Anda di halaman 1dari 17

Afek :

Istilah dalam bidang psikologis] afek adalah perasaan dan emosi yang menekankan tingkat
kesenangan atau kesedihan yang pada kualitas senang dan tidak senang, nyaman mewarnai
perasaan. Contoh: cinta, kebencian, kesukaan dan hobi
Istilah dalam bidang kedokteran] afek adalah perubahan perasaan karena tanggapan dalam
kesadaran seseorang (terutama apabila tanggapan itu datangnya mendadak dan berlangsungtidak
lama, seperti marah)
Afek :
Adalah emosi atau perasaan yang dikemukakan penderita dan dapat diperiksa atau diamati orang
lain.
Afek adalah tanda obyektif yang ditemukan pada pemeriksaan status psikiatri,- berbeda dengan
mood (lihat keterangan dibawah) yang merupakan pengalaman / perasaan subyektif yang
dilaporkan oleh penderita.
Mood
Pemahaman terhadap mood pasien merupakan hal yang penting karena kondisi perasaan jangka
panjang merupakan filter dari seluruh pengalaman. Mood tidak dapat dilihat, tetapi akan
terungkap jika pasien ditanya langsung tentang hal itu. Kadang-kadang terdapat perbedaan yang
nyata antara afek dengan mood. Pasien mengontrol afeknya dengan topeng sosial, tetapi
menggambarkan mood yang terdepresi.

KONSEP GANGGUAN JIWA DALAM PPDGJ - III bodymatoh


Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan Jiwa atau gangguan mental
(mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit Jiwa (mental illness/mental desease)
PPDGJ-III mengelompokkan diagnosis gangguan jiwa ke dalam 100 katagori diagnosis,
mulai dari F 00 sampai dengan F 98.
F 99 Gangguan Jiwa YTT (Yang Tidak Tergolongkan), yaitu untuk mengelompokkan
Gangguan Jiwa yang tidak khas.
Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II merujuk ke DSM-III, sedang PPDGJ-III merujuk
pada DSM-IV.
Mental Disorder is conceptualized as clinically significant behavioural or psychological
syndrome or patern that occurs in an individual and that is associated with present distress

(eq., a painfull symptom) or disability (ie., impairment in one or more important areas of
functioning) or with a significant increased risk of suffering death, pain, disability, or an
important loss of freedom.

KONSEP DISABILITY
Konsep Disability dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorder :
Gangguan kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan, tidak digunakan
sebagai komponen esensial untuk diagnosis gangguan jiwa, oleh karena itu hal ini
berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas.
Yang dikatakan sebagai disability adalah keterbatasan/ kekurangan kemampuan untuk
melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri
dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan
kecil).
Dari Konsep tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa didalam KONSEP GANGGUAN
JIWA, di dapatkan butir-butir :
1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa :
- Sindrom atau Pola Perilaku
- Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), a.l berupa rasa nyeri,tidak
nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan disabilitas dalam aktivitas kehidupan, sehari-hari
yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi,
berpakaian, malan, kebersihan diri, dll)
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Tujuan dari diagnosis Multiaksial :
1. Mencakup informasi yang komprehensif (Gangguan Jiwa, kondisi fisik umum, masalah
Psikososial dan lingkungan, taraf fungsi secara global), sehingga dapat membantu dalam :

Perencanaan terapi

Meramalkan outcome atau prognosis


2.Format yang mudah dan sistematik, sehingga dapat membantu dalam :
* Menata dan mengkomunikasikan informasi klinis
* Menangkap kompleksitas situasi klinis
* Menggambarkan heterogenitas individual dengan diagnosis klinis yang sama.
3. Memacu penggunaan Model bio-psiko-sosial dalam klinis, pendidikan dan penelitian

F19
F29
F39
F49
F59
F68
F89
F98

DIAGNOSIS MULTIAKSIAL TERDIRI DARI 5 AKSIS :

Aksis I

* Gangguan klinis
* Kondisi lain yang menjadi Fokus
Perhatian klinis

Aksis II

* Gangguan kepribadian
* Retardasi Mental

Aksis III

* Kondisi Medik Umum

Aksis IV

* Masalah Psikososial dan lingkungan

Aksis V

* Penilaian fungsi secara global

Catatan :
Antara Aksis I, II, III tidak selalu harus ada hubungan etiologik atau patogenese
Hubungan antara Aksis I-II-III dan Aksis IV dapat timbal balik saling
mempengaruhi
AKSIS I

F00 F09
Gangguan Mental Organik & Simtomatik
Gangguan Mental & perilaku akibat zat psikoaktif
Skizofrenia, Gangguan skizotipal & gangguan waham
Gangguan suasana perasaan (afektif/mood)
Gangguan neurotik, gangguan somatoform & gangguan terkait stress
Sindrom perilaku karena gangguan fisiologis/ fisik
Perubahan Kepribadian karena non organic, gangguan impuls, gangguan seks
Gangguan Perkembangan Psikologis
Gangguan perilaku & emotional onset kanak remaja
Gangguan Jiwa YTT
AKSIS II
F60
F60.0

Gangguan Kepribadian khas


Gangguan Kepribadian Paranoid

79

I
II
IV
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII

F60.1
Gangguan Kepribadian schizoid
F60.2
Gangguan Kepribadian dissosial
F60.3
Gangguan Kepribadian emosional tak stabil
F60.4
Gangguan Kepribadian histrionik
F60.5
Gangguan Kepribadian anankastik
F60.6
Gangguan Kepribadian cemas(menghindar)
F60.7
Gangguan Kepribadian dependen
F60.8
Gangguan Kepribadian khas lainnya
F60.9
Gangguan Kepribadian YTT
Gangguan Kepribadian Campuran dan lainnya
Gangguan Kepribadian Campuran
Perubahan Kepribadian yang bermasalah
Gambaran Kepribadian Maladaptif
Mekanisme Defensi Maladaptif
Retardasi Mental
AKSIS III

A00 B99
Penyakit infeksi dan parasit tertentu
C00 D48 Neoplasma
E00 G90 Penyakit endokrin, Nutrisi, & metabolik
G00 G99
Penyakit susunan syaraf
H00 H59
Penyakit Mata & adneksa
H60 H95
Penyakit telinga & Prosesus Mastoid
I00 I99 Penyakit sistem sirkulasi
J00 J99 Penyakit sistem Pernafasan
K00 K93
Penyakit sistem Pencernakan
L00 L99 Penyakit kulit & jaringan subkutan
M00 M99 Penyakit sistem musculoskeletal &
Jaringan ikat
XIV
N00 N99 Penyakit sistem genito-urinaria
XV
O00 O99
Kehamilan, kelahiran anak & masa Nifas
XVII
Q00 Q99
Malformasi congenital, deformasi, Kel.
XVIII R00 R99 Gejala, tanda & temuan klinis-lab.
XIX
S00 T98 Cedera, keracunan & akibat kausa ekst
XX
V01 V98 Kausa eksternal dari Morb. & mort.
XXI
Z00 Z99 Faktor status kes. & Pelayanan kes

AKSIS IV
Masalah dengan Primary support group (keluarga)
Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Masalah Pendidikan
Masalah Pekerjaan
Masalah Perumahan
Masalah Ekonomi
Masalah Akses ke pelayanan Kesehatan
Masalah Berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal
Masalah Psikososial & Lingkungan lain

AKSIS V

100 91
90 81
80 71
70 61
60 51

GLOBAL ASSESSMENT OF FUNCTIONING (GAF) SCALE


Gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tak tertanggulangi.
Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian yang biasa.
Gejala sementara & dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial, pekerjaan, sekolah dll.
Beberapa gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik.
Gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.

50 41
40 31
30 21
20 11
10 01
0

Gejala berat (serious), disabilitas berat.


Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita & komunikasi, disabilitas berat dalam
beberapa fungsi.
Disabilitas berat dalam komunikasi & daya nilai, tidak mampu berfungsi hampir semua
bidang.
Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi & mengurus
diri.
Seperti diatas => persisten & lebih serius.
Informasi tidak adekuat.

Klasifikasi dan Urutan Hierarki Blok Diagnosis gangguan Jiwa berdasarkan PPDGJ-III

F.0. Gangguan mental organik termasuk gangguan mental simtomatik


F.00. F. 03.
Demensia
F.04- F.07, F. 09
Sindrom Amnestik & Gangguan Mental Organik
F.1. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkhohol dan zat psikoaktif lainnya.
F.10.
Gangguan mental dan perilaku akibat
Penggunaan alkhohol
F.11, F.12, F.14.
Gangguan mental & perilaku akibat
Penggunaan Opioida /kanabinoida/kokain
Gangguan mental & perilaku akibat penggunaan
Sedativa atau Hipnotika/stimulansia lain/
Hallusinogenika
F.17, F.18, F.19.
Gangguan Mental & perilaku akibat penggunaan
Tembakau/pelarut yang mudah menguap/ zat

Multiple & Zat psikoaktif lainnya

F.2. Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham.


F. 20, F.21, F.23.
Skizofrenia, Gangguan skizitipal,
akut dan sementara
F.22, F. 24
Gangguan waham menetap, gangguan
Waham terinduksi
F. 25.
Gangguan Skizoafektif
F. 28, F. 29
Gangguan Psikoaktif non-organik lainnya
Atau YTT

Psikotik

F.3. Gangguan suasana perasaan (mood / afektif)


F.30, F.31.
Episode manik, Gangguan afektif bipolar
F. 32-F.39.
Episode depressif, Gangguan depressi
Berulang, Gangguan suasana Perasaan
(Mood/afektif) menetap/lainnya/YTT.
F. 4. Gangguan Neurotik, Gangguan somatoform, dan gangguan terkait stress
F. 40, F.41.
Gangguan anxietas, Fobik atau lainnya
F. 42.
Gangguan Obsesif- kompulsif
F. 43, F.45, F.48
Reaksi terhadap stres berat, & gangguan
penyesuaian, gangguansomatoform,
Gangguan neurotik lainnya.
F. 44.
Gangguan dissosiatif (konversi)

F. 5. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik
F.50- F.55, F.59
Gangguan makan, gangguan tidur, Disfungsi
Seksual, atau gangguan perilaku lainnya
F. 6.

Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa

Gangguan kepribadian, gangguan kebiasaan danImpuls, gangguan identitas & preferensi seksual
F. 7. Retardasi Mental
F. 70 F.79.

Retardasi Mental

F. 8. Gangguan Perkembangan Psikologis


F.80- F.89

Gangguan Perkembangan Psikologis

F. 9. Gangguan Perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa anak dan remaja
Gangguan Hiperkinetik, Gangguan tingkah laku, Gangguan emosional atau gangguan fungsi
sosial Khas, gangguan tic, atau gangguan perilaku & Emosional lainnya.

OSTIK DARI PPDGJ III


1.

Pedoman diagnostik disusun berdasarkan atas jumlah dan keseimbangan gejala-gejala,


yang biasanya ditemukan pada kebanyakan kasus untuk dapat menegakkan suatu
diagnosis pasti.

2.

Apabila syarat-syarat yang tercantum didalam pedoman diagnostik dapat dipenuhi,


maka diagnosis dapat dianggap pasti. Namun apabila hanya sebagian saja terpenuhi, maka
diagnosis masih bermanfaat direkam untuk berbagai tujuan. Keadaan ini sangat
tergantung kepada pembuat diagnosis dan para pemakai lainnya untuk menetapkan
apakah akan merekam suatu diagnosis pasti atau diagnosis dengan tingkat kepastian yang
rendah.

3.

Deskripsi klinis dari pedoman diagnostik ini tidak mengandung implikasi teoritis, dan
bukan merupakan pernyataan yang komprehensif mengenai tingkat pengetahuan yang
mutahir dari gangguan tersebut. Pedoman ini hanya merupakan suatu kumpulan gejala
dan konsep yang telah disetujui oleh sejumlah besar pakar dan konsultan dari berbagai
negara, untuk dijadikan dasar yang rasional dalam memberikan batasan terhadap
kategori-kategori diagnosis dan diagnosis gangguan jiwa.

4.

Disarankan agar para klinisi mengikuti anjuran umum untuk mencatat sebanyak
mungkin diagnosis yang mencakup seluruh gambaran klinis.
Bila mencantumkan lebih dari satu diagnosis, diagnosis utama diletakkan paling atas dan
selanjutnya diagnosis lain sebagai tambahan. Diagnosis utama dikaitkan dengan
kebutuhan tindakan segera atau tuntutan pelayanan terhadap kondisi pasien saat ini atau
tujuan lainnya. Bila terdapat keraguan mengenai urutan untuk merekam beberapa
diagnosis, atau pembuat diagnosis tidak yakin tentang tujuan untuk apa informasi itu akan
digunakan, agar mencatat diagnosis menurut urutan numerik dalam klasifikasi.

GANGGUAN JIWA
Gangguan jiwa merupakan kondisi terganggunya kejiwaan manusia sedemikian
rupa sehingga mengganggu kemampuan individu itu untuk berfungsi secara normal
didalam masyarakat maupun dalam menunaikan kewajibannya sebagai insan dalam
masyarakat itu.
(Dep Kes RI, 1997)
Gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang masuk
akal, berlebihan, berlangsung lama dan menyebabkan kendala terhadap individu tersebut
atau orang lain . ( Suliswati, 2005)
FAKTOR FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN JIWA

Gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam diktat kuliah psikiatri, Dr. dr. Luh
Ketut Suryani mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga faktor
yang bekerja sama yaitu faktor biologik, psikologik, dan sosiobudaya.

FAKTOR BIOLOGIK
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria penyakit
dalam ilmu kedokteran, para psikiater mengadakan banyak penelitian di antaranya
mengenai kelainan-kelainan neurotransmitter, biokimia, anatomi otak, dan faktor genetik
yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa.
Gangguan mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neurotransmitter di otak,
misalnya seperti pendapat Brown et al, 1983, yaitu fungsi sosial yang kompleks seperti
agresi dan perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh impuls serotonergik ke dalam
hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay, 1983, yang mengatakan noradrenalin yang ke
hipotalamus bagian dorsal melayani sistem monoamine di limbokortikal berfungsi sebagai
pemacu proses belajar, proses memusatkan perhatian pada rangsangan yang datangnya
relevan dan reaksi terhadap stres.
Pembuktian lainnya yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu penyakit
adalah di dalam studi keluarga.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa keluarga penderita gangguan afektif, lebih banyak
menderita gangguan afektif daripada skizofrenia (Kendell dan Brockington, 1980),
skizofrenia erat hubungannya dengan faktor genetik (Kendler, 1983). Tetapi psikosis paranoid
tidak ada hubungannya dengan faktor genetik, demikian pendapat Kender, 1981).

Walaupun beberapa peneliti tidak dapat membuktikan hubungan darah mendukung


etiologi genetik, akan tetapi hal ini merupakan langkah pertama yang perlu dalam
membangun kemungkinan keterangan genetik. Bila salah satu orangtua mengalami
skizofrenia kemungkinan 15 persen anaknya mengalami skizofrenia.
Sementara bila kedua orangtua menderita, maka 35-68 persen anaknya menderita
skizofrenia, kemungkinan skizofrenia meningkat apabila orangtua, anak dan saudara
kandung menderita skizofrenia (Benyamin, 1976). Pendapat ini didukung Slater, 1966,
yang menyatakan angka prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada anggota keluarga yang
individunya sakit dibandingkan dengan angka prevalensi penduduk umumnya.

FAKTOR PSIKOLOGIK

Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat
kompleks tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu.Hal ini sangat
tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial,
perubahan sosial dan tigkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman hidup
seseorang.

Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal yang


berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang bukan
merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan retensi
pengumpulan dan pengambilan kembali.
Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan
yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak kuatnya
hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat
sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan perwujudan dari
pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa bayi sampai dewasa.
FAKTOR SOSIOBUDAYA
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama mengenai
pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosiobudaya tertentu berbeda
dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu budaya dengan budaya yang lainnya,
menurut Zubin, 1969, merupakan salah satu faktor terjadinya perbedaan distribusi dan
tipe gangguan jiwa.
Begitu pula Maretzki dan Nelson, 1969, mengatakan bahwa alkulturasi dapat
menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Pendapat ini
didukung pernyataan Favazza
(1980) yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi,
alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa
Goodman (1983) yang meneliti status ekonomi menyatakan bahwa penderita yang dengan
status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan afaktif dan
alkoholisma. (litbang)
Konsep penyebab gangguan jiwa yang popular adalah kombinasi bio-psiko-sosial.
Gangguan jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikasi sel-sel saraf di otak, dapat
berupa kekurangan maupunkelebihan neurotransmitter atau substansi tertentu. Pada
sebagian kasus gangguan jiwa terdapat kerusakan organik yang nyata padas struktur otak

misalnya pada demensia. Jadi tidak benar bila dikatakan semua orang yang menderita
gangguan jiwa berarti ada sesuatu yang rusak di otaknya. Pada kebanyakan kasus malah
faktor perkembangan psikologis dan sosial memegang peranan yang lebih krusial.
Misalnya mereka yang gemar melakukan tindak kriminal dan membunuh ternyata setelah
diselidiki disebabkan karena masa perkembangan mereka sejak kecil sudah dihiasi
kekerasan dalam
rumah tangga yang ditunjukkan oleh bapaknya yang berprofesi dalam militer. Jadi ilmu
jiwa justru merupakan satu-satunya ilmu yang mengenali penyakit medis secara komplet,
yaitu dari segi fisik, pola hidup dan juga riwayat perkembangan psikologis atau kejiawaan
seseorang. Oleh karena itu pengobatan ilmu kejiwaan juga bersifat menyeluruh, tidak
sekedar obat minum saja, tetapi meliputi terapi psikologis, terapi perilaku dan terapi
kognitif/konsep berpikir.
Setiap individu hendaknya mengetahui konsep-konsep tentang gangguan jiwa dan
pencegahannya. Mungkin saat ini cukup banyak masyarakat awam yang rajin membaca
rubrik kesehatan baik lewat tabloid maupun internet, tapi sayangnya permasalahan
gangguan jiwa kurang popular jika dibandingkan masalah osteoporosis, hipertensi,
penyakit jantung, stroke, makanan sehat maupun kesehatan kulit. Padahal yang perlu
diketahui, gangguan jiwa dapat mengenai siapa saja. Apalagi di tengah kehidupan yang
semakin dipenuhi stressor seperti sekarang ini. Tahukah Anda bahwa profesi yang paling
banyak melakukan bunuh diri di USA itu justru dokter spesialis kejiwaan?
Oleh karena itu mempelajari ilmu kejiwaan adalah penting dan lebih penting lagi untuk
dapat mempraktekkan kiat-kita untuk mendapatkan jiwa yang sehat.

Konsep yang perlu Anda pahami adalah ada 3 mekanisme pertahanan utama jiwa kita
untuk menolak terjadinya gangguan jiwa di tengah terpaan badai kehidupan
sebagaimanapun. Ketiga benteng jiwa yang sehat itu adalah personality yang tangguh,
persepsi yang positif (positif thinking)dan kemampuan adaptasi. Kepribadian yang
tangguh adalah hasil pembelajaran selama proses perkembangan sejak kecil, dan tentunya
hal ini didapatkan dengan banyaknya asupan nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga dan
disekolah serta didapatkan dari banyaknya pengalaman langsung. Nilai-nilai hanya dapat
berfungsi jika diterapkan langsung dalam keadaan nyata yaitu dengan banyak bergaul
baik dengan lingkungan benar maupun salah. Apabila kita berani SAY YES di lingkungan
yang benar dan SAY NO saat di lingkungan salah, lama kelamaan kepribadian kita akan
tangguh. Mengurung anak dengan tujuan menghindarinya dari perkenalan dengan
narkoba tidak menjamin bahwa kemudian ia tidak terjebak narkoba, yang benar adalah

menanamkan nilai-nilai yang tangguh kepada si anak serta membiarkannya mengenal


narkoba. Kepribadiannya yang tangguh itu sendiri yang akan membuatnya berani
menolak narkoba seumur hidupnya.
Persepsi juga perlu sebagai benteng kejiwaan. Seseorang yang selalu memandang peristiwa
yang menimpanya dengan positif dan memandang hari depannya dengan optimis maka ia
memiliki jiwa
yang sehat. Persepsi positif diperlukan terutama menghadapi kegagalan-demi kegagalan
dalam hidup sehingga tidak membuat diri menjadi frustasi berlebih maupun menyalahi
diri sendiri bahkan bunuh diri.
Dan yang tidak kalah penting adalah kemampuan adaptasi karena segala sesuatu dalam
hidup ini potensial untuk berubah. Hari ini bisa hidup mapan, tapi hari esok siapa tahu.
Hari ini bisa bertemu kelompok orang yang asyik, hari esok siapa yang dapat
menjanjikan. Adaptasi akan membuat jiwa kita meliuk-liuk dalam kehidupan seperti air
yang mengalir. Dengan demikian kita dapat selalu menyesuaikan diri dengan perubahan
yang ada. Setiap menghadapi bencana maka kita dapat mengubah pemikiran dari
mengapa semua ini harus kualami menjadi setelah semua ini menimpaku, aku harus
melakukan apa?. Dengan demikian kita akan dapat bangkit dan semakin maju setiap kali
terjatuh. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Artinya, jadilah
seseorang yang flexible dengan keadaan yang ada, NOW and HERE.

Menurut Bleurer, gejala skizofrenia dibagi dua, yaitu :


a. Gejala primer
1) Gangguan proses pikir (bentuk, langkah, dan isi pikir)
2) Gangguan afek dan emosi
3) Gangguan memori
4) Gejala psiomotor / gejala katatonik gangguan perbuatan
b. Gejala sekunder
1) Waham
2) Halusinasi
4. Tipe-tipe Skizofrenia

Dalam PPDGJ III skizofrenia terbagi menjadi :


a. Skizofrenia Paranoid
b. Skizofrenia Hebefrenik
c. Skizofrenia Katatonik
d. Skizofrenia tak terinci
e. Defrresi pasca skizofrenia
f. Skizofrenia Residual
g. Skizofrenia Simplek
h. Skizofrenia lainnya
i. Skizofrenia tak tergolongkan
Dari sekian banyak tipe skizofrenia, ada studi kasus ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
Skizofrenia Hebefrenik.
1) Pengertian
Skizofrenia Hebefrenik adalah permulaannya perlahan-lahan atau subakut, sering timbul pada
masa remaja (antara 15-25), gejala yang dominan adalah ganguan proses pikir, gangguan
kemauan, adanya defersonalisasi, gangguan psikomotor, neologisme, atau perilaku kekanakkanakan, waham dan halusinasi.
2) Tanda dan Gejala
a) Reaksi sikap dan tingkah laku yang tidak logis, suka tertawa-tawa, kemudian menangis, sangat
irritable atau muah tersinggung sering disertai sendirian dan penuh kemarahan.
b) Terjadi kemundura psikis, kekanak-kanakan, perasaan tumpul dan tidak logis.
c) Pikiran melantur, muka (grimasem) tanpa aa stimulus, halusinasi.
d) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa maksudnya, hal ini
dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.
e) Alam perasaaan (mood affect) yang datar tanpa ekspresi serta yang menunjukan rasa puas diri,
atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
f) Waham tidak jelas dan tidak sistematis (terpecah-pecah) tidak terorganisir sebagai suatu
kekuatan.

3) Pedoman Diagnostik
Skizofrenia Hebefrenik (PPDGJ III, Kode F 20.1)
a) Memenuhi kriteria umum diagnosa skizofrenia
b) Ditegakan pada usia remaja atau dewasa muda (15-25 tahun)
c) Kepribadian premorbid menunjukan ciri-ciri khas pemalu dan senang menyendiri.
Untuk meyakinkan diperlukan pengamatan selama 2-3 bulan untuk memastikan gambaran lihat
yang bertahan, antara lain perilaku yang tidak bertanggungjawab dan tidak dapat di ramalkan,
kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku tanpa tujuan dan perasaan :
Afek dangkal dan tidak wajar
Proses fikir mengalami disorganisasi dan topik pembicaraan tidak menentu (inkoheren)
Gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir umumnya menonjol.
Halusinasi dan waham biasanya ada tetapi tidak menonjol.

B. Konsep Dasar Halusinasi


1. Pengertian
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan atau stimulus.
( Hawari, 1996: 289 ). Pengertian lain mengemukakan bahwa halusinasi merupakan
penginderaan tanpa sumber rangsangan eksternal. Hal ini desebabkan oleh distorsi atau ilusi
yang merupakan tanggapan yang salah dari rangsangan yang nyata ada. Pasien merasakan
halusinasi sebagai sesuatu yang amat nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu. ( Ilmu
Kedokteran Jiwa Darurat: 267 ).
Halusinasi pendengaran adalah individu mendengar suara suara atau bisikan bisikan padahal
tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu. ( Hawari, 1996: 289 ).

Persepsi: Proses pemindahan rangsangan fisik ke dalam informasi psikologis; suatu proses mental
dimana rangsangan sensorik dibawa ke alam sadar.
1. Gangguan persepsi

a. Halusinasi : persepsi sensorik palsu yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata dari luar;
dapat merupakan atau bukan merupakan suatu interpretasi
khayalan dari pengalaman dalam halusinasi .
(1) Halusinasi Hipnagogik : persepsi sensorik palsu yang terjadi saat tidur; biasanya dianggap
nonpatologik.
(2) Halusinasi Hipnopompik : persepsi palsu yang terjadi saat bangun tidur; biasanya dianggap
nonpatologik.
(3) Halusinasi Auditorius : persepsi palsu tentang bunyi, biasanya suara tertentu atau keributan
lainnya, seperti musik: halusinasi tersering dalam gangguan
psikiatri.
(4) Halusinasi visual : persepsi palsu tentang penglihatan: dalam bentuk yang berwujud
(contohnya orang-orang) dan yang tak berwujud ( misalnya kilatan cahaya); paling sering pada
gangguan determinasi kesehatan.
(5) Halusinasi Olfaktorius : persepsi palsu tentang bau; paling sering pada gangguan kesehatan.
(6) Halusinasi Gustatorius : persepsi palsu dalam pengecapan, seperti rasa yang tidak sedap,
disebabkan oleh suatu bangkitan uncinate: paling sering pada
gangguan kesehatan.
(7) Halusinasi taktil : persepsi palsu tentang perabaan, seperti pada kasus amputasi anggota
tubuh; tearsa seperti ada sesuatu yang merayap di bawah kulit.
(8) Halusinasi Somatik : sensasi palsu yang dirasakan dalam tubuh, paling sering pada organ
visceral ( dikenal sebagai halusinasi Senestetik ).
(9) Halusinasi Lilliput : persepsi palsu di mana objek terlihat dalam ukuran yang lebih kecil
( disebut juga mikropsia ).
(10) Halusinasi berdasarkan Mood: Halusinasi berkaitan dengan suatu perasaan tertekan atau
manik; sebagai contoh, seorang pasien depresi mendengar suarasuara yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang jahat;
seorang pasien manik mendengar suara-suara yang mengatakan

bahwa dirinya penuh dengan pengetahuan dan kekuasaan serta


harga diri yang tinggi.
(11) Halusinasi tidak berdasar Mood: Halusinasi yang tidak berdasarkan suasana hati yang
tertekan maupun manik ( contohnya, pada keadaan depresi
halusinasi tidak berhubungan dengan beberapa hal seperti rasa
bersalah, hukuman yang setimpal, atau ketidakmampuan; pada
mania, halusinasi tidak berhubungan dengan adanya kekuatan
atau harga diri ).
(12) Halusinosis : berhalusinasi, paling sering pada pendengaran, yang dihubungkan dengan
penyalahgunaan alkohol tanpa gangguan sensorik, berbeda
dengan delirium tremens, halusinasi terjadi disertai gangguan
sensorik.
(13) Sinesthesia : sensasi halusinasi disebabkan oleh sensasi lain ( sebagai contoh, sensasi
pendengaran yang disertai oleh tercetusnya sensasi visual; suatu
bunyi; sensasi pendengaran yang dapat dilihat atau sebaliknya
sensasi penglihatan yang dapat didengar ).
(14) Fenomena jejak : kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obatan halusinogenyang
menyebabkan objek terlihat sebagai suatu gambaran yang
terangkai.
(15) Halusinasi Perintah : persepsi palsu yang mennyebabkan seseorang berkewajiban untuk
mematuhi perintah dan tidak boleh membantah.
b. Ilusi : persepsi atau interpretasi yang salah terhadap rangsangan sensorik yang nyata dari luar.

Anda mungkin juga menyukai