Menjelaskan Tentang Draf
Menjelaskan Tentang Draf
PENDAHULUAN
1. Kebutuhan Pangan
2. Ketahanan Pangan
3. Masalah-masalah Ketahanan Pangan
Bab 1
PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap
manusia. Oleh sebab itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan
secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia (Sawit, 2000 dalam
Widowati, 2003). Fakta menunjukkan bahwa bencana kelaparan pada suatu
negara dapat merambah ke ranah politik dan dapat menjadi penyebab jatuhnya
suatu rezim pemerintahan. Oleh karena itu upaya penyediaan bahan pangan harus
mendapatkan prioritas utama guna mewujudkan ketahanan pangan.
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7
tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus
dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan
ketersediaan pangan, 2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim
ke musim atau dari tahun ke tahun, 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap
pangan, serta 4) kualitas/keamanan pangan.
Menurut Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan
dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan, yaitu tersedianya
pangan dari hasil produksi dalam negeri atau sumber lainnya.
kontribusinya masih sangat rendah. Pada tahun 2004 dari konsumsi 1986 kalori,
1024 kalori (51%) dipenuhi dari padi-padian, sedangkan umbi-umbian dan
kacang-kacangan hanya menyumbang 56 dan 64 kalori atau 3,36% dan 3,13%.
Demikian juga teradap konsumsi protein sebagian besar (44%) dipenuhi dari padipadian. Umbi-umbian hanya memberi sumbangan sebesar 0,9% dan 10,10%
(Kasno, Saleh, dan Ginting, 2006). Sampai saat ini upaya pemenuhan kalori bagi
masyarakat Indonesia masih didominasi beras (151,00 kg per kepala per tahun)
(Tabel 1). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan
kedua setelah Bangladesh dalam konsumsi beras.
Tabel 1. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999
(dalam kg per kepala per tahun)
Wilayah
Gandum
Beras
Jagung
Sorgum
Millet
70,90
10,80
40,10
1,20
0,00
Amerika Serikat
86,80
8,60
13,80
1,10
0,00
Amerika Tengah
37,10
9,40
112,10
1,80
0,00
Amerika Selatan
55,50
31,80
21,80
0,00
0,00
Brazil
47,40
39,50
18,00
0,00
0,00
Eropa Barat
97,60
4,80
5,80
0,00
0,00
Rusia
131,70
4,90
0,30
0,00
2,90
Afrika
46,30
17,80
41,40
19,50
12,90
Sekitar sahara
15,90
17,50
38,90
24,90
16,90
Asia
69,90
86,40
13,90
2,80
3,00
Cina
82,60
91,60
19,70
1,10
0,80
India
57,30
75,80
8,80
8,00
9,10
Indonesia
16,30
151,00
34,40
0,00
0,00
Bangladesh
19,00
161,00
0,30
0,00
0,40
Pasifik
66,90
15,20
3,40
0,60
0,00
Rata-rata Dunia
70,80
57,80
19,00
4,30
3,50
Jenis Tepung
Energi
(kkal)
Protein (g)
Lemak
(g)
Karbohidrat
(g)
1.
Beras
364
7,0
0,5
80,0
2.
Singkong
359
2,9
0,7
84,9
3.
Ubijalar putih
355
5,2
2,0
80,6
4.
Ubijalar
merah
363
5,3
2,1
83,3
5.
Ubijalar ungu
337
4,9
1,9
76,4
6.
Tales
186
3,6
0,4
45,0
7.
Kacang hijau
389
23,7
1,3
45,0
8.
Kacang
410
27,5
1,3
73,9
tunggak
9.
Kedelai
40,0
20,0
35,0
Sumber: Marudut dan Sundari (2000) dalam Kasno, Saleh, dan Ginting (2006)
Upaya pemenuhan kebutuhan kalori yang hanya bertumpu pada beras dan
tepung terigu akan berdampak pada tingkat ketahanan pangan masyarakat yang
rentan, sehingga masalah ikutan dari rendahnya ketahanan pangan masyarakat
dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Selain itu juga dapat
menyebabkan negara kita masuk kedalam perangkap pangan atau food trap
negara maju. Food Trap dapat menjadi salah satu faktor yang menggerogoti
devisa negara dan membawa bangsa ini menjadi pengimpor pangan terbesar di
dunia. Sebagai ilustrasi, semenjak Amerika Serikat memberikan bantuan gandum
dalam jumlah besar, dan diikuti dengan dibangunnya pabrik gandum terbesar
sedunia di Indonesia, kita menjadi bangsa yang terjajah oleh gandum. Mie dan roti
pun seakan tak lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Padahal gandum sebagai
bahan dasar tepung terigu hingga saat ini belum bisa dibudidayakan secara
komersial di Indonesia.
Negara Indonesia dengan wilayah yang sangat luas diketahui memiliki
ketersediaan bahan pangan yang beragam, dari satu wilayah ke wilayah lainnya,
baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin maupun mineral.
Iklim tropis di Indonesia menjadikan wilayah Indonesia sangat kaya akan sumber
bahan pangan pokok selain beras. Misalnya, potensi umbi-umbian dan serealia
yang beragam sebagai sumber karbohidrat dapat tumbuh dengan subur dan
beragam jenisnya seperti; ubi jalar, ubi kayu, gembili, garut, ganyong dan lainlain. Apabila ditinjau dari segi nutrisi, tanaman umbi-umbian mempunyai nilai
nutrisi yang rendah dibandingkan dengan beras maupun kacang-kacangan,
terutama kandungan protein dan lemak, namun cukup tinggi pada kandungan
karbohidratnya. Oleh karena itu upaya pemenuhan kebutuhan pangan bagi
penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkungan yang majemuk dan memiliki
anekaragam
kebudayaan
dan potensi
sumber
pangan spesifik,
strategi
masyarakat
dapat
menetapkan
pangan
pilihan
sendiri,
2. KETAHANAN PANGAN
pangan.
Kondisi
yang
demikian
tersebut
makin
dari
ketersediaan
dan
keterjangkauan
secara
akan
berpengaruh
pada
keseimbangan
antara
ketersediaan dan keterjangkauan, serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor
keseimbangan yang terefleksi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan
tersedia di pasar, namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli
rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang
tersedia.
Produksi
Luas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun
akibat adanya konversi lahan ke non pertanian.
Produktifitas padi 5,34 ton/ha, konservasi padi ke
Konsumsi
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi beras 109,22 kg/kapita/tahun
beras 0,62418
Luas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun.
Produktifitas 3,645 ton/ha
Jagung
Kedele
Ubikayu
Daging
Telur
Susu
Ikan
sisi lain akan terjadi konversi lahan sehingga menyebabkan ketersediaan beras
akan semakin berkurang. Hasil peramalan di Jawa Timur disajikan dalam gambar
berikut.
Gambar 4
Ramalan Kemandirian Beras di Jawa Timur
Ramalan
gambar di atas menunjukkan bahwa produksi jagung Jawa Timur relatif stabil,
begitu juga dengan konsumsinya. Produksi jagung jauh lebih besar dari
konsumsinya sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus jagung. Oleh
karena itu usaha-usaha pengendalian harga serta usaha mencari pasar baru patut
dilakukan agar petani jagung dapat memanfaatkan dari hasil surplus jagung
yang terjadi.
3. Kedelai
4. Daging
Ramalan tentang neraca pangan untuk mengukur kemandirian daging di
Jawa Timur disajikan dalam gambar berikut. Jawa Timur tampaknya di masa
datang akan surplus daging. Hal ini terjadi karena konsumsi daging per kapita di
Jawa Timur sangat rendah. Yakni sebesar 2.4 kg/kapita/tahun.
Gambar 7
Ramalan Kemandirian Daging di Jawa Timur
Konsumsi telur per kapita di Jawa Timur sangat rendah yakni hanya
sebesar 5, 42 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan
Filipina 6,2 kg. Mengingat telur merupakan salah satu sumber protein dan lemah
yang cukup tinggi, maka usaha-usaha
dilakukan.
Bab 2
PRODUKSI PANGAN
peserta,
dimana
Indonesia
menjadi
salah
satu
di
antara
gizi
tersebut
berakar
pada
masalah
ketersediaan,
distribusi,
berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai
wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Penanganan
ketahanan pangan dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan
sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun
panjang.
Ketiga, perubahan kondisi global yang menuntut kemandirian. Perubahan
dimaksud tercermin dari: harga pangan internasional yang mengalami lonjakan
drastis dan tidak menentu, adanya kecenderungan negara-negara yang bersikap
egois; mementingkan kebutuhannya sendiri, adanya kompetisi penggunaan
komoditas pertanian (pangan vs pakan vs energi), terjadinya resesi ekonomi
global, dan adanya serbuan pangan asing (westernisasi diet). Perubahan kondisi
global tersebut sangat berpotensi menjadi penyebab gizi lebih dan meningkatkan
ketergantungan pada impor.
Memperbincangkan masalah pangan tidak dapat dipisahkan dari masalah
harga pangan sebagai salah satu aspek yang mencerminkan ketersediaan atau
produksi pangan sekaligus permintaan atau konsumsi pangan. Perkembangan
harga beberapa komoditas pangan dunia, yaitu: jagung, gandum dan beras, mulai
bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Juli 2008 ditunjukkan melalui gambar 1.
harga
bahan
pangan
tidak
hanya
mengindikasikan
ketergantungan terhadap beras yang semakin besar tetapi lebih lanjut juga
mencerminkan kenaikan tingkat konsumsi pangan yang melebihi ketersediaannya.
Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan
pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin
menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui gambar 2.
mereka yang bergantung pada gandum dan beras sebagai makanan pokok tidak
dijamin oleh cadangan. Cadangan atau stok pangan dunia diperkirakan berupa
komodidas selain gandum dan beras.
Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di
beberapa kawasan. Negara-negara yang berisiko mengalami krisis pangan
ditunjukkan dalam gambar 4 sebagaimana yang telah disinyalir oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa pada tahun 2008.
Population
2025
Consumption/
Production
Capita
Demand 2025 2025 Balance 2025
South Asia
2021
237
549.7
524.6
-25.1
East and
Southeast Asia
2387
338
1040.9
914.0
-126.9
Latin America
690
265
217.9
171.2
-46.7
Europe
799
634
506.5
619.4
112.9
North America
410
780
319.5
558.2
238.7
World
8039
363
3046.5
2977.7
-68.8
Source: www.worldbank.org
Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi
ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau
konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus
pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan
terjadinya aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika
Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia
tenggara, serta Amerika Latin. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan
beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta
menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.
Beberapa kebijakan yang ditempuh beberapa negara terkait dengan
perlindungan terhadap produksi dalam negeri dan jaminan ketersediaan pangan,
antara lain: restriksi perdagangan, liberalisasi perdagangan, subsidi konsumen,
perlindungan sosial dan kebijakan peningkatan produksi atau penawaran.
Trade
Trade Consumer Social
Increase
Restriction Liberaliz Subsidy Protection Supply
Asia
Bangladesh
China
India
Indonesia
Malaysia
Thailand
X
X
Latin America
Argentina
Brazil
Mexico
Peru
Venezuela
Africa
Egypt
Ethiopia
Ghana
Kenya
Nigeria
X
X
Tanzania
X
X
Source: IMF, FAO, and news reports, 2007-08.
pangan yang tinggi. Dua kebijakan yang dilaksanakan secara serentak tersebut,
didukung dengan kebijakan restriksi perdagangan dan perlindungan sosial
diperkirakan dapat memacu pertumbuhan produksi pangan di dalam negeri lebih
tinggi. Namun demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan yang diupayakan
oleh negara-negara yang memiliki proses produksi pangan efisien dapat menjadi
kemandirian pangan di negara-negara dengan proses produksi tidak efisien.
Efisiensi berarti harga jual produk lebih rendah yang menyebabkan petani-petani
dengan proses produksi tidak efisien enggan berproduksi karena outputnya tidak
laku di pasar (internasional).
tertentu
adalah
dengan
mengurangi
frekuensi
makan
atau
Stabil
Kurang stabil
Tidak stabil
Kurang stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
terkonsentrasi di satu pulau, yaitu pulau Jawa. Hal ini berpengaruh terhadap
penyediaan beras nasional dimana pulau Jawa merupakan penghasil beras terbesar
dan menjadi supplier beras untuk daerah-daerah lainnya, misalnya kepulauan
Maluku. Penyediaan beras dari daerah surplus ke daerah minus dimaksud
menunjukkan arah arus distribusi beras. Arus distribusi beras dari daerah surplus
atau sentra produksi ke daerah minus atau defisit ditunjukkan dalam gambar 2.
Dengan menggunakan fungsi produksi trend kwadratik dan data sejak tahun
1970 sampai dengan 2007, dapat diketahui perkembangan (trend) produksi padi,
jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Trend dimaksud berguna untuk membuat
perkiraan produksi di waktu mendatang. Perkembangan produksi masing-masing
bahan pangan tersebut ditunjukkan dalam gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan bahwa trend produksi bahan pangan padi dan
jagung meningkat sejak tahun 1970 hingga 2007 dimana peningkatan produksi
padi lebih tinggi dibanding peningkatan produksi jagung. Sedangkan bahan
pangan ketela pohon dan ubi jalar memiliki trend menurun pada jangka waktu
yang sama. Hal ini menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap bahan
pangan padi (beras) semakin besar dan ketergantungan terhadap bahan pangan
lainnya semakin kecil. Masyarakat mengalami kesulitan untuk kembali ke
makanan pokok jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Tiga bahan pangan yang
disebut terakhir ini biasanya hanya dimanfaatkan sebagai makanan ringan, bukan
makanan pokok. Khusus untuk jagung, produksi yang meningkat lebih disebabkan
pemanfaatannya untuk bahan makanan ternak.
Gambar 3. Perkembangan Produksi Padi, Jagung, Ketela Pohon dan Ubi Jalar
Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
pangan
tidak
dapat
terjadi
dengan
sendirinya
melainkan
Jawa)
mengakibatkan
dan
konsentrasi
pada
waktu-waktu
ketersediaan
di
tertentu,
sentra-sentra
tangga.
Data
konsumsi
pangan
secara
riil
dapat
Jika
dilihat
dari
kualitas
konsumsi
pangan
dengan
menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi padipadian aktual sudah lebih dari anjuran dan masih cenderung
meningkat, sedangkan konsumsi kelompok pangan lain masih di
bawah tingkat anjuran terutama umbi-umbian, pangan hewani,
serta sayur dan buah (Tabel 3). Jika ditinjau dari struktur
pengeluaran pangan, proporsi pengeluaran beras terhadap total
pengeluaran pangan masih sangat dominan, terutama bagi
rumah tangga rawan pangan (Tabel 4).
Khusus Indonesia, produksi bahan pangan yang terdiri dari: padi, jagung dan
ubi kayu meningkat selama 2003 sampai dengan 2008. Pertumbuhan rata-rata
komoditas tersebut masing-masing 0,47%; 1,12% dan 0,39% per tahun selama
periode tersebut. Akan tetapi, untuk bahan pangan ubi jalar mengalami penurunan
selama periode yang sama. Perkembangan produksi pangan tersebut beserta
produksi bahan nabati lainnya ditunjukkan dalam gambar 5.
1,49% per tahun selama 1990 sampai dengan 2000 dan rata-rata 1,31% per tahun
selama 2000 sampai dengan 2005. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005
sebesar 218.868.791 Jiwa dan diperkirakan menjadi 227.516.121 Jiwa pada tahun
2008. Dengan jumlah produksi padi 54.151.000 Ton di tahun 2005, maka rasio
antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk pada tahun 2005 adalah
247,4 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Pada tahun 2008, dengan jumlah
produksi padi sebesar 59.877.000 Ton maka rasio tersebut menjadi 263,2
Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Perhitungan ini menjukkan bahwa
sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia sampai dengan 2008 masih memadai.
Namun demikian, oleh karena semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan-lahan lain (perumahan, bisnis, dan lain-lain) menyebabkan rasio
tersebut menjadi terganggu.
Terganggunya rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk
sebagaimana diutarakan di atas menyebabkan, pada tahun-tahun terakhir,
Indonesia tergantung pada impor. Bahan pangan yang di impor Indonesia, yaitu:
beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur, buah-buahan,
minyak goreng, gula, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur, susu dan
ikan, selama tahun 2003 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 7.
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 7, impor kedelai merupakan bagian terbesar dari
ketersediaan kedelai di dalam negeri. Pada tahun 2007, sebesar 70,6% kebutuhan
kedelai dipenuhi dari impor, sebagian kecil sisanya, yaitu: 29,4% berasal dari
produksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang
sangat besar terhadap impor kedelai. Selain kedelai, susu juga merupakan produk
yang banyak dipenuhi dari pasar internasional. Impor susu pada tahun 2007
merupakan 66,7% dari kebutuhan susu. Persentase ini menurun dibandingkan
dengan yang terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 93,89%.
Komoditas ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan, minyak goreng, daging ayam
dan telur, seluruhnya atau hampir seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Untuk bahan makanan pokok masyarakat, yaitu: beras dan jagung, besarnya
persentase impor masih relatif kecil, yakni masing-masing 4,12% dan 5,52% pada
tahun 2007. Sebagian besar, yaitu masing-masing 95,88% dan 94,48% kebutuhan
masyarakat akan beras dan jagung dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Berdasarkan data impor beras dan umbi-umbian, dapat diketahui bahwa
upaya untuk meminimumkan atau menghilang ketergantungan terhadap impor
beras dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan dari beras ke ubi kayu dan ubi
jalar. Mengingat bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah mengenal bahkan
terbiasa dengan makan ubi kayu dan ubi jalar, maka diversifikasi tersebut
diharapkan tidak mengalami hambatan yang berarti.
berarti bahwa diversifikasi pangan dari beras ke jagung dan terigu masih belum
terjadi. Agak berbeda dengan konsumsi produk pangan nabati, konsumsi
penduduk terhadap produk pangan hewani yaitu: ikan, telur, daging unggas dan
susu mengalami peningkatan sejak 1993 sampai dengan 2007. Perkembangan
konsumsi pangan hewani penduduk pada periode tersebut ditunjukkan dalam
gambar 10.
gizi kurang menurun dari 31,7% di tahun 1989 menurun menjadi 19,2% pada
tahun 2005. Dengan demikian, jumlah gizi buruk dan gizi kurang menurun dari
38,0% di tahun 1989 menjadi 28,0% pada tahun 2005. Perkembangan status gizi
tersebut masyarakat ditunjukkan dalam gambar 11.
2001
2002
2003
Padi
8672791
8803878
8914995
Jagung
3529968
3692146
4181550
Kacang tanah
176889
188001
194676
Kedele
349188
300184
287205
Ubi kayu
4016330
3919854
3786882
Ubi Jalar
189666
168776
167611
Kacang hijau
86747
77021
95709
Sumber : Pusat data dan Informasi, Deptan, 2007
2004
2005
9002025
4133762
212325
318929
3963478
165039
83245
9007265
4398502
208749
335106
4023614
150564
95527
Pert/th
(%)
-0,39
4,35
2,63
-2,17
1,85
-3,70
2,91
produksi ini harus bersifat market driven dan mendasarkan pada preferensi
konsumen.
Potensi komoditas non-pangan yang diusahakan petani di Jawa Timur
menunjukkan kinerja yang relatif tinggi pula. Hal ini menunjukkan potensi
pertanian di jawa Timur yang sangat besar dan merupakan sumber income bagi
sebagian besar masyarakat di jawa Timur. Dengan demikian dukungan penyediaan
infrastruktur pertanian dan kewilayahana untuk memperlancar sistem distribusi
dan pemasaran hasil pertanian akan sangat membantu meningkatkan income
petani.
Jawa Timur mempunyai peran yang sangat besar
terhadap penyediaan
pangan nasional. Diperkirakan Jawa Timur merupakan propinsi yang secara nyata
menyumbang pangan nasional 20-30 persen kebutuhan aneka ragam
pangan
No
Tabel 2
Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan
di Jawa Timur
Ketersediaan
Konsumsi
Surplus/
Komoditas
(ton)
(ton)
defisit (ton)
1
2
3
4
5
6
7
Beras
Jagung
Kedelai
Kacang Tanah
Kacang Hijau
Ubi Kayu
Ubi Jalar
5,225,372
3,634,680
291,431
194,414
75,467
3,368,956
145,234
3,441,232
293,827
402,079
28,720
19,883
771,019
105,674
1,784,140
3,340,853
-110,648
165,694
55,584
2,597,938
39,560
Potensi produksi jenis komoditas ini (bersumber dari ternak dan ikan) relatif
lebih besar dibandignkan kebutuhan konsumsinya sehingga dapat menciptakan
surplus bahan pangan tersebut. Secara lebih lengkap hal ini disajikan dalam tabel
berikut ini.
No
1
2
3
4
Tabel 3
Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan
di Jawa Timur
Ketersediaan
Konsumsi
Surplus/
Komoditas
(ton)
(ton)
defisit (ton)
Daging
199,305
117,089
82,216
Telur
261,591
179,720
81,871
Susu
200,350
46,025
154,325
Ikan
478,574
462,096
16,478
Bab 3
DISTRIBUSI PANGAN
dan
konsumsi
beras,
sehingga
terjadi
aliran
Natawidjaja
(2001)
menunjukkan
beberapa
hasil
Tengah, Jawa
masing sekitar 100 200 ribu ton per tahun; (4) Secara regional,
pulau Jawa tetap merupakan pensuplai beras nasional dengan
pasokan sekitar 2,5 juta ton per tahun dan Sulawesi sebesar 1,0
juta ton per tahun yang dapat diperdagangkan antar regional
atau antar pulau; (5) Maluku dan Papua merupakan daerah
defisit (100 ribu ton/tahun).
Bahasan berikutnya mengenai struktur pasar gabah/beras
akan mengungkap jalur pemasaran, marjin pemasaran dan faktor
yang mempengaruhinya. Jalur pemasaran di tujuh kabupaten
sentra produksi beras (Majalengka, Indramayu, Klaten, Kediri,
Ngawi, Agam, dan Sidrap) sampai pada tingkat pedagang besar
(kabupaten dan propinsi) adalah sama, dengan penjelasan
sebagai berikut (Gambar 1): (1) Petani menjual gabah (di
sawah/di rumah) kepada tiga pelaku pemasaran yaitu penebas,
pedagang pengumpul dan KUD; (2) Kecuali KUD yang melakukan
penjualan ke Dolog kabupaten, maka penebas dan pedagang
pengumpul menjual gabah ke pedagang penampungan yang
pada umumnya adalah RMU atau kontraktor Dolog kabupaten;
(3)
Pedagang
penampungan
ini
dengan
lokasi
di
tingkat
pedagang
antar
pulau;
(3)
Ketiga
jenis
pelaku
selanjutnya
pemasaran
yang
melayani
konsumen
memegang
peranan
setempat.
Pelaku
sentral
dalam
kompleks,
pelaku
pemasaran
ini
juga
melakukan
volume
komoditas
yang
ditangani
lebih
besar
analisis
yang
sama
yang
dilakukan
satu
tahun
Pemasaran
beras
dinilai
cukup
efisien
yang
eceran,
dengan
komposisi
10,92%
untuk
biaya
karena
mereka
memiliki
aksesibilitas
dan
tersebut
adalah
kelancaran
arus
distribusi
dan
Bab 4
DIVERSIFIKASI PANGAN
yang dulu dikenal sebagai pengekspor beras beberapa tahun terakhir beralih
menjadi negara pengimpor beras terbesar karena penurunan produksi padi mereka.
Walaupun negara Indonesia adalah negara agraris, akan tetapi bila terjadi
krisis pangan dunia juga berpotensi berimbas pada krisis pangan di negara kita.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain adalah:
1.
Tahun
1.
1970
956.13
2.
1980
2011.71
10,00
3.
1985
33.85
258,71
4.
1990
49.58
1,91
5.
1995
3157.70
0,01
6.
2000
1355.04
1,19
7.
2001
642.17
3,95
8.
2002
1798.50
4,15
9.
2003
1625.75
0,70
390.83
0,91
10.
2004
Sumber: www.faostat.2006
Impor
Ekspor
Ekspor
Impor
Negara
Jumlah
(Juta Ton)
Negara
Jumlah
(Juta Ton)
1.
Amerika Serikat
30,2
Mesir
6,8
2.
Kanada
13,5
Uni Eropa
6,3
3.
Rusia
10,6
Brasilia
6,1
4.
Uni Eropa
9,9
Jepang
5,1
5.
Argentina
9,3
Indonesia
4,5
6.
Kazkhstan
8,9
Algeria
3,7
7.
Australia
6,5
Maroko
3,3
8.
Cina
2,3
Meksiko
3,3
9.
Pakistan
1,5
Nigeria
2,8
10
Ukrania
1,4
Korea Selatan
2,8
Suryana (2005), ada dua bentuk diversifikasi produksi yang dapat dikembangkan
untuk mendukung ketahanan pangan, yaitu:
1. Diversifikasi horizontal; yaitu mengembangkan usahatani komoditas unggulan
sebagai core of business serta mengembangkan usahatani komoditas lainnya
sebagai usaha pelengkap untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam, modal, dan tenaga kerja keluarga serta memperkecil terjadinya resiko
kegagalan usaha.
2. Diversifikasi regional; yaitu mengembangkan komoditas pertanian unggulan
spesifik lokasi dalam kawasan yang luas menurut kesesuaian kondisi agro
ekosistemnya, dengan demikian akan mendorong pengembangan sentra-sentra
produksi pertanian di berbagai wilayah serta mendorong pengembangan
perdagangan antar wilayah.
Upaya untuk melakukan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan umbiumbian dan buah-buahan sebagai sebagai sumber karbohidrat jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan serealia (beras). Hal ini disebabkan karena beberapa faktor
yang pada akhirnya menghambat upaya diversifikasi pangan berbasis pangan
lokal, yaitu:
1. Pada umumnya masyarakat Indonesia masih memiliki ketergantungan yang
tinggi pada beras untuk dimasak menjadi nasi. Hal ini mudah dimengerti
karena dibandingkan sumber karbohidrat lain, nasi dari beras lebih mudah
disiapkan, lebih luwes dengan beragam lauk pauk dan memiliki kandungan
kalori dan protein yang cukup tinggi.
berbagai jenis bahan pangan, seperti ubi jalar tidak saja sebagai sumber
karbohidrat, akan tetapi diketahui banya mengandung antioksidan dan
beaya pengeringannya relatif mahal. (iii) Produksi umbi-umbian dan buahbuahan lebih banyak tergantung musim. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga
tinggi. (iv) Institusi pemasaran dan jasa penunjang bagi produk palawija,
termasuk buah-buahan tidak sebaik yang tersedia pada beras.
Bab 5
AKSESIBILITAS PANGAN
Komoditas
Ketrsdiaan
Konsumsi
Tahun 2006*)
Plus/ Minus
Ketersediaa
n
5.332.449
3.928.371
304.441
3.482.900
129.738
204.938
86.874
255.007
218.663
205.102
Konsumsi
1
Beras
5.228.527
3.478.994
1.749.533
3.478.994
2
Jagung
3.867.698
297.051
3.570.647
297.051
3
Kedelai
305.847
406.491
(100.644)
406.491
4
Ubi kayu
3.420.072
779.479
2.640.593
779.479
5
Ubi jalar
132.496
106.834
25.662
106.834
6
Kacang tanah
191.015
29.035
161.980
29.035
7
Kacang hijau
86.452
20.101
66.351
20.101
8
Daging
178.158
118.374
59.784
119.677
9
Telur
238.261
181.692
56.569
183.655
10 Susu
202.557
46.531
156.026
47.043
11 Ikan
490.966
453.820
16.478
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jatim
Keterangan: *) Angka Ramalan II: Beras, Jagung, Kedele, Ubikayu, Ubijalar, Kacang Tanah,Kacang hijau
Plus/ Minus
1.853.455
3.631.320
(102.080)
2.703.421
22.904
175.903
66.773
135.330
35.008
158.059
kkal/kap/hr. Konsumsi energi tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hr atau 95,0 %
dari AKE lebih tinggi dari dari konsumsi energi tahun sebelumnya sebesar 1889
kkal/kap/hr atau 85,9 % dari AKE. Konsumsi energi penduduk didukung oleh
konsumsi energi penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 11902 kkal/kap/hr dan
1901 kkal/kap/hr. Konsumsi energi penduduk perkotaan sebesar 1902 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr, kecenderungan yang
sama terjadi pada konsumsi energi penduduk pedesaan sebesar 1901 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1893 kkal/kap/hr. Nampak bahwa
konsumsi energi penduduk perkotaan relatif sama dengan konsumsi energi
penduduk pedesaan.
No.
1
2
3
Tabel 5
Rata-rata Konsumsi Energi Penduduk tahun 2002 dan 2005
2002
2005
Energi
% AKE
Energi
Uraian
% AKE
(kkal/kap/hr (kkal/kap/hr (kkal/kap/hr
(kkal/kap/hr)
)
)
)
Perkotaan
1889
85,8%
1902
95,1%
Perdesaan
1893
86,1%
1901
95,0%
Jawa Timur
1889
85,9%
1900
95,0%
Sumber data : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Propinsi Jatim 2006)
Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2002 = 2200 Kkal/Kap/Hari
Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2005 = 2000 Kkal/Kap/Hari
Ditinjau dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang mengacu pada standar
yang ditetapkan Departemen Kesehatan tahun 2006, ternyata konsumsi energi
penduduk Jawa Timur tahun 2005 mencapai sebesar 95,0 % yang berarti
tergolong normal karena berada pada kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
90-119%.
Sedangkan konsumsi protein penduduk Jawa Timur mencapai sebesar
62,30 gr/kap/hr atau meningkat sebesar 2,20 gr/kap/hr atau 3,66 % dari konsumsi
protein tahun sebelumnya sebesar 60,10 gr/kap/hr. Konsumsi protein tersebut
ternyata melampaui 10,30 gr/kap/hr (19,61% ) dari angka kecukupan protein yang
dianjurkan 52 gr/kap/ hr. Konsumsi protein tersebut didukung dengan peningkatan
konsumsi protein penduduk pedesaan yang cukup besar dari konsumsi protein
tahun 2002
No
Kelompok Pangan
Gram/
Kap/Hr
Energi
(Kkal)
tahun 2005
%
AKE*)
Gram/
Kap/Hr
Energi
(Kkal)
%
AKE**)
PPH
Nasional
2020
Padi-Padian
283.1
1,129.70
51.4
283.5
1.139
57
Umbi-umbian
69.1
78.6
3.6
53.5
61
3.1
Pangan Hewani
61.6
100.4
4.6
73.1
134
6.7
12
21.4
190
8.6
20.2
180
10
Bauh/Biji Berminyak
10.7
58.7
2.7
10.4
57
2.9
Kacang-kacangan
33.8
98
4.5
32.1
93
4.7
Gula
30.6
111.1
5.1
26.9
97
4.9
197.4
80.8
3.7
203
86
4.3
Lainnya
50.8
41.7
1.9
42.3
38
1.9
Jumlah
1,889
85.9
Sumber : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Prop.Jatim,2006)
Keterangan : *) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2200 Kkal/Kap/Hari
**)Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2000 Kkal/Kap/Hari
1,886
94.3
100
50
Jawa Timur masih berkisar sebesar 20 persen. Namun demikian walaupun ada
perubahan yang kecil nampaknya ada trend mengalami penurunan dari tahun
ketahun.
Ketersediaan pangan secara makro tidak sepenuhnya menjamin ketersediaan
pada tingkat mikro. Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu dan
pada waktu-waktu tertentu mengakibatkan konsentrasi ketersediaan di sentrasentra produksi dan pada masa-masa panen. Pola konsumsi yang relatif sama
antar-individu, antar- waktu, dan antar-daerah mengakibatkan adanya masa-masa
defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan
distrubusi antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan stok akan
berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan konsumsi
yang
harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan
rumah tangga,
berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga.
Gambar 2
Tingkat Konsumsi Energi Propinsi Jawa Timur
Gambar 3
Skor PPH Propinsi Jawa Timur
Bab 5
PENYELESAIAN MASALAH
KETAHANAN PANGAN
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Diversifikasi konsumsi pangan mempunyai peranan yang sangat penting
dalam upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang
berkualitas. Martianto (2005) menunjukkan bahwa manusia untuk dapat hidup
aktif dan sehat memerlukan lebih 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai
jenis makanan, dimana dapat dipenuhi melalui diversifikasi konsumsi pangan.
Studi yang dilakukan oleh Hardinsyah (1996) menunjukkan bahwa diversifikasi
pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai anti oksidan pangan, konsumsi
serat dan menurunkan resiko hiperkolesterol, hipertensi dan penyakit jantung
koroner. Berkaitan dengan hal ini, diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar
utama dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Dalam aspek makro, peranan diversifikasi pangan dapat dijadikan sebagai
instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan pada beras sehingga
mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional, serta dapat dijadikan instrumen
peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat. Beberapa hasil
kajian menunjukkan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak
menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau
individu. Studi yang dilakukan oleh Martianto dan Ariani (2004) menunjukkan
bahwa walaupun ketersediaan pangan secara nasional sudah cukup, namun jumlah
proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap propinsi masih tinggi yakni 18
dimanfaatkan oleh masyarakat. Lebih dari 100 jenis tepung dari berbagai jenis
tumbuhan dapat dijadikan sebagai sumber karbohidrat. Kurang lebih dari 100
jenis legume dan sejumlah jenis tumbuhan lainnya dapat dijadikan sumber protein
dan lemak. Sekitar 450 jenis buahbuahan dan kacang-kacangan dan sekitar 250
jenis tumbuhan lalap-lalapan menjadi sumber protein dan mineral. Berdasarkan
fakta empiris tersebut maka permasalahan umum yang harus segera diantisipasi
adalah bagaimana cara menurunkan konsumsi beras yang terus meningkat, serta
usaha-usaha untuk meningkatkan konsumsi pangan protein, lemak, dan
viatamin/mineral berbasiskan sumberdaya pangan lokal. Jika hal ini dapat
dilakukan, maka ketahanan pangan nasional sekaligus peningkatan gizi
masyarakat untuk menciptakan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dapat
diwujudkan.
Bahan baku pangan untuk tujuan diversifikasi pangan berada di pedesaan
yang dihasilkan oleh petani dengan sumber daya lahan yang sangat terbatas. Oleh
karena itu kelompok masyarakat pedesaan inilah yang seharusnya menjadi fokus
perhatian dalam pembangunan di bidang ketahanan pangan khususnya
diversifikasi pangan. Terjadinya diversifikasi konsumsi pangan secara bertahap
akan mengubah pola produksi pertanian di tingkat petani (diversifikasi produksi).
Petani akan memproduksi komoditas yang banyak dibutuhkan oleh konsumen dan
yang memiliki harga cukup tinggi. Kondisi ini pada akhirnya akan membawa
dampak pada peningkatan pendapatan petani. Mereka tidak lagi tergantung hanya
pada komoditas padi sebagai sumber pendapatan usahataninya, tetapi dapat
mencoba tanaman lain yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Saat ini pemerintah telah menyadari begitu pentingnya diversifikasi pangan,
sehingga pemerintah berencana melakukan gerakan melalui program Rencana
Aksi Nasional Pangan Dan Gizi. Hal ini memerlukan kesepakatan bersama untuk
membuat blue print, yang membahas seluruh aspek yang terkait dengan
pengembangan diversifikasi konsumsi pangan. Berdasarkan kenyataan inilah
maka dipandang perlu dibuat roadmap diversifikasi pangan di Jawa Timur. Road
map ini diharapkan sebagai acuan untuk mewujudkan diversifikasi pangan.
bahan
makanan
rata-rata
perorang
perhari
yang
umum
menu keluarga dan pekarangan sering juga disebut sebagai lumbung hidup,
warung hidup atau apotik hidup. Dalam kondisi tertentu pekarangan dapat pula
dibuat dengan memanfaatkan kebun atau pot serta benda lain yang dapat dan
cocok untuk menumbuhkan berbagai jenis tanaman, ternak dan ikan.
10. Pemanfaatan
Pekarangan,
adalah
pekarangan
yang
dikelola
secara
kondisi penyediaan bahan pangan, mulai dari data produksi, pengadaan serta
perubahan-perubahan yang terjadi hingga suatu komoditas tersedia untuk
dikonsumsi oleh penduduk suatu daerah/negara dalam satu kurun waktu
tertentu.
19. Pola Pangan Harapan adalah komposisi/susunan pangan atau kelompok
pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya baik mutlak maupun relatif,
yang
memenuhi
kebutuhan
gizi
secara
kuantitas,
kualitas
maupun
menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau
individu. Studi yang dilakukan oleh Martianto dan Ariani (2004) menunjukkan
bahwa walalupun ketersediaan pangan secara nasional sudah cukup, namun
jumlah proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap propinsi masih tinggi
yakni 18 %. Bank Dunia (2006) menunjukkan bahwa perbaikan gizi merupakan
suatu investasi yang sangat menguntungkan. Pada kondisi gizi buruk, penurunan
produktivitas perorangan diperkirakan lebih dari 10 persen dari potensi
pendapatan seumur hidup; dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB
antara 2-3 persen.
Konferensi para ekonom di Copenhagen tahun 2005 (Konsensus
Kopenhagen) menyatakan bahwa intervensi gizi menghasilkan keuntungan
ekonomi (economic returns) tinggi dan merupakan salah satu yang terbaik dari 17
alternatif investasi pembangunan lainnya.
Pengertian Diversifikasi Pangan
Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan
kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia, oleh karena itu konsep tersebut
telah banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para pakar sesuai dengan
kontek tujuannya. Kasryno, et al (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai
upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi
masyarakat. Diversifikasi pangan ini tercakup aspek produksi, konsumsi,
pemasaran, dan distribusi. Dari aspek produksi, diversifikasi berarti perluasan
spektrum komoditas pangan, baik dalam hal perluasan pemanfaatan sumber daya,
pengusahaan komoditas maupun pengembangan produksi komoditas pangan.
Oleh karena itu dilihat dari aspek produksi, diversifikasi mencakup pengertian
diversifikasi horisontal maupun vertikal. Dari sisi konsumsi, diversifiksi pangan
mencakup aspek perilaku yang didasari baik oleh pertimbangan ekonomis seperti
pendapatan dan harga komoditas, maupun non ekonomis seperti kebiasaan, selera
dan pengetahuan. Pertemuan antara sektor produksi dan konsumsi tidak terlepas
dari peranan pemasaran dan distribusi komoditas pangan tersebut. Demikian pula
(dalam
konteks
konsumsi
pangan)
yaitu
sebagai
upaya
konsumsi
pangan
sering
diartikan
sebagai
akan
bervariasi
antar
daerah
sesuai
kemampuan
dan
permasalahannya.
Patut dipahami bersama bahwa PPH merupakan komposisi atau pola pangan
dalam bentuk persentase konsumsi energi yang dianjurkan (harapan) untuk hidup
sehat, tanpa memandang apakah pangan tersebut berasal dari produksi lokal
(dalam negeri) atau didatangkan dari negara/daerah lain (impor). Oleh karena itu
angka-angka yang disajikan baru sebatas kebutuhan untuk konsumsi manusia atau
penduduk. Untuk perencanaan pangan perlu dipertimbangkan faktor koreksi atau
jumlah yang digunakan untuk ekspor (dibawa kedaerah lain), pakan ternak,
kebutuhan industri (bukan untuk makanan penduduk setempat), benih atau bibit,
cadangan dan kehilangan.
Penilaian Konsumsi Pangan Wilayah dengan Pendekatan PPH. Analisis
konsumsi pangan wilayah diarahkan untuk menganalisis situasi konsumsi pangan
dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya dan sosial ekonomi wilayah.
Dalam menganalisis konsumsi pangan wilayah yang berbasis sumberdaya, perlu
diperhatikan faktor pendukung utama yang mempengaruhi pola konsumsi yaitu
(1) ketersediaan; (2) kondisi sosial dan ekonomi; (3) letak geografis wilayah (desa
- kota) serta (4) karakteristik rumah tangga.
Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) sangat dipengaruhi
oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan pada daerah
tersebut. Sedangkan pada tingkat mikro (tingkat Rumah Tangga) lebih
dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga memproduksi pangan, daya beli, dan
pemberian. Pola konsumsi pangan sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonomi
rumah tangga seperti tingkat pendapatan, harga pangan, selera dan kebiasaan
makan. Dalam analisis pola konsumsi, faktor sosial budaya didekati dengan
menganalisa data golongan pendapatan rumah tangga. Sedangkan letak geografis
didekati dengan lokasi desa-kota dari rumah tangga yang bersangkutan.
Pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga
yaitu jumlah anggota rumah tangga, struktur umur jenis kelamin, pendidikan dan
lapangan pekerjaan. Dengan menggunakan data Susenas dapat dianalisis beberapa
faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan wilayah dan dilakukan melalui
tabulasi dengan mengelompokkan data konsumsi pangan sebagai berikut :
1. Data konsumsi dan pengeluaran pangan dilakukan pengelompokkan menjadi 9
kelompok pangan .
2. Pendapatan rumah tangga didekati dengan pengeluaran rumah tangga untuk
kebutuhan pangan dan non pangan dikelompokkan (1) di daerah pedesaan dan
(2) di daerah perkotaan.
3. Pendapatan rumah tangga juga didekati dengan pengelompokkan tingkat
pengeluaran berdasarkan golongan pengeluaran perkapita perbulan.
4. Dalam melakukan analisis, berbasis pada :
Angka kecukupan energi rata-rata untuk Indonesia pada tingkat konsumsi
ebesar 2200 Kkal/orang/hari dengan tingkat ketersediaan sebesar 2500
kkal/orang/hari.
Angka kecukupan protein rata-rata untuk penduduk Indonesia sebesar 50
gram/orang/hari pada tingkat konsumsi dan 55 gram/orang/hari pada tingkat
ketersediaan.
Angka kecukupan konsumsi lemak minimum setara dengan 10 % dari total
energi dan maksimum 25 % dari total energi, dengan konsumsi yang
bersumber dari lemak rata-rata sebesar 20 %.
Pengembangan pola konsumsi Tingkat Rumah Tangga. Sesuai dengan
tujuan dari upaya pengembangan konsumsi pangan yaitu untuk memperbaiki
mutu gizi melalui penganekaragaman menu makanan sehari-hari, dan penyediaan
bahan makanan yang beranekaragam termasuk penyediaan protein nabati dan
hewani, sejauh mungkin memperhatikan pola konsumsi masyarakat setempat.
Dalam upaya pengembangan konsumsi pangan tersebut, perlu disusun pedoman
perencanaan menu seimbang yang dapat digunakan untuk bahan penyuluhan bagi
petugas maupun sebagai pedoman di tingkat rumah tangga.
Pedoman Perencanaan Menu Seimbang merupakan suatu pedoman gizi
yang berisi pesan-pesan praktis bagi masyarakat untuk menyusun menu makanan
yang sehatdan seimbang. Pengembangan pola konsumsi pangan ditingkat rumah
tangga dilaksanakan dengan menggunakan petunjuk dan pedoman sederhana
penyusunan menu seimbang, dengan langkah-langkah berikut :
a. Menentukan Komposisi Anggota Keluarga
Petunjuk singkat dibawah ini menyajikan contoh cara menyusun menu
berdasarkan kesimbangan pola konsumsi yang disarankan untuk satu keluarga.
Misalnya satu keluarga terdiri dari Bapak, Ibu dan dua anak dengan aktivitas
sedang, maka kecukupan energi dan protein keluarga tersebut sebagai berikut :
Petunjuk singkat dibawah ini menyajikan contoh cara menyusun menu
berdasarkan kesimbangan pola konsumsi yang disarankan untuk satu keluarga.
Misalnya satu keluarga terdiri dari Bapak, Ibu dan dua anak dengan aktivitas
sedang, maka kecukupan energi dan protein keluarga tersebut sebagai berikut :
Tabel 2 : Angka Kecukupan Energi dan Protein Keluarga.
Tabel di atas diperoleh dari kecukupan yang tertera pada tingkat kecukupan
energi yang dianjurkan rata-rata perorang per hari berdasarkan tingkatan umur
seperti tercantum pada Tabel 3, sehingga diperoleh total kecukupan energi dan
protein bagi keluarga sebesar 8400 kalori dan 163 gram protein, 20% (32,6 gram)
dari hewani dan sisanya dari nabati.
*) sayuran siap masak (segar)100 gram = 1 gls setelah dimasak dan ditiriskan
URT : Ukuran Rumah Tangga, Gls : gelas, Sdm : Sendok makan, Bh : buah,
sdg : sedang, ptg : potong, kc : kecil.
= gls
= gls
= 1 ptg sdg
= 1 bj sd
= 2 bj sdg
- Sagu 40 gram
= 7 sdm
- Terigu 50 gram
= 8 sdm
= 1 bj sdg
= 1 gls
= 1 gls
- Bihun 50 gram
= gls
- Roti 80 gram
= 4 iris
= 1 bj besar
= 2 sdm
= 2 sdm
= 2 sdm
- Tempe 50 gram
= 2 ptg sdg
- Oncom 50 gram
= 2 ptg sdg
= 1 ptg sdg
= 1 ptg sdg
= 1 ptg sdg
- Udang 50 gram
= 1/4 gls
= 1 ptg sdg
= 2 sdm
= 1 btr bsr
= 1 btr
= 1 gls
= gls
= 5 sdm
= 1 gls
Kelompok minyak, bahan makanan ini hampir seluruhnya terdiri dari lemak. 1
satuan padanan mengandung 45 kalori dan 5 gram lemak.
- minyak goreng 5 gram
= sdm
= sdm
- margarin 5 gram
= sdm
- kelapa 30 gram
= 1 ptg kcl
= 5 sdm
- santan 50 gram
= gls
= 1 ptg kcl
Ket : gls = Gelas, btr = Butir, sdm = Sendok Makan kcl = Kecil, ptg = Potong,
sdm = Sedang, bj = Biji bsr = Besar
bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi.
Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap
harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan
rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat
berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga.
Hubungan tentang kerawanan pangan dengan tingkat pendapatan relatif
cukup erat baik ditinjau dari kecukup[an energi maupun kualitas pangan. Pada
gambar berikut ditunjukkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang maka
akan menyebabkan rendahnya kecukupan energi maupun skor PPHnya.
g. Cita rasa makanan tradisional kurang memenuhi selera generasi muda, kurang
menarik penampilannya akibat dimasak terlalu lamah. Makanan tradisonal
kurang memenuhi standar mutu dan gizi
i. Beberapa masakan harus disajikan secara panas
j. Promosi dan penyebaran informasi serta upaya pengembangannya masih
terbatas
k. Kurangnya investor yang tertarik untuk mengembangkan produk makanan
tradisional
l. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan arti gizi dan kesehatan.
Peluang
Disamping masalah dan tantangan tersebut, masih ada peluang yaitu basis
sumberdaya nasional yang tersebar diseluruh Indonesia, sebagai tumpuan bagi
upaya peningkatan diversifikasi pangan. Berbagai peluang tersebut antara lain :
a. Potensi untuk meningkatkan produktivitas berbagai ekosistem lahan yakni :
lahan kering, pekarangan dan tadah hujan masih tersedia, dengan dukungan
pengembangan teknologi tepat guna spesifik lokasi.
b. Potensi pangan nabati dan hewani yang cukup kaya dan beragam, tersebar di
laut, kolam dan hutan serta ekosistem lainnya.
c. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh
seluruh wilayah masih dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat pada wilayah tersebut.
d. Partisipasi industri pengolahan pangan makin berkembang dalam memproduksi
bahan pangan yang siap saji dan siap konsumsi, sehingga dapat mewujudkan
kondisi masyarakat yang kondusif dalam diversifikasi konsumsi pangan.
e. Struktur instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah, sudah disusun
berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
f. Adanya otonomi daerah memberikan kewenangan penuh untuk mengatur
tingkat produksi, distribusi dan konsumsi pangan masyarakat secara lebih
spesifik serta fleksibel.
sumberdaya
lokal,
yang
dilakukan
melalui
(a)
1. Intensifikasi pekarangan
Intensifikasi pengakarangan ditujukan untuk peningkatan penyediaan
pangan berbasiskan pada sumberdaya yang dimiliki. Sasaran yang ingin dicapai
adalah
mengembangkan
penganekaragaman
makanan
sekaligus
untuk
yang
akan dilaksanakan
adalah
(1) pemberdayaan,
(2)
pekarangan.
jumlah
Indikator
kelompok
keberhasilan
wanita
dalam
kegiatan
ini
mengembangkan
adalah
usaha
pekarangan.
3. Peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan
Peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan ditujukan
untuk mendorong masyarakat agar mempunyai pengetahuan tentang nilai gizi dari
sumberdaya pangan yang ada di pedesaan. Sasaran yang ingin dicapai.
Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah (1) penyuluhan pangan beragam
dan bergizi seimbang, (2) lomba menu makanan dari hasil pekarangan, (3)
pengembangan depot desa dengan menu makanan berbasiskan sumberdaya
pedesaan.
pemanfaatan
sumberdaya
Lokal
ditujukan
untuk
pelatihan
produksi,
dan
pemasaran;
(5)
Pembinaan/pendampingan,
dan protein untuk meningkatkan daya tarik pangan lokal non beras; (2)
Pemasyarakatan teknologi pengolahan pangan yang berbasis spesifik daerah serta
memperhatikan keamanan pangan; (3) Penemuan paket teknologi pengolahan
bahan pangan non beras; (4) Peningkatan peran masyarakat profesi atau asosiasi,
LSM dan dunia usaha untuk mengembangkan aneka tepung dan aneka bahan
pangan hewani; (5) Meningkatkan kemitraan antara industri rumah tangga dengan
industri berskala menengah dan besar dalam memanfaatkan bahan pangan lokal;
serta (6) Mengembangkan pengolahan bahan pangan nabati dan hewani yang
berasal dari pangan asli.
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah: (1) tersedianya paket
teknologi pengolahan pangan(2) teradopsinya teknologi pengolahan pangan oleh
masyarakat; (3) Meningkatnya ragam mutu bahan pangan lokal.
Pengembangan Makanan Tradisional.
Bertitik
pengembangan
tolak
dari
makanan
permasalahan
tradisional,
dan
maka
peluang
yang
dirancang
ada
dalam
(tiga)
upaya
sumberdaya
makanan
tradisional
ditujukan
untuk
pengembangan resep makanan, mutu gizi pangan, citarasa serta sanitasi); (6)
Pembinaan, pendampingan, pemantauan dan evaluasi.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah : (1) Tergalinya potensi dan
kekhasan makanan tradisional unggulan; (2) meningkatnya mutu tradisional (baik
fisik, mutu gizi, citarasanya serta sanitasi); (4) meningkatnya nilai ekonomi
makanan tradisional dan (5) Penumbuhan sentra-sentra makanan tradisional.
2. Peningkatan Motivasi Citra Makanan Tradisional.
Peningkatan motivasi dan partisipasi dalam pengembangan makanan
tradisional ditujukan untuk mendorong masyarakat berperan aktif dalam upaya
pengembangan, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional sesuai
dengan potensi sumberdaya dan nilai budaya setempat. Sasaran yang ingin dicapai
adalah meningkatnya peran serta dan partisipasi masyarakat dalam upaya
pengembangan, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional.
Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah (1) Promosi makanan tradisional
dan memperluas Aku Cinta Makanan Indonesia; (2) Peningkatan Peran aktif
swasta (usaha jasa boga, perhotelan dan industri makanan rumah tangga ),
assosiasi, organisasi masyarakat (PKK, Dharma Wanita), Perguruan Tinggi, LSM
dan Media masa dalam mengembangkan potensi, mengangkat citra dan
melestarikan makanan tradisional; (3) Pemberdayaan kelompok wanita tani di
perkotaan dan perdesaan dalam mengembangkan potensi, mengangkat citra dan
melestarikan makanan tradisional; dan (4) Mendorong industri pangan tradisional
untuk mengembangkan usahanya diberbagai segi agar mampu bersaing dengan
pangan impor; (5) Penyelenggaraan Festival dan Lomba Makanan Tradisional.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah (1) Tersusunnya rancangan
strategi pemberdayaan masyarakat; (2) Tersosialisasinya upaya pengembangan
potensi, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional diberbagai
tingkatan; (3) Meningkatnya peran serta dan apresiasi masyarakat dalam upaya
pengembangan potensi, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional; (4)
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi ketergantungan pada
makanan modern dan impor.
3. Peningkatan Teknologi dan Kelembagaan Pangan.
kelembagaan
pelayanan
dan
swadaya
masyarakat
dalam
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi antara lain : (1) pembuatan modul dan
leaflet tentang pola makan beragam dan bergizi seimbang, (2) promosi pangan
beragam dan bergizi seimbang melalui media cetak dan elektronik secara
kontinyu, (3) pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat berbasis
sumber daya lokal, (4) memberikan makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS)
yang tepat berbasis sumber daya lokal, (5) pengembangan warung sekolah
berbasiskan makanan tradisional, (6) mensosialisasikan Gerakan Makanan
Beragam, dan gizi seimbang masyarakat yang dari instansi pemerintah, (7)
promosi pengembangan makanan tradisional pada hotel-hotel
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah: (1) tersedianya modul dan
leaflet diversifikasi pangan, (2) adanya promosi diversifikasi pangan secara rutin
di media cetak dan elektronik, (3) berkembangnya warung sekolah, (4) adanya
budaya makanan tradisonal pada instansi pemerintah dan hotel.
Tahapan dan Target
Pengembangan diversikasi pangan dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kondisi sumberdaya yang dimiliki, serta peluang pengembangnnya. Tahapan
pengembangan beserta indikator utama disajikan dalam Gambar sebagai berikut :
Sedangkan
target
pemenuhan
Angka
Kecukupan
Energi
untuk
Kegiatan
Program pengembangan pekarangan, dilakukanmelali sub program : (1)
intensifikasi pekarangan, (2) penguatan kelompok wanita dalam intensifikasi
pekarangan, (3) peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan.
Progam pengembanan pangan lokal dilakukan melalui : (1) pengembangan
pemanfaatan sumberdaya lokal, dan (2) peningkatan teknologi dan industri
pengolahan pangan skala kecil RT.
Program pengembangan makanan tradisional, maka dirancang 3 (tiga)
upaya pengembangan makanan tradisional, dilakukan melali sub progra : (1)
pengembangan sumberdaya makanan tradisional; (2) peningkatan motivasi dan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan makanan tradisional dan (3)
peningkatan Teknologi dan Kelembagaan Pangan.
Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) Konsumen dilaksanakan
melalui: (1) pembuatan modul dan leaflet tentang pola makan beragam dan bergizi
seimbang, (2) promosi pangan beragam dan bergizi seimbang melalui media cetak
dan elektronik secara kontinyu, (3) pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang tepat berbasis sumber daya lokal, (4) memberikan makanan tambahan
anak sekolah (PMT-AS) yang tepat berbasis sumber daya lokal, (5)
pengembangan
warung
sekolah
berbasiskan
makanan
tradisional,
(6)
Sedangkah
langkah
operasional
untuk
untuk
masing-masing
kebijakan
VII. PENUTUP
Roadmap diversifikasi pangan ini diharapkan dapat meningkatkan
koordinasi
pembangunan
diversifikasi
pangan
secara
terpadu
untuk
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengaturan tentang pangan tertuang dalam Undang-undang No.7 Tahun
1996, yang menyatakan juga bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Pemenuhan pangan dan gizi
untuk kesehatan warga negara merupakan investasi untuk peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Bank Dunia (2006) menyatakan bahwa perbaikan gizi
merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga
alasan suatu negara perlu melakukan intervensi di bidang gizi. Pertama, perbaikan
gizi memiliki economic returns yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti
mendorong pertumbuhan ekonomi; dan ketiga, perbaikan gizi membantu
menurunkan
tingkat
kemiskinan
melalui
perbaikan
produktivitas
kerja,
114
tersebut
akan
mendukung
komitmen
pencapaian
Millenium
dengan
sistem
otonomi,
pemerintah
propinsi,
pemerintah
pangan
memperkokoh
melalui
ketahanan
program-program
pangan
sekaligus
yang
benar-benar
meningkatkan
mampu
kesejahteraan
masyarakat.
Pembangunan ketahanan pangan yang berdimensi pembangunan Jawa Timur
secara menyeluruh di setiap sektornya akan dapat terlaksana dengan efektif
manakala memiliki arah yang jelas dan terukur kinerjanya. Program-program
dalam rangka pembangunan ketahanan pangan harus terpadu (integrated), terukur
keberhasilannya (measureable) dan berkesinambungan (sustainability). Dengan
115
pangan
dapat
diarahkan
dengan
benar,
dapat
dipantau
116
117
yang terlibat dalam proses pembentukan formal dokumen ini menjadi suatu
kebijakan operasional ketahanan pangan di propinsi Jawa Timur.
II. KONSEP DASAR KETAHANAN PANGAN
2.1. Landasan Hukum Ketahanan Pangan
Landasan hukum penyusunan Kebijakan operasional ketahanan pangan Jawa
Timur adalah :
1. UU NO. 7 TAHUN 1996 tentang Pangan
2. PP No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan
3. PP 28 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan
4. Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan
5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005 2009
6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) Propinsi Jawa
Timur 2006 - 2008
7. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (pencanangan oleh Presiden
tanggal 11 Juni 2005), termasuk Kebijakan dan Program pembangunan
Ketahanan Pangan
8. Kebijakan umum Ketahanan Pangan 2006-2009
9. Arahan peresiden pada rapat pleno Dewan Ketahanan Pangan tanggal 18 April
2006
10. Komitmen Gubernur pada 20 Novevember 2006
11. PP No 3 tahun 2007 tentang pertanggungan jawab Gubernur, bupati/walikota
12. PP No 38 tahun 2007 bahwa Ketahanan pangan menjadi urusan wajib
pemerintah propinsi, kab/kota.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 mengamanatkan pembangunan
pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bersama
masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. UU Nomor
7 tahun 1996 menjelaskan tentang konsep ketahanan pangan, komponen serta
pihak yang berperan serta dalam mewujudkan ketahanan pangan. Undang-Undang
tersebut telah dijabarkan dalam beberapa peraturan pemerintah (PP) antara lain :
(i) PP Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengatur tentang
118
119
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak, juga mengakui hak
anak untuk emndapatkan gizi yang baik.
Mengacu pada berbagai dokumen hukum serta kesepakatan nasional
maupun
internasional,
maka
pemerintah
Indonesia
menyusun
Rencana
120
Paradigma lama
Pemantapan ketahanan
pangan pada tatanan
makro/agregat
Pola sentralistik
Paradigma baru
Pemantapan ketahanan
pangan rumah tangga
Dominas pemerintah
i
Bertumpu pada beras
Dominasi peran
masyarakat
Pengembangan
komoditas pangan
secara keseluruhan
Peningkatan daya beli
Pengadaan pangan
murah
Pola desentralistis
121
122
Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat subsistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk
seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi
pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang
berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan
pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan
pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek
mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi
anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin.
Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro,
namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro
yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam
dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi.
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan
dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak
diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang
melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh
penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan
yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat
kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development
Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi
menurunkan
kemiskinan
dan
kelaparan
sebagai
indikator
kesejahteraan
123
persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang
baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan
dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan
dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan
persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat
terbebas dari kelaparan dan gizi kurang.
Tujuan dari ketahanan pangan harus diorentasikan untuk pencapaian
pemenuhan hak atas pangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan
ketahanan pangan nasional. Berjalannya sistem ketahanan pangan tersebut sangat
tergantung pada dari adanya kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan
politik. Kebijakan pemerintah dalam aspek ekonomi, sosial maupun politik sangat
perpengaruh terhadap ketahanan pangan. Pemerintah
2.2.1. Subsistem Ketersediaan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Ketersediaan pangan mengisyaratkan adanya rata-rata pasokan pangan yang
cukup tersedia setiap saat. Stabilitas distribusi pangan didefinisikan sebagai
kemampuan
meminimalkan
kesenjangan
ketersediaan
pangan
terhadap
diharapkan
sampai
tingkat
rumah
tangga
minimal
2200
124
menghindari konsumsi pangan pada satu jenis bahan pangan tertentu saja,
misalnya beras, karena dapat berimplikasi pada rentannya aspek ketersediaan
beras, baik itu berkaitan dengan impor yang meningkat tajam karena tekanan
jumlah penduduk, ataupun berkaitan dengan fluktuatifnya ketersediaan beras/
gabah karena pengaruh musiman dari produksi pertanian.
Dalam aspek ketersediaan yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
cadangan pangan. Dalam masalah cadangan pangan yang perlu diperhatikan
adalah pengembangan cadangan pangan untuk mengantisipasi kondisi darurat,
mengatasi berfluktuasinya produksi yang melimpah pada suatu waktu dan
kekurangan pada waktu yang lain, cadangan pangan dalam arti buffer stock juga
menghindari fluktuasi harga yang merugikan, disamping itu pengembangan
cadangan pangan hidup melalui pengembangan pekarangan patut juga
dikembangkan.
2.2.2. Subsistem Distribusi Pangan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Subsistem distribusi memegang peranan yang sangat strategis dalam rangka
pemerataan pangan yang dapat diakses sampai tingkat rumah tangga. Distribusi
pangan dibutuhkan diantaranya berkenaan dengan sifat proses produksi pertanian
yang spesifik lokasi sehingga dapat ditemukan wilayah yang merupakan sentra
produksi (surplus produksi) dan daerah yang defisit dalam produksi pangannya.
Distribusi pangan yang lancar perlu didukung adanya infrastruktur
transportasi dan komunikasi yang memadai. Dengan kondisi ini maka fungsi
distribusi akan dapat dijalankan dan dapat mengurangi fluktuasi harga antar
daerah karena tekanan permintaan (excess demand).
Efisiensi distribusi merupakan hal penting yang harus diperhatikan untuk
mempertahankan tingkat harga yang wajar dan masih terjangkau masyarakat.
Efisiensi distribusi dapat di artikan sebagai efisiensi pemasaran karena fungsinya
yang meliputi fungsi fisik yaitu pemindahan barang dari satu empat ke tempat
lain, terkait pula dengan fungsi transfer kepemilikan atas barang yang
diperdagangkan juga berkaitan dengan fungsi fasilitasi yaitu kegiatan yang
memperlancar fungsi fisik dan fungsi transaksi atau transfer.
125
Sistem distribusi yang efisien berarti pula harga di konsumen yang relatif
lebih rendah sehingga diharapkan masih dalam batas yang dapat dijangkau
masyarakat dalam jumlah dan kualitas yang sesuai. Keterjangkauan sendiri dapat
diartikan sebagai kemampuan secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan
yang dikaitkan dengan kemampuan berproduksi atau kemampuan membeli
pangan. Harga pangan harus terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Dengan demikian faktor yang sangat sensitif mempengaruhi ketahanan dan
keamanan pangan di tingkat rumah tangga adalah daya beli atau keterjangkauan
komoditi pangan. Golongan masyarakat yang sangat rentan terhadap perubahan
ini adalah angkatan kerja yang bekerja pada sector informal dengan kualitas dan
produktivitas tenaga kerja yang masih rendah. Kondisi ini diperparah oleh
terbatasnya jangkauan terhadap penguasaan lahan pertanian dan asset produktif
lainnya. Upaya meningkatkan kinerja ketahanan pangan melalui subsistem
distribusi pangan meliputi tidak hanya aspek fisik dari sarana prasarana
transportasi dan komunikasi, identifikasi daerah surplus dan defisitpangan tetapi
juga atas aspek kelembagaan yang menjalankan fungsi-fungsi distribusi ini
termasuk didalamnya adalah regulasi pemerintah daerah.
2.2.3. Subsistem Konsumsi Pangan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Subsistem konsumsi berfungsi dalam pemanfaatan pangan yang memenuhi
kecukupan gizi, keamanan dan halal dalam upaya untuk menjaga kesehatan dan
meningkatkan produktifitas. Subsistem ini memperhatikan baik aspek informasi
kandungan gizi bahan makanan (kecukupan energi dan protein) dan juga pola
pangan yang tentunya akan berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat
masyarakat. Faktor lain yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah ibu rumah
tangga yang berperan dalam pola makan keluarga dan pola asuh anak. Infratruktur
kesehatan juga sangat berperan penting disuatu wilayah.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII pada tahun 2004 merumuskan
bahwa Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang Indonesia pada tingkat
konsumsi sebesar 2.000 Kkal per orang per hari maka Angka Kecukupan Protein
(AKP) sebesar 52 gram per kapita per hari. Sedangkan pada tingkat ketersediaan
126
energi sebesar 2.200 Kkal maka AKP adalah sebesar 57 gram per kapita per hari.
Apabila angka tersebut tidak dapat dicapai oleh suatu rumah tangga, maka rumah
tangga tersebut berpotensi mengalami rawan pangan.
Penilaian terhadap pengembangan pola konsumsi pangan tingkat nasional
dan regional dilaksanakan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH),
menggunakan data Survai Sosial Ekonomi Nasional ( SUSENAS ). Pola Pangan
harapan (PPH) adalah suatu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi
guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH dapat dinyatakan: (1) dalam
bentuk komposisi energi (kalori) anekaragam pangan dan/atau (2) dalam bentuk
komposisi berat (gram atau kg) anekaragam pangan yang memenuhi kebutuhan
gizi penduduk. Pola pangan harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan
anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
PPH (desirable dietary pattern), diperkenalkan pertama kali oleh FAORAPA
dalam pertemuan konsultasi FAO-RAPA di Bangkok pada tahun 1989. PPH
disarankan untuk digunakan bagi setiap negara dikawasan Asia Pasifik yang
dalam penerapannya perlu diadaptasi sesuai pola konsumsi pangan dan kebutuhan
gizi setempat.
PPH berguna (1) sebagai alat atau instrumen perencanaan konsumsi pangan,
ketersediaan pangan dan produksi pangan; (2) sebagai instrumen evaluasi tingkat
pencapaian konsumsi pangan, penyediaan pangan dan produksi pangan, baik
penyediaan dan konsumsi pangan; (3) dapat pula digunakan sebagai basis
pengukuran diversifikasi dan ketahanan pangan; (4) sebagai pedoman dalam
merumuskan pesan-pesan gizi.
Upaya menjadikan PPH sebagai instrumen dan pendekatan dalam
perencanaan pangan di suatu wilayah atau daerah diperlukan kesepakatan tentang
pola konsumsi energi dan konsumsi pangan anjuran dengan mempertimbangkan
(1) pola konsumsi pangan penduduk saat ini; (2) kebutuhan gizi yang dicerminkan
oleh pola kebutuhan energi (asumsi : dengan makan anekaragam pangan,
kebutuhan akan zat gizi lain akan terpenuhi); (3) mutu gizi makanan yang
dicerminkan oleh kombinasi makanan yang mengandung protein hewani, sayur
dan buah; (4) pertimbangan masalah gizi dan penyakit yang berhubungan dengan
127
128
(bukan untuk makanan penduduk setempat), benih atau bibit, cadangan dan
kehilangan.
2.2.4. Kerawanan Pangan dan Kemiskinan
Secara rinci hubungan ketahananan pangan dengan kemiskinan dapat dilihat
dalam Gambar 1. Kemiskinan dan ketahanan mempunyai peranan yang sanga
erat.
129
(2006)
130
131
132
133
134
Gambar 3. Sembilan propinsi dengan luas panen padi terbesar di Indonesia, 2005
Luas areal panen yang dimiliki Jawa Timur juga ditunjang dengan
produktifita yang relatif masih tinggi yaitu 5,3 ton per ha. Namun demikian,
produktifitas ini masih lebih rendah dibanding dengan produktifitas padi yang
dihasilkan oleh propinsi Bali yaitu 5,48 ton per ha.
Produktifitas selain dipengaruhi oleh perbaikan teknik budidaya berkenaan
dengan kemampuan mengalokasikan input secara optimal juga ada faktor
135
manajemen produksi yang berpengaruh baik itu menekan kehilangan hasil pasca
panen, handling produk (misalnya penyimpanan) maupun dalam aspek pengaturan
tata guna air.
136
137
Timur akan memberikan dampak yang ebsar pada peningkatan produksi jagung di
Jawa Timur.
Dalam rangka diversifikasi pangan akan sangat baik bila pangan lokal
dikembangkan kembali dan diupayakan dibangkitkan dari potensi lokal sehingga
mengurangi ketergantungan pada beras. Fortifikasi pangan atas pangan lokal
dapat dikenalkan teknologinya sehingga masyarakat dapat mengakses peluang
usaha produktif baru dan dapat dikembangkan sebagai sumber income keluarga
(agroindustri pedesaan). Namun yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan
produksi ini harus bersifat market driven dan mendasarkan pada preferensi
konsumen.
138
139
140
Potensi produksi jenis komoditas ini (bersumber dari ternak dan ikan) relatif
lebih besar dibandignkan kebutuhan konsumsinya sehingga dapat menciptakan
surplus bahan pangan tersebut. Potensi produksi yang relatif besar tersebut perlu
mendapatkan perhatiian sehingga dapat memiliki daya saing yang lebih baik.
Secara lebih lengkap hal ini disajikan dalam tabel berikut ini.
141
142
d. Infrastruktur
yang
memperlancar
transportasi
turut
mempengaruhi
terbentuknya harga yang efisien; transportasi yang baik dan murah akan
menurunkan biaya transaksi.
e. Infrastruktur yang memperlancar transportasi dapat menimbulkan spesialisasi
antar daerah; transportasi murah dengan mudah akan mendorong pembagian
kerja dan spesialisasi secara geografis.
Pengembangan distribusi pangan dilakukan dengan perbaikan sistem
distribusi menjadi lebih efesien dan efektif dan dapat meningkatkan kelancaran
arus barang dan jasa antar wilayah. Perbaikan sistem distribusi juga diharapkan
dapat mendorong tersedianya barang dan jasa dipasar dengan harga yang layak
bagi produsen dan terjangkau oleh daya beli rakyat banyak dengan kata lain dapat
membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat baik sebagai produsen maupun
konsumen akhir, disamping juga dapat ditekan serendah mungkin adanya
perbedaan harga yang disebabkan oleh adanya perbedaan waktu dan daerah
(untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen).
Berdasarkan data dari Dinas Bina Marga Propinsi Jawa Timur status Jalan
Nasional pada Tahun 2000 dengan panjang 1.783,56 Km naik menjadi 1.899,21
Km pada Tahun 2003. Jalan Propinsi tahun 2000 1.948, 25 Km turun menjadi
1.439,18 Km. Jalan Kabupaten 21.887 Km, Jalan Kota 931,44 Km dan Jalan Tol
63,73 Km panjangnya tetap.
Kondisi jalan aspal sepanjang 25,92 Km pada tahun 2000 yang mengalami
peningkatan pada tahun 2001 menjadi 117,37 Km. Jika jalan aspal mengalami
peningkatan maka jalan hotmix pada tahun 2001 justru mengalami penurunan
menjadi 1.321,81 Km padahal pada tahun 2000 sepanjang 1.922,33 Km.
Sedangkan jumlah jembatan yang ada di Jawa Timur pada tahun 2002 mengalami
penurunan sekitar 15% dari tahun 2001 dan berkurangnya jumlah jembatan
tersebut diikuti dengan berkurangnya panjang jembatan dimana pada tahun 2001
adalah 13.109,90 M menjadi 10.546,95 M kemungkinan ini disebabkan oleh
adanya beberapa jembatan yang roboh karena terkena banjir.
143
Sumber : Dinas Binamarga dan Dinas Pengairan Propinsi Jatim, tahun 2004
Selanjutnya, dengan semakin lancarnya pengadaan bahan baku dan
penolong akan menjamin kelangsungan produksi, dan meluasnya pasar dalam
negeri akan mendorong lebih lanjut kegiatan di bidang produksi. Adanya
distribusi yang baik, komoditi yang dikendalikan semakin berkurangnya,
kegoncangan harga yang semakin jarang, kebutuhan yang semakin terjamin, serta
tercapainya kemampuan lembaga yang lebih dinamis.
Sedangkan kondisi akses jalan untuk desa dengan ukuran persentase desa
yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat disajikan dalam gambar sebagai
berikut:
144
145
- Jagung :
5.949,702 ton
Senilai Rp.
8.255.956.881,-
- Kedele :
208,735 ton
Senilai Rp.
603.545.300,-
146
147
148
149
Sumber data : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP
Prop.Jatim,2006)
Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2002 = 2200
Kkal/Kap/Hari
Angka
Kecukupan
Energi
(AKE)
rata-rata
tahun
2005
2000
Kkal/Kap/Hari Ditinjau dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang mengacu pada
standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan tahun 2006, ternyata konsumsi
energi penduduk Jawa Timur tahun 2005 mencapai sebesar 95,0 % yang berarti
tergolong normal karena berada pada kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
90-119%.
Sedangkan konsumsi protein penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 62,30
gr/kap/hr atau meningkat sebesar 2,20 gr/kap/hr atau 3,66 % dari konsumsi
protein tahun sebelumnya sebesar 60,10 gr/kap/hr. Konsumsi protein tersebut
ternyata melampaui 10,30 gr/kap/hr (19,61% ) dari angka kecukupan protein yang
dianjurkan 52 gr/kap/ hr. Konsumsi protein tersebut didukung dengan peningkatan
konsumsi protein penduduk pedesaan yang cukup besar dari konsumsi protein
penduduk pedesaan tahun sebelumnya. Konsumsi protein penduduk perkotaan
dan pedesaan mencapai sebesar 60.70 gr/kap./hr dan 64,5 gr/kap./hr.
150
Tabel 4. Rata-rata Konsumsi Protein Perkapita Perhari dan Skor PPH Jawa Timur
tahun 2002 dan 2005.
Sumber: Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP
Prop.Jatim, 2006)
Keterangan: (.)% dari anjuran WKNPG VII tahun 2002, 50 Gram/Kap/Hari
(.)% dari anjuran WKNPG VIII tahun 2005, 52 Gram/Kap/Hari
Konsumsi protein penduduk perkotaan sebesar 60,7 gram/kap/hr menurun
sebesar 6,7 gram/kap/hr atau 9,95 % dari tahun sebelumnya sebesar 67,4
gram/kap/hr. Sedangkan, konsumsi protein penduduk pedesaan sebesar 64,5
gram/kap/hr meningkat 6,3 gram/kap/hr atau 10,82 % dari tahun sebelumnya
sebesar 58,20 gram/kap/hr. Peningkatan konsumsi protein penduduk pedesaan
dikarenakan adanya peningkatan konsumsi pangan hewani berupa : ikan, daging
ruminansia, telur dan susu. Oleh karena itu, upaya percepatan gerakan
penganekaragaman diarahkan di daerah perkotaan yang difokuskan pada
keanekaragaman konsumsi pangan nabati non beras/tepung terigu beruapa umbiumbian, sayur dan buah, kacang-kacangan, serta konsumsi pangan hewani yang
berigizi dan berimbang.
Tingkat dan kualitas konsumsi pangan semakin baik dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh keragaman konsumsi pangan
penduduk dengan skor PPH 77,8 lebih tinggi dibandingkan dengan Skor PPH
tahun sebelumnya sebesar 71,0. Meskipun kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap kualitas konsumsi pangan semakin meningkat, namun masih terdapat
asupan gizi dari beberapa kelompok bahan makanan berada dibawah rekomendasi
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Hampir semua kelompok pangan
dikonsumsi dalam jumlah yang belum memadai, kecuali kelompok padi-padian.
Sumbangan energi kelompok padi-padian terhadap Angka Kecukupan Gizi
151
(AKG) pada tahun 2005 cukup besar mencapai 57,9 %, sedangkan proporsi
idealnya sebesar 50 %. Sumbangan energi kelompok pangan yang masih jauh dari
proporsi idealnya adalah : kelompok pangan hewani, kelompok sayur dan buah,
serta kelompok umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa pola konsumsi
pangan penduduk Jawa Timur belum memenuhi kaidah kecukupan gizi yang
dianjurkan dan konsep pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.
Tabel 5. Rata-rata Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga
Tahun 2002 dan Tahun 2005
Sumber: Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP
Prop.Jatim, 2006)
Keterangan: *) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2200 Kkal/Kap/Hari
**) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2000 Kkal/Kap/Hari
Konsumsi pangan kelompok padi-padian didominasi oleh beras, dan
ternyata konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 94,35 kg/kap/thn (data
diolah dari Susenas 2005) meningkat sebesar 0,89 kg/kap/thn dibandingkan
dengan konsumsi beras tahun sebelumnya sebesar 93,46 kg/kap/thn (data diolah
dari Susenas 2002). Demikian pula, konsumsi terigu masih cukup tinggi mencapai
sebesar 8,43 kg/kap/thn meningkat sebesar 1,60 kg/kap/thn dibandingkan dengan
konsumsi terigu tahun sebelumnya sebesar 6,83 kg/kap/thn. Peningkatan
konsumsi beras dan terigu nampaknya mempengaruhi konsumsi tepung umbiumbian. Konsumsi umbi-umbian hanya mencapai sebesar 19,52 kg/kap/thn
menurun sebesar 5,70 kg/kap/thn dibandingkan Dewan Ketahanan Pangan Jawa
152
Timur 40 dengan konsumsi tahun sebelumnya sebesar 25,22 kg/kap/thn. Hal ini
merupakan tantangan yang harus menjadi fokus penanganan secara sistematis dan
berkesinambungan dalam upaya percepatan penganekaragaman pangan di Jawa
Timur . Karena selain dari beras, sebenarnya sumber karbohidrat dapat diperoleh
dari berbagai bahan pangan pokok lainnya yaitu serealia selain beras (jagung,
sorghum), umbi-umbian (singkong/ubi kayu, ubi jalar, kentang, bentul, talas, uwi,
garut, ganyong dan sebagainya), buah-buahan (sukun, pisang).
Tabel 6 : Konsumsi Pangan Penduduk Jawa Timur Menurut Kelompok Pangan
153
satu
kelompok
masyarakat
yang
sangat
sensitif
terhadap
masalahketahanan pangan adalah balita. Gizi kurang pada balita dapat dilihat
berdasarkan berat badan dan tinggi badan menurut umur. Situasi kemanan pangan
yang tedeteksi selama dua tahun terakhir menunjukkan masih banyak dijumpai
kejadian atau kasus ketidakamanan pangan. berbagai kasus gangguan kesehatan
154
manusia akibat konsumsi pangan yang tidak aman oleh pencemaran kimia,
biologis yaitu berbagai mikroba termasuk yang membawa penyakit, serta cemaran
fisik telah terjadi di beberapa daerah.
Kasus-kasus pangan hewani yang terkena wabah penyakit antraks, penyakit
flu burung, beredarnya bahan makanan dan minuman olahan tanpa izin beredar
dan melanggar ketentuan batas kadaluarsa, serta penggunaan bahan tambahan
pangan terlarang yang dapat membahayakan kesehatan, atau bahkan dapat
meyebabkan kematian perlu mendapatkan perhatian serius dalam penanganan ke
depan.
3.5. Kemiskinan dan Tingkat Kerawanan Pangan
Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang
dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk
memenuhi standart kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan
masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktuwaktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti
bencana alam maupun bencana sosial (transien).
Kondisi kerawanan pangan dapat disebabkan karena : tidak adanya akses
secara ekonomi bagi individu/ rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup, tidak adanya akses secara fisik bagi individu/ rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang cukup, tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan
produktif individu/ rumah tangga, tidak terpenuhi pangan secara cukup dalam
jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harganya.
Kerawanan pangan dan kelaparan berpeluang besar terjadi pada petani skala
kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya
pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya.
Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein.
155
156
157
158
rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat
berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga.
Hubungan tentang kerawanan pangan dengan tingkat pendapatan relatif
cukup erat baik ditinjau dari kecukup[an energi maupun kualitas pangan. Pada
gambar berikut ditunjukkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang maka
akan menyebabkan rendahnya kecukupan energi maupun skor PPHnya.
159
160
pangan
disamping
meningkatkan
produksi
pangan
juga
harus
161
162
163
164
165
banyak dan berkaitan dengan hak asasi manusia. Potensi Jawa Timur untuk
meningkatkan efisiensi distribusi sangat mungkin dilakukan mengingat akses
wilayah yang mudah, perhatian pemerintah terhadap distribusi pangan, dan juga
skala produksi yang relatif besar di Jawa Timur. Penataan kelembagaan pangan
juga menjadi sangat penting untuk membentuk ketahanan pangan di Jawa Timur.
Termasuk juga upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat, dengan jalan
memberikan fungsi fasilitasi dan layanan informasi untuk akses pasar hasil
produksi pertanian.
4.2.3. Konsumsi
Sumberdaya manusia di Jawa Timur memiliki arti penting dalam
pembangunan ketahanan pangan. Potensi SDM tak terlepas dari fungsinya dalam
pengelolaan sumberdaya sehingga mampu menghasilkan output yang memiliki
nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi dengan tingkat teknologi yang
semakin berkembang. SDM yang berkualitas akan sangat tanggap atau cepat
merespon perubahan-perubahan yang terjadi baik itu berkenaan dengan teknologi
produksi maupun berkaitan dengan perubahan perilaku konsumsi.
Besarnya potensi produksi bahan pangan dan pertanian secara umum
memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya agroindustri yang melakukan
pengolahan dari produk primer hasil pertanian. Beberapa nilai penting dari
agroindustri adalah meningkatkan nilai ekonomi produk pertanian, meningkatkan
dispersi penggunaan produk primer hasil pertanian, meningkatkan elastisitas
produk pertanian, mengurangi fluktuasi harga akibat ekses suplai dan pola
musiman proses produksi pertanian.
Peluang yang lain berkenaan dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan
adalah berkaitan dengan diversifikasi pangan. Berbagai macam jenis bahan
pangan yang dapat dihasilkan dari potensi domestik merupakan kekayaan yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan pangan. Dengan diversifikasi
pangan maka diharapkan akan mengurangi ketergantungan pada produk pangan
tertentu seperti beras. Peningkatan nilai gizi dan performence pangan lokal
166
167
Perhatian pada ketahanan pangan juga tidak dapat dilihat dari aspek makro
atau agregat saja, tetapi harus menggunakan unit analisis yang lebih kecil sampai
tingkat rumah tangga. Keterjaminan pangan sampai tingkat rumah tangga menjadi
sangat penting untuk dipantau dari waktu ke waktu. Sistem pendataan yang tertata
menjadi kunci keberhasilannya. Pembangunan ketahanan pangan disadari tidak
hanya menjadi kewajiban pemerintah tetapi juga masyarakat luas, sehingga
partisipasi masyarakat dalam
upaya pembangunan ketahanan pangan menjadi sangat penting. Pemerntah
sebagai fasilitator dan dinamisator ekonomi wilayah diperlukan dukungannya
dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk kegiatan produksi dan pemasaran
produk pangan dan pertanian pada umumnya, baik dengan paket deregulasi
investasi pertanian maupun penataan kelembagaan pertanian. Partisipasi
masyarakat dalam upaya pembangunan ketahanan pangan dapat berbentuk
mendukung upaya peningkatan kapasitas produksi pangan dan pertanian secara
umum, aseptabilitas yang tinggi terhadap perbaikan teknologi baru, penghargaan
terhadap produk pangan domestik atau lokal, dan berkehendak untuk
meningkatkan wawasan tentang pola pangan yang baik sesuai harapan sehingga
asupan gizi mencukupi untuk tubuh yang sehat dan produktif. Penyediaan
prasarana dan sarana kesehatan menjadi sangat penting pula untuk diperhatikan
dalam upaya menajaga kesehatan masyarakat.
5.1. Arah Kebijakan
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan,
beberapa komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis,
karena dinamika ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi nasionalnya,
sehingga tidak senantiasa dapat mengandalkan pada ketersediaan pangan di pasar
dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-negara menetapkan Sistem
Ketahanan Pangan untuk kepentingan dalam negerinya, termasuk Indonesia.
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Sebagai wilayah potensial pangan yang penting, keberhasilan Ketahanan Pangan
168
di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus pangan telah menjadi tolok ukur
keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh karena itu pemerintah Jawa Timur
berupaya terus memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program
program yang benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan program
ketahanan pangan Jawa Timur maka arah kebijakan ketahanan pangan sebagai
berikut :
1. Pemantapan penanganan kelaparan dan kemiskinan ditujukan untuk
mengurangi
jumlah
penduduk
yang
kelaparan,
kemiskinan
dan
sarana
dan
prasarana
distribusi
pangan
untuk
pedesaan
untuk
kelembagaan
pemasaraan
di
169
(1) menjamin pemenuhan pangan sampai tingkat rumah tangga dalam jumlah
dan kualitas yang memadai sehingga aman dikonsumsi dan bergizi
seimbang,
(2) mengembangkan dan memanfaatkan pangan lokal
(3) mendorong, mengembangkan dan membangun serta memfasilitasi peran
masyarakat dalam pemenuhan pangan,
(4) meningkatkaan pengetahuan masyarakat tentang hidup sehat dan makanan
beragam dan gizi seimbang,
(5) meningkatkan peran kelembagaan dimasyarakat ,
(6) menjaga keamanan pangan bagi konsumen.
5.2. Tujuan pembangunan Ketahanan Pangan
Berdasarkan kenyataan ini maka pembangunan Ketahanan Pangan di Jawa
Timur ditujukan untuk :
1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan
kelaparan
2. Meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan terhadap sumber pangan
karbohidrat dan protein menuju kemandirian pangan
3. Meningkatkan ketersediaan pangan sampai tingkat rumah tangga minimal
2200 kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/kapita/hari
4. Meningkatkan dan memantapkan sistem cadangan pangan yang lebih baik
5. Meningkatkan keanekaragaman dan kualitas konsumsi pangan masyarakat
untuk
mencapai
tingkat
konsumsi
2000
kkal/kapita/hari
dan
54
170
pangan
memperkokoh
melalui
ketahanan
programprogram
pangan
sekaligus
yang
benar-benar
meningkatkan
mampu
kesejahteraan
171
Masyarakat
(Community
Empowerment)
melalui
and
kemampuan
Human
yang
Resource
berkaitan
Development),
dengan
sasaran
melalui
peningkatan
peningkatan
pelayanan
172
173
174
175
penanganan
kemiskinan
melalui
Gerakan
Terpadu
kelembagaan
pedesaan
(Posyandu,
PKK,
dll)
untuk
176
177
cadangan
pangan
hidup
di
masyarakat
melalui
178
179
180
181
industrialisasi
pedesaan
termasuk
di
dalam
mendukung
pengembangan bioenergi
4. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin
5. Revitalisasi kelembagaan pedesaan (Posyandu, PKK, dll) untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan gizi
6. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi anak BALITA gizi buruk dan gizi
kurang
7. Pencadangan pangan untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam
minimal 3 (tiga) bulan
8. Mengurangi tingkat kelaparan dan rawan pangan melalui Program Desa
Mandiri Pangan terutama bagi daerah rawan pangan.
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
ketahanan
pangan
dan
pengawasan
atas
pelaksanaan
195
7.3. Masyarakat
Masyarakat sebagai pelaku utama dalam sistem ketahanan pangan.
Masyarakat (petani-nelayan, pengusaha swasta, LSM, organisasi kemasyarakatan)
terlibat secara langsung pada setiap tahap produksi, pengolahan, distribusi hingga
pada keputusan untuk mengkonsumsi pangan. Dengan demikian, masyarakat
menjadi pemeran utama dalam setiap upaya untuk mewujudkan ketahanan
panagan. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan peran
fasilitasi dan pendukung, yang bekerja sama dengan masyarakat dalam proses
yang partisipatif.
7.4. Koordinasi dan Integrasi Kebijakan
Upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional bertumpu pada
sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan produksi
domestik, serta mengurangi ketergantungan pada pemasukan atau impor pangan.
Impor pangan hanya dilakukan pada keadaan memaksa misalnya pada saat terjadi
kekeringan dan/ atau bencana alam lainnya.
Peran aktif dan koordinasi yang sinergis bagi seluruh sektor dan bidang
dalam pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi,
pemerintah kabupaten/ kota, sampai pemerintah desa beserta masyarakat
merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan ketahanan pangan secara utuh.
Dengan kondisi demikian maka pembangunan ketahanan pangan di Jawa Timur
akan menghasilkan multiplier effect yang tinggi pada pembangunan ekonomi,
pelestarian sumberdaya dan pemeliharaan infrastruktur ekonomi untuk efektif dan
efisiennya sistem ketahanan pangan.
196
Bab 6
KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN
NASIONAL
1. ISU STRATEGIS
Ketahanan pangan diartikan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu
untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat
(FAO/WHO,1992) kemudian dikembangkan dengan memasukan komponen
persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat.
Sementara itu, berdasar Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan,
mengartikan ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemaknaan lain atas
ketahanan pangan yaitu kemampuan untuk memenuhi pangan anggota rumah
tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke
waktu agar hidup sehat, dan atau kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri, dan atau membeli dari waktu
ke waktu agar dapat hidup dan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.
Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap
manusia. Krisis pangan dapat berdampak pada krisis sosial dan politik. Oleh
karena itu secara sungguh-sungguh perlu diupayakan terwujudnya ketahanan
pangan nasional. Diversifikasi pangan berbasis pangan lokal dapat dilakukan
sebagai salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun
demikian upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui
diversifikasi pangan tidaklah mudah mengingat bebagai kendala, antara lain
menyangkut persepsi, dan budaya terhadap beras, serta berbagai faktor
penghambat upaya pemanfaatan umbi-umbian sebagai bahan pangan lokal,
197
198
4.
5.
6.
7.
8.
9.
199
kecil (kurang dari 0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK menyebabkan
aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber permodalan, teknologi, sarana
produksi dan pasar (d) banyak dijumpai kasus terhambatnya distribusi
sarana produks khususnya pupuk bersubsidi, (e) lambatnya penerapan
teknologi akibat kurang insentif ekonomi dan masalah sosial petani
b. Kelestarian sumberdaya lahan dan air. Saat ini tingkat alih fungs
lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, perkantoran, dll) di
Indonesia diperkirakan 106.000 ha/5 th. Kondisi sumber air di Indonesia
cukup memperihatinkan, daerah tangkapan air yakni daerah aliran sungai
(DAS) kondisi lahannya sangat kritis akibat pembukaaan hutan yang tidak
terkendali. Defisit air di Jawa sudah terjadi sejak tahun 1995 dan terus
bertambah hingga tahun 2000 telah mencapai 52,8 milyar m3 per tahun.
Sejak 10 tahun terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman
tanah longsor pada musim hujan bergantian dengan kekeringan hebat pada
musim kemarau. Bila laju degradasi terus berjalan maka tahun 2015
diperkirakan defisit air di Jawa akan mencapai 14,1 miliar m per tahun.
c. Cadangan pangan. Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga
sering terjadi pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata
sepanjang tahun, serta sering timbulnya bencana yang tidak terduga
(banjir, longsor, kekeringan, gempa) memerlukan sistem pencadangan
pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya: (1) sistem cadangan pangan
daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3
(tiga) bulan, (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan
tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) kelembagaan lumbung
pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4)
sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
ataupun lembaga usaha lainnya.
2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
a. Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Masyarakat yang rendah dalam mengakses pangan ada pada golongan
200
masyarakat miskin, yang diperkirakan sekitar 14,7 persen atau sekitar 34,9
juta pada tahun 2008. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68
persen tinggal di pedesaan damana umumnya adala petani.
b. Kelancaran distribusi dan akses pangan. Masalah yang dijumpai
adalah: (1) infrastruktur distribusi, (2) sarana dan prasarana pasca panen,
(3) pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah,
(4) sistem informasi pasar, (5) keterbatasan lembaga pemasaran daerah, (6)
hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) kasus
penimbunan komoditas pangan oleh spekulan, (8) adanya penurunan
akses pangan pangan karena terkena bencana
c. Penjaminan Stabilitas Harga Pangan. Isu stabilitas harga pangan
penting karena : (1) masa panen yan tidak merata sepanjang bulan, sehigga
harga tinggi pada masa panen dan rendah pada waktu musim panen, (b)
harga pangan dunia semakin tidak menentu,dan indonesa sangat rentang
terhadap pengaruh pasar dunia. Disamping itu dengan adanya stabilitas
harga pangan akan menguatkan posisi tawar petani dan menjamin akses
pangan masyarakat.
3. Peningkaan Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi
seimbang berbasis pada pangan lokal
a. Konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 105,2
kg/kap/thn
201
b. Faktor
penyebab
belum
berkembangannya
adalah
(1)
belum
202
203
204
205
ketersediaan
energi
perkapita
minimal
2.200
masyarakat
2. Stabilnya harga komoditas pangan strategis yang ditandai rendahnya
perbedaan harga antara musim panen dan non panen dengan perbedaan
maksimum 10 persen
3. Turunnya jumlah penduduk miskin minimal
206
207
distribusi, (2)
208
pedesaan,
(7)
pengembangan
sistem
tunda
jual,
(8)
produksi, konsumsi,
efisiensi
dan
efektivitas
intervensi
bantuan
209
termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan mineral) yang diprioritas
pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu
hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun
tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya;
2. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan
guna mendorong terbentuknya keluarga dan masyarakat sadar gizi yang
tahu dan berperilaku positif untuk mencegah gangguan kesehatan karena
kelebihan gizi seperti kegemukan dan penyakit degeneratif lainnya
3. Penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa
Wisma dalam promosi dan pemantauan tumbuh kembang anak dan
penapisan serta tindak lanjut (rujukan) masalah gizi buruk;
4. Peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga
terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor
di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian,
industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan daerah
untuk promosi keluarga sadar gizi, pencegahan dan penanggulangan gizi
kurang dan gizi buruk secara dini dan terpadu.
F. Strategi Peningkatan mutu dan keamanan pangan, melalui:
1. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang keamanan pangan di
tingkat rumahtangga, industri rumahtangga dan UKM serta importir,
distributor dan ritel serta pemahaman tentang implikasi hukum
pelanggaran peraturan keamanan pangan yang berlaku;
2. Penguatan pengawasan dan pembinaan keamanan pangan dengan
melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan
210
perberasan
pemerintah
dalam
masih
ekonomi
dilakukan.
perberasan
Campur
tangan
dilakukan
melalui
pemerintah
dan
distribusi
pangan
pokok
kepada
yang meliputi
(1)
maksimum agar
211
212
213
memang
mengalami
penurunan
sejalan
dengan
beras
mereka
dengan
asumsi
konsumsi
beras
214
215
program
JPS
lainnya
seperti
kesehatan
dan
216
217
218
(khususnya
beras)
dengan
membuka
WARUNG
dibeli
oleh
BULOG/DOLOG.
Program
ini
dapat
PADI/WARUNG
TANI/WARUNG
DESA
juga
dapat
219
12.
13.
220
14.
15.
16.
17.
18.
19.
221