adalah penelitian mengenai Progesteron Induced Blocking Factor
(PIBF). PIBF merupakan suatu protein mediator dengan berat molekul 34 kDa dimana
secara umum berperan sebagai perantara progesteron yang diproduksi oleh TLymphocyte untuk menimbulkan efek imunologis untuk menjaga kelangsungan
kehamilan dengan cara menghambat sitolisis oleh sel NK perifer dan menginduksi
dominasi dari sel T helper2. Selama kehamilan normal, konsentrasi (kadar) PIBF secara
terus menerus diproduksi mulai umur kehamilan 7 minggu sampai 37 minggu dan
mencapai kadar maksimum (120 ng/ml). Setelah 41 minggu, konsentrasi PIBF menurun
secara drastis. Pada pasien dengan partus prematurus iminen kadar PIBF urine tidak
meningkat selama kehamilan. Berdasarkan penelitian Polgar tahun 2004, keberadaan
konsentrasi PIBF pada cairan biologis berkorelasi dengan baik atau buruknya luaran
kehamilan dimana pada persalinan prematur diprediksi jumlah PIBF lebih rendah dari
persalinan aterm. Hal tersebut disebabkan PIBF disekresikan dalam bentuk molekul
dengan berat molekul rendah sehingga dapat disaring oleh ginjal dan diekresikan
melalui urine. PIBF dengan berat molekul 34-kDa hanya disekresi oleh ibu, bukan oleh
fetus, dan dapat dideteksi di cairan tubuh antara lain di urine. Dengan demikian
pengukuran PIBF urine merupakan salah satu metode noninvasif untuk memprediksi
kejadian persalinan preterm maupun prediksi terhadap kondisi patologis lainnya. 5,6
Kami tertarik untuk melakukan penelitian ini karena di indonesia belum ada yang
meneliti tentang PIBF sebagai prediktor persalinan prematur, serta menemukan batas
kadar PIBF urin yang dapat digunakan sebagai prediktor keberhasilan terapi PPI.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang didapatkan permasalahan:
1. Apakah kadar PIBF ibu hamil dengan PPI yang berhasil lahir aterm lebih tinggi
daripada kadar PIBF ibu hamil dengan PPI yang lahir prematur
1.3. Tujuan Penelitian
1.Membandingkan kadar PIBF ibu hamil dengan PPI yang berhasil lahir aterm
dengan kadar PIBF ibu hamil dengan PPI yang lahir prematur
1.4. Manfaat Penelitian

1. Menemukan kadar PIBF sebagai prediktor keberhasilan terapi konservatif pada


ibu hamil yang mengalami ancaman persalinan prematur
2. Mengantisipasi baik dalam tindakan medis ibu hamil yang mengalami ancaman
persalinan prematur yang diprediksi akan gagal dalam tindakan perawatan
konservatif.
3. Membantu mempersiapkan mental ibu hamil dan keluarga dalam menghadapi
kasus ancaman kelahiran prematur yang gagal terapi konservatif.
4. Menambah wawasan mengenai patofisiologi persalinan prematur

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persalinan Prematur


2.1.1. Definisi dan Epidemologi
Perdefinisi persalinan prematur adalah persalinan lebih dari 20 minggu usia kehamilan
dan kurang dari 37 minggu usia kehamilan. 30% kasus terjadi bersamaan dengan
kejadian preterm premature rupture of the membran (PPROM). 1,4,6,8
Persalinan prematur merupakan masalah yang paling banyak dijumpai

dan

menjadi masalah pada didunia obstetrik moderen. Pada tahun 2001, kejadian persalinan
premature mencapai 11,9% dari seluruh kehamilan di dunia, dan jumlah bayi yang lahir
prematur secara bertahap meningkat pada dua dekade terakhir.Di negara industri
seperti di Amerika, proporsi bayi yang lahir prematur meningkat dalam 20 tahun terakhir.
Di Kanada bayi yang lahir pada usia kehamilan 36 minggu atau kurang meningkat dari
6,3 % pada tahun 1981 menjadi 6,8 % di tahun 1998

1,4

2.1.2. Patofisiologi
2.1.2.1. Perubahan immunologis pada serviks selama persalinan
Dengan adanya penghambatan progesteron (P4), produksi IL-8, IL-1, IL-6 dan TNF-
meningkat pada serviks manusia selama terjadinya penipisan serviks dan persalinan.
Analisa immunohistokimia dari biopsi serviks menunjukkan bahwa IL-1 diproduksi
terutama oleh leukosit, sedangkan IL-6 diproduksi oleh leukosit, sel-sel epithel glandular
dan sel-sel epithel permukaan, dan IL-8 diproduksi oleh leukosit, sel-sel epithel
glandular, sel-sel epithel permukaan dan sel-sel stroma . Selama persalinan terjadi
peningkatan jumlah leukosit di serviks yang disebabkan peningkatan jumlah neutrofil
(neutrophil elastase+ cells) dan makrofag (sel-sel CD68+), tapi bukan sel-sel T (CD3 +)
atau B (CD20+). 1,9
Sitokin-sitokin proinflammatori dapat menginduksi penipisan serviks melalui
beberapa jalur. IL-1 dan TNF- meningkatkan produksi matrix metalloproteinase
(MMP)-1, MMP-3, MMP-9 dan cathepsin s . Selain itu, IL-1 mengurangi ekspresi tissue
inhibitor of metalloproteinase (TIMP)-2, yaitu zat endogen yang menghambat MMP-2 .
Proteinase-proteinase tersebut dapat mencerna kolagen dan serat elastin pada matriks
ekstraseluler serviks untuk meningkatkan pelunakan serviks. IL-1 dapat bekerja pada
sejumlah tipe sel untuk meningkatkan produksi siklooksigenase (COX)-2 dan

prostaglandin E2 (PGE2), zat yang paling efektif untuk menginduksi dilatasi serviks. Pada
penelitian, IL-1, yang menggunakan reseptor yang sama dengan IL-1, juga dapat
meningkatkan produksi COX-2 dan PGE2 pada sel-sel otot polos serviks kelinci.
Prostaglandin E2 dapat menginduksi persalinan dengan meningkatkan produksi
proteinase-proteinase atau melalui jalur tidak langsung, yaitu dengan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah agar dapat dilewati leukosit . Mediator proinflammatori
lain yang juga meningkat pada kehamilan aterm, Nitric Oxide (NO), dapat berperan
menyebabkan vasodilatasi untuk memfasilitasi infiltrasi leukosit1,9
IL-8 dapat menyebabkan terjadinya migrasi neutrofil perifer menuju serviks dan
mengaktivasinya untuk melepas MMP-8 (kolagenase neutrofil) dan elastase neutrofil
yang dapat mencerna matriks ekstraseluler yang diproduksi fibroblast serviks.
Peningkatan kadar granulosit-CSF (G-CSF) pada serviks selama persalinan dapat
merangsang proliferasi neutrofil [40]. Peran IL-6 serviks selama persalinan pada
kehamilan normal masih belum jelas, tetapi sitokin tersebut menjadi biomarker yang
efektif untuk memprediksi persalinan. Peran yang mungkin adalah merangsang neutrofil,
makrofag atau sel-sel lain di jaringan setempat untuk memproduksi sitokin-sitokin
proinflammatori tambahan yang membantu proses penipisan serviks seperti PGE 2 atau
NO. 1,9
2.1.2.2. Perubahan immunologis pada selaput ketuban selama persalinan
Pada selaput ketuban terjadi proses proinflammatori yang serupa dengan yang terjadi
di serviks. Selama persalinan, produksi IL-8, TNF-, IL-6 dan IL-1 meningkat pada
selaput ketuban .Didapatkan pula peningkatan jumlah MMP-9

tapi tidak didapatkan

peningkatan MMP-2 dan penurunan kadar TIMPs . Polimorfisme promoter dari gen
MMP-9 yang dapat meningkatkan produksi MMP-9 berhubungan dengan peningkatan
resiko PPROM pada populasi Amerika-Afrika . TNF- dan IL-1 secara in vitro
meningkatkan produksi MMP-9 selaput ketuban, tetapi tidak pada chorion . Pemberian
IL-1 intra amnion dengan kateter pada monyet dapat meningkatkan aktifitas MMP-9,
tetapi tidak pada MMP-2 . Peningkatan aktivitas kolagenase dapat mengurangi kekuatan
selaput ketuban dan menurunkan ambang batas rupturnya. 1,10
Sitokin-sitokin proinflammatory dapat juga meningkatkan produksi prostaglandin
selaput ketuban. Rangsangan pada sel-sel amnion dan chorion oleh IL-1 dan TNF-

dapat meningkatkan produksi PGE2 melalui COX-2 . PGE2 dapat juga meningkatkan
produksi MMP-9 atau melewati selaput ketuban untuk merangsang penipisan seviks
atau merangsang kontraksi myometrium. Meskipun amnion memproduksi sejumlah
besar PGE2 selama kehamilan, pengaruh hormon tersebut terhadap uterus atau serviks
hanya

sedikit

karena

chorion

dan

trofoblas

memproduksi

enzim

15-

hydroxyprostaglandin dehydrogenase (PGDH), yang merubah PGE2 dan PGF2 menjadi


metabolit yang tidak aktif. Hormon-hormon dan sitokin-sitokin yang berhubungan
dengan persalinan seperti kortisol, TNF- dan IL-1 dapat menghambat produksi
PGDH, sehingga dapat meningkatkan produksi prostaglandin selama persalinan. 1,10
2.1.2.3. Perubahan immunologis pada myometrium selama persalinan
Pola perubahan yang diinduksi sitokin seperti diatas juga terjadi pada miometrium,
dimana peningkatan protein atau konsentrasi mRNA dari IL-1, TNF- dan IL-6
berhubungan dengan persalinan . Sitokin-sitokin proinflammatori tersebut terutama
diproduksi oleh leukosit di miometrium, yang juga meningkat selama persalinan .
Peningkatan kadar leukosit pada miometrium selama persalinan diakibatkan oleh
peningkatan ekspresi khemokin seperti MCP-1 dan IL-8 yang juga meningkat selama
persalinan dan dapat menarik makrofag dan neutrofil menuju miometrium. IL-1 dan
TNF- merangsang pelepasan asam arakhidonat, mengaktifkan metabolisme fosfolipid
dan meningkatkan produksi prostaglandin oleh miometrium . IL-1 mengaktifkan sistem
transduksi sinyal yang melibatkan NF-B untuk meningkatkan ekspresi COX-2 , yang
juga meningkat di miometrium selama persalinan dan merangsang produksi PGE 2 oleh
sel-sel myometrium . Pengaruh-pengaruh IL-1 pada sel-sel miometrium tersebut
serupa dengan efek oksitosin yang juga meningkatkan produksi COX-2 dan PGE 2 oleh
sel-sel miometrium . Oksitosin dan PGE2 meningkatkan kadar kalsium intraseluler selsel miometrium, yang diperlukan untuk kontraksi uterus .1,11,12
Meskipun IL-6 tidak berpengaruh pada produksi prostaglandin oleh sel-sel
miometrium dan tidak dapat merangsang kontraksi miometrium , sitokin ini berperan
dalam persalinan dengan meningkatkan ekspresi reseptor oksitosin sel-sel miometrium
untuk meningkatkan responnya terhadap oksitosin. Seperti IL-1, IL-6 juga dapat
meningkatkan sekresi oksitosin oleh sel-sel miometrium . IL-1 dan TNF- dapat juga
meningkatkan produksi MMP-9 oleh sel-sel miometrium, yang penting untuk pelepasan

plasenta .1,11,12
2.1.2.4. Infeksi dan inflammasi sebagai penyebab persalinan prematur
Infeksi adalah penyebab tersering dari PPROM dan persalinan prematur, dan
teridentifikasi pada lebih dari 30% kasus. Organisme yang seringkali dihubungkan
dengan persalinan prematur adalah: Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis,
Streptococcus agalactae, dan Eschericia coli . Postulat Koch untuk organismeorganisme ini sebagai patogen pada persalinan prematur telah banyak digunakan pada
sejumlah penelitian menggunakan primata, kelinci atau hewan pengerat hamil .
Penelitian klinis menunjukkan bahwa infeksi intra amnion berhubungan dengan
persalinan prematur, PPROM dan kelainan kehamilan lain .1
Infeksi

dapat

menyebabkan

PPROM

dan

persalinan

prematur

dengan

mengaktivasi rantai reaksi sitokin, sehingga mengaktifkan mekanisme persalinan seperti


yang dijelaskan sebelumnya. Sebuah penelitian membandingkan konsentrasi mediatormediator proinflammatori seperti IL-1, MIP-1, MIP-2, IL-6, TNF- , IFN-, IL-2, , IL-6,
MMP-9 , IL-8, dan lain-lain dalam cairan amnion yang terinfeksi dengan cairan amnion
steril. Hasilnya adalah produksi sitokin-sitokin tersebut meningkat pada infeksi intra
amnion, persalinan prematur atau PPROM [83-97]. Penelitian serupa dengan
mengambil sampel dari jaringan kehamilan lain (misalnya serviks, cairan vagina,
plasenta atau selaput ketuban) juga mendukung konsep bahwa aktivasi sitokin prematur
akibat infeksi dapat menyebabkan persalinan prematur atau PPROM.1,13
Dengan pengaktifan berbagai sitokin proinflamasi seperti diatas maka IFN-, IL2 akan meregulasi sel NK untuk berproliferasi dan meningkatkan proses sitolitiknya
sehingga akan semakin meningkatkan konsentrasi mediator proinflamasi dan akan
semakin mengaktifkan mekanisme persalinan.13
Pemaparan bakteri atau produk bakteri pada primata atau hewan pengerat
selama kehamilan tua menyebabkan persalinan prematur yang didahului dengan
peningkatan produksi sitokin-sitokin proinflammatory seperti TNF- dan IL-1 .
Pemberian IL-1 dapat menyerupai efek pemaparan bakteri dan menyebabkan
persalinan prematur, menunjukkan peran sitokin ini sebagai penyebab persalinan
prematur yang diinduksi infeksi . TNF- tidak menyebabkan kelahiran prematur, tapi
menyebabkan kematian janin intra uterin . Sumber dari sitokin-sitokin tersebut masih

belum jelas, tetapi kemungkinan berasal dari sel-sel trofoblas atau makrofag fetus
maupun maternal. Kultur dari amnion, chorion dan sel-sel desidua yang dipapar bakteri
atau produk bakterial dapat memproduksi sitokin-sitokin proinflammatory . Sitokin-sitokin
yang berasal dari makrofag dapat pula bekerja pada reseptor di sel-sel plasenta,
sehingga

meningkatkan

produksi

sitokin-sitokin

proinflammatori

pada

jaringan

penghubung maternal-fetal.1,13
Kerja dari sitokin proinflammator meliputi: penigkatan produksi radikal bebas seperti NO,
meningkatkan produksi prostaglandin dan meningkatkan apoptosis plasenta.
Peningkatan konsentrasi NO dan PGE2 cairan amnion berhubungan dengan infeksi intra
uterin [88,112]. COX-2 dan iNOS meningkat pada jaringan gestasional tikus sebagai
respon adanya LPS [113]. Selain itu, penghambat COX dan iNOS dapat mencegah
persalinan prematur yang diinduksi LPS pada tikus.1,11,12
2.1.3. Penatalaksanaan Partus Prematurus
Berdasarkan pedoman diagnostik dan terapi fetomaternal tahun 2008 maka persalinan
prematur dapat ditatalaksana sebagai berikut:
1. Bed rest dengan posisi miring ke kiri
2.

Rehidrasi pasien dengan tanda dehidrasi

3. Induksi maturasi paru dengan betamethason 24 mg IV atau dengan


Deksamethason 2x16mg IV selang 12 jam
4. Tokolitik:
a. Beta adrenergic agonis:
Fase akut : Isoxuprine 100mg (10 amp) dalam 500 cc D5 20 tts/ mnt bisa
dinaikkan 10tts tiap10 mnt max 50tts/mnt atau bila nadi > 130 x/mnt.
Pemeliharaan : Isoxuprine 3 x 20 mg
b. Prostaglandin synthesis inhibitor:
Indometacin 100 mg per-rectal diikuti peroral 25 mg/6 jam
c. Calsium antagois :
Nifedipine 10 mg sublingual diulang 20 menit bila perlu, diikuti 10 mg per
oral tiap 6 jam.

5. Antibiotik: Gentamycin 2 x 80 mg iv sampai didapatkan hasil kultur servik dan


urin.
6. Perawatan konservatif dilakukan bila tidak ada kontra indikasi misalnya: infeksi
intra uteri, maupiun kelainan kongenital berat.8
2.2. Progesteron Induced Blocking Factor (PIBF)
2.2.1

Definisi

Stimulasi terus menerus oleh antigen fetus selama kehamilan normal mengakibatkan
timbulnya progesteron receptors (PR) pada sel limfosit ibu (terutama sel T CD8 +).
Jumlah reseptor progesteron ini akan meningkat sesuai dengan usia kehamilan. Pada
abortus berulang, abortus spontan, dan persalinan preterm terjadi penurunan jumlah
reseptor progesteron. Dibawah pengaruh progesteron, reseptor progesteron tersebut
memproduksi suatu protein mediator dengan berat molekul 34 kDa yang bernama
Progesterone Induced Blocking Factor (PIBF). PIBF merupakan perantara progesteron
untuk menimbulkan efek imunologis.5;14
2.2.2

Cara Kerja

Salah satu penyebab terjadinya kegagalan pada kehamilan adalah peningkatan T-helper
(Th) 1. pasien-pasien dengan resiko persalinan premature menunjukan peningkatan
jumlah IL-12 dan penurunan PIBF dan IL-10 pada sel limfosit.5
PIBF memiliki peran dalam mempertahankan kelangsungan suatu kehamilan
melalui beberapa mekanisme :
1.Menghambat aktivitas sitolisis sel NK perifer
Penelitian yang dilakukan pada tikus dengan memanipulasi kadar PIBF in vitro,
ternyata dapat mengubah aktivitas sitolisis dari sel NK perifer. Netralisasi aktivitas PIBF
endogen menggunakan antibodi anti PIBF mengakibatkan 70% penurunan jumlah
fetus yang hidup, dan hal ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas sel NK pada
lien.5
2.Menginduksi dominasi respon sitokin Th2
Beberapa data penelitian telah menunjukkan bahwa pergeseran keseimbangan dari
sitokin Th1 menuju dominasi Th2 serta penekanan aktivitas sitolisis dari sel NK perifer

berada di bawah kontrol suatu protein bersifat imunomodulator yang dikenal sebagai
Progesteron Induced Blockig Factor (PIBF). Sekresi PIBF memfasilitasi produksi IL-3,
IL-4, dan IL-10 dimana hal tersebut akan menekan produksi sitokin Th1 (IL-2 dan
IFN).5,14
3.Menginduksi produksi antibodi asimetri (IgG)
Terdapat hubungan yang positif antara kadar antibodi asimetri dengan ekspresi PIBF
pada limfosit wanita hamil. Penutupan reseptor progesteron oleh RU 486 atau oleh
antibodi anti PIBF menyebabkan berkurangnya produksi antibodi asimetri pada wanita
hamil.5,14
2.2.3. Metabolisme
Keberadaan konsentrasi PIBF pada cairan biologis merupakan indikator kesejateraan
fetus dan prognosis kehamilan. Hal tersebut disebabkan PIBF disekresikan dalam
bentuk molekul dengan berat molekul rendah sehingga dapat disaring oleh ginjal dan
diekresikan melalui urine. PIBF dengan berat molekul 34-kDa hanya dapat disekresikan
oleh ibu bukan oleh fetus. Sehingga penggunaan PIBF urine merupakan salah satu
metode noninvasif untuk memprediksi kejadian persalinan preterm maupun prediksi
terhadap kondisi patologis lainnya.5

Gambar 2: Hubungan kadar PIBF urine dengan hasil akhir kehamilan.5


Konsentrasi PIBF didapatkan lebih tinggi secara signifikan pada urin wanita

hamil normal dibandingkan dengan wanita dengan partus prematurus imminen. Begitu
pula kadar konsentrasi PIBF urin wanita yang melahirkan aterm lebih tinggi dari wanita
yang melahirkan prematur.5

Anda mungkin juga menyukai