Anda di halaman 1dari 221

DRAFT

PROGRAM KETAHANAN PANGAN


DALAM PERSPEKTIF KEKESRAAN
I.

PENDAHULUAN
1. Kebutuhan Pangan
2. Ketahanan Pangan
3. Masalah-masalah Ketahanan Pangan

II. PRODUKSI PANGAN


1. Produksi Pangan Dunia
2. Produksi Pangan Nasional
3. Produksi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat
4. Masalah-masalah Produksi Pangan
III. DISTRIBUSI PANGAN
1. Pola Distribusi Pangan
2. Distribusi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat
3. Masalah-masalah Distribusi
IV. DIVERSIFIKASI PANGAN
V. AKSESIBILITAS PANGAN
1. Faktor-faktor yang Mempengaruri Aksesibilitas Pangan
2. Aksesibilitas Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat
3. Masalah-masalah Aksesibilitas Pangan
VI. PENYELESAIAN MASALAH KETAHANAN PANGAN
1.
VII. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
1.

Bab 1
PENDAHULUAN

1. KEBUTUHAN PANGAN DAN GIZI

Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap
manusia. Oleh sebab itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan
secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia (Sawit, 2000 dalam
Widowati, 2003). Fakta menunjukkan bahwa bencana kelaparan pada suatu
negara dapat merambah ke ranah politik dan dapat menjadi penyebab jatuhnya
suatu rezim pemerintahan. Oleh karena itu upaya penyediaan bahan pangan harus
mendapatkan prioritas utama guna mewujudkan ketahanan pangan.
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7
tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus
dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan
ketersediaan pangan, 2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim
ke musim atau dari tahun ke tahun, 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap
pangan, serta 4) kualitas/keamanan pangan.
Menurut Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan
dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan, yaitu tersedianya
pangan dari hasil produksi dalam negeri atau sumber lainnya.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun pola konsumsi pangan masyarakat


Indonesia berubah cenderung lebih banyak mengkonsumsi beras dan terigu.
Menurut data susenas telah terjadi peningkatan konsumsi terigu sebesar 3
kg/kap/thn dalam kurun waktu satu tahun (20062007). Terjadi perubahan pola
konsumsi ke arah beras dan terigu. Sementara cara pandang masyarakat terhadap
sumber pangan pokok dalam kurun waktu 25 tahun kebelakang seolah-olah
digiring kedalam pandangan yang lebih sempit bahwa sumber pangan pokok
masyarakat hanya beras. Buktinya seluruh pegawai pemerintah memperoleh
pembagian beras sebagai sumber bahan pangan pokoknya, tanpa memandang asal
daerah. Walaupu daerah tersebut memiliki bahan pangan pokok lokal selain beras
(Histifarina, 2008).
Data lain menujukkan bahwa sampai saat ini upaya pemenuhan konsumsi
kalori dan protein bangsa Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian,
sedangkan kelompok

umbi-umbian dan kacang-kacangan masing-masing

kontribusinya masih sangat rendah. Pada tahun 2004 dari konsumsi 1986 kalori,
1024 kalori (51%) dipenuhi dari padi-padian, sedangkan umbi-umbian dan
kacang-kacangan hanya menyumbang 56 dan 64 kalori atau 3,36% dan 3,13%.
Demikian juga teradap konsumsi protein sebagian besar (44%) dipenuhi dari padipadian. Umbi-umbian hanya memberi sumbangan sebesar 0,9% dan 10,10%
(Kasno, Saleh, dan Ginting, 2006). Sampai saat ini upaya pemenuhan kalori bagi
masyarakat Indonesia masih didominasi beras (151,00 kg per kepala per tahun)
(Tabel 1). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan
kedua setelah Bangladesh dalam konsumsi beras.
Tabel 1. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999
(dalam kg per kepala per tahun)
Wilayah

Gandum

Beras

Jagung

Sorgum

Millet

Amerika Tengah dan


Utara

70,90

10,80

40,10

1,20

0,00

Amerika Serikat

86,80

8,60

13,80

1,10

0,00

Amerika Tengah

37,10

9,40

112,10

1,80

0,00

Amerika Selatan

55,50

31,80

21,80

0,00

0,00

Brazil

47,40

39,50

18,00

0,00

0,00

Eropa Barat

97,60

4,80

5,80

0,00

0,00

Rusia

131,70

4,90

0,30

0,00

2,90

Afrika

46,30

17,80

41,40

19,50

12,90

Sekitar sahara

15,90

17,50

38,90

24,90

16,90

Asia

69,90

86,40

13,90

2,80

3,00

Cina

82,60

91,60

19,70

1,10

0,80

India

57,30

75,80

8,80

8,00

9,10

Indonesia

16,30

151,00

34,40

0,00

0,00

Bangladesh

19,00

161,00

0,30

0,00

0,40

Pasifik

66,90

15,20

3,40

0,60

0,00

Rata-rata Dunia

70,80

57,80

19,00

4,30

3,50

Sumber: Champagne (2003)


Bila dilihat dari komposisi gizi, umbi-umbian terutama ubi jalar diketahui
memiliki nilai kalori dan protein yang setara dengan beras (Tabel 2). Bertolak
pada angka kecukupan gizi (AKG), maka sesungguhnya ubi jalar tersebut dapat
digunakan sebagai suplemen beras dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
kalori.
Tabel 2. Komposisi energi, protein, lemak dan karbohidrat dari beragai macam
tepung (dalam 100 g)
No.

Jenis Tepung

Energi
(kkal)

Protein (g)

Lemak
(g)

Karbohidrat
(g)

1.

Beras

364

7,0

0,5

80,0

2.

Singkong

359

2,9

0,7

84,9

3.

Ubijalar putih

355

5,2

2,0

80,6

4.

Ubijalar
merah

363

5,3

2,1

83,3

5.

Ubijalar ungu

337

4,9

1,9

76,4

6.

Tales

186

3,6

0,4

45,0

7.

Kacang hijau

389

23,7

1,3

45,0

8.

Kacang

410

27,5

1,3

73,9

tunggak
9.

Kedelai

40,0

20,0

35,0

Sumber: Marudut dan Sundari (2000) dalam Kasno, Saleh, dan Ginting (2006)
Upaya pemenuhan kebutuhan kalori yang hanya bertumpu pada beras dan
tepung terigu akan berdampak pada tingkat ketahanan pangan masyarakat yang
rentan, sehingga masalah ikutan dari rendahnya ketahanan pangan masyarakat
dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Selain itu juga dapat
menyebabkan negara kita masuk kedalam perangkap pangan atau food trap
negara maju. Food Trap dapat menjadi salah satu faktor yang menggerogoti
devisa negara dan membawa bangsa ini menjadi pengimpor pangan terbesar di
dunia. Sebagai ilustrasi, semenjak Amerika Serikat memberikan bantuan gandum
dalam jumlah besar, dan diikuti dengan dibangunnya pabrik gandum terbesar
sedunia di Indonesia, kita menjadi bangsa yang terjajah oleh gandum. Mie dan roti
pun seakan tak lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Padahal gandum sebagai
bahan dasar tepung terigu hingga saat ini belum bisa dibudidayakan secara
komersial di Indonesia.
Negara Indonesia dengan wilayah yang sangat luas diketahui memiliki
ketersediaan bahan pangan yang beragam, dari satu wilayah ke wilayah lainnya,
baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin maupun mineral.
Iklim tropis di Indonesia menjadikan wilayah Indonesia sangat kaya akan sumber
bahan pangan pokok selain beras. Misalnya, potensi umbi-umbian dan serealia
yang beragam sebagai sumber karbohidrat dapat tumbuh dengan subur dan
beragam jenisnya seperti; ubi jalar, ubi kayu, gembili, garut, ganyong dan lainlain. Apabila ditinjau dari segi nutrisi, tanaman umbi-umbian mempunyai nilai
nutrisi yang rendah dibandingkan dengan beras maupun kacang-kacangan,
terutama kandungan protein dan lemak, namun cukup tinggi pada kandungan
karbohidratnya. Oleh karena itu upaya pemenuhan kebutuhan pangan bagi
penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkungan yang majemuk dan memiliki
anekaragam

kebudayaan

dan potensi

sumber

pangan spesifik,

strategi

pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya pangan wilayah.

Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan salah satu


jalan keluar yang cukup rasional untuk memecahkan masalah pemenuhan
kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat). Menurut Widowati (2003),
melalui penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan,
memungkinkan

masyarakat

dapat

menetapkan

pangan

pilihan

sendiri,

membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada


peningkatan ketahanan pangan nasional.
Menurut Kasno, Saleh, dan Ginting (2006) salah satu indikator tingkat
kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi yang lazim disajikan dalam
kalori dan protein. Berdasarkan Hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke
IV (tahun 1998) ditetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan
protein/kapita/hari masing-masing adalah 2050 kalori dan 44 g protein (BPS
1999). Pada tahun 2004, rata-rata nasional konsumsi kalori dan protein per kapita
per hari adalah 1.986 kalori dan 54,65 g protein (BPS 2004). Hal tersebut berarti
bahwa kebutuhan kalori masih berada di bawah batas kecukupan, sedangkan
proteinnya sudah di atas standar. Apabila kecukupan gizi tahun 2004 tersebut
dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum terjadi krisis ekonomi), maka terlihat
bahwa rata-rata konsumsi kalori tahun 2004 masih di bawah tahun 1996. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi kalori dan protein, hingga tahun
2004 krisis tersebut belum pulih sepenuhnya.
Menurut Budianto (2000) krisis moneter dan ekonomi yang melanda
Indonesia sejak 1997 mengakibatkan makin rapuhnya ketahanan pangan, karena
aksesibilitas pangan yang makin merosot. Hal ini disebabkan karena makin
meningkatnya jumlah pengangguran, penduduk miskin bertambah, pendapatan riil
masyarakat menurun dan terjadi peningkatan harga pangan di pasar.
Pembangunan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
produktivitas sumberdaya manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan nasional secara keseluruhan. Pemenuhan kebutuhan pangan harus
dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena
itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata
buat kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia (Sawit 2000). Pengkajian dan

penggalian peran bahan. Penurunan ketahanan pangan di Indonesia juga


diakibatkan oleh menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan beras dalam
negeri karena berbagai hal. Jumlah penduduk yang kini mencapai 219,20 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan 1,34% per tahun (BPS 2004) dan tingkat konsumsi
beras per kapita sebesar 151,0 kg merupakan tantangan yang tidak ringan.
Sementara produksi padi dihadapkan pada masalah penciutan lahan, penurunan
kualitas lahan, terjadi levelling-off dari peningkatan produktivitas dan berbagai
masalah lain (Budianto 2000).
Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, penganekaragaman/
diversifikasi pangan merupakan alternatif yang paling rasional untuk memecahkan
permasalahan kebutuhan pangan (khususnya karbohidrat). Penataan pola makan
yang tidak tergantung pada satu sumber pangan (padi), memungkinkan
tumbuhnya ketahanan pangan pada masing-masing keluarga yang pada akhirnya
dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Umbi-umbian merupakan tanaman tradisional yang sudah dikenal
masyarakat sejak lama sebagai sumber pangan (karbohidrat) yang dapat
diandalkan sebagai komplemen dan suplemen kebutuhan akan beras. Akibat krisis
ekonomi sejak 1997 telah mengubah pola makan penduduk yang diindikasikan
dengan meningkatnya konsumsi ubi kayu dari 28,16 kalori/kapita/hari pada tahun
1996 menjadi 34,96 kalori/kapita/hari pada tahun 1999 (BPS 1999).

2. KETAHANAN PANGAN

Pentingnya penciptaan ketahanan pangan sebagai wahana penguatan


stabilitas ekonomi dan politik, jaminan ketersediaan pangan dengan harga yang
terjangkau dan menjanjikan untuk mendorong peningkatan produksi. Pemenuhan
pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan

terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam


pembangunan ekonomi. Permintaan pangan yang meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk, mendorong percepatan produksi pangan dalam rangka
terwujudnya stabilisasi harga dan ketersediaan pangan, sehingga ketahanan
pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilisasi
penyediaan pangan serta daya dukung sektor pertanian.
Namun kepadatan penduduk yang diperkuat dengan penyusutan areal
tanam, khususnya penurunan luas lahan pertanian produktif akibat konversi lahan
untuk kepentingan sektor non-pertanian, serta kecilnya margin usaha tani yang
berkonsekuensi pada rendahnya motivasi petani untuk meningkatkan produksi,
serta adanya kendala dalam distribusi pangan sebagai akibat keterbatasan
jangkauan jaringan sistem transportasi, ketidaktersediaan produk pangan sebagai
akibat lemahnya teknologi pengawetan pangan, diperkuat lagi dengan kakunya
(rigid) pola konsumsi pangan sehingga menghambat upaya pencapaian
kemandirian/ketahanan

pangan.

Kondisi

yang

demikian

tersebut

makin

memperpanjang fenomena kemiskinan dan ketahanan pangan yang dihadapi.


Berdasarkan peta orang lapar yang dibuat oleh Food and Agricultural
Organization (FAO), hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah rawan
pangan atau miskin. Sementara itu, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang
Pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Dalam UU ini, ketahanan pangan ditujukan kepada kebutuhan rumah
tangga, karena asumsi bahwa rumah tangga adalah bentuk kesatuan masyarakat
terkecil di Indonesia. Bandingkan definisi ini dengan pengertian food security
(ketahanan pangan) yang tertera dalam Rome Declaration and World Food
Summit Plan of Action, yaitu: food security exists when all people, at all times,
have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for
an active and healthy life.

Dengan demikian, ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu


sistem ketahanan pangan yang terdiri tiga subsistem, yaitu: (1)
ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk
seluruh masyarakat, (2) distribusi pangan yang lancar dan
merata, dan (3) keterjangkauan pangan setiap individu yang
memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Permasalahan
dalam mencapai ketahanan pangan adalah ketidakseimbangan
antara ketersediaan dengan keterjangkauan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan
salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indoensia.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan
masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan
yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya
kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara
merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap
makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya
proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih
ketergantungan terhadap import pangan.
Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir duapertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak
2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan
kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga
dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas
garis kemiskinan.
Ditinjau

dari

ketersediaan

dan

keterjangkauan

secara

agregat penduduk Indonesia tampak tergolong tahan pangan,


namun masih ditemukan rumah tangga rawan pangan di semua
propinsi dengan proporsi yang relatif tinggi. Rumah tangga rawan
pangan didefinisikan sebagai rumah tangga dengan konsumsi

energi (ekivalen orang dewasa) 80% dari angka kecukupan


energi dan dengan pangsa pengeluaran pangan > 60% dari total
pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS yang
tertuang dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2006, jumlah
penduduk rawan pangan terendah ada di propinsi Bali yaitu
sebesar 4,8 persen, dan tertinggi di DIY yaitu mencapai 20,0
persen (Tabel 5). Proporsi penduduk rawan pangan di semua
provinsi masih di atas 10 persen, kecuali di provinsi Sumbar, Bali
dan NTB. Bahkan di semua propinsi yang merupakan sentra
produksi pangan seperti propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan proporsi
penduduk rawan pangannya cukup tinggi.
Pola konsumsi yang relatif sama antar individu, antar waktu,
dan antar daerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan
lokasi-lokasi defisit pangan. Mekanisme pasar dan distribusi
pangan antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan
stok

akan

berpengaruh

pada

keseimbangan

antara

ketersediaan dan keterjangkauan, serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor
keseimbangan yang terefleksi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan
tersedia di pasar, namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli
rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang
tersedia.

Dalam rangka melihat kemandirian pangan di Jawa Timur, maka


dilakukan peramalan sampai tahun 2030. Asumsi yang digunakan disajikan dalam
Tabel sebagai berikut:
Tabel 7
Asumsi Dalam Peramalan Neraca Pangan Jawa Timur
Komoditi
Padi

Produksi
Luas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun
akibat adanya konversi lahan ke non pertanian.
Produktifitas padi 5,34 ton/ha, konservasi padi ke

Konsumsi
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi beras 109,22 kg/kapita/tahun

beras 0,62418
Luas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun.
Produktifitas 3,645 ton/ha

Jagung
Kedele

Luas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun.


Produktifitas 1,3 ton/ha

Ubikayu

Luas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun.


Produktifitas 15,9 ton/ha

Daging

Produksi daging total naik dengan laju 5,296


%/tahun

Telur

Produksi telur naik dengan laju 5,296 %/tahun

Susu

Produksi susu naik dengan laju 5, 748 %

Ikan

Produksi ikan naik dengan laju 2, 589 %

Jumlah penduduk meningkat dengan laju


0,83367 % pertahun
Konsumsi 6.44 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 10,93 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 19,52 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 2,4 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 5,42 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 1,52 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 12,24 kg/kapita/tahun

Berdasarkan kondisi di atas beberapa skenario ke depan dilakukan dalam


upaya mewujudkan kemandirian pangan Jawa Timur. Secara rinci tingkat
kemandirian pangan Jawa Timur diuraikan sebagai berikut:
1. Beras
Jawa Timur merupakan propinsi penyangga beras nasional. Sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk

akan meningkatkan konsumsi beras, di

sisi lain akan terjadi konversi lahan sehingga menyebabkan ketersediaan beras
akan semakin berkurang. Hasil peramalan di Jawa Timur disajikan dalam gambar
berikut.
Gambar 4
Ramalan Kemandirian Beras di Jawa Timur

Gambar di atas menunjukkan bahwa produksi beras Jawa Timur terus


menurun sejalan dengan penurunan luas tanam, sementara konsumsi beras
terus meningkat. Jawa Timur diramalkan akan mengalami devisit beras pada
tahun 2028 jika tidak ada intervensi pemerintah. Usaha- usaha yang dapat
ditempuh untuk mengatasi keadaan demikian adalah: 1) Menekan laju konversi
lahan khususnya untuk areal pertanam,an padi; 2) Meningkatkan produktifitas
padi; 3)Melakukan diversifikasi pangan untuk menekan konsumsi beras yang
saat ini relatif cukup tinggi
2. Jagung
Jawa Timur termasuk pemasuk jagung pada daerah lain cukup besar.
Estimasi neraca pangan jagung di masa datang sebagaimana disajikan dalam
gambar berikut.
Gambar 5
Ramalan Kemandirian Jagung di Jawa Timur

Ramalan

kemandirian Jagung di Jawa Timur relatif cukup mantap.

gambar di atas menunjukkan bahwa produksi jagung Jawa Timur relatif stabil,
begitu juga dengan konsumsinya. Produksi jagung jauh lebih besar dari
konsumsinya sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus jagung. Oleh
karena itu usaha-usaha pengendalian harga serta usaha mencari pasar baru patut
dilakukan agar petani jagung dapat memanfaatkan dari hasil surplus jagung
yang terjadi.
3. Kedelai

Berbeda dengan jagung, ramalan kemandirian tentang kedele di Jawa


Timur justru akan terjadi defisit yang semakin meningkat. Gambar di bawah
menunjukkan bahwa produksi kedele Jawa Timur relatif terjadi penurunan,
sebaliknya konsumsinya terus mangalami peningkatan. Usaha-usaha yang dapat
ditempuh untuk mengatasi keadaan demikian adalah: (a) meningkatkan luas areal
tanam dan (b) meningkatkan produktifitas.
Gambar 6
Ramalan Kemandirian Kedele di Jawa Timur

4. Daging
Ramalan tentang neraca pangan untuk mengukur kemandirian daging di
Jawa Timur disajikan dalam gambar berikut. Jawa Timur tampaknya di masa
datang akan surplus daging. Hal ini terjadi karena konsumsi daging per kapita di
Jawa Timur sangat rendah. Yakni sebesar 2.4 kg/kapita/tahun.
Gambar 7
Ramalan Kemandirian Daging di Jawa Timur

Sebagai gambaran pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk


Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia (36,7 kg), Thailand
(13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg)
(International Poultry, 2003). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya
10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia 100 gram/kapita/hari. Oleh karena itu
usaha-usaha perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi daging
harus dilakukan.
5. Telur
Ramalan yang ada ini pada kondisi normal, dimana tidak terjadi
permasalahan yang berkaitan dengan adanya kasus flu burung ataupun kasus lain
yang mengakibatkan terjadinya penurunan produksi. Kemandirian telur di Jawa
Timur dapat ditunjukkan bahwa produksi telur jauh lebih besar dari konsumsinya
sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus telur.
Gambar 8
Ramalan Kemandirian Telur di Jawa Timur

Konsumsi telur per kapita di Jawa Timur sangat rendah yakni hanya
sebesar 5, 42 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan
Filipina 6,2 kg. Mengingat telur merupakan salah satu sumber protein dan lemah
yang cukup tinggi, maka usaha-usaha
dilakukan.

meningkatkan konsumsi telur patut

Bab 2
PRODUKSI PANGAN

1. PRODUKSI PANGAN DUNIA

Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan


pangan perlu diperbincangkan. Pertama, bahwa pangan adalah hak azasi manusia
yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut:
1. Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan
bahwa everyone should have an adequate standard of living, including
adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to
freedom from hunger and malnutrition.
2. Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996
yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186
negara

peserta,

dimana

Indonesia

menjadi

salah

satu

di

antara

penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to


adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan
perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.
3. Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap
negara teramsuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan
kelaparan separuhnya.
4. Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak
Atas Pangan.
Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi.
Masalah

gizi

tersebut

berakar

pada

masalah

ketersediaan,

distribusi,

keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku


masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan

berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai
wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Penanganan
ketahanan pangan dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan
sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun
panjang.
Ketiga, perubahan kondisi global yang menuntut kemandirian. Perubahan
dimaksud tercermin dari: harga pangan internasional yang mengalami lonjakan
drastis dan tidak menentu, adanya kecenderungan negara-negara yang bersikap
egois; mementingkan kebutuhannya sendiri, adanya kompetisi penggunaan
komoditas pertanian (pangan vs pakan vs energi), terjadinya resesi ekonomi
global, dan adanya serbuan pangan asing (westernisasi diet). Perubahan kondisi
global tersebut sangat berpotensi menjadi penyebab gizi lebih dan meningkatkan
ketergantungan pada impor.
Memperbincangkan masalah pangan tidak dapat dipisahkan dari masalah
harga pangan sebagai salah satu aspek yang mencerminkan ketersediaan atau
produksi pangan sekaligus permintaan atau konsumsi pangan. Perkembangan
harga beberapa komoditas pangan dunia, yaitu: jagung, gandum dan beras, mulai
bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Juli 2008 ditunjukkan melalui gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan Harga Pangan Dunia


(As of September 2008)
Source: Data from FAO 2008 and IMF 2008.

Berdasarkan gambar 1, tingkat harga pangan yang terdiri dari: jagung,


gandum dan beras memiliki kecenderungan yang semakin meningkat.
Peningkatan harga pangan tersebut cukup drastis pada bulan Juli 2008. Di antara
harga bahan pangan, harga beras umumnya lebih tinggi (lebih mahal)
dibandingkan dua bahan pangan lainnya. Bahkan kenaikan harga beras pada bulan
Juli 2008 melebihi kenaikan harga minyak. Hal ini mengindikasikan adanya
ketergantungan dunia terhadap beras yang semakin besar: peningkatan konsumsi
beras yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketersediaannya.
Peningkatan

harga

bahan

pangan

tidak

hanya

mengindikasikan

ketergantungan terhadap beras yang semakin besar tetapi lebih lanjut juga
mencerminkan kenaikan tingkat konsumsi pangan yang melebihi ketersediaannya.
Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan
pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin
menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui gambar 2.

Gambar 2. Stok Pangan Dunia Menurun


Source: United Nations World Food Programme,2008

Gambar 2 menunjukkan bahwa rasio stok terhadap konsumsi pangan dunia


mendekati 15% pada tahun 2008/2009 dari di atas 35% pada tahun 1986/1987.
Pada periode tersebut, cadangan pangan dunia semakin menurun atau (dengan
kata lain) jumlah penduduk dunia yang dijamin pangannya semakin sedikit.
Penurunan rasio tersebut disebabkan tidak adanya kenaikan dalam produksi
pangan sementara jumlah penduduk dunia selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Jumlah produksi pangan dunia yang terdiri dari: gandum, beras dan butiran
lainnya sejak 1999 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 3.

Gambar 3. Produksi Pangan Dunia Tidak Meningkat


Source: Data from FAO 2003, 2005-07.
Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah produksi gandum, beras dan butiran
lainnya hampir tidak meningkat sepanjang 1999 sampai dengan 2007. Pada
periode tersebut, produksi beras tidak meningkat dan produksi gandum meningkat
hanya sedikit. Komoditas yang mengalami peningkatan dalam jumlah produksi
adalah butiran lainnya. Hal ini berarti bahwa cadangan pangan dunia lebih banyak
disokong dari produksi butiran dibandingkan dengan gandum dan beras. Lebih
lanjut, penduduk dunia yang dijamin oleh cadangan pangan (dalam jumlah kecil)
adalah mereka yang bergantung pada butiran sebagai makanan pokok. Sedangkan

mereka yang bergantung pada gandum dan beras sebagai makanan pokok tidak
dijamin oleh cadangan. Cadangan atau stok pangan dunia diperkirakan berupa
komodidas selain gandum dan beras.
Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di
beberapa kawasan. Negara-negara yang berisiko mengalami krisis pangan
ditunjukkan dalam gambar 4 sebagaimana yang telah disinyalir oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa pada tahun 2008.

Gambar 4. Negara Berisiko Terkena Krisis Pangan Dunia


Source: United Nations World Food Programme,2008.
Negara-negara yang berisiko tinggi mengalami krisis pangan sebagian besar
berada kawasan di Asia Selatan dan beberapa negara di Asia Timur serta satu
negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Kawasan tersebut juga menjadi
tempat negara-negara berisiko sedang mengalami krisis pangan. Selain itu,
kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) juga berisiko mengalami krisis
pangan sedang.
Secara lebih jelas, ketersediaan atau produksi pangan dan permintaan atau
konsumsi pangan, dapat disampaikan bahwa kondisi pangan dunia diperkirakan

akan mengalami ketidak seimbangan pada waktu-waktu mendatang. Ketidak


seimbangan tersebut dikarenakan jumlah permintaan akan pangan yang melebihi
jumlah produksinya. Perkiraan neraca pangan dunia tahun 2025 ditunjukkan
dalam tabel 1.
Tabel 1. Perkiraan Neraca Pangan Dunia 2025
Region

Population
2025

Consumption/
Production
Capita
Demand 2025 2025 Balance 2025

South Asia

2021

237

549.7

524.6

-25.1

East and
Southeast Asia

2387

338

1040.9

914.0

-126.9

Latin America

690

265

217.9

171.2

-46.7

Europe

799

634

506.5

619.4

112.9

North America

410

780

319.5

558.2

238.7

World

8039

363

3046.5

2977.7

-68.8

Source: www.worldbank.org
Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi
ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau
konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus
pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan
terjadinya aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika
Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia
tenggara, serta Amerika Latin. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan
beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta
menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.
Beberapa kebijakan yang ditempuh beberapa negara terkait dengan
perlindungan terhadap produksi dalam negeri dan jaminan ketersediaan pangan,
antara lain: restriksi perdagangan, liberalisasi perdagangan, subsidi konsumen,
perlindungan sosial dan kebijakan peningkatan produksi atau penawaran.

Berbagai kebijakan perlindungan pangan yang ditempuh beberapa negara adalah


sebagaimana yang ditunjukkan tabel 2.
Tabel 2. Kebijakan Perlindungan Pangan yang Ditempuh Beberapa Negara
Region

Trade
Trade Consumer Social
Increase
Restriction Liberaliz Subsidy Protection Supply

Asia
Bangladesh

China

India

Indonesia

Malaysia

Thailand

X
X

Latin America
Argentina

Brazil

Mexico

Peru

Venezuela

Africa
Egypt

Ethiopia

Ghana

Kenya
Nigeria

X
X

Tanzania
X
X
Source: IMF, FAO, and news reports, 2007-08.

Tabel 2 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi konsumen dan peningkatan


produksi merupakan kebijakan yang paling populer dilaksanakan. Nampaknya,
harga jual pangan yang cukup tinggi diharapkan menjadi daya tarik bari petani
untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang lebih banyak. Pada sisi lain,
subsidi konsumen ditujukan untuk mengurangi beban konsumen karena harga

pangan yang tinggi. Dua kebijakan yang dilaksanakan secara serentak tersebut,
didukung dengan kebijakan restriksi perdagangan dan perlindungan sosial
diperkirakan dapat memacu pertumbuhan produksi pangan di dalam negeri lebih
tinggi. Namun demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan yang diupayakan
oleh negara-negara yang memiliki proses produksi pangan efisien dapat menjadi
kemandirian pangan di negara-negara dengan proses produksi tidak efisien.
Efisiensi berarti harga jual produk lebih rendah yang menyebabkan petani-petani
dengan proses produksi tidak efisien enggan berproduksi karena outputnya tidak
laku di pasar (internasional).

2. PRODUKSI PANGAN NASIONAL

Menurut Tim Penelitian Ketahanan Pangan dan Kemiskinan dalam Konteks


Demografi, Puslit Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan
kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga
dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan
pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk
Propinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga
dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di
daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan
makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan
keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah
tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka
waktu

tertentu

adalah

dengan

mengurangi

frekuensi

makan

atau

mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu).


Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator
kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan
penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan
pokok cukup pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas
rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini
semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan
pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari,
kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan
makanan pokok hingga panen berikutnya.
Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan
frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang
makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan

pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat


pada tabel berikut:
Tabel 1 : Penetapan Indikator Stabilitas Ketersediaan Pangan
di Tingkat Rumah Tangga
(dengan contoh Kabupaten di Provinsi Lampung dan NTT)
Kecukupan
Frekuensi makan anggota rumah tangga
ketersediaan pangan
> 3 kali
2 kali
1 kali
> 240 hari

Stabil

Kurang stabil

Tidak stabil

Kurang stabil

Tidak stabil

Tidak stabil

Tidak stabil

Tidak stabil

Tidak stabil

> 360 hari


1 239 hari
1 364 hari
Tidak ada persediaan

Ketersediaan pangan di Indonesia tidak terpisahkan dari keberadaan lahan


pertanian yang dipergunakan untuk bercocok tanam. Khusus beras, proses
produksinya dilakukan di sawah sehingga jumlah produksi beras sangat
dipengaruhi oleh luas areal sawah yang meliputi sawah irigasi dan sawah non
irigasi. Secara keseluruhan, yaitu 8,9 juta Ha luas sawah di Indonesia, sebagian
besar, yaitu 7,3 juta Ha atau 82,16% luas areal sawah merupakan sawah irigasi.
Sebagian kecil, yaitu 1,6 juta Ha atau 17,84% sisanya berupa sawah non irigasi.
Penyebaran luas sawah di Indonesia ditunjukkan dalam gambar 1.

Gambar 1. Penyebaran Luas Sawah di Indonesia


Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 1, luas sawah di Indonesia terkonsentrasi di pulau
Jawa. Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan DKI
Jakarta. Pulau Jawa memiliki luas sawah 3,6 juta Ha atau 40,5% dari luas sawah
Indonesia. Sebagian besar, yaitu 3,1 juta Ha atau 85,6% dari luas sawah di pulau
Jawa tersebut berupa sawah irigasi dan sebagian kecil, yaitu 0,5 juta Ha atau
14,4% sisanya berupa sawah non irigasi.
Pulau dengan luas sawah terkecil adalah kepulauan Maluku yang terdiri
dari propinsi Maluku dan Maluku Utara. Kepulauan tersebut hanya memiliki luas
sawah 0,2 juta Ha atau 2,2% dari luas sawah Indonesia yang keseluruhannya
berupa sawah irigasi. Sempitnya luas sawah ini berpeluang menyebabkan
kepulauan Maluku menjadi tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan akan beras.
Dengan kata lain, kepulauan Maluku menjadi pasar bagi produsen beras nasional.
Luas sawah yang sebagian besar berada di pulau Jawa sebagaimana
diutarakan di atas menunjukkan penyebaran luas sawah yang tidak merata atau

terkonsentrasi di satu pulau, yaitu pulau Jawa. Hal ini berpengaruh terhadap
penyediaan beras nasional dimana pulau Jawa merupakan penghasil beras terbesar
dan menjadi supplier beras untuk daerah-daerah lainnya, misalnya kepulauan
Maluku. Penyediaan beras dari daerah surplus ke daerah minus dimaksud
menunjukkan arah arus distribusi beras. Arus distribusi beras dari daerah surplus
atau sentra produksi ke daerah minus atau defisit ditunjukkan dalam gambar 2.

Gambar 2. Arus Distribusi Beras dari Sentra Produksi ke Daerah Defisit


Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahan makanan pokok hampir seluruh
penduduk Indonesia sekarang adalah beras atau padi. Penduduk Indonesia pada
kenyataannya sekarang sudah sangat bergantung pada beras. Sebagian besar
penduduk Indonesia telah mengganti makanan pokoknya menjadi beras atau padi.
Masyarakat yang makanan pokoknya dahulu berasal dari bahan jagung, gaplek,
sagu, dan lain-lain, sekarang beralih kepada bahan padi.
Berkaitan dengan ketahanan pangan, dimana diversifikasi menjadi alternatif
untuk mengatasi masalah kelangkaan dan ketergantungan yang kuat terhadap
bahan pangan beras, maka dianggap perlu untuk diketahui perkembangan
produksi bahan pangan tersebut beserta bahan pangan pengganti (substitusi),
yaitu: jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Informasi perkembangan produksi
bahan-bahan pangan tersebut memungkinkan untuk mengetahui kondisi pangan
pokok masyarakat beserta arah diversifikasi yang semestinya dilakukan.

Dengan menggunakan fungsi produksi trend kwadratik dan data sejak tahun
1970 sampai dengan 2007, dapat diketahui perkembangan (trend) produksi padi,
jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Trend dimaksud berguna untuk membuat
perkiraan produksi di waktu mendatang. Perkembangan produksi masing-masing
bahan pangan tersebut ditunjukkan dalam gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan bahwa trend produksi bahan pangan padi dan
jagung meningkat sejak tahun 1970 hingga 2007 dimana peningkatan produksi
padi lebih tinggi dibanding peningkatan produksi jagung. Sedangkan bahan
pangan ketela pohon dan ubi jalar memiliki trend menurun pada jangka waktu
yang sama. Hal ini menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap bahan
pangan padi (beras) semakin besar dan ketergantungan terhadap bahan pangan
lainnya semakin kecil. Masyarakat mengalami kesulitan untuk kembali ke
makanan pokok jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Tiga bahan pangan yang
disebut terakhir ini biasanya hanya dimanfaatkan sebagai makanan ringan, bukan
makanan pokok. Khusus untuk jagung, produksi yang meningkat lebih disebabkan
pemanfaatannya untuk bahan makanan ternak.

Gambar 3. Perkembangan Produksi Padi, Jagung, Ketela Pohon dan Ubi Jalar
Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Tanpa adanya perubahan faktor-faktor lain (cateris paribus) terutama


kebijakan pemerintah di bidang produksi dan konsumsi pangan, jumlah produksi
padi akan selalu melibihi jumlah produksi jagung serta produksi ketela pohon dan
ubi jalar lama-kelamaan akan menipis (habis). Dalam situasi seperti ini,
diversifikasi

pangan

tidak

dapat

terjadi

dengan

sendirinya

melainkan

membutuhkan berbagai langkah kongkrit di bidang produksi, konsumsi dan


distribusi bahan-bahan pangan dimaksud.
Ketersediaan pangan nasional, jika ditinjau dari kuantitas
produksi menunjukkan angka yang cenderung meningkat, baik
karena kemajuan teknologi maupun bertambahnya luas panen.
Deptan (2007) melaporkan produksi padi tahun 2005 mencapai
54,151 juta ton (setara 30,669 juta ton beras), jagung 12,523
juta ton, gula 1,735 juta ton, minyak goreng 5,437 juta ton,
sementara produksi daging, telur, dan susu masing-masing 1,817
juta ton, 1,052 juta ton, dan 0,536 juta ton. Namun, produksi
berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di semua wilayah
dan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan.
Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu
(utamanya

Jawa)

mengakibatkan

dan

konsentrasi

pada

waktu-waktu

ketersediaan

di

tertentu,

sentra-sentra

produksi dan pada masa-masa panen (Tabel 1). Keterjangkauan


tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh
rumah

tangga.

Data

konsumsi

pangan

secara

riil

dapat

menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses


pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam
rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan secara
implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli
masyarakat terhadap pangan. Tingkat kecukupan pangan antara
lain dapat diindikasikan dari pemenuhan kebutuhan energi dan
protein. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun
2004 menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk

Indonesia masing-masing sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52


g/kap/hari. Secara agregat, konsumsi energi dan protein tahun
2005 sudah lebih tinggi dari yang dianjurkan, yaitu masingmasing mencapai 2.150 kkal/kap/hari dan 60,84 g/kap/hari (Tabel
2).

Jika

dilihat

dari

kualitas

konsumsi

pangan

dengan

menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi padipadian aktual sudah lebih dari anjuran dan masih cenderung
meningkat, sedangkan konsumsi kelompok pangan lain masih di
bawah tingkat anjuran terutama umbi-umbian, pangan hewani,
serta sayur dan buah (Tabel 3). Jika ditinjau dari struktur
pengeluaran pangan, proporsi pengeluaran beras terhadap total
pengeluaran pangan masih sangat dominan, terutama bagi
rumah tangga rawan pangan (Tabel 4).
Khusus Indonesia, produksi bahan pangan yang terdiri dari: padi, jagung dan
ubi kayu meningkat selama 2003 sampai dengan 2008. Pertumbuhan rata-rata
komoditas tersebut masing-masing 0,47%; 1,12% dan 0,39% per tahun selama
periode tersebut. Akan tetapi, untuk bahan pangan ubi jalar mengalami penurunan
selama periode yang sama. Perkembangan produksi pangan tersebut beserta
produksi bahan nabati lainnya ditunjukkan dalam gambar 5.

Gambar 5. Produksi Pangan Nabati Indonesia


Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Produksi ubi jalar mengalami penurunan (pertumbuhan negatif) rata-rata
0,14% per tahun selama 2003 sampai dengan 2008. Berbeda dengan ubi jalar,
produk pangan nabati lainnya, yaitu: kedelai, kacang tanah, sayur, buah-buahan,
minyak sawit dan gula putih mengalami peningkatan dengan pertumbuhan ratarata 0,44% sampai 3,78% per tahun dalam periode tersebut. Begitu juga produk
pangan hewani, yaitu: daging sapi dan kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan,
produksinya meningkat antara 0,68% sampai 4,04% per tahun sepanjang 2003
sampai dengan 2008.

Gambar 6. Produksi Pangan Hewani Indonesia


Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan produksi nabati dan hewani sebagaimana diutarakan di atas,
Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang semakin banyak dari tahun ke
tahun. Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(http://demografi.bps.go.id) laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata

1,49% per tahun selama 1990 sampai dengan 2000 dan rata-rata 1,31% per tahun
selama 2000 sampai dengan 2005. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005
sebesar 218.868.791 Jiwa dan diperkirakan menjadi 227.516.121 Jiwa pada tahun
2008. Dengan jumlah produksi padi 54.151.000 Ton di tahun 2005, maka rasio
antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk pada tahun 2005 adalah
247,4 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Pada tahun 2008, dengan jumlah
produksi padi sebesar 59.877.000 Ton maka rasio tersebut menjadi 263,2
Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Perhitungan ini menjukkan bahwa
sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia sampai dengan 2008 masih memadai.
Namun demikian, oleh karena semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan-lahan lain (perumahan, bisnis, dan lain-lain) menyebabkan rasio
tersebut menjadi terganggu.
Terganggunya rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk
sebagaimana diutarakan di atas menyebabkan, pada tahun-tahun terakhir,
Indonesia tergantung pada impor. Bahan pangan yang di impor Indonesia, yaitu:
beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur, buah-buahan,
minyak goreng, gula, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur, susu dan
ikan, selama tahun 2003 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 7.

Gambar 7. Ketergantungan Impor Pangan di Indonesia

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 7, impor kedelai merupakan bagian terbesar dari
ketersediaan kedelai di dalam negeri. Pada tahun 2007, sebesar 70,6% kebutuhan
kedelai dipenuhi dari impor, sebagian kecil sisanya, yaitu: 29,4% berasal dari
produksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang
sangat besar terhadap impor kedelai. Selain kedelai, susu juga merupakan produk
yang banyak dipenuhi dari pasar internasional. Impor susu pada tahun 2007
merupakan 66,7% dari kebutuhan susu. Persentase ini menurun dibandingkan
dengan yang terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 93,89%.
Komoditas ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan, minyak goreng, daging ayam
dan telur, seluruhnya atau hampir seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Untuk bahan makanan pokok masyarakat, yaitu: beras dan jagung, besarnya
persentase impor masih relatif kecil, yakni masing-masing 4,12% dan 5,52% pada
tahun 2007. Sebagian besar, yaitu masing-masing 95,88% dan 94,48% kebutuhan
masyarakat akan beras dan jagung dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Berdasarkan data impor beras dan umbi-umbian, dapat diketahui bahwa
upaya untuk meminimumkan atau menghilang ketergantungan terhadap impor
beras dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan dari beras ke ubi kayu dan ubi
jalar. Mengingat bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah mengenal bahkan
terbiasa dengan makan ubi kayu dan ubi jalar, maka diversifikasi tersebut
diharapkan tidak mengalami hambatan yang berarti.

Gambar 8. Ketersediaan Pangan per Kapita


Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Terjadinya diversifikasi pangan dari beras ke bahan pangan lain tercermin
dari perubahan pola konsumsi penduduk atas berbagai jenis bahan pangan. Secara
umum, penurunan jumlah konsumsi beras di satu sisi dan kenaikan konsumsi
bahan pangan lainnya di sisi lain menunjukkan adanya diversifikasi pangan yang
tengah berlangsung. Jumlah konsumsi beras, jagung dan terigu selama tahun 1993
sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 9.

Gambar 9. Perkembangan Konsumsi Komoditas Pangan


Kelompok Padi-padian Penduduk Indonesia 1993-2007
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 9, selama tahun 1993 sampai dengan 2007, konsumsi
penduduk terhadap beras mengalami penurunan. Namun demikian, penurunan
dimaksud tidak dibarengi dengan kenaikan konsumsi jagung dan terigu. Hal ini

berarti bahwa diversifikasi pangan dari beras ke jagung dan terigu masih belum
terjadi. Agak berbeda dengan konsumsi produk pangan nabati, konsumsi
penduduk terhadap produk pangan hewani yaitu: ikan, telur, daging unggas dan
susu mengalami peningkatan sejak 1993 sampai dengan 2007. Perkembangan
konsumsi pangan hewani penduduk pada periode tersebut ditunjukkan dalam
gambar 10.

Gambar 10. Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani


Penduduk Indonesia 1993-2007
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 10, disamping terjadi kenaikan konsumsi beberapa
jenis pangan hewani, juga terdapat konsumsi yang tidak berubah, yaitu: daging
ruminansa. Secara keseluruhan, konsumsi penduduk terhadap pangan hewani
mengalami peningkatan. Hal ini berpengaruh terhadap perbaikan kualitas gizi
masyarakat. Sepanjang tahun 1989 sampai dengan 2005, status gizi masyarakat
mengalami perbaikan. Walaupun status gizi buruk meningkat selama kurun waktu
16 tahun, dari 6,3% di tahun 1989 menjadi 8,8% pada tahun 2005, tetapi status

gizi kurang menurun dari 31,7% di tahun 1989 menurun menjadi 19,2% pada
tahun 2005. Dengan demikian, jumlah gizi buruk dan gizi kurang menurun dari
38,0% di tahun 1989 menjadi 28,0% pada tahun 2005. Perkembangan status gizi
tersebut masyarakat ditunjukkan dalam gambar 11.

Gambar 11. Status Gizi Masyarakat


Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Meskipun status gizi masyarakat mengalami perbaikan sepanjang tahun
1989-2005 sebagaimana ditunjukkan gambar 11, namun masih perlu diwaspadai
adanya masalah keamanan pangan berupa berbagai pelanggaran terhadap produk
pangan. Terjadinya masalah ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh alasan finansial
(meminimumkan biaya produksi) tetapi juga alasan kemudahan memperoleh
bahan dan alasan-alasan lainnya. Pelanggaran terhadap produk pangan perlu
mendapat perhatian karena dapat berpengaruh terhadap kualitas gizi dan
kesehatan sehingga dapat berpengaruh pula terhadap produktivitas kerja
masyarakat.

Beberapa jenis pelanggaran produk pangan yang sering terjadi adalah:


pemanis buatan TMS, pengawet TMS, formalin, boraks, pewarna bukan untuk
makanan, cemaran mikroba TMS, dan lain-lain. Persentase berbagai jenis
pelanggaran produk pangan sejak tahun 2001 sampai dengan 2006 ditunjukkan
pada gambar 12.

Gambar 12. Persentase Pelanggaran Produk Pangan


Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan table 12, di antara berbagai jenis pelanggaran produk pangan,


pemanis buatan TMS merupakan pelanggaran dengan persentase relatif besar
setelah jenis pelanggaran lain-lain. Pada tahun 2001, pelanggaran jenis ini
merupakan 15,65% dari keseluruhan jenis pelanggaran produk. Persentase
tersebut meningkat menjadi 26,50% atau meningkat rata-rata 11,1% per tahun
selama 2001-2006. Berbeda dengan pemanis buatan, jenis pelanggaran produk
pangan yang mengalami penurunan adalah boraks. Pada tahun 2002, penggunaan
boaraks merupakan 19,10% dari keseluruhan pelanggaran. Pada tahun 2006,

persentase tersebut menjadi 6,77% atau mengalami penurunan (pertumbuhan


negatif) rata-rata 22,8% per tahun selama 2002-2006.
Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan
suatu wilayah. Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang berperan sangat
vital dalam menjaga ketersediaan pangan nasional. Kondisi dapat terlihat dari
tingkat produktivitas masing-masing komoditi yang cederung menunjukkan trend
meningkat dalam kurun waktu enam tahun terakhir.
Rata-rata pertumbuhan komoditi pangan yang paling tinggi selama enam
tahun terakhir adalah komoditi jagung. Komoditi ini mengalami pertumbuhan
produksi rata-rata sebesar 3.73% dalam enam tahun terakhir. Sedangkan komoditi
yang rata-rata pertumbuhannya paling rendah dalam kurun waktu yang sama
adalah komoditi padi, dalam kurun enam tahun terakhir padi hanya mengalami
pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 0.19%.
Tabel 1
Produksi Komoditas Pangan Jawa Timur
Komoditas

2001

2002

2003

Padi
8672791
8803878
8914995
Jagung
3529968
3692146
4181550
Kacang tanah
176889
188001
194676
Kedele
349188
300184
287205
Ubi kayu
4016330
3919854
3786882
Ubi Jalar
189666
168776
167611
Kacang hijau
86747
77021
95709
Sumber : Pusat data dan Informasi, Deptan, 2007

2004

2005

9002025
4133762
212325
318929
3963478
165039
83245

9007265
4398502
208749
335106
4023614
150564
95527

Pert/th
(%)
-0,39
4,35
2,63
-2,17
1,85
-3,70
2,91

Berdasarkan analisis 10 propinsi dengan luas panen padi terbesar di


Indonesia menunjukkan bahwa Jawa Timur adalah terbesar kedua setelah Jawa
Barat dengan luas areal panen padi sebesar 1,69 juta ha.
Dalam rangka diversifikasi, pangan akan sangat baik bila pangan lokal
dikembangkan kembali dan diupayakan dibangkitkan dari potensi lokal sehingga
mengurangi ketergantungan pada beras. Fortifikasi pangan atas pangan lokal
dapat dikenalkan teknologinya sehingga masyarakat dapat mengakses peluang
usaha produktif baru dan dapat dikembangkan sebagai sumber income keluarga
(agroindustri pedesaan). Namun yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan

produksi ini harus bersifat market driven dan mendasarkan pada preferensi
konsumen.
Potensi komoditas non-pangan yang diusahakan petani di Jawa Timur
menunjukkan kinerja yang relatif tinggi pula. Hal ini menunjukkan potensi
pertanian di jawa Timur yang sangat besar dan merupakan sumber income bagi
sebagian besar masyarakat di jawa Timur. Dengan demikian dukungan penyediaan
infrastruktur pertanian dan kewilayahana untuk memperlancar sistem distribusi
dan pemasaran hasil pertanian akan sangat membantu meningkatkan income
petani.
Jawa Timur mempunyai peran yang sangat besar

terhadap penyediaan

pangan nasional. Diperkirakan Jawa Timur merupakan propinsi yang secara nyata
menyumbang pangan nasional 20-30 persen kebutuhan aneka ragam

pangan

nasional. Produksi pertanian telah melebihi dari kebutuhan domestik masyarakat


Jawa Timur. Surplus pangan utama baik itu padi maupun jagung merupakan
potensi perdagangan bagi Jawa Timur. Kebutuhan pangan di Jawa Timur memang
hampir dapat dipenuhi semua dari potensi domestik, kecuali untuk komoditas
kedelai yang masih mengalami defisit sebesar 110.648 ton. Sedangkan untuk
beras, jagung, kacang maupun ubi mengalami surplus. Surplus pangan di jawa
Timur selain didukung sumberdaya alam yang sesuai, juga potensi sumberdaya
manusia dan adanya dukungan infrastruktur ekonomi yang lebih baik.
Kemandirian pangan di Jawa Timur dari sisi ketersediaan ini dapat diketahui lebih
rinci dari tabel berikut ini.
Selain mempertimbangkan ketersediaan dan konsumsi komoditi pangan
utama yaitu beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan dan umbi-umbian, Jawa
Timur juga merupakan sumber bahan pangan lainnya yang bersumber dari ternak
dan ikan yaitu beberapa jenis bahan makanan lainnya seperti daging, telur, susu
dan ikan.

No

Tabel 2
Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan
di Jawa Timur
Ketersediaan
Konsumsi
Surplus/
Komoditas
(ton)
(ton)
defisit (ton)

1
2
3
4
5
6
7

Beras
Jagung
Kedelai
Kacang Tanah
Kacang Hijau
Ubi Kayu
Ubi Jalar

5,225,372
3,634,680
291,431
194,414
75,467
3,368,956
145,234

3,441,232
293,827
402,079
28,720
19,883
771,019
105,674

1,784,140
3,340,853
-110,648
165,694
55,584
2,597,938
39,560

Sumber : Badan ketahanan Pangan Jawa Timur, 2005

Potensi produksi jenis komoditas ini (bersumber dari ternak dan ikan) relatif
lebih besar dibandignkan kebutuhan konsumsinya sehingga dapat menciptakan
surplus bahan pangan tersebut. Secara lebih lengkap hal ini disajikan dalam tabel
berikut ini.

No
1
2
3
4

Tabel 3
Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan
di Jawa Timur
Ketersediaan
Konsumsi
Surplus/
Komoditas
(ton)
(ton)
defisit (ton)
Daging
199,305
117,089
82,216
Telur
261,591
179,720
81,871
Susu
200,350
46,025
154,325
Ikan
478,574
462,096
16,478

2.3. MASALAH-MASALAH PRODUKSI PANGAN

Bab 3
DISTRIBUSI PANGAN

1. POLA DISTRIBUSI PANGAN

Pemasaran beras antar wilayah disebabkan oleh adanya


perbedaan harga atau insentif bagi pelaku ekonomi untuk
melakukan kegiatan distribusi komoditas yang diperdagangkan.
Sedikitnya terdapat dua faktor penyebab perbedaan harga beras
antar wilayah, yaitu: (1) Perbedaan segmentasi pasar yang
direfleksikan oleh perbedaan daya beli dan preferensi konsumen
terhadap beras berkualitas tinggi; dan (2) Perbedaan neraca
ketersediaan

dan

konsumsi

beras,

sehingga

terjadi

aliran

komoditas dari daerah surplus dengan tingkat harga rendah ke


daerah defisit dengan tingkat harga yang lebih tinggi.
Dalam konteks yang lebih komprehensif, dengan cakupan 26
propinsi, analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan beras yang
dilakukan

Natawidjaja

(2001)

menunjukkan

menarik sebagai berikut: (1) Jawa Barat, Jawa

beberapa

hasil

Tengah, Jawa

Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat merupakan daerah


surplus yang selanjutnya menjadi pemasok bagi daerah defisit
pada regional yang sama (pulau) atau diantar-pulaukan ke
tempat lain; (2) Daerah propinsi yang memiliki surplus di atas 1,0
juta ton adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Sulawesi Selatan, sedangkan daerah lainnya memiliki surplus
sekitar 400 ton ke bawah; (3) Daerah yang membutuhkan
pasokan beras cukup besar adalah DKI Jakarta (800 ribu
ton/tahun), dan Riau, Maluku, Sulawesi Utara dan NTT, masing-

masing sekitar 100 200 ribu ton per tahun; (4) Secara regional,
pulau Jawa tetap merupakan pensuplai beras nasional dengan
pasokan sekitar 2,5 juta ton per tahun dan Sulawesi sebesar 1,0
juta ton per tahun yang dapat diperdagangkan antar regional
atau antar pulau; (5) Maluku dan Papua merupakan daerah
defisit (100 ribu ton/tahun).
Bahasan berikutnya mengenai struktur pasar gabah/beras
akan mengungkap jalur pemasaran, marjin pemasaran dan faktor
yang mempengaruhinya. Jalur pemasaran di tujuh kabupaten
sentra produksi beras (Majalengka, Indramayu, Klaten, Kediri,
Ngawi, Agam, dan Sidrap) sampai pada tingkat pedagang besar
(kabupaten dan propinsi) adalah sama, dengan penjelasan
sebagai berikut (Gambar 1): (1) Petani menjual gabah (di
sawah/di rumah) kepada tiga pelaku pemasaran yaitu penebas,
pedagang pengumpul dan KUD; (2) Kecuali KUD yang melakukan
penjualan ke Dolog kabupaten, maka penebas dan pedagang
pengumpul menjual gabah ke pedagang penampungan yang
pada umumnya adalah RMU atau kontraktor Dolog kabupaten;
(3)

Pedagang

penampungan

ini

dengan

lokasi

di

tingkat

kabupaten memproses gabah menjadi beras dan selanjutnya


menjual ke Dolog dan pedagang besar kabupaten dan propinsi;
(4) Dolog kabupaten dapat melakukan penyaluran/mobilitas
beras antar kabupaten, propinsi dan antar pulau; dan (5)
Pedagang besar kabupaten dapat menyalurkan/mensuplai beras
kepada pedagang besar di tingkat propinsi.
Pada jalur berikutnya terdapat variasi antar kabupaten
sebagai berikut: (1) Pedagang besar kabupaten di empat wilayah
di Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten dan Kediri), disamping
memasok pasar propinsi, adalah pensuplai beras ke Pasar Induk
Cipinang; (2) Pedagang besar di tiga kabupaten lainnya (Ngawi,

Agam dan Sidrap), disamping pemasok pasar propinsi, adalah


memasok

pedagang

antar

pulau;

(3)

Ketiga

jenis

pelaku

pemasaran terakhir ini (pedagang propinsi, pedagang antar


pulau dan Pasar Induk Cipinang) memasok toko/kios pengecer
yang

selanjutnya

pemasaran

yang

melayani

konsumen

memegang

peranan

setempat.

Pelaku

sentral

dalam

perdagangan adalah pedagang penampungan yang melakukan


kegiatan penampungan, pengeringan, pengolahan gabah dan
perdagangan beras. Disamping peran/fungsi pemasaran yang
cukup

kompleks,

pelaku

pemasaran

ini

juga

melakukan

penanganan volume perdagangan gabah/beras yang cukup


besar, dengan kisaran 7585 persen. Peran RMU yang berfungsi
sebagai kontraktor Dolog adalah sekitar 1020 persen. Peran
KUD dalam pembelian/pemasaran dan perdagangan gabah/beras
kaitannya dengan pemasaran umum atau pengamanan harga
dasar (kaitannya dengan Dolog) adalah relatif kecil (5%). Peran
pelaku pemasaran di luar pedagang penampung ini adalah
relatif terbatas yaitu terkait dengan aspek penyimpanan dan
distribusi antar kabupaten, propinsi, dan antar pulau. Sebagian
RMU di tingkat kabupaten juga melakukan perdagangan beras
sampai ke pasar propinsi atau Pasar Induk Cipinang (Jakarta).
Analisis marjin pemasaran beras sampai dengan di pasar
eceran di tingkat ibukota kabupaten disajikan pada Tabel 6.
Disadari bahwa proporsi alokasi beras untuk memenuhi pasar
beras di tingkat kabupaten ini relatif kecil (15%), dengan kisaran
10% (Indramayu, Ngawi dan Sidrap) sampai dengan 25% di
Kabupaten Agam. Kisaran harga (setara beras) yang diterima
petani adalah Rp 1.850/kg (Agam) Rp 1.909/kg (Kediri) atau
sekitar 81,8% dari harga rataan eceran beras di pasar kabupaten
yang besarnya Rp 2.134/kg. Jadi marjin perdagangan beras

adalah relatif kecil (Rp 422/kg), yaitu 18,2% terhadap rataan


harga eceran. Dari marjin perdagangan sebesar itu, sejumlah
4,19% (Rp 97/kg) dialokasikan untuk biaya pengolahan, 7,35%
(Rp 170/kg) untuk biaya transportasi, dan sisanya (6,66%) atau
Rp 154/kg adalah profit marjin.
Menarik untuk dibahas imbangan keuntungan dan biaya
pada setiap pelaku pemasaran beras ini. Keuntungan yang
diterima pedagang pengumpul desa relatif terhadap biaya
pemasaran adalah 109%, RMU 10,91%, untuk pedagang besar di
pasar kabupaten 51,22%, dan untuk pedagang pengecer sebesar
98,4%. Walaupun marjin pemasaran relatif kecil, namun secara
relatif (kecuali RMU) tingkat keuntungan yang diperoleh cukup
besar, yaitu jauh di atas tingkat suku bunga di pasar modal.
Tingkat keuntungan semakin berarti mengingat waktu transaksi
yang relatif cepat. Dikaitkan dengan volume perdagangan yang
ditangani oleh keempat pelaku pemasaran ini, tampak bahwa
keuntungan yang diterima RMU dan pedagang besar relatif kecil,
namun

volume

komoditas

yang

ditangani

lebih

besar

dibandingkan dengan yang ditangani oleh pedagang pengumpul


desa atau pedagang pengecer.
Hasil analisis marjin pemasaran ini tidak jauh berbeda
dengan

analisis

yang

sama

yang

dilakukan

satu

tahun

sebelumnya (tahun 2000) di lima kabupaten, yaitu Klaten, Kediri,


Agam, Majalengka, dan Sidrap (Mardianto dkk., 2005). Pada saat
itu harga gabah (GKP) di tingkat petani di lima kabupaten
produsen utama padi adalah berkisar antara Rp 800/kg Rp
1.160/kg, atau setara dengan Rp 1.455 Rp 2.000/kg beras.
Kisaran harga eceran beras di tingkat konsumen di pasar
kabupaten adalah Rp 1.700/kg di Kediri sampai dengan Rp
2.500/kg di Agam, Sumatera Barat. Pasar gabah/beras relatif

kompetitif dan petani dengan mudah memasarkan gabah karena


jumlah pedagang dan RMU relatif banyak yang beroperasi di
pedesaan.

Pemasaran

beras

dinilai

cukup

efisien

yang

diindikasikan oleh bagian harga yang diterima petani relatif besar


dengan kisaran 73,57% di Klaten dan 85,59% di Kediri. Rataan
biaya pemasaran mencapai Rp 434/kg atau 20,97% terhadap
harga

eceran,

dengan

komposisi

10,92%

untuk

biaya

pengolahan, penanganan, transportasi, dan sisanya 10,05%


adalah keuntungan pedagang (Tabel 7).
Hasil studi Natawidjaja (2001) menunjukkan bahwa para
pelaku pemasaran di sebagian besar propinsi-propinsi penghasil
beras utama nasional mampu meningkatkan marjin keuntungan
yang diterimanya pada saat terjadi kenaikan harga di pasar
konsumen dengan cara menangguhkan kenaikan harga yang
diterima pada harga yang seharusnya di bayar ke petani.
Sebaliknya, pelaku pemasaran ini juga mampu menjaga marjin
keuntungan yang sama walaupun pada saat harga di tingkat
konsumen sedang turun, dengan cara mempercepat penurunan
harga beli pada petani sehingga risiko pasar dibebankan
seluruhnya pada petani (Tabel 8).
Perilaku pedagang tersebut menunjukkan adanya kekuatan
monopsonistik

karena

mereka

memiliki

aksesibilitas

dan

informasi yang cepat ke pasar konsumen dengan penguasaan


pasar ini, para pelaku pemasaran dapat meneruskan risiko-risiko
fluktuasi harga pasar pada tingkat di bawahnya dan akhirnya
sampai ke petani sebagai penerima residual dari risiko tersebut
tanpa memiliki kemampuan untuk menolak atau menghindari.
Keadaan ini memperlihatkan adanya keterpisahan petani dari
pasar, karena pemain pasar sesungguhnya adalah pedagang
yang berhadapan langsung dengan konsumen. Pada kondisi

demikian, insentif dan usaha untuk menyejahterakan petani akan


lebih banyak dinikmati pedagang.
Beberapa implikasi yang dapat ditarik dari berbagai hasil
kajian

tersebut

adalah

kelancaran

arus

distribusi

dan

perdagangan beras antar wilayah akan berperan besar dalam


mengatasi defisit atau kelangkaan beras di dalam negeri.
Konfigurasi surplus/defisit beras akan mengalami perubahan
sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan kebebasan bagi
petani untuk menanam komoditas yang lebih menguntungkan.
Struktur pasar dan jalur pemasaran beras sudah berjalan cukup
baik dan cukup efisien dilihat dari besar dan distribusi marjin
pemasaran. Posisi petani yang relatif lemah terutama disebabkan
terutama oleh masalah internal petani (khususnya permodalan),
karakteristik komoditas yang perlu penanganan cepat, dan
lemahnya sistem informasi pasar.

2. DISTRIBUSI PANGAN DAN KESEJAHTERAAN


MASYARAKAT

3. MASALAH-MASALAH DISTRIBUSI PANGAN

Bab 4
DIVERSIFIKASI PANGAN

1. DIVERSIFIKASI BERBASIS LOKAL

Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh, maka langkah penting


yang cukup rasional yang perlu ditempuh adalah dengan melakukan diversifikasi
pangan berbasis pangan lokal guna mencegah terjadinya krisis pangan. Bila tidak
maka negara kita berpotensi menghadapi krisis sosial, ekonomi dan politik yang
sangat serius dimasa-masa yang akan datang. Krisis pangan dunia yang terjadi
pada tahun 2008 yang lalu bukan tidak mungkin akan terjadi di masa-masa yang
akan datang. Apabila terjadi krisis pangan dunia, bisa dipastikan negara kita akan
tekena dampaknya, mengingat beberapa jenis komoditi masih harus import,
seperti gandum, jagung, kedelai, dll.
Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis pangan
dunia, yaitu (i) Jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada tahun 2000
jumlah penduduk dunia mencapai 6,1 milyar, dan pada tahun 2025 diperkirakan
menjadi 8,0 milyart, sehingga akan makin meningkatkan permintaan bahan
pangan. (ii) Makin meningkatnya berbagai produk hasil pertanian yang dikonversi
menjadi biofuel sebagai akibat tingginya harga minyak mentah dunia. Pada
awalnya biofule ini diproduksi dari limbah hasil pertanian, akan tetapi dengan
semakin melambungnya harga minyak mentah dunia dan semakin meningkatnya
permintaan biofule, maka kini biofule diproduksi dengan menggunakan jagung,
gandum, dan beberapa jenis biji-bijian lainnya, yang mestinya digunakan bahan
pangan untuk konsumsi manusia. (iii) Bencana alam. Karena cuaca dan bencana
alam, panen padi turun di Vietnam dan India dan membuat pemerintah mereka
membatasi impor beras dari dua negara tersebut untuk cadangan dalam negeri.
Akibatnya pasokan beras di pasar komodiiti dunia pun menurun. Bahkan Filipina

yang dulu dikenal sebagai pengekspor beras beberapa tahun terakhir beralih
menjadi negara pengimpor beras terbesar karena penurunan produksi padi mereka.
Walaupun negara Indonesia adalah negara agraris, akan tetapi bila terjadi
krisis pangan dunia juga berpotensi berimbas pada krisis pangan di negara kita.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain adalah:
1.

Ketahanan pangan yang rapuh


Walaupun Negara kita adalah Negara agraris dan lebih dari 40%

penduduknya hidup di sektor pertanian, akan tetapi sesungguhnya sejak merdeka,


negara kita sesungguhnya memiliki sejarah ketahanan pangan yang rapuh Hal ini
disebabkan karena untuk pemenuhan kebutuhan bahan pangan, Negara kita masih
mengandalkan impor. Untuk memenuhi kebutuhan beras misalnya, sejak tahun
1961 Indonesia telah mengimpor beras dalam jumlah yang cukup besar (Tabel 3)
dan merupakan pengimpor gandum terbesar kelima, dengan volume impor
gandum mencapai 4,5 juta ton (Tabel 4).
Tabel 3. Impor dan ekspor beras Indonesia (juta ton)
No.

Tahun

1.

1970

956.13

2.

1980

2011.71

10,00

3.

1985

33.85

258,71

4.

1990

49.58

1,91

5.

1995

3157.70

0,01

6.

2000

1355.04

1,19

7.

2001

642.17

3,95

8.

2002

1798.50

4,15

9.

2003

1625.75

0,70

390.83

0,91

10.
2004
Sumber: www.faostat.2006

Impor

Ekspor

Tabel 4. Sepuluh Negara terbesar eksportir dan importir gandum di dunia


No.

Ekspor

Impor

Negara

Jumlah
(Juta Ton)

Negara

Jumlah
(Juta Ton)

1.

Amerika Serikat

30,2

Mesir

6,8

2.

Kanada

13,5

Uni Eropa

6,3

3.

Rusia

10,6

Brasilia

6,1

4.

Uni Eropa

9,9

Jepang

5,1

5.

Argentina

9,3

Indonesia

4,5

6.

Kazkhstan

8,9

Algeria

3,7

7.

Australia

6,5

Maroko

3,3

8.

Cina

2,3

Meksiko

3,3

9.

Pakistan

1,5

Nigeria

2,8

10

Ukrania

1,4

Korea Selatan

2,8

Sumber: BBC News, 2008


2. Meningkatnya konsumsi terigu dan menurunnya konsumsi ubi dan ubi jalar.
Pada tahun 1990, jumlah orang yang mengkonsumsi jagung dan ubi kayu
masing-masing adalah 9,3% dan 32,1% di kota, serta 19,0% dan 49,6% di desa.
Pada tahun 1999, jumlah tersebut menurun, masing-masing menjadi 4,8% dan
28,6% di kota dan 10,1% dan 39,8% di desa. Sebaliknya gandum dan produk
olahannya, seperti mie mempunyai tingkat partisipasi konsumsi yang terus
meningkat, bahkan lebih besar daripada jagung dan ubi kayu, sementara untuk
jagung dan ubi kayu terus menurun. Selama tahun 1990-1999, laju perubahan
jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi mie di kota mencapai 56,4% di
kota dan 67,0% di desa (Anonymous, 2003).
Berdasarkan fakta tersebut, maka diversifikasi pangan perlu mendapatkan
perhatian yang serius dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan keluarga
menuju ketahanan pangan nasional yang tangguh. Diversifikasi produksi pangan
bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko
berusaha. Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak juga akan
mendukung upaya penganekaragaman pangan (diversifikasi konsumsi pangan)
yang merupakan salah satu aspek penting dalam ketahanan pangan. Menurut

Suryana (2005), ada dua bentuk diversifikasi produksi yang dapat dikembangkan
untuk mendukung ketahanan pangan, yaitu:
1. Diversifikasi horizontal; yaitu mengembangkan usahatani komoditas unggulan
sebagai core of business serta mengembangkan usahatani komoditas lainnya
sebagai usaha pelengkap untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam, modal, dan tenaga kerja keluarga serta memperkecil terjadinya resiko
kegagalan usaha.
2. Diversifikasi regional; yaitu mengembangkan komoditas pertanian unggulan
spesifik lokasi dalam kawasan yang luas menurut kesesuaian kondisi agro
ekosistemnya, dengan demikian akan mendorong pengembangan sentra-sentra
produksi pertanian di berbagai wilayah serta mendorong pengembangan
perdagangan antar wilayah.

2. KENDALA DIVERSIFIKASI PANGAN

Upaya untuk melakukan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan umbiumbian dan buah-buahan sebagai sebagai sumber karbohidrat jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan serealia (beras). Hal ini disebabkan karena beberapa faktor
yang pada akhirnya menghambat upaya diversifikasi pangan berbasis pangan
lokal, yaitu:
1. Pada umumnya masyarakat Indonesia masih memiliki ketergantungan yang
tinggi pada beras untuk dimasak menjadi nasi. Hal ini mudah dimengerti
karena dibandingkan sumber karbohidrat lain, nasi dari beras lebih mudah
disiapkan, lebih luwes dengan beragam lauk pauk dan memiliki kandungan
kalori dan protein yang cukup tinggi.

Walaupun demikian sebenarnya

berbagai jenis bahan pangan, seperti ubi jalar tidak saja sebagai sumber
karbohidrat, akan tetapi diketahui banya mengandung antioksidan dan

merupakan prebiotik yang dapat memberikan efek yang menyehatkan bagi


yang mengkonsumsinya.
2. Ada anggapan dari sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap belum
makan bila belum makan nasi, walaupun kecukupan kalori dan protein dapat
dipenuhi dari sumber karbohidat lain non beras.
3.

Selama ini umbi-umbian dan buah-buahan kaya karbohidrat belum


dibudidayakan secara maksimal, seperti halnya petani menanam padi.
Tuntutan untuk mengoptimalkan produksi umbi-umbian belum ada karena
demand di pasaran juga belum muncul. Apalagi, selama ini umbi-umbian
hanya dikenal sebagai snack, kecuali di pedalaman Papua yang konsumsi
utama masyarakatnya adalah ubi jalar. Hal ini disebabkan karena kebijakan
pengembangan komoditas pangan, termasuk teknologinya hanya terfokus pada
beras, dan telah mengabaikan potensi sumber-sumber pangan karbohidrat
lainnya.

4. Pangan lokal diberbagai wilayah sehingga belum dapat dikembangkan dalam


skala industri. Disaping itu berbagai hasil olahan pangan lokal yang ada,
dilihat dari sisi mutu dan keamanan pangan masih rendah, kurang
memperhatikan aspek sanitasi dan higiens dalam pengolahan serta
penyajiannya.
5. Ketidak seragaman produk dan cita rasa serta kandungan gizi yang kadangkadang kurang seimbang.
6. Kurang terbentuknya citra produk yang menarik dalam persepsi konsumen
karena kurang memperhatikan tampilan dan kepraktisan dalam penyajian.
7. Kurang memperhatikan aspek pemasaran, penyimpanan dan promosi.
Masalah lainnya yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan umbiumbian dan buah-buahan sebagai sumber karbohidrat (Widowati, 2003) adalah
(i) harga per unit volume, bila dibandingkan dengan beras lebih rendah. Hal ini
menyebabkan biaya penanganan, transportasi dan penyimpanan relatif lebih
mahal bila dibandingkan dengan beras. (ii) Umbi-umbian dan buah-buahan
umumnya memiliki kadar air

tinggi (60-80%), sehingga mudah rusak, dan

beaya pengeringannya relatif mahal. (iii) Produksi umbi-umbian dan buahbuahan lebih banyak tergantung musim. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga
tinggi. (iv) Institusi pemasaran dan jasa penunjang bagi produk palawija,
termasuk buah-buahan tidak sebaik yang tersedia pada beras.

Bab 5
AKSESIBILITAS PANGAN

4.1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


AKSESIBILITAS PANGAN

4.2. AKSESIBILITAS PANGAN DAN


KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Salah satu paradigma baru pembangunan pangan setelah diberlakukannya


Undang-Undang otonomi daerah adalah perencanaan penyediaan pangan yang
semula sentralistik dan lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi
desentralistik dengan pertimbangan yang lebih komprehensif, sehingga tujuantujuan pemantapan Ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat lebih
terakomodasi. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman dan penyediaan data
Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (PPH) di masingmasing daerah. Penyusunan NBM dan PPH Jawa Timur sudah dilaksanakan sejak
tahun 1984 sampai sekarang, dimana dari hasil analisis NBM dan PPH ini
menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan pangan dan gizi di tingkat
wilayah.
Tabel 4
Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Propinsi Jawa Timur
Tahun 2005 dan 2006
Tahun 2005
No

Komoditas

Ketrsdiaan

Konsumsi

Tahun 2006*)
Plus/ Minus

Ketersediaa
n
5.332.449
3.928.371
304.441
3.482.900
129.738
204.938
86.874
255.007
218.663
205.102

Konsumsi

1
Beras
5.228.527
3.478.994
1.749.533
3.478.994
2
Jagung
3.867.698
297.051
3.570.647
297.051
3
Kedelai
305.847
406.491
(100.644)
406.491
4
Ubi kayu
3.420.072
779.479
2.640.593
779.479
5
Ubi jalar
132.496
106.834
25.662
106.834
6
Kacang tanah
191.015
29.035
161.980
29.035
7
Kacang hijau
86.452
20.101
66.351
20.101
8
Daging
178.158
118.374
59.784
119.677
9
Telur
238.261
181.692
56.569
183.655
10 Susu
202.557
46.531
156.026
47.043
11 Ikan
490.966
453.820
16.478
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jatim
Keterangan: *) Angka Ramalan II: Beras, Jagung, Kedele, Ubikayu, Ubijalar, Kacang Tanah,Kacang hijau

Plus/ Minus
1.853.455
3.631.320
(102.080)
2.703.421
22.904
175.903
66.773
135.330
35.008
158.059

Konsumsi energi penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 1900


kkal/kap/hr atau mencapai 95,0 % dari anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE)
berdasarkan Widyakarya Pangan dan Gizi VIII tahun 2005 sebesar 2000

kkal/kap/hr. Konsumsi energi tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hr atau 95,0 %
dari AKE lebih tinggi dari dari konsumsi energi tahun sebelumnya sebesar 1889
kkal/kap/hr atau 85,9 % dari AKE. Konsumsi energi penduduk didukung oleh
konsumsi energi penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 11902 kkal/kap/hr dan
1901 kkal/kap/hr. Konsumsi energi penduduk perkotaan sebesar 1902 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr, kecenderungan yang
sama terjadi pada konsumsi energi penduduk pedesaan sebesar 1901 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1893 kkal/kap/hr. Nampak bahwa
konsumsi energi penduduk perkotaan relatif sama dengan konsumsi energi
penduduk pedesaan.

No.
1
2
3

Tabel 5
Rata-rata Konsumsi Energi Penduduk tahun 2002 dan 2005
2002
2005
Energi
% AKE
Energi
Uraian
% AKE
(kkal/kap/hr (kkal/kap/hr (kkal/kap/hr
(kkal/kap/hr)
)
)
)
Perkotaan
1889
85,8%
1902
95,1%
Perdesaan
1893
86,1%
1901
95,0%
Jawa Timur
1889
85,9%
1900
95,0%

Sumber data : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Propinsi Jatim 2006)
Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2002 = 2200 Kkal/Kap/Hari
Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2005 = 2000 Kkal/Kap/Hari

Ditinjau dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang mengacu pada standar
yang ditetapkan Departemen Kesehatan tahun 2006, ternyata konsumsi energi
penduduk Jawa Timur tahun 2005 mencapai sebesar 95,0 % yang berarti
tergolong normal karena berada pada kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
90-119%.
Sedangkan konsumsi protein penduduk Jawa Timur mencapai sebesar
62,30 gr/kap/hr atau meningkat sebesar 2,20 gr/kap/hr atau 3,66 % dari konsumsi
protein tahun sebelumnya sebesar 60,10 gr/kap/hr. Konsumsi protein tersebut
ternyata melampaui 10,30 gr/kap/hr (19,61% ) dari angka kecukupan protein yang
dianjurkan 52 gr/kap/ hr. Konsumsi protein tersebut didukung dengan peningkatan
konsumsi protein penduduk pedesaan yang cukup besar dari konsumsi protein

penduduk pedesaan tahun sebelumnya. Konsumsi protein penduduk perkotaan


dan pedesaan mencapai sebesar 60.70 gr/kap./hr dan 64,5 gr/kap./hr.
Konsumsi protein penduduk perkotaan sebesar 60,7 gram/kap/hr menurun
sebesar 6,7 gram/kap/hr atau 9,95 % dari tahun sebelumnya sebesar 67,4
gram/kap/hr. Sedangkan, konsumsi protein penduduk pedesaan sebesar 64,5
gram/kap/hr meningkat 6,3 gram/kap/hr atau 10,82 % dari tahun sebelumnya
sebesar 58,20 gram/kap/hr. Peningkatan konsumsi protein penduduk pedesaan
dikarenakan adanya peningkatan konsumsi pangan hewani berupa: ikan, daging
ruminansia, telur dan susu. Oleh karena itu, upaya percepatan gerakan
penganekaragaman diarahkan di daerah perkotaan yang difokuskan pada
keanekaragaman konsumsi pangan nabati non beras/tepung terigu beruapa umbiumbian, sayur dan buah, kacang-kacangan, serta konsumsi pangan hewani yang
berigizi dan berimbang.
Tingkat dan kualitas konsumsi pangan semakin baik dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh keragaman konsumsi pangan
penduduk dengan skor PPH 77,8 lebih tinggi dibandingkan dengan Skor PPH
tahun sebelumnya sebesar 71,0. Meskipun kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap kualitas konsumsi pangan semakin meningkat, namun masih terdapat
asupan gizi dari beberapa kelompok bahan makanan berada dibawah rekomendasi
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Hampir semua kelompok pangan
dikonsumsi dalam jumlah yang belum memadai, kecuali kelompok padi-padian.
Sumbangan energi kelompok padi-padian terhadap Angka Kecukupan Gizi
(AKG) pada tahun 2005 cukup besar mencapai 57,9 %, sedangkan proporsi
idealnya sebesar 50 %. Sumbangan energi kelompok pangan yang masih jauh
dari proporsi idealnya adalah : kelompok pangan hewani, kelompok sayur dan
buah, serta kelompok umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa pola
konsumsi pangan penduduk Jawa Timur belum memenuhi kaidah kecukupan gizi
yang dianjurkan dan konsep pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.
Tabel 6
Rata-rata Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga
Tahun 2002 dan Tahun 2005

tahun 2002
No

Kelompok Pangan

Gram/
Kap/Hr

Energi
(Kkal)

tahun 2005
%
AKE*)

Gram/
Kap/Hr

Energi
(Kkal)

%
AKE**)

PPH
Nasional
2020

Padi-Padian

283.1

1,129.70

51.4

283.5

1.139

57

Umbi-umbian

69.1

78.6

3.6

53.5

61

3.1

Pangan Hewani

61.6

100.4

4.6

73.1

134

6.7

12

Lemak dan Minyak

21.4

190

8.6

20.2

180

10

Bauh/Biji Berminyak

10.7

58.7

2.7

10.4

57

2.9

Kacang-kacangan

33.8

98

4.5

32.1

93

4.7

Gula

30.6

111.1

5.1

26.9

97

4.9

Sayur dan Buah

197.4

80.8

3.7

203

86

4.3

Lainnya

50.8

41.7

1.9

42.3

38

1.9

Jumlah
1,889
85.9
Sumber : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Prop.Jatim,2006)
Keterangan : *) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2200 Kkal/Kap/Hari
**)Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2000 Kkal/Kap/Hari

1,886

94.3

100

Konsumsi pangan kelompok padi-padian didominasi oleh beras, dan


ternyata konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 94,35 kg/kap/thn (data
diolah dari Susenas 2005) meningkat sebesar 0,89 kg/kap/thn dibandingkan
dengan konsumsi beras tahun sebelumnya sebesar 93,46 kg/kap/thn (data diolah
dari Susenas 2002). Demikian pula, konsumsi terigu masih cukup tinggi mencapai
sebesar 8,43 kg/kap/thn meningkat sebesar 1,60 kg/kap/thn dibandingkan dengan
konsumsi terigu tahun sebelumnya sebesar 6,83 kg/kap/thn. Peningkatan
konsumsi beras dan terigu nampaknya mempengaruhi konsumsi tepung umbiumbian. Konsumsi umbi-umbian hanya mencapai sebesar 19,52 kg/kap/thn
menurun sebesar 5,70 kg/kap/thn dibandingkan dengan konsumsi tahun
sebelumnya sebesar 25,22 kg/kap/thn. Hal ini merupakan tantangan yang harus
menjadi fokus penanganan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya
percepatan penganekaragaman pangan di Jawa Timur. Karena selain dari beras,
sebenarnya sumber karbohidrat dapat diperoleh dari berbagai bahan pangan pokok
lainnya yaitu serealia selain beras (jagung, sorghum), umbi-umbian (singkong/ubi
kayu, ubi jalar, kentang, bentul, talas, uwi, garut, ganyong dan sebagainya), buahbuahan (sukun, pisang).

50

4.3. MASALAH-MASALAH AKSESIBILITAS PANGAN

Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang


dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk
memenuhi standart kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan
masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktuwaktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti
bencana alam maupun bencana sosial (transien).
Kondisi kerawanan pangan dapat disebabkan karena: tidak adanya akses
secara ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup, tidak adanya akses secara fisik bagi individu/rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang cukup, tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan
produktif individu/rumah tangga, tidak terpenuhi pangan secara cukup dalam
jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harganya.
Kerawanan pangan dan kelaparan berpeluang besar terjadi pada petani skala
kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya
pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya.
Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein.
Tingkat kesejahteraan rumah tangga dapat digunakan sebagai salah satu
indikator aksesabilitas rumah tangga terhadap pangan. Hal ini juga berkorelasi
dengan kemampuan dan daya beli rumah tangga itu sendiri. Oleh karena itu,
penciptaan lapangan pekerjaan perlu dikembangkan agar masyarakat mampu
meningkatkan pendapatannya.

Selain itu, walaupun daya beli rumah tangga

mencukupi, apabila terdapat kelangkaaan pangan akibat distribusi yang tidak


lancar maka akses rumah tangga secara fisik akan terganggu bahkan menjadi lebih
buruk.
Indikator yang sangat dekat menggambarkan daya beli masyarakat adalah
berkenaan dengan kemiskinan masyarakat Jawa Timur. Tingkat kemiskinan di

Jawa Timur masih berkisar sebesar 20 persen. Namun demikian walaupun ada
perubahan yang kecil nampaknya ada trend mengalami penurunan dari tahun
ketahun.
Ketersediaan pangan secara makro tidak sepenuhnya menjamin ketersediaan
pada tingkat mikro. Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu dan
pada waktu-waktu tertentu mengakibatkan konsentrasi ketersediaan di sentrasentra produksi dan pada masa-masa panen. Pola konsumsi yang relatif sama
antar-individu, antar- waktu, dan antar-daerah mengakibatkan adanya masa-masa
defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan
distrubusi antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan stok akan
berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan konsumsi

yang

berpengaruh pada harga yang terjadi di pasar. Faktor keseimbangan yang


tereflekasi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli rumah tangga terhadap
pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun
apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli rumah tangga, maka
rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang tersedia. Kondisi seperti
ini dapat menyebabkan kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan didefinisikan sebagai mereka yang rata-rata tingkat
konsumsi energinya antara 7189 persen dari norma kecukupan energi.
Sedangkan penduduk sangat rawan pangan hanya mengkonsumsi energi kurang
dari 70 persen dari kecukupan energi. Dengan menggunakan kriteria tersebut pada
tahun 2005 terdapat sekitar 25 persen dari penduduk perkotaan yang rawan
pangan dan sebesar 37,0 persen dari penduduk perdesaan yang mengalami rawan
pangan. Di samping itu masih terdapat sekitar 2-4 persen rumah tangga yang
sangat rawan pangan atau kelaparan. Mereka adalah rumah tangga miskin yang
tingkat pengeluarannya tidak lebih dari Rp 150 ribu per bulan.
Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di relative
masih tinggi masih tinggi. Tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan dan
anak balita kurang gizi menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak selalu berarti
bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi.
Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap

harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan
rumah tangga,

dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat

berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga.
Gambar 2
Tingkat Konsumsi Energi Propinsi Jawa Timur

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur, 2006 (diolah)

Hubungan tentang kerawanan pangan dengan tingkat pendapatan relatif


cukup erat baik ditinjau dari kecukupan energi maupun kualitas pangan. Pada
gambar berikut ditunjukkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang maka
akan menyebabkan

rendahnya kecukupan energi maupun skor PPHnya seperti

terlihat pada gambar berikut.

Gambar 3
Skor PPH Propinsi Jawa Timur

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur, 2006

Bab 5
PENYELESAIAN MASALAH
KETAHANAN PANGAN

5.1. ROADMAP DIVERSIFIKASI PANGAN


PROPINSI JAWA TIMUR 2008

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Diversifikasi konsumsi pangan mempunyai peranan yang sangat penting
dalam upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang
berkualitas. Martianto (2005) menunjukkan bahwa manusia untuk dapat hidup
aktif dan sehat memerlukan lebih 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai
jenis makanan, dimana dapat dipenuhi melalui diversifikasi konsumsi pangan.
Studi yang dilakukan oleh Hardinsyah (1996) menunjukkan bahwa diversifikasi
pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai anti oksidan pangan, konsumsi
serat dan menurunkan resiko hiperkolesterol, hipertensi dan penyakit jantung
koroner. Berkaitan dengan hal ini, diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar
utama dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Dalam aspek makro, peranan diversifikasi pangan dapat dijadikan sebagai
instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan pada beras sehingga
mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional, serta dapat dijadikan instrumen
peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat. Beberapa hasil
kajian menunjukkan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak
menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau
individu. Studi yang dilakukan oleh Martianto dan Ariani (2004) menunjukkan
bahwa walaupun ketersediaan pangan secara nasional sudah cukup, namun jumlah
proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap propinsi masih tinggi yakni 18

%. Bank Dunia (2006) menunjukkan bahwa perbaikan gizi merupakan suatu


investasi yang sangat menguntungkan. Pada kondisi gizi buruk, penurunan
produktivitas perorangan diperkirakan lebih dari 10 persen dari potensi
pendapatan seumur hidup; dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB
antara 2-3 persen. Konferensi para ekonom di Copenhagen tahun 2005
(Konsensus Kopenhagen) menyatakan bahwa intervensi gizi menghasilkan
keuntungan ekonomi (economic returns) tinggi dan merupakan salah satu yang
terbaik dari 17 alternatif investasi pembangunan lainnya.
Upaya diversifikasi walaupun sudah dirintas sejak dasawarsa 60-an, namun
sampai saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pola pangan
lokal seperti ditinggalkan, berubah ke pola beras dan pola mie. Kualitas pangan
juga masih rendah, kurang beragam, masih didominasi pangan sumber
karbohidrat terutama dari padi-padian. Ariani dan Ashari (2003) menunjukkan
bahwa konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sangat tergantung pada
beras dengan tingkat partisipasi rata-rata hampir mencapai 100 persen kecuali
untuk Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan ekologi sagu) berkisar 80
persen. Data Susenas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 konsumsi beras di
Indonesia sangat tinggi yakni 105,2 kg/kapita/tahun.
Perkembangan menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah ada
kecenderungan berubahnya pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat
berpendapatan rendah, terutama di pedesaan, yang mengarah kepada beras dan
bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah, mie instan.
Konsumsi pangan dengan bahan baku terigu justru mengalami peningkatan yang
sangat tajam yakni sebesar sebesar 19,2 persen untuk makanan mie dan makan
lain berbahan terigu 7.9 persen pada periode 1999-2004.
Menurut Hasan (1994), tersedianya keragaman hayati (biodiversity) yang
tersebar di wilayah Indonesia merupakan potensi besar yang dapat diolah menjadi
pangan. Hal ini sekaligus menjadi peluang yang dapat mengantar Indonesia untuk
berswasembada karbohidrat, protein, dan lemak. Sayangnya potensi besar tersebut
belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Sebagai gambaran, Kasryno (1998)
menyebutkan dari 25.000 jenis tumbuhan berbunga sekitar 6000 jenis telah

dimanfaatkan oleh masyarakat. Lebih dari 100 jenis tepung dari berbagai jenis
tumbuhan dapat dijadikan sebagai sumber karbohidrat. Kurang lebih dari 100
jenis legume dan sejumlah jenis tumbuhan lainnya dapat dijadikan sumber protein
dan lemak. Sekitar 450 jenis buahbuahan dan kacang-kacangan dan sekitar 250
jenis tumbuhan lalap-lalapan menjadi sumber protein dan mineral. Berdasarkan
fakta empiris tersebut maka permasalahan umum yang harus segera diantisipasi
adalah bagaimana cara menurunkan konsumsi beras yang terus meningkat, serta
usaha-usaha untuk meningkatkan konsumsi pangan protein, lemak, dan
viatamin/mineral berbasiskan sumberdaya pangan lokal. Jika hal ini dapat
dilakukan, maka ketahanan pangan nasional sekaligus peningkatan gizi
masyarakat untuk menciptakan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dapat
diwujudkan.
Bahan baku pangan untuk tujuan diversifikasi pangan berada di pedesaan
yang dihasilkan oleh petani dengan sumber daya lahan yang sangat terbatas. Oleh
karena itu kelompok masyarakat pedesaan inilah yang seharusnya menjadi fokus
perhatian dalam pembangunan di bidang ketahanan pangan khususnya
diversifikasi pangan. Terjadinya diversifikasi konsumsi pangan secara bertahap
akan mengubah pola produksi pertanian di tingkat petani (diversifikasi produksi).
Petani akan memproduksi komoditas yang banyak dibutuhkan oleh konsumen dan
yang memiliki harga cukup tinggi. Kondisi ini pada akhirnya akan membawa
dampak pada peningkatan pendapatan petani. Mereka tidak lagi tergantung hanya
pada komoditas padi sebagai sumber pendapatan usahataninya, tetapi dapat
mencoba tanaman lain yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Saat ini pemerintah telah menyadari begitu pentingnya diversifikasi pangan,
sehingga pemerintah berencana melakukan gerakan melalui program Rencana
Aksi Nasional Pangan Dan Gizi. Hal ini memerlukan kesepakatan bersama untuk
membuat blue print, yang membahas seluruh aspek yang terkait dengan
pengembangan diversifikasi konsumsi pangan. Berdasarkan kenyataan inilah
maka dipandang perlu dibuat roadmap diversifikasi pangan di Jawa Timur. Road
map ini diharapkan sebagai acuan untuk mewujudkan diversifikasi pangan.

2. Tujuan dan Roadmap


Tujuan Umum
Merumuskan kebijakan strategis untuk pencapaian Diversifikasi pangan
untuk menjadi panduan dan arahan serta acuan bagi stakeholders (instansi
pemerintah, swasta, BUMN/BUMD, perguruan tinggi, petani, nelayan, industri
pengolahan, pedagang, penyedia jasa) serta masyarakat pada umumnya untuk
berperan serta meningkatkan kontribusi yang optimal dalam upaya mewujudkan
diversifikasi pangan di Jawa Timur pada tahun 2015.
Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pemahaman seluruh stakeholders terkait dan masyarakat dalam
peran sertanya untuk pemantapan Diversifikasi pangan.
2. Meningkatkan kemampuan menganalisis perkembangan diversifikasi pangan
agar: (i) mampu menetapkan prioritas penanganan masalah diversifikasi
pangan; (ii) mampu memilih intervensi yang tepat sesuai kebutuhan lokal; dan
(iii) mampu memantau dan mengevaluasi pembangunan diversifikasi pangan.
3. Meningkatkan koordinasi pembangunan diversifikasi pangan secara terpadu
untuk diimplementasikan karena terinci dengan jelas untuk membangun
sinergi, integrasi dan koordinasi yang baik mulai dari perencanaan,
implementasi dan evaluasi atas pelaksanaan bidang tugas masing-masing
dalam rangka mencapai tujuan diversifikasi pangan yang berkelanjutan.
Sasaran
1. Tersusunnya kebijakan diversifikasi pangan di Jawa Timur
2. Adanya acuan bagi penyusunan program pembangunan diversifikasi pangan
Proses Penyusunan
Penyusunan Roadmap diversifikasi pangan ini dilakukan oleh Tim dari
Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur. Awal dokumen ini dibahas dalam
berbagai diskusi yang melibatkan unsur lembaga pemerintah, perguruan tinggi,

swasta, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi


kemasyarakatan lainnya.

II. PENGERTIAN DAN KELOMPOK BAHAN PANGAN


2.1. Pengertian
1. Pangan, adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan
minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan dari atau pembuatan makanan dan minuman.
2. Konsumsi Pangan, adalah sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau
diminum penduduk/seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati.
3. Penganekaragaman Konsumsi Pangan, adalah beranekaragamnya jenis pangan
yang dikonsumsi penduduk mencakup pangan sumber energi, protein dan zat
gizi lainnya, dalam bentuk bahan mentah maupun pangan olahan sehingga
dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk baik kuantitas maupun kualitas.
4. Diversifikasi/Penganekaragaman Pangan, adalah proses pemilihan pangan
yang tidak tergantung kepada satu jenis saja, tetapi terhadap macammacam
bahan pangan mulai dari aspek produksi, aspek pengolahan, aspek distribusi
hingga aspek konsumsi pangan tingkat rumah tangga.
5. Pola Konsumsi Pangan, adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan
jumlah

bahan

makanan

rata-rata

perorang

perhari

yang

umum

dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu.


6. Pangan Pokok, adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi
atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama, selingan, sebagai
sarapan atau sebagai makanan pembuka atau penutup.
7. Pangan Lokal, adalah pangan yang diproduksi setempat (satu wilayah/daerah)
untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Pangan lokal tersebut berupa bahan
pangan baik komoditas primer maupun sekunder.
8. Pangan asli, adalah pangan yang asal-usulnya secara biologis ditemukan di
suatu daerah.
9. Pekarangan, adalah sebidang tanah disekitar rumah yang mudah diusahakan
dengan tujuan untuk meningkatkan pemenuhan gizi mikro melalui perbaikan

menu keluarga dan pekarangan sering juga disebut sebagai lumbung hidup,
warung hidup atau apotik hidup. Dalam kondisi tertentu pekarangan dapat pula
dibuat dengan memanfaatkan kebun atau pot serta benda lain yang dapat dan
cocok untuk menumbuhkan berbagai jenis tanaman, ternak dan ikan.
10. Pemanfaatan

Pekarangan,

adalah

pekarangan

yang

dikelola

secara

berkesinambungan melalui pendekatan terpadu (berbagai jenis tanaman,


ternak dan ikan) sehingga akan menjamin ketersediaan bahan pangan yang
beranekaragam secara terus menerus, guna pemenuhan gizi keluarga dan bila
hasilnya berlebih dapat dijual sehingga memberikan sumbangan pendapatan
keluarga.
11. Makanan Tradisional, adalah makanan yang dikonsumsi masyarakat golongan
etnik dan wilayah yang spesifik, diolah dari resep yang dikenal masyarakat,
bahan-bahannya diperoleh dari sumber lokal dan memiliki rasa yang relatif
sesuai dengan selera masyarakat setempat.
12. Makanan Kudapan, adalah makanan, baik hasil olahan rumah tangga atau pun
industri yang disajikan/dikonsumsi sebagai makanan selingan, sebagai sarapan
atau sebagai makanan pembuka atau penutup.
13. Makanan Seimbang, adalah makanan yang dimakan seseorang atau penduduk
untuk memenuhi kebutuhan tubuh seseorang yang dianjurkan untuk hidup
sehat.
14. Kecukupan Pangan, menunjukkan sejumlah energi dan zat gizi yang
diperlukan untuk kesehatan. Hal ini diperuntukan bagi semua golongan umur.
15. Konsumsi Energi adalah sejumlah energi pangan dinyatakan dalam kalori
yang dikonsumsi penduduk rata-rata perorang perhari.
16. Konsumsi Protein adalah sejumlah protein yang diperlukan untuk kesehatan
dan diperuntukkan bagi semua golongan umur.
17. Norma Kecukupan Gizi adalah sejumlah zat gizi/ energi pangan yang
diperlukan oleh seseorang atau rata-rata kelompok orang untuk memenuhi
kebutuhannya.
18. Neraca Bahan Makanan adalah suatu bentuk tabel yang terdiri dari
kolomkolom yang memuat berbagai informasi berupa data tentang situasi dan

kondisi penyediaan bahan pangan, mulai dari data produksi, pengadaan serta
perubahan-perubahan yang terjadi hingga suatu komoditas tersedia untuk
dikonsumsi oleh penduduk suatu daerah/negara dalam satu kurun waktu
tertentu.
19. Pola Pangan Harapan adalah komposisi/susunan pangan atau kelompok
pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya baik mutlak maupun relatif,
yang

memenuhi

kebutuhan

gizi

secara

kuantitas,

kualitas

maupun

keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya,


agama dan cita rasa.
20. Bobot (rating) adalah nilai yang diberikan untuk setiap kelompok bahan
pangan dengan mempertimbangkan kepadatan energi, zat gizi, serat, kuantitas,
dan cita rasa terhadap komoditas tersebut.
21. Skor mutu pangan adalah ukuran kualitas/mutu bahan pangan yang didasarkan
pada kontribusi energi setiap kelompok pangan dikalikan dengan bobot/rating.
III. KONSEP DIVERSIFIKASI PANGAN
Diversifikasi konsumsi pangan mempunyai peranan yang sangat penting
dalam upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang
berkualitas. Martianto (2005) menunjukkan bahwa manusia untuk dapat hidup
aktif dan sehat memerlukan lebih 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai
jenis makanan, dimana dapat dipenuhi melalui diversifikasi konsumsi pangan.
Studi yang dilakukan oleh Hardinsyah (1996) menunjukkan bahwa
diversifikasi pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai anti oksidan pangan,
konsumsi serat dan menurunkan resiko hiperkolesterol, hipertensi dan penyakit
jantung koroner. Berkaitan dengan hal ini, diversifikasi pangan menjadi salah satu
pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Dalam aspek makro, peranan diversifikasi pangan dapat dijadikan sebagai
instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan pada beras sehingga
mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional, serta dapat dijadikan instrumen
peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat. Beberapa hasil
kajian menunjukkan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak

menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau
individu. Studi yang dilakukan oleh Martianto dan Ariani (2004) menunjukkan
bahwa walalupun ketersediaan pangan secara nasional sudah cukup, namun
jumlah proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap propinsi masih tinggi
yakni 18 %. Bank Dunia (2006) menunjukkan bahwa perbaikan gizi merupakan
suatu investasi yang sangat menguntungkan. Pada kondisi gizi buruk, penurunan
produktivitas perorangan diperkirakan lebih dari 10 persen dari potensi
pendapatan seumur hidup; dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB
antara 2-3 persen.
Konferensi para ekonom di Copenhagen tahun 2005 (Konsensus
Kopenhagen) menyatakan bahwa intervensi gizi menghasilkan keuntungan
ekonomi (economic returns) tinggi dan merupakan salah satu yang terbaik dari 17
alternatif investasi pembangunan lainnya.
Pengertian Diversifikasi Pangan
Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan
kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia, oleh karena itu konsep tersebut
telah banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para pakar sesuai dengan
kontek tujuannya. Kasryno, et al (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai
upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi
masyarakat. Diversifikasi pangan ini tercakup aspek produksi, konsumsi,
pemasaran, dan distribusi. Dari aspek produksi, diversifikasi berarti perluasan
spektrum komoditas pangan, baik dalam hal perluasan pemanfaatan sumber daya,
pengusahaan komoditas maupun pengembangan produksi komoditas pangan.
Oleh karena itu dilihat dari aspek produksi, diversifikasi mencakup pengertian
diversifikasi horisontal maupun vertikal. Dari sisi konsumsi, diversifiksi pangan
mencakup aspek perilaku yang didasari baik oleh pertimbangan ekonomis seperti
pendapatan dan harga komoditas, maupun non ekonomis seperti kebiasaan, selera
dan pengetahuan. Pertemuan antara sektor produksi dan konsumsi tidak terlepas
dari peranan pemasaran dan distribusi komoditas pangan tersebut. Demikian pula

Suhardjo (1998) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan


mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu (1) diversifikasi
konsumsi pangan, (2) diversifikasi ketersediaan pangan, dan (3) diversifikasi
produksi pangan.
Sementara, Soetrisno (1998) mendefinisikan diversifikasi pangan lebih
sempit

(dalam

konteks

konsumsi

pangan)

yaitu

sebagai

upaya

menganekaragamkan jenis pangan yang dikonsumsi, mencakup pangan sumber


energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai
dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya. Secara lebih
tegas, Pakpahan dan Suhartini (1989) menyatakan dalam konteks Indonesia
diversifikasi/keanekaragaman

konsumsi

pangan

sering

diartikan

sebagai

pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi


bahan pangan non beras. Menurut Suhardjo dan Martianto (1992) semakin
beragam konsumsi pangan maka kualitas pangan yang dikonsumsi semakin baik.
Oleh karena itu dimensi diversifikasi pangan tidak hanya terbatas pada pada
diversifikasi konsumsi makanan pokok saja, tetapi juga makanan pendamping.
3.1 . Penilaian Pengembangan Pola Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH
Pengembangan Pola Konsumsi Pangan dapat diterapkan baik untuk tingkat
Nasional, Regional ( propinsi dan Kabupaten ) dan tingkat keluarga tergantung
keperluannya, sedangkan penilaiannya dapat dilakukan melalui 2(dua) sisi yaitu :
sisi kuantitas dan sisi kualitas. Sisi kualitas, kualitas pangan dalam hal ini dapat
mencakup aspek fisik pangan, kualitas kimiawi dan mikrobiologi/aspek keamanan
pangan, aspek organoleptik dan aspek gizi. Pangan dari sisi ini lebih ditujukan
kepada aspek gizi yang didasarkan kepada keanekaragaman pangannya , bukan
hanya makanan pokok saja, tetapi juga bahan pangan lainnya. Semakin beragam
dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas
gizinya, karena pada hakekatnya tidak ada satupun jenis pangan yang
mempunyaui kandungan gizi yang lenkap dan cukup dalam jumlah jenisnya.
Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan
Harapan (PPH). Semakin tinggi skor mutu pangan yang dihitung menggunakan

pendekatan PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan


komposisinya semakin baik/berimbang. Sisi kuantitas, pada sisi ini ditinjau dari
volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan
pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan
sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal
sebagai Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi.Untuk menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat
digunakan Parameter Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi
Protein (TKP). Beberapa kajian menunjukkan bahwa bila konsumsi energi dan
protein terpenuhi sesuai dengan norma atau angka kecukupan gizi dan konsumsi
pangan beragam, maka zat-zat lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan.
Untuk menilai situasi pangan dalam rangka perumusan kebijakan di bidang
pangan dan gizi, dilakukan melalui kombinasi kedua sisi diatas, dimana kedua
penilaian tersebut dapat dipakai untuk melihat gambaran pola konsumsi/kebiasaan
makan penduduk disuatu wilayah. Penilaian terhadap pengembangan pola
konsumsi pangan tingkat nasional dan Regional dilaksanakan dengan pendekatan
Pola Pangan Harapan (PPH), menggunakan data Survai Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS). Pola Pangan harapan (PPH) adalah suatu komposisi pangan yang
seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH dapat
dinyatakan (1) dalam bentuk komposisi energi (kalori) anekaragam pangan
dan/atau (2) dalam bentuk komposisi berat (gram atau kg) anekaragam pangan
yang memenuhi kebutuhan gizi penduduk. Pola pangan harapan mencerminkan
susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
PPH (desirable dietary pattern), diperkenalkan pertama kali oleh
FAORAPA dalam pertemuan konsultasi FAO-RAPA di Bangkok pada tahun 1989.
PPH disarankan untuk digunakan bagi setiap negara dikawasan Asia Pasifik yang
dalam penerapannya perlu diadaptasi sesuai pola konsumsi pangan dan kebutuhan
gizi setempat. PPH berguna (1) sebagai alat atau instrumen perencanaan konsumsi
pangan, ketersediaan pangan dan produksi pangan; (2) sebagai instrumen evaluasi
tingkat pencapaian konsumsi pangan, penyediaan pangan dan produksi pangan,
baik penyediaan dan konsumsi pangan; (3) dapat pula digunakan sebagai basis

pengukuran diversifikasi dan ketahanan pangan; (4) sebagai pedoman dalam


merumuskan pesan-pesan gizi.
Untuk menjadikan PPH sebagai instrumen dan pendekatan dalam
perencanaan pangan di suatu wilayah atau daerah diperlukan kesepakatan tentang
pola konsumsi energi dan konsumsi pangan anjuran dengan mempertimbangkan
(1) pola konsumsi pangan penduduk saat ini; (2) kebutuhan gizi yang dicerminkan
oleh pola kebutuhan energi (asumsi : dengan makan anekaragam pangan,
kebutuhan akan zat gizi lain akan terpenuhi); (3) mutu gizi makanan yang
dicerminkan oleh kombinasi makanan yang mengandung protein hewani, sayur
dan buah; (4) pertimbangan masalah gizi dan penyakit yang berhubungan dengan
gizi; (5) kecenderungan permintaan (daya beli); (6) kemampuan penyediaan
dalam konteks ekonomi dan wilayah. Dengan mempertimbangkan hal tersebut
pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Badan Urusan Ketahanan Pangan,
Deptan dan sektor dan sub-sektor terkait serta pakar pangan dan gizi pada tanggal
31 Oktober 2000 disepakati untuk menyempurnakan komposisi PPH untuk target
perencanaan penyediaan konsumsi pangan untuk dikonsumsi penduduk pada
tingkat nasional seperti disajikan pada Tabel 1. PPH 2020 maksudnya PPH yang
akan dicapai secara nasional tahun 2020 yang perlu diterjemahkan pada
perencanaan nasional dan daerah secara bertahap tahun demi tahun dan target
demi target.
Tabel 1. Komposisi Energi Menurut Pola Pangan Harapan

Sumber: Deptan, (2001)

Masing-masing daerah (kabupaten/kota) perlu meng-adaptasi pola ini,


disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan masing-masing daerah dalam
rangka mendukung pencapaian tujuan dan target pembangunan pangan nasional.
Prinsip-prinsip ini diharapkan dijadikan benang merah (metode standar) dalam
perencanaan penyediaan konsumsi pangan tingkat kabupaten dan kota. Artinya
prinsip perhitungannnya disepakati untuk digunakan bersama, sedangkan
komposisinya

akan

bervariasi

antar

daerah

sesuai

kemampuan

dan

permasalahannya.
Patut dipahami bersama bahwa PPH merupakan komposisi atau pola pangan
dalam bentuk persentase konsumsi energi yang dianjurkan (harapan) untuk hidup
sehat, tanpa memandang apakah pangan tersebut berasal dari produksi lokal
(dalam negeri) atau didatangkan dari negara/daerah lain (impor). Oleh karena itu
angka-angka yang disajikan baru sebatas kebutuhan untuk konsumsi manusia atau
penduduk. Untuk perencanaan pangan perlu dipertimbangkan faktor koreksi atau
jumlah yang digunakan untuk ekspor (dibawa kedaerah lain), pakan ternak,
kebutuhan industri (bukan untuk makanan penduduk setempat), benih atau bibit,
cadangan dan kehilangan.
Penilaian Konsumsi Pangan Wilayah dengan Pendekatan PPH. Analisis
konsumsi pangan wilayah diarahkan untuk menganalisis situasi konsumsi pangan
dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya dan sosial ekonomi wilayah.
Dalam menganalisis konsumsi pangan wilayah yang berbasis sumberdaya, perlu
diperhatikan faktor pendukung utama yang mempengaruhi pola konsumsi yaitu
(1) ketersediaan; (2) kondisi sosial dan ekonomi; (3) letak geografis wilayah (desa
- kota) serta (4) karakteristik rumah tangga.
Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) sangat dipengaruhi
oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan pada daerah
tersebut. Sedangkan pada tingkat mikro (tingkat Rumah Tangga) lebih
dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga memproduksi pangan, daya beli, dan
pemberian. Pola konsumsi pangan sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonomi
rumah tangga seperti tingkat pendapatan, harga pangan, selera dan kebiasaan

makan. Dalam analisis pola konsumsi, faktor sosial budaya didekati dengan
menganalisa data golongan pendapatan rumah tangga. Sedangkan letak geografis
didekati dengan lokasi desa-kota dari rumah tangga yang bersangkutan.
Pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga
yaitu jumlah anggota rumah tangga, struktur umur jenis kelamin, pendidikan dan
lapangan pekerjaan. Dengan menggunakan data Susenas dapat dianalisis beberapa
faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan wilayah dan dilakukan melalui
tabulasi dengan mengelompokkan data konsumsi pangan sebagai berikut :
1. Data konsumsi dan pengeluaran pangan dilakukan pengelompokkan menjadi 9
kelompok pangan .
2. Pendapatan rumah tangga didekati dengan pengeluaran rumah tangga untuk
kebutuhan pangan dan non pangan dikelompokkan (1) di daerah pedesaan dan
(2) di daerah perkotaan.
3. Pendapatan rumah tangga juga didekati dengan pengelompokkan tingkat
pengeluaran berdasarkan golongan pengeluaran perkapita perbulan.
4. Dalam melakukan analisis, berbasis pada :
Angka kecukupan energi rata-rata untuk Indonesia pada tingkat konsumsi
ebesar 2200 Kkal/orang/hari dengan tingkat ketersediaan sebesar 2500
kkal/orang/hari.
Angka kecukupan protein rata-rata untuk penduduk Indonesia sebesar 50
gram/orang/hari pada tingkat konsumsi dan 55 gram/orang/hari pada tingkat
ketersediaan.
Angka kecukupan konsumsi lemak minimum setara dengan 10 % dari total
energi dan maksimum 25 % dari total energi, dengan konsumsi yang
bersumber dari lemak rata-rata sebesar 20 %.
Pengembangan pola konsumsi Tingkat Rumah Tangga. Sesuai dengan
tujuan dari upaya pengembangan konsumsi pangan yaitu untuk memperbaiki
mutu gizi melalui penganekaragaman menu makanan sehari-hari, dan penyediaan
bahan makanan yang beranekaragam termasuk penyediaan protein nabati dan
hewani, sejauh mungkin memperhatikan pola konsumsi masyarakat setempat.
Dalam upaya pengembangan konsumsi pangan tersebut, perlu disusun pedoman

perencanaan menu seimbang yang dapat digunakan untuk bahan penyuluhan bagi
petugas maupun sebagai pedoman di tingkat rumah tangga.
Pedoman Perencanaan Menu Seimbang merupakan suatu pedoman gizi
yang berisi pesan-pesan praktis bagi masyarakat untuk menyusun menu makanan
yang sehatdan seimbang. Pengembangan pola konsumsi pangan ditingkat rumah
tangga dilaksanakan dengan menggunakan petunjuk dan pedoman sederhana
penyusunan menu seimbang, dengan langkah-langkah berikut :
a. Menentukan Komposisi Anggota Keluarga
Petunjuk singkat dibawah ini menyajikan contoh cara menyusun menu
berdasarkan kesimbangan pola konsumsi yang disarankan untuk satu keluarga.
Misalnya satu keluarga terdiri dari Bapak, Ibu dan dua anak dengan aktivitas
sedang, maka kecukupan energi dan protein keluarga tersebut sebagai berikut :
Petunjuk singkat dibawah ini menyajikan contoh cara menyusun menu
berdasarkan kesimbangan pola konsumsi yang disarankan untuk satu keluarga.
Misalnya satu keluarga terdiri dari Bapak, Ibu dan dua anak dengan aktivitas
sedang, maka kecukupan energi dan protein keluarga tersebut sebagai berikut :
Tabel 2 : Angka Kecukupan Energi dan Protein Keluarga.

Tabel di atas diperoleh dari kecukupan yang tertera pada tingkat kecukupan
energi yang dianjurkan rata-rata perorang per hari berdasarkan tingkatan umur
seperti tercantum pada Tabel 3, sehingga diperoleh total kecukupan energi dan
protein bagi keluarga sebesar 8400 kalori dan 163 gram protein, 20% (32,6 gram)
dari hewani dan sisanya dari nabati.

Tabel 3. Angka kecukupan energi dan protein dianjurkan


rata-rata per orang per hari

Sumber : Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi 1993, LIPI.


b. Pemilihan Bahan Pangan
Setelah ditetapkan kebutuhan masing-masing keluarga dalam bentuk kilo
kalori untuk energi dan gram untuk protein, maka baru ditetapkan jenis bahan
pangan yang akan dipilih dalam susunan menu makanan, yang terdiri dari sumber
karbohidrat, lauk pauk (sumber protein), sayur dan buah (sumber vitamin dan
mineral). Begitu pula dengan komoditi yang lain. Dari perhitungan diatas dapat
diperoleh gambaran menu seimbang bagi satu keluarga sebagaimana ditunjukkan
tabel 3.
Terlihat pada tabel 3, bahwa kecukupan gizi keluarga yaitu sebesar 8.400
kalori dan 163 gram protein dapat dipenuhi. Selanjutnya perlu diperhatikan pula
distribusi/pembagian makanan didalam keluarga. Sesuaikan porsi untuk ayah, ibu
dan anak dengan kecukupan gizi yang diperlukan dan harus dipenuhi.

Tabel 3. Menu Seimbang Bagi Satu Keluarga

*) sayuran siap masak (segar)100 gram = 1 gls setelah dimasak dan ditiriskan
URT : Ukuran Rumah Tangga, Gls : gelas, Sdm : Sendok makan, Bh : buah,
sdg : sedang, ptg : potong, kc : kecil.

c. Petunjuk Penggunaan Bahan Penukar


Penggunaan aneka ragam bahan pangan yang tersedia dalam konsumsi
sehari-hari dapat dinyatakan dalam satuan bahan penukar. Sebagai informasi
dibawah ini dijelaskan beberapa komoditas bahan pangan pilihan lengkap dengan
jenis bahan penukarnya, dengan menggunakan ukuran rumah tangga(URT).
Beberapa jenis bahan pangan yang dapat dijadikan sebagai sumber energi
(bahan pangan pokok) :
1 satuan padanan mengandung 175 Kalori, 4 gram protein dan 40 gram
karbohidrat :
- Nasi 100 gram

= gls

- Jagung 100 gram

= gls

- Singkong 100 gram

= 1 ptg sdg

- Ubi Jalar 150 gram

= 1 bj sd

- Kentang 200 gram

= 2 bj sdg

- Sagu 40 gram

= 7 sdm

- Terigu 50 gram

= 8 sdm

- Talas 200 gram

= 1 bj sdg

- Mie basah 100 gram

= 1 gls

- Mie kering 50 gram

= 1 gls

- Bihun 50 gram

= gls

- Roti 80 gram

= 4 iris

Protein nabati : 1 satuan padanan mengandung 80 kalori, 6 gram protein, 3 gram


lemak dan 8 gram karbohidrat:
- Tahu 100 gram

= 1 bj besar

- Kacang tanah 20 gram

= 2 sdm

- Kacang hijau 25 gram

= 2 sdm

- Kacang kedelai 25 gram

= 2 sdm

- Tempe 50 gram

= 2 ptg sdg

- Oncom 50 gram

= 2 ptg sdg

Protein hewani : 1 satuan padanan mengandung 95 kalori, 10 gram protein,dan 6


gram lemak :
- Daging sapi 50 gram

= 1 ptg sdg

- Daging ayam 50 gram

= 1 ptg sdg

- Ikan basah 50 gram

= 1 ptg sdg

- Udang 50 gram

= 1/4 gls

- Ikan asin 25 gram

= 1 ptg sdg

- Ikan teri 25 gram

= 2 sdm

- Telur ayam Kampung 75 gram = 2 btr


- Telur ayam negeri 60 gram

= 1 btr bsr

- Telur bebek 60 gram

= 1 btr

Kelompok susu merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, Vitamin (terutama


vitamin A dan niacin) serta mineral (kalsium dan fosfor). 1 satuan padanan
mengandung 110 kalori, 7 gram protein, 9 gram kiarbohidrat dan 7 gram lemak.
- Susu sapi 200 gram

= 1 gls

- Susu kambing 150 gram

= gls

- Susu kental tak manis 100 gram = gls


- Susu bubuk 25 gram

= 5 sdm

- Yoghurt 200 gram

= 1 gls

Kelompok minyak, bahan makanan ini hampir seluruhnya terdiri dari lemak. 1
satuan padanan mengandung 45 kalori dan 5 gram lemak.
- minyak goreng 5 gram

= sdm

- minyak ikan 5 gram

= sdm

- margarin 5 gram

= sdm

- kelapa 30 gram

= 1 ptg kcl

- kelapa parut 30 gram

= 5 sdm

- santan 50 gram

= gls

- lemak sapi 5 gram

= 1 ptg kcl

Ket : gls = Gelas, btr = Butir, sdm = Sendok Makan kcl = Kecil, ptg = Potong,
sdm = Sedang, bj = Biji bsr = Besar

IV. KONDISI DAN PELUANG DIVERSIFIKASI PANGAN


4.1. Kondisi
Salah satu paradigma baru pembangunan pangan setelah diberlakukannya
Undang-Undang otonomi daerah adalah perencanaan penyediaan pangan yang
semula sentralistik dan lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi
desentralistik dengan pertimbangan yang lebih komprehensif, sehingga tujuantujuan pemantapan Ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat lebih
terakomodasi. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman dan penyediaan data
Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (PPH) di masingmasing daerah.
Penyusunan NBM dan PPH Jawa Timur sudah dilaksanakan sejak tahun
1984 sampai sekarang, dimana dari hasil analisis NBM dan PPH ini menjadi
bahan pertimbangan dalam perencanaan pangan dan gizi di tingkat wilayah.

Tabel 4. Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Propinsi Jawa

Timur tahun 2005 dan 2006.

Konsumsi energi penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 1900 kkal/kap/hr


atau mencapai 95,0 % dari anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE) berdasarkan
Widyakarya Pangan dan Gizi VIII tahun 2005 sebesar 2000 kkal/kap/hr.
Konsumsi energi tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hr atau 95,0 % dari AKE lebih
tinggi dari dari konsumsi energi tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr atau
85,9 % dari AKE. Konsumsi energi penduduk didukung oleh konsumsi energi
penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 11902 kkal/kap/hr dan 1901
kkal/kap/hr. Konsumsi energi penduduk perkotaan sebesar 1902 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr, kecenderungan yang
sama terjadi pada konsumsi energi penduduk pedesaan sebesar 1901 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1893 kkal/kap/hr. Nampak bahwa
konsumsi energi penduduk perkotaan relatif sama dengan konsumsi energi
penduduk pedesaan.

Tabel 5. Rata-rata Konsumsi Energi Penduduk tahun 2002 dan 2005

Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2005 = 2000 kal/Kap/Hari


Ditinjau dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang mengacu pada standar yang
ditetapkan Departemen Kesehatan tahun 2006, ternyata konsumsi energi
penduduk Jawa Timur tahun 2005 mencapai sebesar 95,0 % yang berarti
tergolong normal karena berada pada kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
90-119%.
Sedangkan konsumsi protein penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 62,30
gr/kap/hr atau meningkat sebesar 2,20 gr/kap/hr atau 3,66 % dari konsumsi
protein tahun sebelumnya sebesar 60,10 gr/kap/hr. Konsumsi protein tersebut
ternyata melampaui 10,30 gr/kap/hr (19,61% ) dari angka kecukupan protein yang
dianjurkan 52 gr/kap/ hr. Konsumsi protein tersebut didukung dengan peningkatan
konsumsi protein penduduk pedesaan yang cukup besar dari konsumsi protein
penduduk pedesaan tahun sebelumnya. Konsumsi protein penduduk perkotaan
dan pedesaan mencapai sebesar 60.70 gr/kap./hr dan 64,5 gr/kap./hr.
Tabel 6. Rata-rata Konsumsi Protein Perkapita Perhari dan Skor PPH
Jawa Timur tahun 2002 dan 2005.

Konsumsi protein penduduk perkotaan sebesar 60,7 gram/kap/hr menurun


sebesar 6,7 gram/kap/hr atau 9,95 % dari tahun sebelumnya sebesar 67,4
gram/kap/hr. Sedangkan, konsumsi protein penduduk pedesaan sebesar 64,5
gram/kap/hr meningkat 6,3 gram/kap/hr atau 10,82 % dari tahun sebelumnya
sebesar 58,20 gram/kap/hr. Peningkatan konsumsi protein penduduk pedesaan
dikarenakan adanya peningkatan konsumsi pangan hewani berupa : ikan, daging
ruminansia, telur dan susu. Oleh karena itu, upaya percepatan gerakan
penganekaragaman diarahkan di daerah perkotaan yang difokuskan pada
keanekaragaman konsumsi pangan nabati non beras/tepung terigu beruapa umbiumbian, sayur dan buah, kacang-kacangan, serta konsumsi pangan hewani yang
berigizi dan berimbang.
Tingkat dan kualitas konsumsi pangan semakin baik dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh keragaman konsumsi pangan
penduduk dengan skor PPH 77,8 lebih tinggi dibandingkan dengan Skor PPH
tahun sebelumnya sebesar 71,0. Meskipun kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap kualitas konsumsi pangan semakin meningkat, namun masih terdapat
asupan gizi dari beberapa kelompok bahan makanan berada dibawah rekomendasi
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Hampir semua kelompok pangan
dikonsumsi dalam jumlah yang belum memadai, kecuali kelompok padi-padian.
Sumbangan energi kelompok padi-padian terhadap Angka Kecukupan Gizi
(AKG) pada tahun 2005 cukup besar mencapai 57,9 %, sedangkan proporsi
idealnya sebesar 50 %. Sumbangan energi kelompok pangan yang masih jauh dari
proporsi idealnya adalah : kelompok pangan hewani, kelompok sayur dan buah,
serta kelompok umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa pola konsumsi
pangan penduduk Jawa Timur belum memenuhi kaidah kecukupan gizi yang
dianjurkan dan konsep pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.

Tabel 7. Rata-rata Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga

Tahun 2002 dan Tahun 2005

Konsumsi pangan kelompok padi-padian didominasi oleh beras, dan


ternyata konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 94,35 kg/kap/thn (data
diolah dari Susenas 2005) meningkat sebesar 0,89 kg/kap/thn dibandingkan
dengan konsumsi beras tahun sebelumnya sebesar 93,46 kg/kap/thn (data diolah
dari Susenas 2002). Demikian pula, konsumsi terigu masih cukup tinggi mencapai
sebesar 8,43 kg/kap/thn meningkat sebesar 1,60 kg/kap/thn dibandingkan dengan
konsumsi terigu tahun sebelumnya sebesar 6,83 kg/kap/thn. Peningkatan
konsumsi beras dan terigu nampaknya mempengaruhi konsumsi tepung umbiumbian. Konsumsi umbi-umbian hanya mencapai sebesar 19,52 kg/kap/thn
menurun sebesar 5,70 kg/kap/thn dibandingkan dengan konsumsi tahun
sebelumnya sebesar 25,22 kg/kap/thn. Hal ini merupakan tantangan yang harus
menjadi fokus penanganan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya
percepatan penganekaragaman pangan di Jawa Timur . Karena selain dari beras,
sebenarnya sumber karbohidrat dapat diperoleh dari berbagai bahan pangan pokok
lainnya yaitu serealia selain beras (jagung, sorghum), umbi-umbian (singkong/ubi
kayu, ubi jalar, kentang, bentul, talas, uwi, garut, ganyong dan sebagainya), buahbuahan (sukun, pisang).

Tabel 8. Konsumsi Pangan Penduduk Jawa Timur Menurut Kelompok Pangan

Sumber : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur


Berdasarkan data yang diolah dari Susenas 2005, bahwa peningkatan
konsumsi beras secara total sebesar 94,35 kg/kap/thn dari tahun sebelumnya
sebesar 93,46 kg/kap/thn, disebabkan karena peningkatan konsumsi padi-padian
(beras ketan, tepung beras, lainnya padi-padian), serta makanan dan minuman jadi
(kue basah, nasi campur/rames, nasi goreng, nasi putih dan lontong sayur).
Konsumsi padi-padian sebesar 0.79 kg/kap/thn meningkat dari tahun
sebelumnya sebesar 0,63 kg/kap/thn. Konsumsi makanan dan minuman jadi
sebesar 6,51 kg/kap/thn meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 5,28
kg/kap/thn. Sedangkan konsumsi beras secara langsung (tanpa melaui proses
olahan) ternyata masih cukup tinggi yaitu sebesar 86,97 kg/kap./thn, namun
menurun dari tahun sebelumnya sebesar 87,44 kg/kap./th.

Tabel 9. Konsumsi Beras Penduduk Jawa Timur berdasarkan jenis pangan


tahun 2002 dan 2005 (sesuai pengelompokan dalam Susenas)

Keterangan : *) Pengelompokan Pangan Berdasarkan SUSENAS.


Salah satu kelompok masyarakat yang sangat sensitif terhadap masalah
ketahanan pangan adalah balita. Gizi kurang pada balita dapat dilihat berdasarkan
berat badan dan tinggi badan menurut umur. Situasi kemanan pangan yang
tedeteksi selama dua tahun terakhir menunjukkan masih banyak dijumpai kejadian
atau kasus ketidakamanan pangan. berbagai kasus gangguan kesehatan manusia
akibat konsumsi pangan yang tidak aman oleh pencemaran kimia, biologis yaitu
berbagai mikroba termasuk yang membawa penyakit, serta cemaran fisik telah
terjadi di beberapa daerah.
Kasus-kasus pangan hewani yang terkena wabah penyakit antraks, penyakit
flu burung, beredarnya bahan makanan dan minuman olahan tanpa izin beredar
dan melanggar ketentuan batas kadaluarsa, serta penggunaan bahan tambahan
pangan terlarang yang dapat membahayakan kesehatan, atau bahkan dapat

meyebabkan kematian perlu mendapatkan perhatian serius dalam penanganan ke


depan.
Kondisi rumah tangga rawan pangan masih terjadi di Jawa Timur
dibandingkan dengan propinsi lain berdasarkan data SUSENAS yang tertuang
dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2006disajikan dalam Tabel berikut.
Tabel 10. Jumlah Penduduk Rawan Pangan Menurut Propinsi

*) Tidak dilakukan survey total


Sumber : Gizi dalam Angka (2005) dan Nutrition Map of Indonesia, 2006
Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di relatif masih
tinggi masih tinggi. Tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan dan anak
balita kurang gizi menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak selalu berarti

bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi.
Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap
harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan
rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat
berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga.
Hubungan tentang kerawanan pangan dengan tingkat pendapatan relatif
cukup erat baik ditinjau dari kecukup[an energi maupun kualitas pangan. Pada
gambar berikut ditunjukkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang maka
akan menyebabkan rendahnya kecukupan energi maupun skor PPHnya.

Grafik 1. Tingkat Konsumsi Energi Provinsi Jawa Timur Tahun 2005

Grafik 2. Skor PPH Propinsi Jawa Timur


Sumber : Badan Ketahanan Pangan jawa Timur, 2006

4.2. Masalah dan Tantangan Diversifikasi Pangan


Permasalahan
Permasalahan dalam diversifikasi pangan dapat diidentifikasi sebagai
berikut :
a. Jumlah penduduk yang cukup besar membutuhkan konsumsi yang cukup besar.
Dengan penduduk yang terus bertambah, meningkatkan permintaan terhadap
pangan terutama beras terus meningkat sehingga akan menambah beban,
karena keterbatasan sumberdaya alam sebagai basis produksi.
b. Kebijakan pengembangan pangan yang terfokus pada beras telah mengurangi
penggalian dan pemanfaatan potensi sumber-sumber pangan karbohidrat lain;
serta mempengaruhi lambatnya pengembangan usaha penyediaan bahan
pangan sumber protein (antara lain : serealia, daging, telur, susu), sumber zat
gizi mikro (seperti sayuran dan buah-buahan) serta potensi pangan lokal yang
tersebar di wilayah.
c. Pola konsumsi pangan masyarakat masih belum beragam karena dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain : dari segi sosial budaya mencakup informasi,
pengetahuan dan kebiasaan yang dipengaruhi oleh nilai dan norma,
kelembagaan maupun budaya lokal yang spesifik; dan dari segi ekonomi
mencakup sistem perdagangan yang kurang jujur dan bertanggung jawab, serta
tingkat pendapatan masyarakat rendah dan harga pangan cenderung naik.
d. Konsumsi pangan hewani masyarakat pada umumnya masih di bawah anjuran,
tingkat konsumsinya di perkotaan lebih tinggi dari pada di pedesaan, serta
tingkat konsumsinya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat.
e. Masyarakat di beberapa daerah tertentu masih mengalami kerawanan pangan
secara berulang (kronis) pada musim paceklik dan kerawanan mendadak di
daerah yang terkena bencana. Kerawanan kronis disebabkan keterbatasan
kemampuan produksi dan rendahnya pendapatan masyarakat pada daerahdaerah tertentu.
f. Penerapan teknologi produksi dan teknologi pengolahan pangan lokal di
masyarakat tidak mampu mengimbangi pangan olahan asal impor yang
membanjiri pasar.

g. Cita rasa makanan tradisional kurang memenuhi selera generasi muda, kurang
menarik penampilannya akibat dimasak terlalu lamah. Makanan tradisonal
kurang memenuhi standar mutu dan gizi
i. Beberapa masakan harus disajikan secara panas
j. Promosi dan penyebaran informasi serta upaya pengembangannya masih
terbatas
k. Kurangnya investor yang tertarik untuk mengembangkan produk makanan
tradisional
l. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan arti gizi dan kesehatan.
Peluang
Disamping masalah dan tantangan tersebut, masih ada peluang yaitu basis
sumberdaya nasional yang tersebar diseluruh Indonesia, sebagai tumpuan bagi
upaya peningkatan diversifikasi pangan. Berbagai peluang tersebut antara lain :
a. Potensi untuk meningkatkan produktivitas berbagai ekosistem lahan yakni :
lahan kering, pekarangan dan tadah hujan masih tersedia, dengan dukungan
pengembangan teknologi tepat guna spesifik lokasi.
b. Potensi pangan nabati dan hewani yang cukup kaya dan beragam, tersebar di
laut, kolam dan hutan serta ekosistem lainnya.
c. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh
seluruh wilayah masih dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat pada wilayah tersebut.
d. Partisipasi industri pengolahan pangan makin berkembang dalam memproduksi
bahan pangan yang siap saji dan siap konsumsi, sehingga dapat mewujudkan
kondisi masyarakat yang kondusif dalam diversifikasi konsumsi pangan.
e. Struktur instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah, sudah disusun
berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
f. Adanya otonomi daerah memberikan kewenangan penuh untuk mengatur
tingkat produksi, distribusi dan konsumsi pangan masyarakat secara lebih
spesifik serta fleksibel.

g. Tumbuhnya LSM dan kelompok masyarakat lainnya yang bergerak dalam


bidang pangan dan gizi.
h. Telah meningkatnya kapasitas sumberdaya manusia dalam perencanaan pangan
dan gizi di wilayah akan mempercepat proses diversifikasi pangan serta telah
terbentuknya berbagai kelembagaan pangan
i. Berbagai makanan tradisional yang dimiliki oleh berbagai wilayah di tanah air
masih dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat
bahkan kebutuhan masyarakat daerah lain
j. Beberapa terobosan yang telah dilakukan oleh beberapa industri pangan
ternyata mampu mengangkat citra dan cita rasa makanan tradisional; yang
ternyata sangat disukai berbagai kalangan bahkan telah diekspor
k. Peluang bagi pengembangan jenis makanan tradisional unggulan sesuai dengan
potensi dan preferensi makin terbuka dengan adanya otonomi daerah
l. Meningkatnya peran media baik media cetak (tabloid dan majalah) maupun
media elektronik serta Pusat Kajian Makanan Tradisional di Perguruan Tinggi ,
dalam upaya pengembangan resep dan promosi makanan tradisional yang
bergizi, bermutu serta bercita rasa tinggi.
V. JAWA TIMUR MENUJU DIVERSIFIKASI PANGAN
Tujuan
1. Mewujudkan konsumsi pangan yang beranekaragam berasal dari pangan pokok
dan semua bahan pangan lain yang dikonsumsi masyarakat.
2. Memanfaatkan pekarangan untuk melengkapi kebutuhan konsumsi pangan dan
gizi sekaligus tambahan pendapatan rumah tangga.
3. Mengembangkan pangan lokal dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi
dan mewujudkan penganekaragaman pangan.
4. Meningkatkan citra dan kelestarian makanan tradisional sebagai sumberdaya
potensi pengembangan ekonomi nasional dalam era pasar global.
5. Menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela dan kemampuannya sendiri
melaksanakan diversifikasi pangan dan meningkatkan pengetahuannya.

6. Mengurangi ketergantungan terhadap beras melalui peningkatan konsumsi


pangan baik nabati maupun hewani dengan peningkatan produksi pangan lokal
dan produk olahannya.
Sasaran
Sasaran roadmap diversifikasi pangan ini adalah :
1. Pencapaian konsumsi pangan AKG sebesar 2000 kkal dan menurunnya
kelompok masyarakat yang rawan pangan
2. Pencapaian Pola Pangan Harapan dengan skore 100 dengan menurunannya
konsumsi beras sampai 90 gram perkapita/hari dan meningkatnya konsumsi
protein minimal 52 gram/kapita per hari
3. Berkembangnya bisnis pangan berbasiskan sumberdaya pangan lokal dan
teknologi pangan yang tepat guna
Arah Pengembangan
Arah pengembangan diversifikasi pangan di Jawa Timur dilakukan dengan
orientasi : (1) peningkatan angka kecukupan energi, (2) peningkatan kualitas
pangan, dan (3) Peningkatan bisnis pangan berbasiskan sumberdaya lokal. Secara
rinci arah opengembangannya disajikan dalam Gambar sebagai berikut.

Gambar 3. Arah Pengembangan Diversifikasi Pangan di Jawa Timur

Strategi Diversifikasi konsumsi pangan


Dalam rangka mewujudkan pengembangan diversifikasi pangan, maka
strategi yang digunakan adalah melalui strategi jalur suplai dan jalur dalam sisi
permintaan. Secara rinci diuraikan sebagai berikut :
Gambar Arah Pengembangan Diversifikasi pangan di Jawa Timur
1. Dalam sisi suplai, strateginya adalah penyediaan suplai pangan dengan
mengembangkan

sumberdaya

lokal,

yang

dilakukan

melalui

(a)

pengembangan pemanfaatan pekarangan, (b) pengembangan pangan lokal, dan


(c) pengembangan makanan tradisional.
2. Dalam sisi permintaan, srateginya adalah perubahan perilaku dalam
mengkonsumsi. Hal ini dapat dilakukan melalui : (a) peningkatan KAP
(Knowledge, Attitude, Practice) melalui gerakan tentang konsumsi pangan
yang beragam dan gizi seimbang serta aman dan pemberdayaan kelembagaan
lokal, dan (b) usaha-usaha peningkatan pendapatan masyarakat melalui
pengembangan bisnis pangan.
Program
Berdasarkan strategi tersebut, maka program yang bisa dilakukan dalam
mewujudkan diversifikasi pangan adalah :
1. Pengembangan pemanfaatan pekarangan
2. Pengembangan pangan lokal,
3. Pengembangan makanan tradisional
4. Peningkatan kap (knowledge, attitude, practice) melalui gerakan tentang
konsumsi pangan yang beragam dan gizi seimbang
Pengembangan Pekarangan
Upaya pengembangan pekarangan, yaitu : (1) Intensifikasi pekarangan, (2)
penguatan kelompok wanita dalam Intensifikasi pekarangan, (3) peningkatan
pengetahuan gizi wanita pedesaan

1. Intensifikasi pekarangan
Intensifikasi pengakarangan ditujukan untuk peningkatan penyediaan
pangan berbasiskan pada sumberdaya yang dimiliki. Sasaran yang ingin dicapai
adalah

mengembangkan

penganekaragaman

makanan

sekaligus

untuk

meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.


Kegiatan yang dilaksanakan adalah : (1) penyusunan paket teknologi
pekarangan, (2) penyuluhan tentang paket teknologi pekarangan baik budifaya
mauun pengolahan; dan (2) percontohan desa intensif pekarangan, Indikator
keberhasilan kegiatan ini adalah : (1) tersedianya paket teknologi pekarangan, (2)
semakin intensifnya usaha pekatangan, dan (3) meningkatnya pendapatan
masyarakat pedesaan
2. Penguatan Kelompok Wanita dalam Intensifikasi Pekarangan
Penguatan kelompok wanita dalam Intensifikasi pekarangan ditujukan untuk
mendorong masyarakat berperan aktif dalam upaya pengembangan diversifsikasi
makanan sesuai dengan potensi sumberdaya dan nilai budaya setempat. Sasaran
yang ingin dicapai adalah meningkatnya peran kelembagaan wanita dalam rangka
mengembangkan penganekaragaman makanan
Kegiatan

yang

akan dilaksanakan

adalah

(1) pemberdayaan,

(2)

pendampingan, dan (3) penguatan modal bagi kelompok wanita dalam


pengembangan
meningkatnya

pekarangan.
jumlah

Indikator

kelompok

keberhasilan

wanita

dalam

kegiatan

ini

mengembangkan

adalah
usaha

pekarangan.
3. Peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan
Peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan ditujukan
untuk mendorong masyarakat agar mempunyai pengetahuan tentang nilai gizi dari
sumberdaya pangan yang ada di pedesaan. Sasaran yang ingin dicapai.
Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah (1) penyuluhan pangan beragam
dan bergizi seimbang, (2) lomba menu makanan dari hasil pekarangan, (3)
pengembangan depot desa dengan menu makanan berbasiskan sumberdaya
pedesaan.

Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah (1) meningkatnya pengetahuan


masyarakat tentang beragam dan bergizi seimbang, (2) meningkatnya ragam menu
makanan dari hasil pekarangan, (3) meningkatnya depot desa dengan menu
makanan berbasiskan sumberdaya pedesaan.
Pengembangan Pangan Lokal
1. Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya Lokal.
Pengembangan

pemanfaatan

sumberdaya

Lokal

ditujukan

untuk

peningkatan mutu dan penganekaragaman pangan. Sasaran yang ingin dicapai


adalah tergalinya potensi pangan lokal dalam memenuhi kebutuhan konsumsi
pangan yang bermutu, beragam dan terjangkau di tingkat rumah tangga.
Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi (1) Identifikasi potensi pangan
lokal sesuai kondisi daerah; (2) Pemetaan sumber daya lokal nabati dan hewani
pada tingkat wilayah ; (3) promosi pengembangan pangan lokal; (4) Sosialisasi
dan

pelatihan

produksi,

dan

pemasaran;

(5)

Pembinaan/pendampingan,

pemantauan dan evaluasi.


Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah (1). Tergalinya potensi dan
pemanfaatan sumber daya lokal; (2). Meningkatnya mutu dan keragaman pangan
lokal; (3). Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pangan yang
ada di wilayahnya.
2. Peningkatan Teknologi dan industri pengolahan Pangan skala kecil RT
Peningkatan teknologi dan industr pengolahan pangan skala rumah tangga
dan kecil diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan nilai
tambah bahan pangan lokal melalui pemanfaatan, penguasaan dan penerapan
teknologi pengolahan pangan serta mendorong kelembagaan pelayanan dan
lembaga swadaya masyarakat untuk mewujudkan industri pengolahan bahan
pangan berskala rumah tangga yang kokoh dan mandiri. Sasaran yang ingin
dicapai dalam program ini adalah peningkatan teknologi pangan dan kelembagaan
dalam rangka pengembangan bahan pangan lokal.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi antara lain : (1) Pemberdayaan
masyarakat dalam pengolahan bahan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat

dan protein untuk meningkatkan daya tarik pangan lokal non beras; (2)
Pemasyarakatan teknologi pengolahan pangan yang berbasis spesifik daerah serta
memperhatikan keamanan pangan; (3) Penemuan paket teknologi pengolahan
bahan pangan non beras; (4) Peningkatan peran masyarakat profesi atau asosiasi,
LSM dan dunia usaha untuk mengembangkan aneka tepung dan aneka bahan
pangan hewani; (5) Meningkatkan kemitraan antara industri rumah tangga dengan
industri berskala menengah dan besar dalam memanfaatkan bahan pangan lokal;
serta (6) Mengembangkan pengolahan bahan pangan nabati dan hewani yang
berasal dari pangan asli.
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah: (1) tersedianya paket
teknologi pengolahan pangan(2) teradopsinya teknologi pengolahan pangan oleh
masyarakat; (3) Meningkatnya ragam mutu bahan pangan lokal.
Pengembangan Makanan Tradisional.
Bertitik
pengembangan

tolak

dari

makanan

permasalahan
tradisional,

dan

maka

peluang

yang

dirancang

ada

dalam

(tiga)

upaya

pengembangan makanan tradisional, yaitu : (1) Pengembangan sumberdaya


makanan tradisional; (2) Peningkatan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan makanan tradisional dan (3) Peningkatan Teknologi dan
Kelembagaan Pangan.
1. Pengembangan sumberdaya makanan tradisional.
Pengembangan

sumberdaya

makanan

tradisional

ditujukan

untuk

mengidentifikasi, menginventarisasi, menggali dan mengkaji sumberdaya


makanan tradisional dalam peningkatan penganekaragaman penyediaan pangan.
Sasaran yang ingin dicapai adalah mengembangkan potensi dan spesifikasi (ke
khas an) makanan tradisional unggulan; melalui peran serta masyarakat bersama
Perguruan Tinggi dan Pemerintah.
Kegiatan yang dilaksanakan adalah : (1) Identifikasi dan inventarisasi
makanan tradisional sesuai potensi daerah; (2) Pemetaan/penyusunan profil
makanan tradisional unggulan tingkat wilayah; (3) promosi pengembangan
makanan tradisional; (4) Sosialisasi dan pelatihan (tata boga, menu dan

pengembangan resep makanan, mutu gizi pangan, citarasa serta sanitasi); (6)
Pembinaan, pendampingan, pemantauan dan evaluasi.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah : (1) Tergalinya potensi dan
kekhasan makanan tradisional unggulan; (2) meningkatnya mutu tradisional (baik
fisik, mutu gizi, citarasanya serta sanitasi); (4) meningkatnya nilai ekonomi
makanan tradisional dan (5) Penumbuhan sentra-sentra makanan tradisional.
2. Peningkatan Motivasi Citra Makanan Tradisional.
Peningkatan motivasi dan partisipasi dalam pengembangan makanan
tradisional ditujukan untuk mendorong masyarakat berperan aktif dalam upaya
pengembangan, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional sesuai
dengan potensi sumberdaya dan nilai budaya setempat. Sasaran yang ingin dicapai
adalah meningkatnya peran serta dan partisipasi masyarakat dalam upaya
pengembangan, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional.
Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah (1) Promosi makanan tradisional
dan memperluas Aku Cinta Makanan Indonesia; (2) Peningkatan Peran aktif
swasta (usaha jasa boga, perhotelan dan industri makanan rumah tangga ),
assosiasi, organisasi masyarakat (PKK, Dharma Wanita), Perguruan Tinggi, LSM
dan Media masa dalam mengembangkan potensi, mengangkat citra dan
melestarikan makanan tradisional; (3) Pemberdayaan kelompok wanita tani di
perkotaan dan perdesaan dalam mengembangkan potensi, mengangkat citra dan
melestarikan makanan tradisional; dan (4) Mendorong industri pangan tradisional
untuk mengembangkan usahanya diberbagai segi agar mampu bersaing dengan
pangan impor; (5) Penyelenggaraan Festival dan Lomba Makanan Tradisional.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah (1) Tersusunnya rancangan
strategi pemberdayaan masyarakat; (2) Tersosialisasinya upaya pengembangan
potensi, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional diberbagai
tingkatan; (3) Meningkatnya peran serta dan apresiasi masyarakat dalam upaya
pengembangan potensi, pelestarian dan peningkatan citra makanan tradisional; (4)
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi ketergantungan pada
makanan modern dan impor.
3. Peningkatan Teknologi dan Kelembagaan Pangan.

Aspek teknologi memegang peranan penting dalam pengembangan pangan


tradisional, karena factor inilah yang nantinya menentukan makanan tersebut
diterima atau tidak oleh konsumen. Peningkatan teknologi dan kelembagaan
pangan diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan
pemanfaatan, penguasaan dan penerapan teknologi olahan pangan serta
mendorong

kelembagaan

pelayanan

dan

swadaya

masyarakat

dalam

pengembangan potensi makanan tradisional. Sasaran yang ingin dicapai adalah


peningkatan teknologi olahan, penyajian dan pengemasan makanan tradisional
serta peningkatan peran kelembagaan dalam rangka pengembangan makanan
tradisional.
Kegiatan yang dilaksanakan antara lain : (1) Pemberdayaan masyarakat
dalam pengembangan produk olahan makanan tradisional untuk meningkatkan
daya tarik, cita rasa dan citra makanan tradisional; (2) Penelitian dan
pengembangan menu serta teknologi olahan makanan tradisioanl yang
memperhatikan mutu gizi dan keamanan pangan; (3) Pemasyarakatan teknologi
pengolahan, pengemasan dan penyajian dalam penerapan teknologi maju, spesifik
wilayah serta memperhatikan mutu gizi dan keamanan pangan.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah : (1) Teradopsinya teknologi
pengolahan, pengemasan dan penyajian makanan tradisional oleh masyarakat; (2)
Terciptanya teknologi pengolahan, pengemasan dan penyajian makanan
tradisional yang mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi. mudah disajikan dan
menarik. serta memperhatikan mutu dan keamanan pangan dan ; (3) Terciptanya
standardisasi makanan tradisional unggulan; (4) Meningkatnya ragam mutu
makanan tradisional.
Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) Konsumen
Peningkatan KAP diarahkan untuk merubah perlaku masyarakat dalam
mengkonsumsi gar tidak tergantung pada konsumsi beras. Sasaran yang ingin
dicapai dalam program ini adalah berkurangnya konsumsi beras melalui pola
pangan beragam dan bergizi seimbang.

Kegiatan yang dilaksanakan meliputi antara lain : (1) pembuatan modul dan
leaflet tentang pola makan beragam dan bergizi seimbang, (2) promosi pangan
beragam dan bergizi seimbang melalui media cetak dan elektronik secara
kontinyu, (3) pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat berbasis
sumber daya lokal, (4) memberikan makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS)
yang tepat berbasis sumber daya lokal, (5) pengembangan warung sekolah
berbasiskan makanan tradisional, (6) mensosialisasikan Gerakan Makanan
Beragam, dan gizi seimbang masyarakat yang dari instansi pemerintah, (7)
promosi pengembangan makanan tradisional pada hotel-hotel
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah: (1) tersedianya modul dan
leaflet diversifikasi pangan, (2) adanya promosi diversifikasi pangan secara rutin
di media cetak dan elektronik, (3) berkembangnya warung sekolah, (4) adanya
budaya makanan tradisonal pada instansi pemerintah dan hotel.
Tahapan dan Target
Pengembangan diversikasi pangan dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kondisi sumberdaya yang dimiliki, serta peluang pengembangnnya. Tahapan
pengembangan beserta indikator utama disajikan dalam Gambar sebagai berikut :

Sedangkan

target

pemenuhan

Angka

Kecukupan

Energi

masingmasing kelompok bahan makanan disajikan dalam grafik berikut:

untuk

Kegiatan
Program pengembangan pekarangan, dilakukanmelali sub program : (1)
intensifikasi pekarangan, (2) penguatan kelompok wanita dalam intensifikasi
pekarangan, (3) peningkatan pengetahuan gizi wanita pedesaan dan bisnis pangan.
Progam pengembanan pangan lokal dilakukan melalui : (1) pengembangan
pemanfaatan sumberdaya lokal, dan (2) peningkatan teknologi dan industri
pengolahan pangan skala kecil RT.
Program pengembangan makanan tradisional, maka dirancang 3 (tiga)
upaya pengembangan makanan tradisional, dilakukan melali sub progra : (1)
pengembangan sumberdaya makanan tradisional; (2) peningkatan motivasi dan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan makanan tradisional dan (3)
peningkatan Teknologi dan Kelembagaan Pangan.
Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) Konsumen dilaksanakan
melalui: (1) pembuatan modul dan leaflet tentang pola makan beragam dan bergizi
seimbang, (2) promosi pangan beragam dan bergizi seimbang melalui media cetak
dan elektronik secara kontinyu, (3) pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang tepat berbasis sumber daya lokal, (4) memberikan makanan tambahan
anak sekolah (PMT-AS) yang tepat berbasis sumber daya lokal, (5)
pengembangan

warung

sekolah

berbasiskan

makanan

tradisional,

(6)

mensosialisasikan Gerakan Makanan Beragam, dan gizi seimbang masyarakat


yang dari instansi pemerintah, (7) promosi pengembangan makanan tradisional
pada hotel-hotel.
Secara rinci masing-masing progam tersebut dijabarkan dalam kegiatan
yang disajikan dalam Tabel sebagai berikut:

VI. LANGKAH OPERASIONAL PEMBERDAYAAN KELOMPOK


PEDESAAN DALAM PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN
Tahapan dalam pemberdayaan kelompok pedesaan dalam pengembangan
diversifikasi disajikan dalam Gambar berikut . Secara umum pemeberdayaan
kelompok dibagi dalam 3 tahap, yakni :
1. Penguatan kelembagaan pemerintah (Badan Ketahanan Pangan, Dinas Sosial,
dan Dinas Kesehatan)
2. Penumbuhan kelembagaan pedesaan ( PKK dan Posayandu) dalam
diversifikasi pangan
3. Optimalisasi peran kelembagaan perdesaan melalui pengembangan kapasitas

Gambar 4. Tahapan Pemberdayaan Kelompok Pedesaan


dalam Pengembangan Diversifikasi Pangan

Sedangkah

langkah

operasional

untuk

untuk

masing-masing

kebijakan

diversifikasi pangan disajikan dalam model fishbone sebagaimana disajkan dalam


Gambar berikut.

Gambar 5. Model Fishbone Pengembangan Pekarangan

Gambar 6. Model Fishbone Pengembangan Pangan Lokal

Gambar 7. Model Fishbone Pengembangan Makanan Tradisional

Gambar 7. Model Fishbone Pengembangan Makanan Tradisional

Gambar 8. Model Fishbone Peningkatan KAP

VII. PENUTUP
Roadmap diversifikasi pangan ini diharapkan dapat meningkatkan
koordinasi

pembangunan

diversifikasi

pangan

secara

terpadu

untuk

diimplementasikan. Sasaran roadmap diversifikasi pangan ini adalah : (1)


pencapaian konsumsi pangan AKG sebesar 2000 kkal dan menurunnya kelompok
masyarakat yang rawan pangan, (2) pencapaian Pola Pangan Harapan dengan
skore 100 dengan menurunannya konsumsi beras sampai 90 gram perkapita/hari
dan meningkatnya konsumsi protein minimal 52 gram/kapita per hari, (3)
berkembangnya bisnis pangan berbasiskan sumberdaya pangan lokal dan
teknologi pangan yang tepat guna Akhirnya semoga Roadmap ini memberikan
manfaat bagi semua pihak yan terkait.

5.2. KEBIJAKAN OPERASIONAL KETAHANAN PANGAN


JAWA TIMUR 2007-2008

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengaturan tentang pangan tertuang dalam Undang-undang No.7 Tahun
1996, yang menyatakan juga bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Pemenuhan pangan dan gizi
untuk kesehatan warga negara merupakan investasi untuk peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Bank Dunia (2006) menyatakan bahwa perbaikan gizi
merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga
alasan suatu negara perlu melakukan intervensi di bidang gizi. Pertama, perbaikan
gizi memiliki economic returns yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti
mendorong pertumbuhan ekonomi; dan ketiga, perbaikan gizi membantu
menurunkan

tingkat

kemiskinan

melalui

perbaikan

produktivitas

kerja,

pengurangan hari sakit, dan pengurangan biaya pengobatan.


Pemenuhan hak atas pangan dicerminkan pada definisi ketahanan pangan
yaitu : kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Definisi ketahanan pangan ini secara luas, diartikan bahwa : (1)
terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yang diartikan
dengan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari
tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein,
lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan
kesehatan manusia, (2) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan
bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah
agama, (3) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, yang diartikan
bahwa pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, (4)

114

terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yang diartikan pangan mudah


diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Upaya-upaya untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi serta kesempatan
pendidikan

tersebut

akan

mendukung

komitmen

pencapaian

Millenium

Development Goals (MDGs), terutama pada sasaran-sasaran: (1) menanggulangi


kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3)
menurunkan angka kematian anak; dan (4) meningkatkan kesehatan ibu pada
tahun 2015. Komitmen global lain sebagai landasan pembangunan pangan dan
gizi adalah: The global Strategy for Health for All 1981, The World Summit for
Children 1990, The Forty-eight World Health Assembly 1995, World Food
Summit 1996 dan Health for All in the Twenty-first Century 1998.
Sejalan

dengan

sistem

otonomi,

pemerintah

propinsi,

pemerintah

kabupaten/kota dan atau pemerintah desa sesuai kewenangannya, menjadi


pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator atas penyelenggaraan
ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing. Selanjutnya, penyelenggaraan
ketahanan pangan di daerah mengacu pada arah kebijakan, strategi, dan sasaran
ketahanan pangan nasional serta pedoman, norma, standart dan kriteria yang telah
ditetapkan pemerintah pusat.
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Keberhasilan Ketahanan Pangan di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus
pangan telah menjadi tolok ukur keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh
karena itu pemerintah Jawa Timur harus terus berupaya memacu pembangunan
ketahanan

pangan

memperkokoh

melalui

ketahanan

program-program
pangan

sekaligus

yang

benar-benar

meningkatkan

mampu

kesejahteraan

masyarakat.
Pembangunan ketahanan pangan yang berdimensi pembangunan Jawa Timur
secara menyeluruh di setiap sektornya akan dapat terlaksana dengan efektif
manakala memiliki arah yang jelas dan terukur kinerjanya. Program-program
dalam rangka pembangunan ketahanan pangan harus terpadu (integrated), terukur
keberhasilannya (measureable) dan berkesinambungan (sustainability). Dengan

115

demikian setiap pelaksanaan program-program pembangunan dalam rangka


ketahanan

pangan

dapat

diarahkan

dengan

benar,

dapat

dipantau

perkembangannya dan selanjutnya dapat dievaluasi keberhasilannya. Berdasarkan


kenyataan ini penyusunan Kebijakan operasional ketahanan pangan (KOKP) perlu
dilakukan dan dijadikan dokumen operasional yang secara terpadu menyatukan
pembangunan ketahanan pangan dalam rangka mewujudkan SDM berkualitas
sebagai modal sosial pembangunan bangsa dan negara. Dokumen KOKP disusun
sebagai acuan pelaksanaan program ketahanan pangan bagi semua pihak,
termasuk pemerintah dan masyarakat, yang memiliki tanggung jawab melakukan
upaya perbaikan ketahanan pangan rumah tangga
1.2. Tujuan Penyusunan
Tujuan umum.
Kebijakan operasional ketahanan pangan Propinsi Jawa Timur disusun untuk
menjadi panduan dan arahan serta acuan bagi stakeholders (instansi pemerintah,
swasta, BUMN/ BUMD, perguruan tinggi, petani, nelayan, industri pengolahan,
pedagang, penyedia jasa) serta masyarakat pada umumnya untuk berperan serta
meningkatkan kontribusi yang optimal dalam upaya mewujudkan ketahanan
pangan di wilayah Jawa Timur.
Tujuan khusus
1. Untuk meningkatkan pemahaman seluruh stakeholders terkait dan masyarakat
dalam peran sertanya untuk pemantapan ketahanan pangan daerah.
2. Meningkatkan kemampuan menganalisis perkembangan situasi pangan dan
gizi di setiap wilayah agar: (i) mampu menetapkan prioritas penanganan
masalah pangan dan gizi; (ii) mampu memilih intervensi yang tepat sesuai
kebutuhan lokal; dan (iii) mampu membangun dan memfungsikan lembaga
pangan dan gizi; dan (iv) mampu memantau dan mengevaluasi pembangunan
pangan dan gizi.
3. Meningkatkan koordinasi pembangunan ketahanan pangan secara terpadu
untuk diimplementasikan karena terinci dengan jelas untuk membangun
sinergi, integrasi dan koordinasi yang baik mulai dari perencanaan,

116

implementasi dan evaluasi atas pelaksanaan bidang tugas masing-masing


dalam rangka mencapai tujuan yaitu mewujudkan ketahanan pangan yang
berkelanjutan pada propinsi Jawa Timur dan pemerintah Kabupaten/kota.
1.3. Ruang Lingkup dan Kerangka Kerja
Kebijakan Opresonal Ketahanan Pangan ini meliputi startegi dan langkah
konkrit yang akan dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan
meningkatkan status gizi masyarakat, yang tercermin pada tercukupinya
kebutuhan pangan baik jumlah, keamanan, dan kualitas gizi yang seimbang di
tingkat rumah tangga. KOKP ini, komitmen pencapaian MDGs, serta dokumendokumen kebijakan pembangunan nasional lain di bidang pangan dan gizi seperti
Kebijakan Umum Ketahanan pangan nasional 2005 2009 dan juga Rencana
Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) Propinsi Jawa Timur 2006
2008, arahan presiden pada April 2006 serta komitmen seluruh Gubernur pada
pada desember 2006.
Substansi dasar yang diuraikan dalam dokumen ini adalah pembahasan
tentang konsep dasar ketahanan pangan, Keragaan Ketahanan Pangan di Jawa
Timur, masalah strategis pembangunan ketahanan pangan yang meliputi potensi,
permasalahan, peluang dan tantangan pembangunan ketahanan pangan propinsi
jawa Timur, Kebijakan Ketahanan pangan yang berisi arah, tujuan, sstartegi
umum dan kebijakan umum. Selanjutnya dirumuskan kebijakan operasional dan
rencana aksi ketahanan pangan jawa Timur 2007 2009 yang dilengkapi matrik
yang berisi kegiatan, target serta indikator keberhasilannya.
1.4. Proses Penyusunan
Penyusunan Kebijakan operasional ketahanan pangan dilakukan oleh Tim
Dewan Ketahanan Pangan Jawa Timur. Konsep awal dokumen ini dibahas dalam
berbagai diskusi yang melibatkan unsur lembaga pemerintah, perguruan tinggi,
swasta, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan lainnya. Tahap terakhir proses penyusunan Kebijakan operasional
ketahanan pangan propinsi Jawa Timur adalah diskusi internal instansi pemerintah

117

yang terlibat dalam proses pembentukan formal dokumen ini menjadi suatu
kebijakan operasional ketahanan pangan di propinsi Jawa Timur.
II. KONSEP DASAR KETAHANAN PANGAN
2.1. Landasan Hukum Ketahanan Pangan
Landasan hukum penyusunan Kebijakan operasional ketahanan pangan Jawa
Timur adalah :
1. UU NO. 7 TAHUN 1996 tentang Pangan
2. PP No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan
3. PP 28 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan
4. Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan
5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005 2009
6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) Propinsi Jawa
Timur 2006 - 2008
7. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (pencanangan oleh Presiden
tanggal 11 Juni 2005), termasuk Kebijakan dan Program pembangunan
Ketahanan Pangan
8. Kebijakan umum Ketahanan Pangan 2006-2009
9. Arahan peresiden pada rapat pleno Dewan Ketahanan Pangan tanggal 18 April
2006
10. Komitmen Gubernur pada 20 Novevember 2006
11. PP No 3 tahun 2007 tentang pertanggungan jawab Gubernur, bupati/walikota
12. PP No 38 tahun 2007 bahwa Ketahanan pangan menjadi urusan wajib
pemerintah propinsi, kab/kota.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 mengamanatkan pembangunan
pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bersama
masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. UU Nomor
7 tahun 1996 menjelaskan tentang konsep ketahanan pangan, komponen serta
pihak yang berperan serta dalam mewujudkan ketahanan pangan. Undang-Undang
tersebut telah dijabarkan dalam beberapa peraturan pemerintah (PP) antara lain :
(i) PP Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengatur tentang

118

ketahanan pangan yang mencakup aspek ketersediaan pangan, cadangan pangan,


penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan,
peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, pengembangan sumberdaya
manusia dan kerjasama internasional; (ii) PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan yang mengatur pembinaan dan pengawasan di bidang label dan
iklan pangan dalam rangka menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan
bertanggungjawab; dan (iii) PP Nomor 28 Tahun 2004 yang mengatur tentang
keamanan, mutu dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke wilayah
Indonesia, pengawasan dan pembinaan serta peran serta masyarakat mengenai
hal-hal di bidang mutu dan gizi pangan.
Disamping mengacu pada berbagai dokumen hukum nasional tersebut,
pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan juga mengacu pada komitmen
bangsa Indonesia dalam kesepakatan dunia. Indonesia sebagai salah satu anggota
PBB (United Nation Organisation) menyatakan komitmen untuk melaksanakan
aksi-aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan dunia.
Kemiskinan tersebut antara lain tertuang dalam Deklarasi World food Summit
1996 dan ditegaskan kembali dalam World food Summit: five years later 2001,
serta Millenium Development Goals tahun 2000, untuk mengurangi angka
kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan dunia sampai setengahnya di tahun
2015.
Beberapa konvensi internasional yang memuat komitmen bangsa Indonesia
terhadap pembangunan di bidang pangan, gizi dan kesehatan antara lain adalah :
(i) Deklarasi universal tentang hak asasi manusia (Universal Declaration of
Human Rights) tahun 1948 yang menyatakan bahwa hak atas pangan adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia; (ii) Konvensi Internasional
tentang ekonomi, sosial dan budaya (ECOSOC) tahun 1968, yang mengakui hak
setiap indvidu atas kecukupan pangan dan hak dasar (asasi) untuk terbebas dari
kelaparan; (iii) Konvensi tentang hak anak (International Convention on the Right
of Child) yang salah satu itemnya menyatakan bahwa negara anggota mengakui
hak asasi dari setiap anak kepada standart kehidupan yang layak bagi

119

perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak, juga mengakui hak
anak untuk emndapatkan gizi yang baik.
Mengacu pada berbagai dokumen hukum serta kesepakatan nasional
maupun

internasional,

maka

pemerintah

Indonesia

menyusun

Rencana

pembangunan jangka menengah (RPJM) 2005 - 2009 yang dituangkan dalam


Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, serta dokumen revitalisasi pertanian,
perikanan dan kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden pada tanggal
11 Juni 2005. Kedua dokumen hukum tersebut memuat kebijakan dan program
pembangunan nasional, termasuk ketahanan pangan. Peraturan pemerintah PP No
3 tahun 2007 tentang pertanggungan jawab Gubernur, bupati/walikota dimana
Gubernur, bupati/walikota wajib melaporkan tentang pembangunan ketahanan dan
PP No 38 tahun 2007 bahwa Ketahanan pangan menjadi urusan wajib pemerintah
propinsi, kab/kota. Berdasarkan kedua peraturan pemerintah tersebut jelas secara
tegas bahwa Ketahanan pangan menjadi urusan wajib bagi pemerintah propinsi,
kabupaten/kota.
2.2. Sistem Ketahanan Pangan
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan
pangan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sementara USAID (1992) mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai : A condition when all peoples at all times have the
physical and economical access sufficient to meet their dietary needs in order to
lead a healthy and productive life. Perbedaan mendasar dari dua definisi
ketahanan pangan tersebut adalah: pada UU No. 7/1996 menekankan pada
ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu) pangan. Sedangkan pada definisi
USAID menekankan pada konsumsi, individu dan kualitas hidup.
FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana semua
rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh
pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga tidak
beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep

120

ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses


terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan
demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya
hidup (FAO, 1996).
Pengertian dan konsep tersebut di atas maka beberapa ahli sepakat bahwa
ketahanan pangan minimal mengandung tiga unsur pokok yaitu ketersediaan
pangan, distribusi, dan konsumsi , dimana unsur distribusi dan konsumsi
merupakan penjabaran dari aksessibilitas masyarakat terhadap pangan. Salah satu
unsur tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan
mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di
tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi
kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan
rapuh. Akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko Dewan terhadap
akses dan ketersediaan pangan tersebut merupakan determinan yang esensial
dalam ketahanan pangan.
Tabel 2.1. Perubahan paradigma pemantapan ketahanan pangan
Pendekatan
1. Pendekatan
pengembangan
2. Pendekatan
manajemen
pembangunan
3. Pendekatan utama
pembangunan
4. Fokus
pengembangan
komoditas pangan
5. Upaya mewujudkan
keterjangkauan
rumah tangga atas
pangan

Paradigma lama
Pemantapan ketahanan
pangan pada tatanan
makro/agregat
Pola sentralistik

Paradigma baru
Pemantapan ketahanan
pangan rumah tangga

Dominas pemerintah
i
Bertumpu pada beras

Dominasi peran
masyarakat
Pengembangan
komoditas pangan
secara keseluruhan
Peningkatan daya beli

Pengadaan pangan
murah

Pola desentralistis

Sumber : Dewan Ketahanan Pangan, 2001


Masalah ketahanan pangan pada kenyataannya adalah sangat komplek mulai
dari aspek penyediaan jumlah pangan yang cukup untuk memenuhi permintaan

121

pangan yang meningkat karena pertumbuhan penduduk, perubahan komposisi


penduduk maupun akibat peningkatan penduduk, aspek pemenuhan tuntutan
kualitas dan keanekaragaman bahan pangan untuk mengantisipasi perubahan
preferensi konsumen yang semakin peduli pada masalah kesehatan dan
kebugaran, aspek tentang pendistribusian bahan-bahan pangan pada ruang dan
waktu dan juga aspek keterjangkauan pangan (food accessibility) yaitu
ketersediaan bahan pangan (jumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat
dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan tuntutan
lingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya
perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian.
Perubahan paradigma pembangunan tersebut antara lain tercermin dari
dirumuskannya paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan. Paradigma
baru pembangunan ketahanan pangan lebih menekanakan pada pemantapan
ketahanan pangan rumah tangga yang didukung dengan daya beli dan
keberdayaan masyarakat. Paradigma baru ketahanan pangan tersebut adalah
sebagaimana Tabel 2.1. Sedangkan kerangka sistem ketahanan pangan secara
umum diuraikan dalam Gambar sebagai berikut :
KERANGKA SISTEM KETAHANAN PANGAN

122

Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat subsistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk
seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi
pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang
berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan
pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan
pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek
mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi
anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin.
Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro,
namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro
yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam
dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi.
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan
dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak
diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang
melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh
penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan
yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat
kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development
Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi
menurunkan

kemiskinan

dan

kelaparan

sebagai

indikator

kesejahteraan

masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.


United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB
yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran
kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga
di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi
kurang. Ukuran tersebut menunjukkan bahwa MDGs lebih menekankan dampak
daripada masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus
dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi,

123

persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang
baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan
dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan
dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan
persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat
terbebas dari kelaparan dan gizi kurang.
Tujuan dari ketahanan pangan harus diorentasikan untuk pencapaian
pemenuhan hak atas pangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan
ketahanan pangan nasional. Berjalannya sistem ketahanan pangan tersebut sangat
tergantung pada dari adanya kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan
politik. Kebijakan pemerintah dalam aspek ekonomi, sosial maupun politik sangat
perpengaruh terhadap ketahanan pangan. Pemerintah
2.2.1. Subsistem Ketersediaan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Ketersediaan pangan mengisyaratkan adanya rata-rata pasokan pangan yang
cukup tersedia setiap saat. Stabilitas distribusi pangan didefinisikan sebagai
kemampuan

meminimalkan

kesenjangan

ketersediaan

pangan

terhadap

permintaan konsumsi pangan, khususnya pada tahun atau musim sulit.


Aspek ketersediaan mencakup tingkat nasional, wilayah dan rumah tangga.
Ketersediaan

diharapkan

sampai

tingkat

rumah

tangga

minimal

2200

kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/kapita/hari. Aspek ketersediaan dapat


dipenuhi tidak hanya dari potensi domestik saja tetapi juga dari perdagangan antar
daerah maupun impor dalam perdagangan luar negeri. Namun demikian akan
sangat berbahaya jika suatu wilayah hanya menggantungkan aspek ketersediaan
dari impor. Hal ini dikarenakan perdagangan pangan merupakan residual atas
terpenuhinya kebutuhan domestiknya, sehingga berimplikasi pada pasar pangan
yang cenderung bersifat thin market.
Bahan pangan tersedia dalam jenis yang bermacam-macam baik itu berupa
padi-padian, jagung, kedelai, umbi-umbian, hasil ternak, hasil perikanan dan
lainnya. Beraneka ragam bahan pangan merupakan potensi yang sangat baik bagi
suatu wilayah untuk melakukan diversifikasi pangan. Hal ini dimaksudkan untuk

124

menghindari konsumsi pangan pada satu jenis bahan pangan tertentu saja,
misalnya beras, karena dapat berimplikasi pada rentannya aspek ketersediaan
beras, baik itu berkaitan dengan impor yang meningkat tajam karena tekanan
jumlah penduduk, ataupun berkaitan dengan fluktuatifnya ketersediaan beras/
gabah karena pengaruh musiman dari produksi pertanian.
Dalam aspek ketersediaan yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
cadangan pangan. Dalam masalah cadangan pangan yang perlu diperhatikan
adalah pengembangan cadangan pangan untuk mengantisipasi kondisi darurat,
mengatasi berfluktuasinya produksi yang melimpah pada suatu waktu dan
kekurangan pada waktu yang lain, cadangan pangan dalam arti buffer stock juga
menghindari fluktuasi harga yang merugikan, disamping itu pengembangan
cadangan pangan hidup melalui pengembangan pekarangan patut juga
dikembangkan.
2.2.2. Subsistem Distribusi Pangan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Subsistem distribusi memegang peranan yang sangat strategis dalam rangka
pemerataan pangan yang dapat diakses sampai tingkat rumah tangga. Distribusi
pangan dibutuhkan diantaranya berkenaan dengan sifat proses produksi pertanian
yang spesifik lokasi sehingga dapat ditemukan wilayah yang merupakan sentra
produksi (surplus produksi) dan daerah yang defisit dalam produksi pangannya.
Distribusi pangan yang lancar perlu didukung adanya infrastruktur
transportasi dan komunikasi yang memadai. Dengan kondisi ini maka fungsi
distribusi akan dapat dijalankan dan dapat mengurangi fluktuasi harga antar
daerah karena tekanan permintaan (excess demand).
Efisiensi distribusi merupakan hal penting yang harus diperhatikan untuk
mempertahankan tingkat harga yang wajar dan masih terjangkau masyarakat.
Efisiensi distribusi dapat di artikan sebagai efisiensi pemasaran karena fungsinya
yang meliputi fungsi fisik yaitu pemindahan barang dari satu empat ke tempat
lain, terkait pula dengan fungsi transfer kepemilikan atas barang yang
diperdagangkan juga berkaitan dengan fungsi fasilitasi yaitu kegiatan yang
memperlancar fungsi fisik dan fungsi transaksi atau transfer.

125

Sistem distribusi yang efisien berarti pula harga di konsumen yang relatif
lebih rendah sehingga diharapkan masih dalam batas yang dapat dijangkau
masyarakat dalam jumlah dan kualitas yang sesuai. Keterjangkauan sendiri dapat
diartikan sebagai kemampuan secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan
yang dikaitkan dengan kemampuan berproduksi atau kemampuan membeli
pangan. Harga pangan harus terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Dengan demikian faktor yang sangat sensitif mempengaruhi ketahanan dan
keamanan pangan di tingkat rumah tangga adalah daya beli atau keterjangkauan
komoditi pangan. Golongan masyarakat yang sangat rentan terhadap perubahan
ini adalah angkatan kerja yang bekerja pada sector informal dengan kualitas dan
produktivitas tenaga kerja yang masih rendah. Kondisi ini diperparah oleh
terbatasnya jangkauan terhadap penguasaan lahan pertanian dan asset produktif
lainnya. Upaya meningkatkan kinerja ketahanan pangan melalui subsistem
distribusi pangan meliputi tidak hanya aspek fisik dari sarana prasarana
transportasi dan komunikasi, identifikasi daerah surplus dan defisitpangan tetapi
juga atas aspek kelembagaan yang menjalankan fungsi-fungsi distribusi ini
termasuk didalamnya adalah regulasi pemerintah daerah.
2.2.3. Subsistem Konsumsi Pangan dalam Sistem Ketahanan Pangan
Subsistem konsumsi berfungsi dalam pemanfaatan pangan yang memenuhi
kecukupan gizi, keamanan dan halal dalam upaya untuk menjaga kesehatan dan
meningkatkan produktifitas. Subsistem ini memperhatikan baik aspek informasi
kandungan gizi bahan makanan (kecukupan energi dan protein) dan juga pola
pangan yang tentunya akan berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat
masyarakat. Faktor lain yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah ibu rumah
tangga yang berperan dalam pola makan keluarga dan pola asuh anak. Infratruktur
kesehatan juga sangat berperan penting disuatu wilayah.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII pada tahun 2004 merumuskan
bahwa Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang Indonesia pada tingkat
konsumsi sebesar 2.000 Kkal per orang per hari maka Angka Kecukupan Protein
(AKP) sebesar 52 gram per kapita per hari. Sedangkan pada tingkat ketersediaan

126

energi sebesar 2.200 Kkal maka AKP adalah sebesar 57 gram per kapita per hari.
Apabila angka tersebut tidak dapat dicapai oleh suatu rumah tangga, maka rumah
tangga tersebut berpotensi mengalami rawan pangan.
Penilaian terhadap pengembangan pola konsumsi pangan tingkat nasional
dan regional dilaksanakan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH),
menggunakan data Survai Sosial Ekonomi Nasional ( SUSENAS ). Pola Pangan
harapan (PPH) adalah suatu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi
guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH dapat dinyatakan: (1) dalam
bentuk komposisi energi (kalori) anekaragam pangan dan/atau (2) dalam bentuk
komposisi berat (gram atau kg) anekaragam pangan yang memenuhi kebutuhan
gizi penduduk. Pola pangan harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan
anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
PPH (desirable dietary pattern), diperkenalkan pertama kali oleh FAORAPA
dalam pertemuan konsultasi FAO-RAPA di Bangkok pada tahun 1989. PPH
disarankan untuk digunakan bagi setiap negara dikawasan Asia Pasifik yang
dalam penerapannya perlu diadaptasi sesuai pola konsumsi pangan dan kebutuhan
gizi setempat.
PPH berguna (1) sebagai alat atau instrumen perencanaan konsumsi pangan,
ketersediaan pangan dan produksi pangan; (2) sebagai instrumen evaluasi tingkat
pencapaian konsumsi pangan, penyediaan pangan dan produksi pangan, baik
penyediaan dan konsumsi pangan; (3) dapat pula digunakan sebagai basis
pengukuran diversifikasi dan ketahanan pangan; (4) sebagai pedoman dalam
merumuskan pesan-pesan gizi.
Upaya menjadikan PPH sebagai instrumen dan pendekatan dalam
perencanaan pangan di suatu wilayah atau daerah diperlukan kesepakatan tentang
pola konsumsi energi dan konsumsi pangan anjuran dengan mempertimbangkan
(1) pola konsumsi pangan penduduk saat ini; (2) kebutuhan gizi yang dicerminkan
oleh pola kebutuhan energi (asumsi : dengan makan anekaragam pangan,
kebutuhan akan zat gizi lain akan terpenuhi); (3) mutu gizi makanan yang
dicerminkan oleh kombinasi makanan yang mengandung protein hewani, sayur
dan buah; (4) pertimbangan masalah gizi dan penyakit yang berhubungan dengan

127

gizi; (5) kecenderungan permintaan (daya beli); (6) kemampuan penyediaan


dalam konteks ekonomi dan wilayah.
Mempertimbangkan hal tersebut pada pertemuan yang diselenggarakan oleh
Badan Urusan Ketahanan Pangan, disepakati untuk menyempurnakan komposisi
PPH untuk target perencanaan penyediaan konsumsi pangan untuk dikonsumsi
penduduk pada tingkat nasional seperti disajikan pada Tabel 2.2 PPH 2020
maksudnya PPH yang akan dicapai secara nasional tahun 2015 yang perlu
diterjemahkan pada perencanaan nasional dan daerah secara bertahap tahun demi
tahun dan target demi target.
Tabel 2.2. Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional

Prinsip-prinsip ini diharapkan dijadikan standard dalam perencanaan


penyediaan konsumsi pangan tingkat kabupaten dan kota. Artinya prinsip
perhitungannnya disepakati untuk digunakan bersama, sedangkan komposisinya
akan bervariasi antar daerah sesuai kemampuan dan permasalahannya.
PPH merupakan komposisi atau pola pangan dalam bentuk persentase
konsumsi energi yang dianjurkan (harapan) untuk hidup sehat, tanpa memandang
apakah pangan tersebut berasal dari produksi lokal (dalam negeri) atau
didatangkan dari negara/daerah lain (impor). Oleh karena itu angka-angka yang
disajikan baru sebatas kebutuhan untuk konsumsi manusia atau penduduk. Untuk
perencanaan pangan perlu dipertimbangkan faktor koreksi atau jumlah yang
digunakan untuk ekspor (dibawa kedaerah lain), pakan ternak, kebutuhan industri

128

(bukan untuk makanan penduduk setempat), benih atau bibit, cadangan dan
kehilangan.
2.2.4. Kerawanan Pangan dan Kemiskinan
Secara rinci hubungan ketahananan pangan dengan kemiskinan dapat dilihat
dalam Gambar 1. Kemiskinan dan ketahanan mempunyai peranan yang sanga
erat.

Sumber : Modifikasi dari Martorell 1992


Bank Dunia (2006) menyatakan bahwa perbaikan gizi merupakan suatu
investasi yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga alasan suatu negara
perlu melakukan intervensi di bidang gizi. Pertama, perbaikan gizi memiliki
economic returns yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti mendorong
pertumbuhan ekonomi; dan ketiga, perbaikan gizi membantu menurunkan tingkat
kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit, dan
pengurangan biaya pengobatan. Pada kondisi gizi buruk, penurunan produktivitas
perorangan diperkirakan lebih dari 10 persen dari potensi pendapatan seumur
hidup; dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB antara 2-3 persen.

129

Konferensi para ekonom di Copenhagen tahun 2005 (Konsensus Kopenhagen)


menyatakan bahwa intervensi gizi menghasilkan keuntungan ekonomi (economic
returns) tinggi dan merupakan salah satu yang terbaik dari 17 alternatif investasi
pembangunan lainnya. Konsensus ini menilai bahwa perbaikan gizi, khususnya
intervensi melalui program suplementasi dan fortifikasi zat gizi mikro
(memperbaiki kekurangan zat besi, vitamin A, yodium, dan seng) memiliki
keuntungan ekonomi yang sama tingginya dengan investasi di bidang liberalisasi
perdagangan, penanggulangan malaria dan HIV, serta air bersih dan sanitasi.
Behman, Alderman

dan Hoddinot (2004) dalam Bank Dunia

(2006)

mengungkapkan bahwa Rasio Manfaat-Biaya (benefit-cost ratio) berbagai


program gizi, khususnya program suplementasi dan fortifikasi adalah sangat
tinggi, berkisar antara 4 hingga 520.
Dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki
peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan
kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan
kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara
langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua,
kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan
berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat
menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk
berobat. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin tidak
memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan yang tidak
mencukupi anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan
terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan
oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang
berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh
keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat
kehamilan tinggi karena kurangnya pengetahuan Keluarga Berencana dan adanya
anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan

130

pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan


besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin.
Keseluruhan faktor ini dapat menyebabkan gizi kurang pada setiap anggota
rumah tangga miskin yang dapat berakibat pada: (i) menurunnya produktivitas
individu karena kondisi fisik yang buruk serta tingkat kecerdasan dan pendidikan
yang rendah; (ii) tingginya pengeluaran untuk memelihara kesehatan karena
sering sakit. Sebaliknya, kedua hal ini pun menyebabkan kemiskinan pada
individu tersebut.
Adanya hubungan kemiskinan dan gizi kurang sering diartikan bahwa upaya
penanggulangan masalah gizi kurang hanya dapat dilaksanakan dengan efektif
apabila keadaan ekonomi membaik dan kemiskinanan dapat dikurangi. Pendapat
ini tidak seluruhnya benar. Secara empirik sudah dibuktikan bahwa mencegah dan
menanggulangi masalah gizi kurang tidak harus menunggu sampai masalah
kemiskinan dituntaskan. Banyak cara memperbaiki gizi masyarakat dapat
dilakukan justru pada saat masih miskin. Dengan diperbaiki gizinya, produktivitas
masyarakat miskin dapat ditingkatkan sebagai modal untuk memperbaiki
ekonominya dan mengentaskan diri dari lingkaran kemiskinan gizi kurang
kemiskinan. Semakin banyak rakyat miskin yang diperbaiki gizinya, akan
semakin berkurang jumlah rakyat miskin. Perlu disadari bahwa investasi
pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat, seperti membangun
gedung dan prasarana fisik lainnya. Perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan
kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia sekitar 17,8
persen atau sekitar 40 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68
persen tinggal di pedesaan, dan umumnya bekerja pada sektor pertanian atau
berbasis pertanian. Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data di tingkat Dewan
Ketahanan Pangan Jawa Timur 18 dunia, yaitu setengah dari kelompok miskin ini
adalah petani kecil, dan seperlima dari kaum miskin tersebut adalah para buruh
tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan keluarganya
sendiri. Kelompok miskin inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian dalam
pembangunan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi.

131

Banyak intervensi gizi telah dilakukan dengan sasaran utama masyarakat


miskin dan gizi kurang, terutama anak-anak, wanita usia subur (WUS), dan ibu
hamil. Mereka mendapatkan pendidikan dan penyuluhan gizi seimbang, termasuk
pentingnya ASI bagi bayi; penyuluhan tentang pengasuhan bayi dan kebersihan;
dan layanan penimbangan berat badan bayi dan anak secara teratur setiap bulan di
Posyandu. Di samping itu juga mendapatkan suplemen berupa: zat besi untuk ibu
hamil, vitamin A untuk anak balita dan ibu nifas, MP-ASI untuk anak 6 - 24
bulan, dan makanan untuk ibu hamil yang kurus. Secara terintegrasi intervensi
gizi tersebut ditunjang dengan pelayanan kesehatan dasar seperti imunisasi,
pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, serta pelayanan kesehatan
lainnya di Puskesmas.

Apabila dipadukan dengan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang


dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, intervensi gizi untuk orang
miskin akan mempunyai daya ungkit yang besar dalam meningkatkan kesehatan,
kecerdasan, dan produktivitas. Upaya tersebut dapat meningkatkan akses rumah

132

tangga miskin kepada pangan yang bergizi seimbang, pendidikan terutama


pendidikan perempuan, air bersih, dan sarana kebersihan lingkungan. Untuk
mengantisipasi terjadinya fluktuasi ketahanan pangan rumah tangga yang
berpotensi menimbulkan kerawanan pangan, dilakukan pemantauan terus menerus
terhadap situasi pangan masyarakat dan rumah tangga, serta perkembangan
penyakit dan status gizi anak dan ibu hamil yang dikenal sebagai Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG).
III. KERAGAAN KETAHANAN PANGAN JAWA TIMUR
3.1. Ketersediaan Pangan
Ditinjau dari ketersediaan pangan per kapita pe hari dengan ukuran 2200
kcal/kapita/ per hari dengan data tahun 2002 secara agregat hampir diseseluruh
kabupaten sudah melebihi standard yang dianjurkan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ketersediaan pangan di Jawa Timur tidak menghadapi
permasalahan serius.

133

Ditinjau dari kinerja untuk masing-masing komoditas pangan di Jawa Timur


sebgaimana diuraikan sebagai berikut :
a. Produksi pangan
Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan
suatu wilayah. Jawa timur merupakan salah satu propinsi yang berperan sangat
vital dalam menjaga ketersediaan pangan nasional.
Tabel 1. Luas panen komoditas pangan Jawa Timur

Tabel 2. Produktifitas komoditas pangan Jawa Timur

134

Tabel 3. Produksi komoditas pangan Jawa Timur

Berdasarkan analisis 10 propinsi dengan luas panen padi terbesar di


Indonesia menunjukkan bahwa Jawa Timur adalah terbesar kedua setelah Jawa
Barat dengan luas areal panen padi sebesar 1,69 juta ha.

Gambar 3. Sembilan propinsi dengan luas panen padi terbesar di Indonesia, 2005
Luas areal panen yang dimiliki Jawa Timur juga ditunjang dengan
produktifita yang relatif masih tinggi yaitu 5,3 ton per ha. Namun demikian,
produktifitas ini masih lebih rendah dibanding dengan produktifitas padi yang
dihasilkan oleh propinsi Bali yaitu 5,48 ton per ha.
Produktifitas selain dipengaruhi oleh perbaikan teknik budidaya berkenaan
dengan kemampuan mengalokasikan input secara optimal juga ada faktor

135

manajemen produksi yang berpengaruh baik itu menekan kehilangan hasil pasca
panen, handling produk (misalnya penyimpanan) maupun dalam aspek pengaturan
tata guna air.

Gambar 4. Sembilan propinsi dengan produktifitas terbesar, 2005


Produksi padi secara nasional masih didominasi dari Jawa barat, Jawa Timur
dan Jawa tengah masing-masing sebesar 9,33 juta ton, 8,38 juta ton, dan 9 juta
ton. Dengan posisi Jawa Timur yang sangat penting dalam suplai pangan nasional
ini maka jawa Timur perlu mengambil langkah-langkah penyelamatan
sumberdaya pertanian dalam rangka menjaga keberlanjutan ketersediaan pangan
daerah dan nasional serta memberikan arahan yang jelas dalam pembangunan
sistem pangan sehingga memiliki dampak yang lebih luas
(multiplier effect).
Ketergantungan pada satu jenis pangan akan sangat berbahaya bagi
ketahanan pangan dalam jangka panjang. Sehingga diversifikasi pangan perlu
mendapatkan perhatian dalam pembangunan pangan. Selain bahan pangan dari
padi/ beras, Jawa Timur juga memiliki potensi yang besar dalam pangan utama
lainnya seperti jagung, ubikayu, dan jenis bahan pangan lainnya, termasuk juga
potensi yang besar dalam tanaman hortikultura.

136

Gambar 5. Sembilan propinsi dengan produksi padi terbesar, 2005

Gambar 6. Sembilan propinsi dengan luas panen jagung terbesar, 2005

Berdasarkan produktifitas komoditas jagung di Jawa Timur adalah tebesar


keempat setelah Jawa Barat, Sumatera Barat dan Jawa Tengah. Hal ini tentunya
menjadi bahan pemikiran untuk meningkatkan kemampuan produksi jagung di
Jawa Timur. Dengan luas panen jagung terbesar di Indonesia maka perbaikan
sistem produksi jagung yang berimplikasi pada perbaikan produktifitas di Jawa

137

Timur akan memberikan dampak yang ebsar pada peningkatan produksi jagung di
Jawa Timur.
Dalam rangka diversifikasi pangan akan sangat baik bila pangan lokal
dikembangkan kembali dan diupayakan dibangkitkan dari potensi lokal sehingga
mengurangi ketergantungan pada beras. Fortifikasi pangan atas pangan lokal
dapat dikenalkan teknologinya sehingga masyarakat dapat mengakses peluang
usaha produktif baru dan dapat dikembangkan sebagai sumber income keluarga
(agroindustri pedesaan). Namun yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan
produksi ini harus bersifat market driven dan mendasarkan pada preferensi
konsumen.

Gambar 6. Sembilan propinsi dengan produktifitas jagung terbesar ,2005

Di uraian sebelumnya bahwa potensi produksi jagung di Jawa Timur adalah


sangat besar bahkan dari sisi areal panen adalah tertinggi di Indonesia. Secara
jelas dari 10 propinsi dengan produksi terbesar di Indonesia dapat di sajikan
dalam gambar grafik berikut.

138

Gambar 7. Sembilan propinsi dengan produksi jagung terbesar, 2005


Potensi komoditas non-pangan yang diusahakan petani di Jawa Timur
menunjukkan kinerja yang relatif tinggi pula. Hal ini menunjukkan potensi
pertanian di jawa Timur yang sangat besar dan merupakan sumber income bagi
sebagian besar masyarakat di jawa Timur. Dengan demikian dukungan penyediaan
infrastruktur pertanian dan kewilayahana untuk memperlancar sistem distribusi
dan pemasaran hasil pertanian akan sangat membantu meningkatkan income
petani.
Jawa Timur mempunyai peran yang sangat besar terhadap penyediaan
pangan nasional. Diperkirakan jawa Timur merupakan propinsi yang secara nyata
menyumbang pangan nasional 20-30 persen kebutuhan aneka ragam pangan
nasional. Ditinjau dari penggunaan sumberdaya dalam rangka produksi pertanian
telah melebihi dari kebutuhan domestik masyarakat Jawa Timur. Surplus pangan
utama baik itu padi maupun jagung merupakan potensi perdagangan bagi Jawa
Timur.

139

Tabel 1. Peran Jawa Timur dalam Ketersediaan Pangan Nasional

Tabel 2. Potensi produksi dan konsumsi tanaman pangan di Jawa Timur

Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur, Tahun 2004

140

b. Kemandirian Pangan Jawa Timur


Kebutuhan pangan di Jawa Timur memang hampir dapat dipenuhi semua
dari potensi domestik, kecuali untuk komoditas kedelai yang masih mengalami
defisit sebesar 110.648 ton. Sedangkan untuk beras, jagung, kacang maupun ubi
mengalami surplus. Surplus pangan di jawa Timur selain didukung sumberdaya
alam yang sesuai, juga potensi sumberdaya manusia dan adanya dukungan
infrastruktur ekonomi yang lebih baik. Kemandirian pangan di Jawa Timur dari
sisi ketersediaan ini dapat diketahui lebih rinci dari tabel berikut ini.
Selain mempertimbangkan ketersediaan dan konsumsi komoditi pangan
utama yaitu beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan dan umbi-umbian, Jawa
Timur juga merupakan sumber bahan pangan lainnya yang bersumber dari ternak
dan ikan yaitu beberapa jenis bahan makanan lainnya seperti daging, telur, susu
dan ikan.
Tabel 3. Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan
di Jawa Timur tahun 2004

Sumber : Badan ketahanan Pangan jawa Timur, 2005

Potensi produksi jenis komoditas ini (bersumber dari ternak dan ikan) relatif
lebih besar dibandignkan kebutuhan konsumsinya sehingga dapat menciptakan
surplus bahan pangan tersebut. Potensi produksi yang relatif besar tersebut perlu
mendapatkan perhatiian sehingga dapat memiliki daya saing yang lebih baik.
Secara lebih lengkap hal ini disajikan dalam tabel berikut ini.

141

Tabel 4. Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan


di Jawa Timur tahun 2004

3.2. Distribusi pangan


a. Sarana dan Prasarana
Perkembangan infrastruktur dengan pembangunan ekonomi mempunyai
hubungan yang sangat erat dan saling ketergantungan satu sam lain. Perbaikan
infrastruktur pada umumnya akan dapat meningkatkan mobilitas penduduk,
terciptanya penurunan ongkos pengiriman barang-barang, terdapat pengangkutan
barang-barang dengan kecepatan yang lebih tinggi, dan perbaikan dalam kualitas
dari jasa-jasa pengangkutan tersebut.
Secara lebih rinci, peranan penyediaan infrastruktur terhadap pembangunan
ekonomi adalah :
a. Mempercepat dan menyediakan barang-barang yang dibutuhkan; tersedianya
infrastruktur akan memungkinkan tersedianya barang-barang kebutuhan
masyarakat dengan biaya yang lebih murah
b. Infrastruktur yang baik dapat memperlancar transportasi yang pada gilirannya
merangsang adanya stabilisasi dan mengurangi disparitas harga antar daerah
(pengamanan harga); dengan adanya kemudahan transportasi maka barangbarang dapat dialirkan ke tempat-tempat yang kekurangan (defisit) akan suatu
barang sehingga akan tercapai kestabilan harga.
c. Infrastruktur yang memperlancar transportasi berfungsi meningkatkan nilai
tambah barang dan jasa, banyak daerah yang letaknya jauh dari pasar dan
ongkos yang mahal; tersedianya transportasi yang baik dan murah
memungkinkan hasil produksi daerah tersebut dapat diangkut dan dijual ke
pasar, atau dengan kata lain dapat menjangkau konsumen.

142

d. Infrastruktur

yang

memperlancar

transportasi

turut

mempengaruhi

terbentuknya harga yang efisien; transportasi yang baik dan murah akan
menurunkan biaya transaksi.
e. Infrastruktur yang memperlancar transportasi dapat menimbulkan spesialisasi
antar daerah; transportasi murah dengan mudah akan mendorong pembagian
kerja dan spesialisasi secara geografis.
Pengembangan distribusi pangan dilakukan dengan perbaikan sistem
distribusi menjadi lebih efesien dan efektif dan dapat meningkatkan kelancaran
arus barang dan jasa antar wilayah. Perbaikan sistem distribusi juga diharapkan
dapat mendorong tersedianya barang dan jasa dipasar dengan harga yang layak
bagi produsen dan terjangkau oleh daya beli rakyat banyak dengan kata lain dapat
membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat baik sebagai produsen maupun
konsumen akhir, disamping juga dapat ditekan serendah mungkin adanya
perbedaan harga yang disebabkan oleh adanya perbedaan waktu dan daerah
(untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen).
Berdasarkan data dari Dinas Bina Marga Propinsi Jawa Timur status Jalan
Nasional pada Tahun 2000 dengan panjang 1.783,56 Km naik menjadi 1.899,21
Km pada Tahun 2003. Jalan Propinsi tahun 2000 1.948, 25 Km turun menjadi
1.439,18 Km. Jalan Kabupaten 21.887 Km, Jalan Kota 931,44 Km dan Jalan Tol
63,73 Km panjangnya tetap.
Kondisi jalan aspal sepanjang 25,92 Km pada tahun 2000 yang mengalami
peningkatan pada tahun 2001 menjadi 117,37 Km. Jika jalan aspal mengalami
peningkatan maka jalan hotmix pada tahun 2001 justru mengalami penurunan
menjadi 1.321,81 Km padahal pada tahun 2000 sepanjang 1.922,33 Km.
Sedangkan jumlah jembatan yang ada di Jawa Timur pada tahun 2002 mengalami
penurunan sekitar 15% dari tahun 2001 dan berkurangnya jumlah jembatan
tersebut diikuti dengan berkurangnya panjang jembatan dimana pada tahun 2001
adalah 13.109,90 M menjadi 10.546,95 M kemungkinan ini disebabkan oleh
adanya beberapa jembatan yang roboh karena terkena banjir.

143

Tabel 6. Sarana Infrastruktur Perhubungan di Jawa Timur

Sumber : Dinas Binamarga dan Dinas Pengairan Propinsi Jatim, tahun 2004
Selanjutnya, dengan semakin lancarnya pengadaan bahan baku dan
penolong akan menjamin kelangsungan produksi, dan meluasnya pasar dalam
negeri akan mendorong lebih lanjut kegiatan di bidang produksi. Adanya
distribusi yang baik, komoditi yang dikendalikan semakin berkurangnya,
kegoncangan harga yang semakin jarang, kebutuhan yang semakin terjamin, serta
tercapainya kemampuan lembaga yang lebih dinamis.
Sedangkan kondisi akses jalan untuk desa dengan ukuran persentase desa
yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat disajikan dalam gambar sebagai
berikut:

144

b. Kelembagaan Pengendalian Harga Gabah dan Pangan Lainnya


Ditingkat Petani
Salah satu kebijakan Pemerintah Propinsi Jawa Timur, untuk menjaga dan
mengendalikan harga gabah dan bahan pangan lain yang layak dan tidak
berfluktuasi secara tajam terutama pada saat terjadi panen raya, maka
dilaksanakan kegiatan strategis pembelian gabah/bahan pangan lainnya.
Disamping itu, tujuan lainnya dari kegiatan strategis ini yaitu meningkatkan
kesinambungan penyediaan pangan, meningkatkan efektifitas dan efisiensi
distribusi pangan antar daerah dan antar waktu; serta mengembangkan
kelembagaan pangan di pedesaan. Sampai dengan tahun 2006, APBD Propinsi
yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan strategis ini sebesar Rp.
44.600.000.000,- dan dimanfaatkan oleh 168 lembaga pembeli gabah yang
berlokasi di 24 kabupaten. Disamping itu, dialokasikan pula dana dekonsentrasi
APBN berupa Dana Penguatan Modal untuk Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

145

(DPM - LUEP) sebesar Rp. 54.450.000.000,-, yang dimanfaatkan oleh 187


lembaga pembeli gabah yang berlokasi di 24 kabupaten.
Realisasi pembelian gabah dan bahan pangan lainnya sampai dengan 20
Nopember 2006 yang difasilitasi APBD Propinsi mencapai sebesar Rp.
412.678.032.417,- atau mencapai 9,25 kali putaran dengan rincian pembelian sbb:
- Gabah : 174.892,377 ton

Senilai Rp. 337.072.559.915,-

- Beras : 21.083,462 ton

Senilai Rp. 66.745.970.321,-

- Jagung :

5.949,702 ton

Senilai Rp.

8.255.956.881,-

- Kedele :

208,735 ton

Senilai Rp.

603.545.300,-

Realisasi pembelian gabah/beras yang difasilitasi APBN mencapai sebesar


Rp.558.013.343.897,- atau mencapai 10,25 kali putaran dengan rincian pembelian
adalah

Berdasarkan tabel diatas menggambarkan bahwa sebagian besar petani telah


melakukan tunda jual dimana dari hasil panennya tidak seluruhnya langsung
dijual namun gabahnya dikeringkan terlebih dahulu dan disimpan, selanjutnya
pada suatu saat dijual. Namun demikian, masih sangat sedikit petani produsen
yang memproses sendiri gabahnya menjadi beras. Kegiatan strategis pembelian
gabah dan bahan pangan lain pada tahun 2006 ini merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari pelaksanaan kegiatan tahun sebelumnya. Dengan demikian
secara analisa makro , kegiatan strategis ini telah memberikan dampak positif baik
dilihat dari sisi ekonomi maupun sosial.
a. Dampak Ekonomi

146

Memberikan sentimen positif pasar, sehingga harga tidak dipermainkan oleh


para tengkulak, dan petani mendapatkan harga jual gabahnya secara layak
sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan tunai.
Memberdayakan (mengembangkan kemampuan) lembaga sosial ekonomi
pedesaan dengan penambahan modal dari keuntungan pembelian gabah
b. Dampak Sosial.
Mengembalikan kepercayaan petani terhadap lembaga perekonomian
pedesaan (KUD/Koptan/RMU)
Meningkatkan pemberdayaan kelembagaan pedesaan khususnya kelompok
tani.
Menumbuhkembangkan kepercayaan dan kegairahan petani dalam berusaha
tani padi.
Menumbuhkembangkan kerjasama saling menguntungkan antara lembaga
perekonomian desa dengan kelompok tani.
Perkembangan harga bahan pangan pokok di Jawa Timur sebagaimana
dalam tabel di bawah ini menunjukkan bahwa koefisien variasi yang tinggi
ditunjukkan untuk komoditas hortikultura seperti cabai rawit, cabai merah dan
juga bawang merah. Variasi harga antar waktu ini juga sangat dipengaruhi oleh
pola tanam petani yang tidak mendasarkan pada perwilayahan komoditas dan
pengaturan sistem produksi pertanian. Elastisitas demand yang rendah dari produk
pertanian menyebabkan ekses suplai cenderung sulit terserap oleh pasar dan
menekan harga lebih besar pada keseimbangan pasar.

147

Tabel 4. Perkembangan Harga Pangan Pokok dan Strategis di Jawa Timur

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur, 2005


c. Pengembangan sistem Tuda Jual
Disamping itu telah dilaksanakan pula model pengembangan sistim tunda
jual yang dikembangkan secara berkelompok, merupakan salah satu model
peragaan dalam penerapan waktu dan strategi pemasaran, yang didukung dengan
peningkatan kualitas melalui pengolahan dan penyimpanan produksi sehingga : a)
posisi tawar petani meningkat, b) kualitas produksi dan nilai jual komoditas petani
meningkat c) stok pangan untuk kebutuhan kelompok dan keluarga meningkat dan
tetap tersedia sepanjang waktu. Pengembangan sistem tunda jual dilaksanakan
melalui tahapan kegiatan meliputi : identifikasi kelompok, penandatanganan
kontrak pinjaman, pemberian pinjaman modal, embinaan, dan pemantauan. Upaya
pemberdayaan kelompok sistim tunda jual yang dimulai sejak tahun 2002-2006
sebanyak 51 kelompok.
3.3. Konsumsi, Status Gizi dan Keamanan Pangan
Salah satu paradigma baru pembangunan pangan setelah diberlakukannya
Undang-Undang otonomi daerah adalah perencanaan penyediaan pangan yang
semula sentralistik dan lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi
desentralistik dengan pertimbangan yang lebih komprehensif, sehingga tujuan-

148

tujuan pemantapan Ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat lebih


terakomodasi. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman dan penyediaan data
Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (PPH) di masingmasing daerah.
Penyusunan NBM dan PPH Jawa Timur sudah dilaksanakan sejak tahun
1984 sampai sekarang, dimana dari hasil analisis NBM dan PPH ini menjadi
bahan pertimbangan dalam perencanaan pangan dan gizi di tingkat wilayah.
Tabel 5. Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Propinsi Jawa Timur
tahun 2005 dan 2006.

Konsumsi energi penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 1900 kkal/kap/hr


atau mencapai 95,0 % dari anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE) berdasarkan
Widyakarya Pangan dan Gizi VIII tahun 2005 sebesar 2000 kkal/kap/hr.
Konsumsi energi tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hr atau 95,0 % dari AKE lebih
tinggi dari dari konsumsi energi tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr atau
85,9 % dari AKE. Konsumsi energi penduduk didukung oleh konsumsi energi
penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 11902 kkal/kap/hr dan 1901
kkal/kap/hr. Konsumsi energi penduduk perkotaan sebesar 1902 kkal/kap/hr

149

meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr, kecenderungan yang


sama terjadi pada konsumsi energi penduduk pedesaan sebesar 1901 kkal/kap/hr
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1893 kkal/kap/hr. Nampak bahwa
konsumsi energi penduduk perkotaan relatif sama dengan konsumsi energi
penduduk pedesaan.
Tabel 6 : Rata-rata Konsumsi Energi Penduduk tahun 2002 dan 2005.

Sumber data : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP
Prop.Jatim,2006)
Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2002 = 2200
Kkal/Kap/Hari
Angka

Kecukupan

Energi

(AKE)

rata-rata

tahun

2005

2000

Kkal/Kap/Hari Ditinjau dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang mengacu pada
standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan tahun 2006, ternyata konsumsi
energi penduduk Jawa Timur tahun 2005 mencapai sebesar 95,0 % yang berarti
tergolong normal karena berada pada kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
90-119%.
Sedangkan konsumsi protein penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 62,30
gr/kap/hr atau meningkat sebesar 2,20 gr/kap/hr atau 3,66 % dari konsumsi
protein tahun sebelumnya sebesar 60,10 gr/kap/hr. Konsumsi protein tersebut
ternyata melampaui 10,30 gr/kap/hr (19,61% ) dari angka kecukupan protein yang
dianjurkan 52 gr/kap/ hr. Konsumsi protein tersebut didukung dengan peningkatan
konsumsi protein penduduk pedesaan yang cukup besar dari konsumsi protein
penduduk pedesaan tahun sebelumnya. Konsumsi protein penduduk perkotaan
dan pedesaan mencapai sebesar 60.70 gr/kap./hr dan 64,5 gr/kap./hr.

150

Tabel 4. Rata-rata Konsumsi Protein Perkapita Perhari dan Skor PPH Jawa Timur
tahun 2002 dan 2005.

Sumber: Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP
Prop.Jatim, 2006)
Keterangan: (.)% dari anjuran WKNPG VII tahun 2002, 50 Gram/Kap/Hari
(.)% dari anjuran WKNPG VIII tahun 2005, 52 Gram/Kap/Hari
Konsumsi protein penduduk perkotaan sebesar 60,7 gram/kap/hr menurun
sebesar 6,7 gram/kap/hr atau 9,95 % dari tahun sebelumnya sebesar 67,4
gram/kap/hr. Sedangkan, konsumsi protein penduduk pedesaan sebesar 64,5
gram/kap/hr meningkat 6,3 gram/kap/hr atau 10,82 % dari tahun sebelumnya
sebesar 58,20 gram/kap/hr. Peningkatan konsumsi protein penduduk pedesaan
dikarenakan adanya peningkatan konsumsi pangan hewani berupa : ikan, daging
ruminansia, telur dan susu. Oleh karena itu, upaya percepatan gerakan
penganekaragaman diarahkan di daerah perkotaan yang difokuskan pada
keanekaragaman konsumsi pangan nabati non beras/tepung terigu beruapa umbiumbian, sayur dan buah, kacang-kacangan, serta konsumsi pangan hewani yang
berigizi dan berimbang.
Tingkat dan kualitas konsumsi pangan semakin baik dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh keragaman konsumsi pangan
penduduk dengan skor PPH 77,8 lebih tinggi dibandingkan dengan Skor PPH
tahun sebelumnya sebesar 71,0. Meskipun kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap kualitas konsumsi pangan semakin meningkat, namun masih terdapat
asupan gizi dari beberapa kelompok bahan makanan berada dibawah rekomendasi
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Hampir semua kelompok pangan
dikonsumsi dalam jumlah yang belum memadai, kecuali kelompok padi-padian.
Sumbangan energi kelompok padi-padian terhadap Angka Kecukupan Gizi

151

(AKG) pada tahun 2005 cukup besar mencapai 57,9 %, sedangkan proporsi
idealnya sebesar 50 %. Sumbangan energi kelompok pangan yang masih jauh dari
proporsi idealnya adalah : kelompok pangan hewani, kelompok sayur dan buah,
serta kelompok umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa pola konsumsi
pangan penduduk Jawa Timur belum memenuhi kaidah kecukupan gizi yang
dianjurkan dan konsep pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.
Tabel 5. Rata-rata Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga
Tahun 2002 dan Tahun 2005

Sumber: Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP
Prop.Jatim, 2006)
Keterangan: *) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2200 Kkal/Kap/Hari
**) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2000 Kkal/Kap/Hari
Konsumsi pangan kelompok padi-padian didominasi oleh beras, dan
ternyata konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 94,35 kg/kap/thn (data
diolah dari Susenas 2005) meningkat sebesar 0,89 kg/kap/thn dibandingkan
dengan konsumsi beras tahun sebelumnya sebesar 93,46 kg/kap/thn (data diolah
dari Susenas 2002). Demikian pula, konsumsi terigu masih cukup tinggi mencapai
sebesar 8,43 kg/kap/thn meningkat sebesar 1,60 kg/kap/thn dibandingkan dengan
konsumsi terigu tahun sebelumnya sebesar 6,83 kg/kap/thn. Peningkatan
konsumsi beras dan terigu nampaknya mempengaruhi konsumsi tepung umbiumbian. Konsumsi umbi-umbian hanya mencapai sebesar 19,52 kg/kap/thn
menurun sebesar 5,70 kg/kap/thn dibandingkan Dewan Ketahanan Pangan Jawa

152

Timur 40 dengan konsumsi tahun sebelumnya sebesar 25,22 kg/kap/thn. Hal ini
merupakan tantangan yang harus menjadi fokus penanganan secara sistematis dan
berkesinambungan dalam upaya percepatan penganekaragaman pangan di Jawa
Timur . Karena selain dari beras, sebenarnya sumber karbohidrat dapat diperoleh
dari berbagai bahan pangan pokok lainnya yaitu serealia selain beras (jagung,
sorghum), umbi-umbian (singkong/ubi kayu, ubi jalar, kentang, bentul, talas, uwi,
garut, ganyong dan sebagainya), buah-buahan (sukun, pisang).
Tabel 6 : Konsumsi Pangan Penduduk Jawa Timur Menurut Kelompok Pangan

153

Sumber : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur


Berdasarkan data yang diolah dari Susenas 2005, bahwa peningkatan
konsumsi beras secara total sebesar 94,35 kg/kap/thn dari tahun sebelumnya
sebesar 93,46 kg/kap/thn, disebabkan karena peningkatan konsumsi padi-padian
(beras ketan, tepung beras, lainnya padi-padian), serta makanan dan minuman jadi
(kue basah, nasi campur/rames, nasi goreng, nasi putih dan lontong sayur).
Konsumsi padi-padian sebesar 0.79 kg/kap/thn meningkat dari tahun sebelumnya
sebesar 0,63 kg/kap/thn. Konsumsi makanan dan minuman jadi sebesar 6,51
kg/kap/thn meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 5,28 kg/kap/thn. Sedangkan
konsumsi beras secara langsung (tanpa melaui proses olahan) ternyata masih
cukup tinggi yaitu sebesar 86,97 kg/kap./thn, namun menurun dari tahun
sebelumnya sebesar 87,44 kg/kap./th.
Tabel 7. Konsumsi Beras Penduduk Jawa Timur berdasarkan jenis pangan
tahun 2002 dan 2005 (sesuai pengelompokan dalam Susenas)

Keterangan : *) Pengelompokan Pangan Berdasarkan SUSENAS.


Salah

satu

kelompok

masyarakat

yang

sangat

sensitif

terhadap

masalahketahanan pangan adalah balita. Gizi kurang pada balita dapat dilihat
berdasarkan berat badan dan tinggi badan menurut umur. Situasi kemanan pangan
yang tedeteksi selama dua tahun terakhir menunjukkan masih banyak dijumpai
kejadian atau kasus ketidakamanan pangan. berbagai kasus gangguan kesehatan

154

manusia akibat konsumsi pangan yang tidak aman oleh pencemaran kimia,
biologis yaitu berbagai mikroba termasuk yang membawa penyakit, serta cemaran
fisik telah terjadi di beberapa daerah.
Kasus-kasus pangan hewani yang terkena wabah penyakit antraks, penyakit
flu burung, beredarnya bahan makanan dan minuman olahan tanpa izin beredar
dan melanggar ketentuan batas kadaluarsa, serta penggunaan bahan tambahan
pangan terlarang yang dapat membahayakan kesehatan, atau bahkan dapat
meyebabkan kematian perlu mendapatkan perhatian serius dalam penanganan ke
depan.
3.5. Kemiskinan dan Tingkat Kerawanan Pangan
Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang
dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk
memenuhi standart kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan
masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktuwaktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti
bencana alam maupun bencana sosial (transien).
Kondisi kerawanan pangan dapat disebabkan karena : tidak adanya akses
secara ekonomi bagi individu/ rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup, tidak adanya akses secara fisik bagi individu/ rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang cukup, tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan
produktif individu/ rumah tangga, tidak terpenuhi pangan secara cukup dalam
jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harganya.
Kerawanan pangan dan kelaparan berpeluang besar terjadi pada petani skala
kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya
pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya.
Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein.

155

Tingkat kesejahteraan rumah tangga dapat digunakan sebagai salah satu


indikator aksesabilitas rumah tangga terhadap pangan. Hal ini juga berkorelasi
dengan kemampuan dan daya beli rumah tangga itu sendiri. Oleh karena itu,
penciptaan lapangan pekerjaan perlu dikembangkan agar masyarakat mampu
meningkatkan pendapatannya. Selain itu, walaupun daya beli rumah tangga
mencukupi, apabila terdapat kelangkaaan pangan akibat distribusi yang tidak
lancar maka akses rumah tangga secara fisik akan terganggu bahkan menjadi lebih
buruk.
Indikator yang sangat dekat menggambarkan daya beli masyarakat adalah
berkenaan dengan kemiskinan masyarakat Jawa Timur. Tingkat kemiskinan di
Jawa Timur masih berkisar sebesar 20 persen. Namun demikian walaupun ada
perubahan yang kecil nampaknya ada trend mengalami penurunan dari tahun
ketahun, dimana pada tahun 2001 mencapai 20.39 persen, namun pada tahun 2004
turun menjadi 19.34 persen.

156

Tabel 8. Persentase Kemiskinan di Jawa Timur 2001 - 2004

Ketersediaan pangan secara makro tidak sepenuhnya menjamin ketersediaan


pada tingkat mikro. Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu dan
pada waktu-waktu tertentu mengakibatkan konsentrasi ketersediaan di sentrasentra produksi dan pada masa-masa panen. Pola konsumsi yang relatif sama
antar-individu, antar- waktu, dan antar-daerah mengakibatkan adanya masa-masa
defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan
distrubusi antar lokasi serta antar waktu dengan
mengandalkan stok akan berpengaruh pada keseimbangan antara
ketersediaan dan konsumsi yang berpengaruh pada harga yang terjadi di pasar.
Faktor keseimbangan yang tereflekasi pada harga sangat berkaitan dengan daya
beli rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas
pangan tersedia di pasar namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau
daya beli rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan
yang tersedia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan didefinisikan sebagai mereka yang rata-rata tingkat
konsumsi energinya antara 7189 persen dari norma kecukupan energi.
Sedangkan penduduk sangat rawan pangan hanya mengkonsumsi energi kurang
dari 70 persen dari kecukupan energi. Dengan menggunakan kriteria tersebut pada
tahun 2005 terdapat sekitar 25 persen dari penduduk perkotaan yang rawan
pangan dan sebesar 37,0 persen dari penduduk perdesaan yang mengalami rawan
pangan. Di samping itu masih terdapat sekitar 2-4 persen rumah tangga yang
sangat rawan pangan atau kelaparan. Mereka adalah rumah tangga miskin yang
tingkat pengeluarannya tidak lebih dari Rp 150 ribu per bulan.
Kondisi rumah tangga rawan pangan masih terjadi di Jawa Timur
dibandingkan dengan propinsi lain berdasarkan data SUSENAS yang tertuang
dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2006 disajikan dalam Tabel berikut.

157

Tabel 9. Jumlah Penduduk Rawan Pangan Menurut Propinsi

*) Tidak dilakukan survey total


Sumber : Gizi dalam Angka (2005) dan Nutrition Map of Indonesia, 2006
Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di relative
masih tinggi masih tinggi. Tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan dan
anak balita kurang gizi menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak selalu berarti
bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi.
Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap
harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan

158

rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat
berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga.
Hubungan tentang kerawanan pangan dengan tingkat pendapatan relatif
cukup erat baik ditinjau dari kecukup[an energi maupun kualitas pangan. Pada
gambar berikut ditunjukkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang maka
akan menyebabkan rendahnya kecukupan energi maupun skor PPHnya.

Grafik 1 Tingkat Konsumsi Energi Provinsi Jawa Timur Tahun 2005

Grafik 2 Skor PPH Provinsi Jawa Timur


Sumber : Badan Ketahanan Pangan jawa Timur, 2006

159

IV. MASALAH STRATEGIS KETAHANAN PANGAN JAWA TIMUR


Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Sebagai wilayah potensial pangan yang penting, keberhasilan Ketahanan Pangan
di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus pangan telah menjadi tolok ukur
keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh karena itu pemerintah Jawa Timur
berupaya terus memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program
program yang benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4.1. Permasalahan dan Tantangan
Upaya pemantapan ketahanan pangan sampai saat ini masih menjadi
prioritas pembangunan di Propinsi Jawa Timur. Permasalahan pembangunan
ketahanan pangan yang harus dipecahkan secara mendesak dan berkelanjutan
pada tahun mendatang adalah :
1. Masalah kemiskinan dan kelaparan di Jawa Timur masih masih cukup tinggi
baik untuk tingkat kemiskinan maupun kelaparan dengan ukuran AKE kurang
1700 kkal/kapita/hari berkisar sebesar 19 persen. Usaha ini harus dipecahkan
secara bertahap melalui usaha peningkatan pendapatan masyarakat karena
merupakan faktor kunci dalam meningkatkan akses pangan masyarakat
menuju gizi yang cukup untuk hidup sehat.
2. Masalah pemantapan ketersediaan Pangan. Pola peningkatan produksi pangan
khususnya padi cenderung melandai dan terjadi pula peningkatan alih fungsi
lahan yang cukup besar 10.000 Ha/Th. Hal ini membutuhkan konsumsi
beras yang cukup besar yaitu 3.478.994 ton tahun 2007 dan cenderung
meningkat setiap tahunnya, padahal pola peningkatan produksi beras
cenderung melandai. Pertambahan penduduk yang cukup besar akan
berdampak pada peningkatan kebutuhan konsumsi dan juga peningkatan
kebutuhan fasilitas sosial ekonomi yang mengakibatkan peningkatan alih
fungsi lahan. Oleh karena itu propinsi Jawa Timur sebagai daerah lumbung

160

pangan

disamping

meningkatkan

produksi

pangan

juga

harus

mengembangkan penganeka ragaman pangan.


3. Tantangan dalam aspek penganeka ragaman pangan terjadi karena sampai saat
ini konsumsi pangan kelompok padi-padian didominasi oleh beras, dan
ternyata konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 94.35 kg/kap/thn
(Susenas 2005), sementara terjadi peningkatan jumlah penduduk dari tahun
1998-2005 sebesar 1,2% setiap tahun (BPS, 2005).
4. Tantangan dalam cadangan pangan masyarakat terjadi karena sifat komoditas
pangan yang bersifat musiman sementara pendapatan masyarakat umumnya
sangat rendah. Usaha ini dapat dilakukan dengan memberdayakan
kelembagaan masyarakat seperti melalui lembaga pembeli gabah (lpg) dan
lembaga usaha ekonomi pedesaan , lumbung, dan pengembangan cadangan
gan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman bawah tegakan
perkebunan
5. Usaha perlindungan kepada petani khususnya pada musim panen akibat
kelebihan produksi harus diantisipasi melalui pengendalian harga di tingkat
produsen. Produksi padi masih sangat dipengaruhi iklim, dimana 55,98%
dari pertanaman padi dipanen pada bulan Januari s/d April 2006.
Keadaan ini menyebabkan produksi gabah menumpuk pada bulan-bulan
tersebut, sehingga harga jual di tingkat petani cenderung menurun. Oleh
karena itu, program stabilisasi komoditas pangan menjadi sangat penting
dilakukan. Kebijakan stabilisasi komoditas pangan ini akan menjadi
rangsangan bagi petani untuk berproduksi, serta dapat menjadi stabilitas
inflasi. Berdasarkan kenyataan ini, maka menjadi penting untuk dilakukan
program stabilisasi produksi dan harga komoditas pangan. Hal ini bisa
dilakukan apabila dilakukan usaha pembinaan untuk pengembangan tunda
jual, serta kebijakan pembelian produkm petani pada waktu panen pada
komoditas strategus (gabah, beras, jagung dan kedele)
6. Masalah keamanan pangan sampai saat ini merupakan permasalahan yang
cukup serius. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan dan
kepedulian masyarakat konsumen terhadap keamanan pangan, yang ditandai

161

merebaknya kasus keracunan pangan baik produk pangan segar maupun


olahan di sisi lain masih cukup banyak digunakan bahan tambahan pangan
(penyedap, pewarna pemanis, pengawet, pengental, pemucat dan anti gumpal)
yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang harus diantisipasi melalui
usaha-usaha pembinaan menurut standar SNI, FMP DAN HACCP. Sementara
itu belum ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan keamanan
pangan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk pencegahan dan pengendalian
keamanan pangan harus dilakukan
7. Berdasarkan hasil Pemetaan Kerawanan Pangan dengan indikator Food
Insecurity Atlas (FIA) bahwa terdapat 123 kecamatan termasuk kategori agak
rawan pangan sampai rawan pangan atau 38,44 % dari sebanyak 320
kecamatan yang tersebar di 16 kabupaten, dengan rincian yaitu : kategori
sangat rawan (prioritas 1) sebanyak 11 kecamatan, kategori rawan (prioritas 2)
sebanyak 20 kecamatan, dan kategori agak rawan (prioritas 3) sebanyak 92
kecamatan. Upaya ini bisa dilakukan melalui program pemberdayaan
masyarakat melalui program Aksi Desa Mandiri Pangan serta pengendalian
rawan pangandalam rangka mewujudkan ketahanan pangan agar masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan pangannya.
8. Tantangan lainnya yang cukup penting adalah permasalahan sistem informasi
pangan. Sampai saat ini penanganan masalah ketahanan pangan seringkali
menghadapi kendala sistem informasi pangan yang kurang akurat dan cepat.
Oleh karenanya di masa datang pengembangan sistem informasi pangan
berbasiskan teknologi informasi untuk tujuan diteksi dini untuk antisipasi
mutlak harus dilakukan. Sistem informasi yang perlu dikembangkan adalah :
pengembangan sistem informasi ketersediaan dan kebutuhan pangan (neraca
pangan), sistem informasi kerawanan pangan, dan sistem informasi distribusi
dan pasar
9. Semakin membanjirnya pangan olahan impor dengan berbagai promosi yang
cukup gencar dan menarik, sedangkan kesadaran dan kecintaan masyarakat
untuk mengkonsumsi pangan lokal masih cukup rendah. Oleh karena itu

162

diperlukan untuk pengembangan pangaan olahan dengan bahan baku lokal


yang mampu bersaing
10. Gaya mengkonsumsi pangan cepat saji (fast food) menggunakan bahan impor
dan kurang menggunakan bahan pangan lokal telah menjadi bagian dari
perilaku sebagian besar anak dan remaja di berbagai kota besar, serta
diperkirakan cenderung semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh karemna itu
diperlukan usaha usa penyadaran mayarakat untuk penganekaragaman
menuju pangan yang beragamn dan gizi seimbang
11. Masalah dalam pelestararian sumberdaya lahan dan air. Dampak adanya
reformasi dan otonomi daerah telah menyebabkan pelestarian sumberdaya
lahan dan air semakin memburuk. Kalau hal ini dibiarkan terus akan
menyebakan sumber air akan semakin tergradasi yang pada gilirannya akan
mengancam produksi pangan di jawa Timur
12. Akses petani terhadap permodalan dan sarana produksi perla dipandang
menjadi permasalahan yang harus diantisipasi sejak dini. Hal ini dikarenakan
petani di Jwa Timar umumnya dalam skala yang sempit sehingga untuk
melindungi petani dan sekaligus meningkatkan pendapatan aspek peningkatan
akses permodalan dan sarana produksi pertanian harus terus dilakukan.
13. Pengembangan Infrastruktur pertanian dan pedesaan di Jawa Timur walaupun
cukup memadai namur perla terus dikembangkan. Usaha peningkatan
infrasttur ini perla dilakukan melalui pembangunan bersifat padat karya karena
mempunyai manfaat ganda yakni disamping meningkatkan perekonomian
pedesaan juga berfungsi meningkatkan serapan tenaga verja yang pada
gilirannya akan meningkatkan akses pangan
14. Meskipun kelembagaan ketahanan pangan di pemerintahan propinsi Jawa
Timur telah mantap, namun ditingkat kabupaten/kota masih memperihatinkan,
Dewan ketahanan pangannya umumnya masih belum aktif. Usaha-usaha
untuk meningkatkan kelembagaan fungsional (DKP) maupun kelembagaan
struktural harus dilakukan. Hal ini disebabkan karena dengan keluarnya
peraturan PP No 3 tahun 2007 tentang pertanggungan jawab Gubernur,
bupati/walikota dimana Gubernur, bupati/walikota wajib melaporkan tentang

163

pembangunan ketahanan dan PP No 38 tahun 2007 bahwa Ketahanan pangan


menjadi urusan wajib pemerintah propinsi, kab/kota. Berdasarkan kedua
peraturan pemerintah tersebut jelas secara tegas bahwa Ketahanan pangan
menjadi urusan wajib bagi pemerintah propinsi, kabupaten/kota. Konsekuensi
dari keadaan ini menuntut adanya pemantapan kelembagaan pangan
4.2. Potensi dan Peluang
4.2.1. Ketersediaan
Potensi pengembangan sistem ketahanan pangan di Jawa Timur memang
sangat besar. Sebagai suatu sistem pembangunan ketahanan pangan perlu
didukung tidak hanya dari aspek infrastruktur dan SDM tetapi juga
suprastrukturnya yaitu kebijakan pemerintah yang memberikan lingkungan
kondusif bagi pengembangan ketahanan pangan di Jawa Timur.
Berkaitan dengan aspek ketersediaan, dapat dikaitkan dengan aspek
sumberdaya alam. Sumberdaya alam merupakan potensi yang besar di Jawa
Timur, bila potensi ini diberi sentuhan teknologi, informasi dan juga transportasi
maka akan memiliki efek yang luas. Dan pandangan ini berarti melihat potensi
dari sisi suplai (supply side).
Bila dilihat potensi sumberdaya ini dalam upaya untuk menyediakan bahan
pangan dan hasil pertanian pada umumnya bagi konsumen maka potensi dapat
dilihat dari sisi demand (demand side). Dari sisi demand maka potensi sektor
pertanian ini perlu adanya pasar, sarana prasarana transportasi dan juga
komunikasi. Dengan terpadunya elemen-eleman ini maka potensi akan memiliki
spektrum luas dalam upaya pembangunan wilayah. Garis besarnya adalah dalam
aspek ketersediaan, potensi di Jawa Timur yang sangat besar merupakan kekuatan
untuk melakukan pembangunan yang lebih terarah. Kekuatan ini masih muncul
karena keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Jawa Timur sehingga
diperlukan adanya upaya lebih giat lagi mentransformasi keunggulan komparatif
(comparative advantage) menuju pada keunggulan kompetitif (competitive
advantage) yang lebih baik dengan wilayah atau negara lain.

164

Potensi sumberdaya alam yang merupakan keunggulan komparatif


memerlukan manajemen sehingga pemanfaatan sumberdaya melalui perencanaan
yang layak dengan memperhatikan aspek sustainabilitas, welfare, dan kemerataan.
Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya juga harus mengacu pada prinsip-prinsip
pengelolaan yang efektif dan efisien dan berwawasan keberlanjutan. Akhirnya,
evaluasi terus dilakukan untuk menjaga agar penyimpangan atas perencanaan
dapat ditangani untuk mendapatkan output yang ditetapkan.
4.2.2. Distribusi Pangan
Ditinjau dari aspek infrastruktur ekonomi dan akses wilayah di Jawa Timur
sudah relatif baik. Prasarana jalan dan sarana transportasi sudah menjangkau
setiap wilayah dan juga layanan komunikasi menjadi daya dorong untuk aliran
informasi yang baik. Walaupun disadari pula bahwa dengan perbaikan fasilitas
publik ini (prasarana jalan beraspal) seringkali mendorong pula berlakunya
hukum location rent, sehingga berdampak pula pada laju konversi lahan yang
semakin tinggi. Namun demikian dis-economic exsternality ini terkompensasi atas
multiplier efek yang lebih besar dari perbaikan akses wilayah.
Infrastruktur wilayah berupa prasarana transportasi adalah salah astu
komponen yang sangat berperan dalam memperlancar fungsi pemasaran
komoditas pangan dari satu wilayah ke wilayah lain. Selain aspek fisik
infrastruktur wilayah juga terdapat aspek kelembagaan dan keamanan serta
kenyamanan dalam melaksanakan kegiatan pendistribusian komoditas pertanian.
Kelembagaan dalam hal distribusi komoditas pertanian dapat berupa
kelembagaan formal maupun non-formal. Kelembagaana formal yang dimaksud
adalah lembaga distribusi yanag dibentuk pemerintah terutama menangani
masalah pangan strategis seperti beras. Lembaga non-formal terkait dengan
kegiatan distribusi adalah lembaga pemasaran baik itu pedagang perantara,
pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer yang berperan mendistribusikan
hasil pertanian dari titik produsen ke titik konsumen.
Ketahanan pangan dalam era globalisasi dan otonomi daerah merupakan isu
strategis yang patut mendapat perhatian karena menyangkut hajat hidup orang

165

banyak dan berkaitan dengan hak asasi manusia. Potensi Jawa Timur untuk
meningkatkan efisiensi distribusi sangat mungkin dilakukan mengingat akses
wilayah yang mudah, perhatian pemerintah terhadap distribusi pangan, dan juga
skala produksi yang relatif besar di Jawa Timur. Penataan kelembagaan pangan
juga menjadi sangat penting untuk membentuk ketahanan pangan di Jawa Timur.
Termasuk juga upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat, dengan jalan
memberikan fungsi fasilitasi dan layanan informasi untuk akses pasar hasil
produksi pertanian.
4.2.3. Konsumsi
Sumberdaya manusia di Jawa Timur memiliki arti penting dalam
pembangunan ketahanan pangan. Potensi SDM tak terlepas dari fungsinya dalam
pengelolaan sumberdaya sehingga mampu menghasilkan output yang memiliki
nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi dengan tingkat teknologi yang
semakin berkembang. SDM yang berkualitas akan sangat tanggap atau cepat
merespon perubahan-perubahan yang terjadi baik itu berkenaan dengan teknologi
produksi maupun berkaitan dengan perubahan perilaku konsumsi.
Besarnya potensi produksi bahan pangan dan pertanian secara umum
memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya agroindustri yang melakukan
pengolahan dari produk primer hasil pertanian. Beberapa nilai penting dari
agroindustri adalah meningkatkan nilai ekonomi produk pertanian, meningkatkan
dispersi penggunaan produk primer hasil pertanian, meningkatkan elastisitas
produk pertanian, mengurangi fluktuasi harga akibat ekses suplai dan pola
musiman proses produksi pertanian.
Peluang yang lain berkenaan dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan
adalah berkaitan dengan diversifikasi pangan. Berbagai macam jenis bahan
pangan yang dapat dihasilkan dari potensi domestik merupakan kekayaan yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan pangan. Dengan diversifikasi
pangan maka diharapkan akan mengurangi ketergantungan pada produk pangan
tertentu seperti beras. Peningkatan nilai gizi dan performence pangan lokal

166

merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk mewujudkan diversifikasi


pangan ini.
Berkenaan dengan perilaku konsumsi pangan perlu mendapatkan perhatian
mengingat ketersediaan gizi yang berimbang dan makanan yang aman dikonsumsi
menjadi aspek kritis dalam upaya membentuk sumberdaya manusia yang sehat
dan produktif. Asupan gizi pada tubuh sangat dipengaruhi oleh pola makan di
keluarga. Dengan demikian, peran dan pengetahuan ibu rumah tangga berkaitan
dengan pola asuh dan pola makan keluaraga menjadi sangat penting.
Kesadaran akan gizi yang berimbang, aman dikonsumsi akan berimplikasi
lebih jauh pada kesehatan balita, harapan hidup dan juga tingkat kematian bayi
pada suatu wilayah. Peran prasarana dan sarana kesehatan di sini juga sangat
menentukan bagi kesehatan masyarakat. Di Jawa Timur terdapat berbagai institusi
(infrastruktur sosial) di tingkat lokal (kecamatan atau bahkan desa) yang dapat
menjadi mitra kerja pemerintah dalam rangka perbaikan konsumsi dan gizi
masyarakat. Beberapa contoh institusi lokal tersebut adalah posyandu, PKK,
organisasi sosial masyarakat non formal seperti majelis taklim, dan sebagainya.
Instiitusi ini dapat berperan dalam mendeteksi masalah serta memfasilitasi upayaupaya peningkatan kualitas konsumsi dan perbaikan gizi.
V. KEBIJAKAN OPERASIONAL KETAHANAN PANGAN JAWA TIMUR
Perwujudan ketahanan pangan disuatu wilayah tidak hanya memenuhi aspek
ketersediaan pangan yang merata di suatu wilayah, namun juga dapat diakses oleh
masyarakat dengan daya beli yang dimilikinya sehingga dapat mencukupi
kebutuhan gizi secara berimbang, aman, terjadi peningkatan kesehatan dan
produktifitas di masyarakat. Implisit dalam uraian ini adalah adanya keterjaminan
pangan yang dapat diakses masyarakat untuk hidup sehat dan produktif secara
terus menerus. Dengan demikian dimensi ketahanan pangan sebenarnya adalah
tidak hanya pembentukan pondasi ekonomi yang mantap di suatu wilayah untuk
tumbuh dan berkembang namun juga memiliki dimensi pembangunan wilayah
secara utuh.

167

Perhatian pada ketahanan pangan juga tidak dapat dilihat dari aspek makro
atau agregat saja, tetapi harus menggunakan unit analisis yang lebih kecil sampai
tingkat rumah tangga. Keterjaminan pangan sampai tingkat rumah tangga menjadi
sangat penting untuk dipantau dari waktu ke waktu. Sistem pendataan yang tertata
menjadi kunci keberhasilannya. Pembangunan ketahanan pangan disadari tidak
hanya menjadi kewajiban pemerintah tetapi juga masyarakat luas, sehingga
partisipasi masyarakat dalam
upaya pembangunan ketahanan pangan menjadi sangat penting. Pemerntah
sebagai fasilitator dan dinamisator ekonomi wilayah diperlukan dukungannya
dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk kegiatan produksi dan pemasaran
produk pangan dan pertanian pada umumnya, baik dengan paket deregulasi
investasi pertanian maupun penataan kelembagaan pertanian. Partisipasi
masyarakat dalam upaya pembangunan ketahanan pangan dapat berbentuk
mendukung upaya peningkatan kapasitas produksi pangan dan pertanian secara
umum, aseptabilitas yang tinggi terhadap perbaikan teknologi baru, penghargaan
terhadap produk pangan domestik atau lokal, dan berkehendak untuk
meningkatkan wawasan tentang pola pangan yang baik sesuai harapan sehingga
asupan gizi mencukupi untuk tubuh yang sehat dan produktif. Penyediaan
prasarana dan sarana kesehatan menjadi sangat penting pula untuk diperhatikan
dalam upaya menajaga kesehatan masyarakat.
5.1. Arah Kebijakan
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan,
beberapa komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis,
karena dinamika ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi nasionalnya,
sehingga tidak senantiasa dapat mengandalkan pada ketersediaan pangan di pasar
dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-negara menetapkan Sistem
Ketahanan Pangan untuk kepentingan dalam negerinya, termasuk Indonesia.
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Sebagai wilayah potensial pangan yang penting, keberhasilan Ketahanan Pangan

168

di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus pangan telah menjadi tolok ukur
keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh karena itu pemerintah Jawa Timur
berupaya terus memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program
program yang benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan program
ketahanan pangan Jawa Timur maka arah kebijakan ketahanan pangan sebagai
berikut :
1. Pemantapan penanganan kelaparan dan kemiskinan ditujukan untuk
mengurangi

jumlah

penduduk

yang

kelaparan,

kemiskinan

dan

penanggulangan gizi buruk.


2. Pemantapan ketersediaan pangan
(1) menjamin kelangsungan produksi pangan sebagai penyangga pangan
nasional,
(2) meningkatkan daya saing produk dan produktifitas, serta meningkatkan
nilai tambah produksi pangan melalui penanganan pasca panen dan
agroindustri dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani,
(3) mengembangkan kemampuan penataan kelembagaan cadangan pangan
yang lebih baik,
(4) meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya alam dan air,
serta menjaga kelestariannya dalam rangka mempertahankan ketahanan
pangan.
3. Pemantapan distribusi pangan
(1) mengembangkan

sarana

dan

prasarana

distribusi

pangan

untuk

pedesaan

untuk

meningkatkan efisiensi pemasaran,


(2) mengembangkan

kelembagaan

pemasaraan

di

meningkatkan efisiensi dan efektifitas distribusi


(3) meningkatkan efisiensi pemasaran, mengembangkan informasi pasar dan
stabilisasi harga untuk kesejahteraan petani
4. Pemantapan konsumsi

169

(1) menjamin pemenuhan pangan sampai tingkat rumah tangga dalam jumlah
dan kualitas yang memadai sehingga aman dikonsumsi dan bergizi
seimbang,
(2) mengembangkan dan memanfaatkan pangan lokal
(3) mendorong, mengembangkan dan membangun serta memfasilitasi peran
masyarakat dalam pemenuhan pangan,
(4) meningkatkaan pengetahuan masyarakat tentang hidup sehat dan makanan
beragam dan gizi seimbang,
(5) meningkatkan peran kelembagaan dimasyarakat ,
(6) menjaga keamanan pangan bagi konsumen.
5.2. Tujuan pembangunan Ketahanan Pangan
Berdasarkan kenyataan ini maka pembangunan Ketahanan Pangan di Jawa
Timur ditujukan untuk :
1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan
kelaparan
2. Meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan terhadap sumber pangan
karbohidrat dan protein menuju kemandirian pangan
3. Meningkatkan ketersediaan pangan sampai tingkat rumah tangga minimal
2200 kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/kapita/hari
4. Meningkatkan dan memantapkan sistem cadangan pangan yang lebih baik
5. Meningkatkan keanekaragaman dan kualitas konsumsi pangan masyarakat
untuk

mencapai

tingkat

konsumsi

2000

kkal/kapita/hari

dan

54

gram/kapita/hari menuju Pola Pangan Harapan


6. Meningkatkan konsumsi pangan non-beras dan menurunkan konsumsi beras
7. Memantapkan pola distribusi pangan yang mampu menjamin keterjangkauan
pangan oleh masyarakat secara fisik dan ekonomi serta menjamin stabilitas
harga
8. Mengembangkan sistim kelembagaan pangan dan gizi masyarakat yang
partisipatif dalam menangani kerawanan pangan;

170

9. Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam peningkatan


ketahanan pangan rumah tangga
10. Meningkatkan produksi dan kualitas pangan seiring dengan peningkatan
pendapatan para petani dan pelaku agribisnis lainnya
11. Mengembangkan industri dan bisnis pangan
12. Meningkatkan kemampuan dalam mengenali, mengantisipasi dan menangani
secara dini serta melakukan tanggap darurat terhadap masalah kerawanan
pangan
5.3. Strategi Umum
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional.
Keberhasilan Ketahanan Pangan di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus
pangan telah menjadi tolok ukur keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh
karena itu pemerintah Jawa Timur harus terus berupaya memacu pembangunan
ketahanan

pangan

memperkokoh

melalui

ketahanan

programprogram
pangan

sekaligus

yang

benar-benar

meningkatkan

mampu

kesejahteraan

masyarakat. Pembangunan ketahanan pangan di Jawa Timur merupakan suatu


proses yang terus-menerus dan diupayakan membawa dampak yang luas pada
seluruh sektor pembangunan. Harapan ini memang obyektif mengingat aspek
yang diamati dalam ketahanan pangan tidak hanya aspek ketersediaan tapi juga
aspek-aspek lainnya, seperti distribusi dan akses pangan yang mengarah pada
upaya peningkatan pendapatan masyarakat, juga konsumsi/penyerapan pangan
yang mengarah pada pembangunan sumberdaya manusia yang sehat dan
produktif.
Pembangunan ketahanan pangan di Jawa Timur dilakukan melalui Twin
track strategy (strategi jalur ganda), yakni : (1) pembangunan ekonomi berbasis
pertanian dan pedesaan dan (2) pembangunan dengan memprioritaskan bagi
kelompok masyarakat miskin. Strategi umum ini diuraikan sebagai berikut :
Strategi Khusus Penurunan Tingkat Kelaparan & Kemiskinan

171

1. Peningkatan Kesempatan (creating opportunities), melalui pengembangkan


bisnis dan kesempatan kerja
2. Pemberdayaan

Masyarakat

(Community

Empowerment)

melalui

pemberdayakan sehingga mampu akses terhadap sumberdaya ekonomi, sosial


dan hak-hak politik dan keterlibatan
3. Peningkatan Kapasitas & pembangunan sumberdaya manusia (Capacity
Building

and

kemampuan

Human

yang

Resource

berkaitan

Development),

dengan

sasaran

melalui
peningkatan

peningkatan
pelayanan

pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan agar masyarakat makin produktif


4. Perlindungan Sosial (Social Protection): Perlindungan sosial yang berkaitan
dengan sasaran pemberian jaminan kehidupan bagimasyarakat yang
mengalami kecacatan, fakir miskin, keterisolasian, konflik sosial, kehilangan
pekerjaan sehingga berpotensi menjadi miskin
5. Prioritas pada daerah rawan pangan (pusat daerah miskin)
Strategi Khusus Pemantapan Ketersedian Pangan
1. Perwilayahan komoditas pangan sesuai dengan potensi
2. Pemantapan Infrastruktur produksi
3. Pengembangan Teknologi spesifik lokasi
4. Penyediaan modal dan sarana produksi
5. Kelestarian sumberdaya
6. Pemantapan Kelembagaan petani
Strategi Khusus Pemantapan Diversifikasi Konsumsi Pangan
1. Penyediaan suplai pangan dengan mengembangkan sumberdaya lokal
(unggulan wilayah)
2. Pengembangan agroindustri pangan dengan kemasan modern
3. Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice ) melalui gerakan tentang
konsumsi pangan yang beragam dan gizi seimbang serta aman
4. Peningkatan income
5. Pemberdayaan kelembagaan lokal
Strategi Khusus Pemantapan Distribusi Pangan
1. Penetapan harga pembelian pemerintah

172

2. Intervensi pemerintah terhadap pasar


3. Penguatan posisi tawar petani
4. Pengembangan sarana dan prasarana pasca panen dan infra strukturdistribusi
5. Kemitraan petani
5.4. Kebijakan Umum
Kebijakan umum ketahanan pangan diharapkan menjadi panduan bagi
pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama berpartisipasi dalam
mewujudkan ketahanan pangan di Jawa Timur. Kebijakan umum Ketahanan
pangan di Jawa Timur adalah :
1. Penurunan kemiskinan dan kelaparan. Kebijakan Penanggulangan kelaparan
dan kemiskinan ditujukan untuk mengatasi kerawanan pangan dan gizi
masyarakat. Sasaran yang hendak dicapai adalah berkurangnya jumlah
penduduk yang kelaparan, kemiskinan dan penanggulangan gizi kuran
maupun giizi buruk
2. Pemantapan ketersediaan Pangan. Kebijakan Pemantapan ketersedian pangan
ini ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan nabati
dan hewani sesuai dengan potensi daerah masing-masing menunuju
kemandirian pangan di Jawa Timur. Sasaran yang hendak dicapai adalah
tersedianya pangan yang beranekaragam dan bermutu di tingkat rumah tangga,
serta peningkatan pendapatan petani.
3. Pelestarian sumberdaya lahan dan air. Kebijakan ini ditumpuh untuk
pengelolaan sumberdaya yang baik sehingga memiliki dimensi keberlanjutan
(sustainable). Salah satu upaya untuk mencapainya adalah dengan melakukan
penataan wilayah pertanian dengan mencegah bergesernya sumberdaya lahan
pertanian ke kegiatan non-pertanian. Disamping itu mengingat kondisi sumber
air di Jawa Timur kondisinya memprihatinkan usaha-usaha pelestarian
sumberdaya air harus segera dilakukan secara ber bertahap dan berkelanjutan
4. Peningkatan akses petani terhadap permodalan dan sarana produksi. Hal ini
dikarenakan petani di Jawa Timar umumnya dalam skala yang sempit
sehingga untuk melindungi petani dan sekaligus meningkatkan pendapatan.

173

5. Pemantapan Kelembagaan Pangan. Sejalan dengan keluarnya peraturan PP No


3 tahun 2007 dan PP No 38 tahun 2007 sehingga secara tegas bahwa
Ketahanan pangan menjadi urusan wajib bagi pemerintah propinsi,
kabupaten/kota. Konsekuensi dari keadaan ini menuntut adanya pemantapan
kelembagaan pangan dalam rangka untuk melakukan upaya standard
pelayanan minimal.
6. Pengembangan Infrastruktur pertanian dan pedesaan. Infrastruktur pertanian
dan pedesaan di Jawa Timur walaupun cukup memadai namun perla terus
dikembangkan. Usaha peningkatan infrastrtur ini perla dilakukan melalui
pembangunan bersifat padat karya guna meningkatkan akses pangan
7. Pengembangan cadangan pangan. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan
memberdayakan kelembagaan masyarakat seperti melalui lembaga pembeli
gabah (LPG) dan lembaga usaha ekonomi pedesaan, lumbung, dan
pengembangan cadangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman
bawah tegakan perkebunan)
8. Pengembangan dan Penganekaragaman Sumber Pangan Lokal Menuju Gizi
Seimbang. Kebijakan ini diarahkan untuk : a). Mendorong diversikasi pola
konsumsi pangan berbasis pangan local, b). Meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan tentang makanan beragam, bergisi, berimbang dan aman sejak
anak usia dini, c). Mendorong pengembangan teknologi pengolahan, terutama
pangan lokal non besar, guna meningkatkan nilai tambah dan nilai sosial
9. Keamanan Pangan. Kebijakan ini ditujukan untuk antisipasi masalah
keamanan pangan yang sampai saat ini masih cukup serius, yang ditandai
merebaknya kasus keracunan pangan baik produk pangan segar maupun
olahan di sisi lain masih cukup banyak digunakan bahan tambahan pangan
(penyedap, pewarna pemanis, pengawet, pengental, pemucat dan anti gumpal)
yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan Oleh karena itu usaha-usaha
untuk pencegahan dan pengendalian keamanan pangan harus dilakukan
10. Pengembangan Agroindustri dan bisnis pangan. Kebijakan ini ditempuh untuk
tujuan pengembangan industrialisasi pedesaaan serta untuk mengantisipasi

174

semakin membanjirnya pangan olahan impor, serta ditujukan untuk


mempercepat proses diversifikasi pangan.
11. Stabilisasi harga, Distribusi dan Pemasaran Pangan. Kebijakan ini ditujukan
untuk : a). Mendorong terwujudnya system distribusi pangan yang efektif dan
efisien untuk menjamin stabilisasi pasokan dan harga pangan pada tingkat
harga yang terjangkau oleh masyarakat, b). Meningkiatkan koordinasi dan
sinergi dengan instansi terkait yang mendukung kegiatan distribusi, harga dan
akses pangan, c). Mendorong peran serta kelembagaan masyarakat dan
meningkatkan kelancaran distribusi, kestabilan harga dan akses pangan
12. Sistem informasi kerawanan Pangan. Kebijakan ini ditujukan untuk
pengembangan sistem informasi pangan berbasiskan teknologi informasi
untuk tujuan diteksi dini untuk antisipasi. Sistem informasi yang perlu
dikembangkan adalah : pengembangan sistem informasi ketersediaan dan
kebutuhan pangan (neraca pangan), sistem informasi kerawanan pangan, dan
sistem informasi distribusi dan pasar

175

VI. KEBIJAKAN OPERASIONAL I KETAHANAN PANGAN


JAWA TIMUR
6.1. Rencana Aksi Ketahanan Pangan
Rencana aksi ketahanan pangan periode 2007 2009 adalah suatu panduan
pelaksanaan kebijakan operasional ketahanan pangan. Rencana aksi ini juga
difungsikan sebagai bahan evaluasi atas capaian pembangunan ketahanan pangan
di Jawa Timur.
1. Penurunan tingkat kelaparan & kemiskinan
1. Memantapkan

penanganan

kemiskinan

melalui

Gerakan

Terpadu

Pengentasan Kemiskinan (GERDUTASKIN)


2. Percepatan industrialisasi pedesaan
3. Pengembangan infratruktur ekonomi di pedesaan berbasiskan padat karya
4. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin
5. Peningkatan pelayanan pendidikan dasar bagi keluarga miskin
6. Peningkatan dalam fasilitasi pengembangan UMKM bagi keluarga miskin
7. Peningkatan pelayanan pendidikan dasar bagi keluarga miskin
8. Pengembangan kelompok usaha ekonomi bersasiskan keluarga miskin
9. Revitalisasi

kelembagaan

pedesaan

(Posyandu,

PKK,

dll)

untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan gizi


10. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi anak BALITA gizi buruk dan
gizi kurang
2. Program Pemantapan Ketersediaan Pangan
1. Perwilayahan komoditas pangan (sampai level desa)
2. Perluasan areal tanam
3. Peningkatan produktivitas
4. Penyebar luasan teknologi spesifik lokasi
5. Peningkatan produksi populasi ternak
6. Peningktan produksi perikanan
7. Mengembangkan produksi pangan lokal

176

8. Pengembangan sistem pertanian tanaman sela (kehutanan dan perkebunan)


9. Pengembangan dan penyediaan benih unggul berlabel dan jasa alsintan
10. Pengembangan sistem usahatani melalui pola primatani dan kemitraan
3. Program Pelestararian Sumberdaya Lahan dan Air
1. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian
2. Sertifikasi lahan petani
3. Konservasi sumberdaya lahan dan air pada daerah aliran sungai (DAS)
4. Rehabilitasi sumberdaya lahan dan air pada daerah aliran sungai (DAS)
5. Pengembangan sistem pertanian Agroforestry pada daerah aliran sungai
6. Pengembangan sistem pertanian organik
7. Pembinaan kelompot pemakai Air
8. Perbaikan penataan penggunaan air untuk pertanian. Pemukiman dan
industri
9. Pembentukan sistem informasi bencana alam dalam rangka early warning
system (EWS)
4. Program Peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan modal
1. Pengembangan dan penyediaan UPJA ( Unit pelayanan jasa alsintan
2. Peningkatan pelayanan dan pengawasan pengadaan sarana produksi
3. Penggalakan penggunaan pupuk organik
4. Peningkatan kelembagaan Layanan sarana produksi
5. Pengawasan distribusi sarana produksi
6. Pengawasan mutu sarana produksi
7. Pengembangan sistem kredit yang mudah diakses petani
5. Program Kelembagaan Pangan
1. Revitalisasi kelompok tani sesuai kondisi daerah
2. Pemantapan kelembagaan struktural penyuluhan
3. Peningkatan peran Litbang pertanian, perguruan tinggi dalam transfer
teknologi dan pembinaan kepada petani

177

4. Pengembangan dan perluasaan pola kemitraan petani


5. Pemantapan institusi ketahanan pangan (DKP dan BKP)
6. Fasilitasi program/kegiatan, Monitoring dan evaluasi DKP kabupaten/kota
7. Fasilitasi dalam pembuatan langkah operasional ketahanan pangan
kabupaten/kota
8. Peningkatan kualitas SDM skretariat DKP kabupaten/kota
9. Sosialisasi dan advokasi pada DPR kab/kota
6. Pengembangan Infrastruktur pertanian dan pedesaan
1. Perbaikan dan pengembangan infrastruktur perdesaan

Infrastruktur dasar: jalan, listrik, air bersih, komunikasi

Infrastruktur ekonomi: jalan usaha tani, pasar desa, fasilitas


penampungan produksi
2. Pembangunan dan perbaikan saluran irigasi, drainase dan waduk
7. Program Cadangan pangan
1. Pengembangan sistem Pencadangan pangan daerah untuk mengantisipasi
kondisi darurat bencana alam minimal 3 (tiga) bulan
2. Pengembangan cadangan pangan hidup (pekarangan. Dll)
3. Penguatan kelembagaan lumbung pangan masyarakat
4. Pengembangan sistem cadangan pangan melalui LUEP
5. Pengembangan

cadangan

pangan

hidup

di

masyarakat

melalui

pemanfaatan lahan pekarangan


8. Program Pengembangan dan Penganekaragaman Sumber Pangan Lokal
Menuju Gizi Seimbang
1. Pemberdayaan agroindustri skala rumah tangga untuk produksi pangan
pokok karbohidrat non-beras, non-terigu dan sumber protein hewani, serta
sayur dan buah
2. Pengembangan makanan tradisional berbasis sumberdaya lokal

178

3. Peningkatan peran kelembagaan lokal dan masyarakat pedesaan dalam


penyuluhan diversifikasi pangan dan gizi
4. Kampanye promosi pangan beragam dan bergizi seimbang
5. Pemberian muatan materi pangan dan gizi pada pendidikan formal dan non
formal
6. Pengembangan teknologi pengolahan pangan lokal
7. Pengembangan pangan lokal sesuai dengan budaya setempat
8. Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat berbasis
sumber daya lokal
9. Pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) yang tepat
berbasis sumber daya lokal
10. Revitalisasi kelompok penyuluhan gizi pada masyarakat
11. Sosialisasi Gerakan Makanan Beragam, dan gizi seimbang masyarakat
yang dimulai sejak usia dini
12. Penggalakan Gerakan Makan Ikan, Daging, Telur dan Minum Susu dalam
rangka pencapaian tingkat konsumsi protein
13. Peningkatan koordinasi antar institusi dalam penanganan masalah
keamanan pangan pada sistem produksi, distribusi sampai tingkat
konsumen.
14. Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) pelaku usaha melalui
penyuluhan, pelatihan, yang dilaksanakan secara terpadu oleh instansi
terkait.
15. Pengawasan dan monitoring pangan oleh instansi terkait
9. Program Keamanan Pangan
1. Pengaturan distribusi bahan kimia berbahaya
2. Penertiban perijinan distributor dan pengecer bahan kimia berbahaya
3. Peningkatan pengawasan peredaran bahan kimia berbahaya yang
disalahgunakan untuk pangan
4. Pengawasan dan pembinaan terhadap UMKM Pangan

179

5. Penyuluhan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap keamanan


pangan
6. Regulasi Keamanan Pangan di Daerah
10. Pengembangan Agroindustri dan bisnis pangan
1. Pengembangan bisnis pangan
2. Penemuan dan penyediaan paket-paket teknologi agroindustri skala
pedesaan
3. Penyuluhan, pembinaan dan Pengembangan agroindustri pedesaan
11. Program Stabilisasi harga, Distribusi dan Pemasaran Pangan
1. Peningkatan dana talangan pemerintah untuk stabilisasi harga pangan
2. Peningkatan peranan LPG (lembaga pembeli gabah) dan LUEP (lembaga
usaha ekonomi pedesaan)
3. Pengembangan sistem tunda jual
4. Pencegahan impor illegal
5. Pengembangan Infrastruktur pemasaran (jalan, jembatan dan Pasar)
6. Pembinaan Standard kualitas
7. Peningkatan dan pengembangan Sarana dan prasarana Pasca panen
8. Pengembangan Jaringan pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah
9. Pengembangan Sistem informasi pasar
10. Pengembangan pemasaran berkelompok pada petani dan pengembangan
pola kemitraan kelompok tani dengan Koperasi Pegawai negeri/swasta,
TNI, Polri atau badan lainnya
11. Pengembangan informasi dan data konsumsi, stok, dan parameterparameter kehilangan pasca panen
12. Sistem informasi kerawanan Pangan
1. Pengembangan aplikasi TI sistem infomasi pangan
2. Pemantapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
3. Pengembangan system informasi ketersediaan dan kebutuhan pangan

180

4. Pengembangan peta kerawanan pangan sampai tingkat desa


5. Pengembangan sistem informasi bencana alam (kekeringan dan banjir)
6. Pengembangan sistem informasi gizi kurang dan gizi buruk pada balita
terjangkau.
Upaya peningkatan distribusi pangan tersebut ditempuh melalui kegiatan
kegiatan :
1. Stabilisasi harga oleh pemerintah melalui harga pembelian pemerintah untuk
komoditas pangan strategis
2. Peningkatan dana talangan pemerintah dalam pembelian produksi petani
melalui koperasi/kelompok tani
3. Pengembangan jaringan informasi pasar dan distribusi antar dan keluar daerah
4. Peningkatan infrastruktur (sarana dan prasarana ) distribusi di pedesaan
5. Pembinaan standard kualitas dan keamanan pangan
6. Pengembangan sistem tunda jual
7. Pengembangan pemasaran berkelompok pada petani dan pengembangan pola
kemitraan kelompok tani dengan Koperasi Pegawai negeri/swasta, TNI, Polri
atau badan lainnya
8. Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pasca panen
3. Diversifikasi Konsumsi Pangan
Diversifikasi konsumsi ditujukan untuk meningkatkan pola pangan
masyarakat melalui konsumsi pangan yang beragam dan gizi seimbang serta
aman, sesuai dengan kondisi dan situasi daerah, dengan mengutamakan sumber
pangan lokal untuk mencegah ketergantungan terhadap satu jenis pangan tertentu.
Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatknya gizi masyarakat sesuai dengan
Pola pangan Harapan (PPH). Upaya aksi ini ditempuh melalui kegiatan-kegiatan :
1. Pemberdayaan agroindustri skala rumah tangga untuk produksi pangan pokok
non-beras, non-terigu dan sumber protein hewani, serta sayur dan buah
2. Pengembangan makanan tradisional
3. Peningkatan peran kelembagaan lokal dan masyarakat pedesaan dalam
penyuluhan diversifikasi pangan dan gizi

181

4. Sosialisasi Gerakan Makanan Beragam, dan gizi seimbang masyarakat yang


dimulai sejak usia dini
5. Penggalakan Gerakan Makan Ikan, Daging, Telur dan Minum Susu dalam
rangka pencapaian tingkat konsumsi proteing bagi masyarakat rawan gizi
6. Peningkatan koordinasi antar institusi dalam penanganan masalah keamanan
pangan pada sistem produksi, distribusi sampai tingkat konsumen.
7. Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) pelaku usaha melalui
penyuluhan, pelatihan, yang dilaksanakan secara terpadu oleh instansi terkait.
8. Pengawasan dan monitoring pangan oleh instansi terkait
4. Penanggulangan Kelaparan dan Kemiskinan
Penanggulangan kelaparan dan kemiskinan ditujukan untuk mengatasi
kerawanan pangan dan gizi masyarakat. Sasaran yang hendak dicapai adalah
berkurangnya jumlah penduduk yang kelaparan, kemiskinan dan penanggulangan
gizi buruk. Upaya aksi penanggulangan kelaparan dan kemiskinan ini ditempuh
melalui kegiatan :
1. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) melalui teknologi
Informasi
2. Memantapkan penanganan kemiskinan melalui Gerakan Terpadu Pengentasan
Kemiskinan (GERDUTASKIN)
3. Percepatan

industrialisasi

pedesaan

termasuk

di

dalam

mendukung

pengembangan bioenergi
4. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin
5. Revitalisasi kelembagaan pedesaan (Posyandu, PKK, dll) untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan gizi
6. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi anak BALITA gizi buruk dan gizi
kurang
7. Pencadangan pangan untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam
minimal 3 (tiga) bulan
8. Mengurangi tingkat kelaparan dan rawan pangan melalui Program Desa
Mandiri Pangan terutama bagi daerah rawan pangan.

182

9. Peningkatan pembinaan ekonomi mikro di masyarakat


10. Menggelar BURSA KOMODITI PERTANIAN DAN OLAHAN dalam
rangka peningkatan eksistensi dan daya saing produk pertanian.
11. Membentuk mekanisme dan tim penanganan kelaparan dan kemiskinan.

MATRIK KEBIJAKAN OPERASINAL KETAHANAN PANGAN


PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2007 - 2009
1. Penurunan Tingkat Kelaparan & Kemiskinan

183

2. Program Pemantapan Ketersediaan Pangan

184

3. Program Pelestarian Sumberdaya Alam dan Air

185

4. Program Peningkatan Akses Petani Terhadap Sarana Produksi dan Modal

186

5. Program Kelembagaan Pangan

187

6. Pengembangan Infrastruktur Pertanian dan Pedesaan

7. Program Cadangan Pangan

188

8. Program Pengembangan dan Penganekaragaman Pangan Lokal


Menuju Gizi Seimbang

189

9. Program Keamanan Pangan

190

10. Pengembangan Agroindustri dan Bisnis Pangan

11. Program Stabilisasi Harga, Distribusi dan Pemasaran Pangan

191

12. Sistem Informasi Kerawanan Pangan

192

6.2. Pencapaian Kemandirian Pangan di Jawa Timur


Tabel berikut menunjukkan ketersediaan pangan di jawa Timur tahun 2005
dan proyeksi tingkat kebutuhan pangan propinsi Jawa Timur dari tahun 2005
sampai tahun 2020 dengan asumsi pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan pangan maka perlu dilakukan upaya
peningkatan kinerja pertanian tanaman pangan di Jawa Timur secara terusmenerus dan berupaya menciptakan terobosan peningkatan teknologi yang dapat
meningkatkan produktifitas tanaman pangan di Jawa Timur.
Tabel 10. Proyeksi Kebutuhan Pangan Penduduk Berdasarkan Data Survey
Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2005 Departemen Pertanian

Sumber : Badan ketahanan Pangan Jawa Timur, 2006


Berdasarkan kondisi di atas beberapa skenario ke depan dilakukan dalam
upaya mewujudkan kemandirian pangan Jawa Timur. Diantaranya adalah dengan
penyiapan sarana dan prasarana dari hulu sampai hilir. Dukungan teknologi
menjadi sangat penting, misalnya dalam teknologi penyediaan bibit/benih unggul,
perbaikan teknologi budidaya, peningkatan efektifitas teknologi panen dan pasca
panen sehingga menurunkan kehilangan hasil serta regulasi yang kondusif dalam
kegiatan produksi maupun pendistribusian hasil produksi pertanian.

193

VII. PENGELOLAAN KETAHANAN PANGAN


Pelaksanaan pembangunan sistem ketahanan pangan adalah tanggung jawa
bersama baik pemerintah, swasta dan masyarakat secara luas. Masing-masing
komponen yang terlibat dalam kegiatan pembangunan ketahanan pangan memiliki
peran aktif dalam pembangunan. Pada intinya setiap komponen harus memiliki
langkah yang sinergis sehingga sebagai suatu sistem pengelolaan pembangunan
ketahanan pangan dapat dilaksanakan melalui proses perencanaan yang
melibatkan instansi yang bermacam-macam tetapi memiliki tujuan yang sama
yaitu pembangunan ketahanan pangan. Pelaksanaan program pun membutuhkan
partisipasi dari semua pihak. Bahkan aspek makro dan global menjadi sangat
mempengaruhi kinerja sistem ketahanan pangan ini.
Sistem evaluasi dan monitoring atas pelaksanaan pembangunan ketahanan
pangan sangat diperlukan untuk mengetahui pada posisi mana Jawa Timur berada
berkenaan dengan aspek ketahanan pangannya. Dan juga berkenaan dengan upaya
melihat kinerja pembangunan sistem ketahanan pangan yang telah dilaksanakan
berdasarkan atas standart yang ditetapkan dalam perencanaan. Dengan demikian
dapat diketahui sejauh mana pelaksanaan sesuai dengan yang direncanakan, atau
dapat pula diketahui sampai sejauh mana penyimpangan atas pembangunan
ketahanan pangan telah terjadi.
7.1. Peran Pemerintah Propinsi
Peran pemerintah propinsi dalam pembangunan ketahanan pangan adalah
melaksanakan fungsi identifikasi, koordinasi, pembinaan dan pengembangan
sistem ketahanan pangan. Identifikasi dimaksudkan adalah berkenaan dengan
aspek identifikasi ketersediaan dan keberagaman pangan di wilayah, kebutuhan
pangan masyarakat, infrastruktur wilayah yang telah disediakan dan efektifitas
pemanfaatannya, juga berkenaan dengan identifikasi
regulasi-regulasi yang diperlukan atau bahkan harus dihilangkan untuk
memberikan iklim yang kondusif bagi pembangunan ketahanan pangan.
Fungsi koordinasi dimaksudkan sebagai upaya pemerintah propinsi untuk
mengurangi dampak dari kelemahan atas aspek ketahanan pangan seperti

194

ketersediaan ataupun akses atau pengetahuan tentang konsumsi pangan yang


memenuhi kebutuhan akan gizi yang cukup. Ataupun memburuknya aspek akses
pangan, maka pemerintah propinsi dapat melakukan tindakan antisipatif ataupun
mekanisme kompensasi atas kejadian tersebut dalam jangka waktu tertentu dan
selanjutnya di tangani daerah kabupaten/ kota untuk
menindaklanjuti penanganan yang dilakukan propinsi.
Fungsi pembinaan adalah fungsi propinsi untuk memberikan informasi atas
produk yang sesuai dengan preferensi konsumen, memberikan arahan bagi
pengembangan

ketahanan

pangan

dan

pengawasan

atas

pelaksanaan

pembangunan ketahanan pangan di wilayah administratif di bawahnya. Kegiatan


pembinaan ini juga dilakukan dalam rangka meningkatkan skala ekonomi dalam
perdagangan ataupun nilai kompetitif atas barang atau produk yang dihasilkan.
Fungsi pengembangan yang diemban propinsi berkaitan dengan upaya yang
terus menerus dari waktu ke waktu dalam memperbaiki sistem ketahanan pangan.
Upaya berkelanjutan ini memang mutlak pelu dilakukan mengingat desakan
jumlah penduduk telah berimplikasi disatu sisi adalah kebutuhan pangan yang
terus meningkat sedangkan di sisi lain memerlukan pemukiman untuk tempat
tinggal sedangka properti atau kepemilikan lahan tidak mengalami perubahan.
7.2. Peran Pemerintah Kabupaten/Kota
Pemerintah kabupaten / kota memiliki tugas atau fungsi yang serupa dengan
pemerintah propinsi baik itu identifikasi, pembinaan, dan juga pengendalian.
Kegiatan identifikasi dan pembinaan yang dilakukan pemerintah daerah
kabupaten./kota lebih bersifat spesifik dan berdimensi jangka panjang dengan
lebih memperhatikan aspek teknis, sosial, dan ekonomi serta kultur yang
mempengaruhi pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan.
Fungsi pengendalian adalah berkenaan dengan apabila terjadi masalah
kekurangan dalam ketersediaan, akses maupun dalam konsumsi. Pengendalian ini
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang berupaya memecahkan permasalahanpermasalahan pembangunan ketahanan pangan di lokal wilayah.

195

7.3. Masyarakat
Masyarakat sebagai pelaku utama dalam sistem ketahanan pangan.
Masyarakat (petani-nelayan, pengusaha swasta, LSM, organisasi kemasyarakatan)
terlibat secara langsung pada setiap tahap produksi, pengolahan, distribusi hingga
pada keputusan untuk mengkonsumsi pangan. Dengan demikian, masyarakat
menjadi pemeran utama dalam setiap upaya untuk mewujudkan ketahanan
panagan. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan peran
fasilitasi dan pendukung, yang bekerja sama dengan masyarakat dalam proses
yang partisipatif.
7.4. Koordinasi dan Integrasi Kebijakan
Upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional bertumpu pada
sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan produksi
domestik, serta mengurangi ketergantungan pada pemasukan atau impor pangan.
Impor pangan hanya dilakukan pada keadaan memaksa misalnya pada saat terjadi
kekeringan dan/ atau bencana alam lainnya.
Peran aktif dan koordinasi yang sinergis bagi seluruh sektor dan bidang
dalam pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi,
pemerintah kabupaten/ kota, sampai pemerintah desa beserta masyarakat
merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan ketahanan pangan secara utuh.
Dengan kondisi demikian maka pembangunan ketahanan pangan di Jawa Timur
akan menghasilkan multiplier effect yang tinggi pada pembangunan ekonomi,
pelestarian sumberdaya dan pemeliharaan infrastruktur ekonomi untuk efektif dan
efisiennya sistem ketahanan pangan.

196

Bab 6
KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN
NASIONAL
1. ISU STRATEGIS

Ketahanan pangan diartikan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu
untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat
(FAO/WHO,1992) kemudian dikembangkan dengan memasukan komponen
persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat.
Sementara itu, berdasar Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan,
mengartikan ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemaknaan lain atas
ketahanan pangan yaitu kemampuan untuk memenuhi pangan anggota rumah
tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke
waktu agar hidup sehat, dan atau kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri, dan atau membeli dari waktu
ke waktu agar dapat hidup dan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.
Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap
manusia. Krisis pangan dapat berdampak pada krisis sosial dan politik. Oleh
karena itu secara sungguh-sungguh perlu diupayakan terwujudnya ketahanan
pangan nasional. Diversifikasi pangan berbasis pangan lokal dapat dilakukan
sebagai salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun
demikian upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui
diversifikasi pangan tidaklah mudah mengingat bebagai kendala, antara lain
menyangkut persepsi, dan budaya terhadap beras, serta berbagai faktor
penghambat upaya pemanfaatan umbi-umbian sebagai bahan pangan lokal,

197

walaupun sesungguhnya beberapa jenis umbi-umbian, seperti ubi jalar, diketahui


memiliki nilai gizi yang lebih baik karena dapat memberikan efek yang
menyehatkan bagi yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu upaya untuk
melakukan diversifikasi pangan harus diarahkan sebagai upaya untuk memenuhi
angka kecukupan gizi (AKG).
Walaupun menghadapi berbagai kendala, upaya diversifikasi pangan
berbasis pangan lokal harus tetap dijalankan dengan melibatkan semua pihak yang
terkait, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan perguruan tinggi,
dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Tanpa dukungan dari semua pihak
rasanya cukup sulit untuk mewujudkan diversifikasi pangan berbasis pangan
lokal. Selama ini program diversifikasi pangan guna mewujudkan ketahanan
pangan yang tangguh, perannya masih banyak didominasi oleh Departemen
Pertanian, sedangkan departemen atau lembaga lainnya belum mengambil peran
secara optimal.
Untuk mewujudkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, maka perlu
langkah-langkah yang strategis, yaitu:
1.

Dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, perlu dilakukan kajian


sosiologis untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang beras, terigu dan
jenis makanan pokok spesifik lokasi tertentu.

Melalui kajian tersebut

diharapkan diperoleh metode untuk merubah paradigma bahwa beras bukan


merupakan satu-satunya sumber karbohidrat untuk memenuhi kebutuhan
kalori masyarakat.
2.

Intervensi mengenalkan diversifikasi pangan pada anak-anak sejak usia


dini, ibu rumah tangga dan masyarakat dengan tidak menjadikan beras sebagai
satu-satunya sumber karbohidrat bagi penduduk Indonesia, akan tetapi
mendukung pemanfaatan sumber karbohidrat lainnya sebagai sumber energi
sebagaimana yang telah berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, sagu di
Maluku dan Papua, jagung di Madura, umbi-umbian di Jawa, dan singkong di
Lampung. Yang perlu ditekankan adalah angka kecukupan gizi (AKG). Cara
yang sama juga perlu dilakukan terhadap kalangan pers agar memiliki
pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya diversifikasi pangan

198

dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga dan ketahanan


pangan nasional.
3.

Melakukan kapanye dan promosi secara komprehensif untuk mendorong


masyarakat untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan ubi-ubian sebagai
sumber tepung untuk berbagai produk olahan pangan dan secara bertahap
mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu.

4.

Fasilitasi pengembangan pangan lokal dan pengembangan industri pangan


dengan bahan bahan pangan lokal.

5.

Sosialisasi dan penerapan standart mutu keamanan pangan pada UKM


pangan berbasis pangan lokal.

6.

Mengembangkan kredit mikro, bantuan dana bergulir serta memfasilitasi


kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan besar-menengah
dengan perusahaan kecil dan rumah tangga yang mengolah berbagai produk
pangan berbasis pangan lokal.

7.

Mengoptimalkan peran Perum Perhutani dan LMDH (lembaga masyarakat


desa hutan) dalam penyediaan lahan untuk penanaman berbagai jenis umbiumbian potensial dalam rangka penyediaan bahan pangan lokal.

8.

Penyediaan permodalan bagi UKM pengolahan produk pangan, terutama


yang berbasis sumber pangan lokal (umbi-umbian).

9.

Pemberian insentif khusus bagi industri pangan yang menggunakan bahan


baku lokal (bukan impor)

1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian


a. Kapasitas produksi domestik, (a) laju peningkatan produksi pangan
cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen
sedangkan pertambahan penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (b) belum
berkembangnya kapasitas produksi pangan daerah dengan teknlogi sesifik
lokasi karena hambatan inrastruktur pertanian ; (c) petani umumnya skala

199

kecil (kurang dari 0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK menyebabkan
aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber permodalan, teknologi, sarana
produksi dan pasar (d) banyak dijumpai kasus terhambatnya distribusi
sarana produks khususnya pupuk bersubsidi, (e) lambatnya penerapan
teknologi akibat kurang insentif ekonomi dan masalah sosial petani
b. Kelestarian sumberdaya lahan dan air. Saat ini tingkat alih fungs
lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, perkantoran, dll) di
Indonesia diperkirakan 106.000 ha/5 th. Kondisi sumber air di Indonesia
cukup memperihatinkan, daerah tangkapan air yakni daerah aliran sungai
(DAS) kondisi lahannya sangat kritis akibat pembukaaan hutan yang tidak
terkendali. Defisit air di Jawa sudah terjadi sejak tahun 1995 dan terus
bertambah hingga tahun 2000 telah mencapai 52,8 milyar m3 per tahun.
Sejak 10 tahun terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman
tanah longsor pada musim hujan bergantian dengan kekeringan hebat pada
musim kemarau. Bila laju degradasi terus berjalan maka tahun 2015
diperkirakan defisit air di Jawa akan mencapai 14,1 miliar m per tahun.
c. Cadangan pangan. Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga
sering terjadi pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata
sepanjang tahun, serta sering timbulnya bencana yang tidak terduga
(banjir, longsor, kekeringan, gempa) memerlukan sistem pencadangan
pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya: (1) sistem cadangan pangan
daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3
(tiga) bulan, (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan
tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) kelembagaan lumbung
pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4)
sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
ataupun lembaga usaha lainnya.
2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
a. Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Masyarakat yang rendah dalam mengakses pangan ada pada golongan

200

masyarakat miskin, yang diperkirakan sekitar 14,7 persen atau sekitar 34,9
juta pada tahun 2008. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68
persen tinggal di pedesaan damana umumnya adala petani.
b. Kelancaran distribusi dan akses pangan. Masalah yang dijumpai
adalah: (1) infrastruktur distribusi, (2) sarana dan prasarana pasca panen,
(3) pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah,
(4) sistem informasi pasar, (5) keterbatasan lembaga pemasaran daerah, (6)
hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) kasus
penimbunan komoditas pangan oleh spekulan, (8) adanya penurunan
akses pangan pangan karena terkena bencana
c. Penjaminan Stabilitas Harga Pangan. Isu stabilitas harga pangan
penting karena : (1) masa panen yan tidak merata sepanjang bulan, sehigga
harga tinggi pada masa panen dan rendah pada waktu musim panen, (b)
harga pangan dunia semakin tidak menentu,dan indonesa sangat rentang
terhadap pengaruh pasar dunia. Disamping itu dengan adanya stabilitas
harga pangan akan menguatkan posisi tawar petani dan menjamin akses
pangan masyarakat.
3. Peningkaan Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi
seimbang berbasis pada pangan lokal
a. Konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 105,2

kg/kap/thn

(Susenas 2005), Walaupun Kualitas konsumsi terus meningkat dan pada


tahun 2005 mencapai 79,1 dan 2007 mencapai 83.1, namun konsumsi
pangan sumber protein, sumber lemak dan vitamin/mineral masih jauh dari
harapan. Konsumsi pangan dengan bahan baku terigu mengalami
peningkatan yang sangat tajam yakni sebesar sebesar 19,2 persen untuk
makanan mie dan makan lain berbahan terigu 7,9 persen pada periode
1999-2004. Pada saat ini konsumsi pangan hewani penduduk Indonesia
baru mencapai 6,6 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini lebih rendah
dibanding Malaysia dan Filipina yang masing-masing mencapai 48
kg/kap/tahun dan 18 kg/kapita/tahun.

201

b. Faktor

penyebab

belum

berkembangannya

adalah

(1)

belum

berkembangnya teknologi tepat guna dan terjangkau mengenai pengolahan


pangan berbasis tepung umbi-umbian lokal dan pengembangan aneka
pangan lokal lainnya, (2) belum berkembangnya

bisnis pangan untuk

peningkatan nilai tambah ekonomi melalui penguatan kerjasama


pemerintah-masyarakat-swasta, (3) belum optimalnya usaha perubahan
perlaku diversifikasi konsumsi pangan dan gizi sejak usia dini melalui
jalur pendidikan formal dan non formal, (4) rendahnya citra pangan lokal,
(5) belum optomalnya Pengembangan program perbaikan gizi yang cost
effective, diantaranya melalui peningkatan dan penguatan program
fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat
besi dan vitamin A.

4. Peningkatan status gizi masyarakat


a. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk diperkirakan sebesar 8.81
persen (sekitar 5 juta jiwa) dan gizi kurang sebesar 19,0 persen dan
beberapa masalah gizi lainnya seperti anemia gizi besi (AGB), gangguan
akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kurang vtamin A (KVA) masih
terjadi (2005). Masalah kurang energi kronis (KEK) adalah 16,7 persen
pada 2003. Pada saat yang bersamaan pada kelompok usia produktif juga
terdapat masalah kegemukan (IMT>25) dan obesitas (IMT>27).
b. Peningkatan staus gizi harus dilakukan dengan dalam rangka mengurangi
jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro yang diprioritas
pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu
hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun
tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya. Hal ini dapat ditempuh melalui
: (1) komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan , (2)
penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa

202

Wisma; (3) peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga


pemerintah dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi.
5. Peningkatan mutu dan keamanan pangan
a. Saat ini masih cukup banyak digunakan bahan tambahan pangan
(penyedap, pewarna pemanis, pengawet, pengental, pemucat dan anti
gumpal) yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan.
b. Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat konsumen
maupun produsen (khususnya industri kecil dan menengah) terhadap
keamanan pangan, yang ditandai merebaknya kasus keracunan pangan
baik produk pangan segar maupun olahan.
c. Belum ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan keamanan
pangan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk pencegahan dan pengendalian
keamanan pangan harus dilakukan.

203

2. KEBIJAKAN DAN STRATEGI MENUJU INDONESIA


TAHAN PANGAN DAN GIZI 2015

1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian


2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
3. Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang
4. Peningkatan status gizi masyarakat
5. Peningkatan mutu dan keamanan pangan
1. Arah kebijakan Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
a. Menjamin ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, dalam jumlah
dan keragaman untuk mendukung konsumsi pangan sesuai kaidah
kesehatan dan gizi seimbang.
b. Mengembangkan dan memperkuat kemampuan dalam pemupukan dan
pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat hingga di
tingkat desa dan atau komunitas.
c. Meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui penetapan
lahan abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air.
2. Arah kebijakan Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses
pangan
a. Meningkatkan daya beli dan mengurangi jumlah penduduk yang miskin.
b. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan
melalui pengembangan sarana dan prasarana distribusi dan menghilangkan
hambatan distribusi pangan antar daerah.
c. Mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan pemasaran
pangan untuk menjaga kualitas produk pangan dan mendorong
peningkatan nilai tambah.

204

d. Meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan ekonomi


perdesaan dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada
kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan pangan.
3. Arah kebijakan Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan
menuju gizi seimbang
a. Meningkatkan kemampuan rumahtangga dalam mengakses pangan untuk
kebutuhan setiap anggota rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang
memadai, aman dan halal dikonsumsi dan bergizi seimbang.
b. Mendorong, mengembangkan dan membangun, serta memfasilitasi peran
serta masyarakat dalam pemenuhan pangan sebagai implementasi
pemenuhan hak atas pangan.
c. Mengembangkan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya
melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan
program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A
d. Mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan
hak atas pangan dan gizi.
e. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan
bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin terutama anak-anak dan
ibu hamil yang bergizi kurang.
4. Arah kebijakan Peningkatan status gizi masyarakat
a. Mengutamakan upaya preventif, promotif dan pelayanan gizi dan
kesehatan kepada masyarakat miskin dalam rangka mengurangi jumlah
penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan
mineral).
b. Memprioritaskan pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu
hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi
sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya.
c. Meningkatkan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga

205

terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor


di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian,
industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan daerah.
5. Arah kebijakan Peningkatan mutu dan keamanan pangan
a. Meningkatkan pengawasan keamanan pangan
b. Melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan
keamanan pangan
c. Meningkatkan kesadaran produsen, importir, distributor dan ritel terhadap
keamanan pangan
d. Meningkatkan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan,
e. Mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna makanan yang aman
dan tidak memenuhi syarat kesehatan serta terjangkau oleh usaha kecil dan
menengah produsen makanan dan jajanan.
SASARAN
1. Mempertahankan

ketersediaan

energi

perkapita

minimal

2.200

Kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari,


terutama protein yang diiringi dengan menurunnya ketergantungan impor
pangan maksimal 5 persen pada tahun 2015 serta tersedianya cadangan
pangan pemerintah untuk kondisi darurat karena bencana alam dengan
cadangan minimal 3 bulan

dan berkembangnya cadangan pangan

masyarakat
2. Stabilnya harga komoditas pangan strategis yang ditandai rendahnya
perbedaan harga antara musim panen dan non panen dengan perbedaan
maksimum 10 persen
3. Turunnya jumlah penduduk miskin minimal

1 persen per tahun dan

berkurang 50 persennya menjadi 8 persen pada tahun 2015.


4. Meningkatkan keragaman konsumsi pangan perkapita untuk mencapai gizi
seimbang dengan kecukupan energi minimal 2.000 kkal/hari dan protein
sebesar 52 gram/hari dan cukup zat gizi mikro, serta meningkatkan

206

keragaman konsumsi pangan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH)


mendekati 100 pada tahun 2015
5. Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi
masyarakat dengan menekan pelanggaran terhadap ketentuan keamanan
pangan sampai 90 persen
6. Prevalensi Kerawanan konsumsi pangan tingkat berat menurun hingga 1.5
persen pada tahun 2015;
7. Gizi kurang bukan masalah kesehatan masyarakat, dengan prevalensi gizi
kurang setinggi-tingginya 19% pada tahun 2015
8. Menguatnya kelembagaan ketahanan pangan dan gizi di pedesaan ,
khususnya PKK, Posyandu dan lembaga cadangan pangan komunitas
9. Terimplementasikannya dengan baik Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
pada setiap kabupaten/kota pada tahun 2015.
A. Strategi Memantapkan Ketersediaan Pangan Berbasis Kemandirian
1. Peningkatan Kapasitas produksi domestik, melalui : (1) pengembangan
produksi pangan sesuai dengan potensi daerah, (2) peningkatan produksi
dan produktivitas komoditas pangan dengan teknologi spesifik lokasi, (3)
pengembangan dan menyediakan benih/bibit unggul dan jasa alsintan, (4)
peningkatan pelayanan dan pengawasan pengadaan sarana produksi, (5)
peningkatan layanan kredit yang mudah diakses petani.
2. Pelestarian sumberdaya lahan dan air, melalui : (1) pengendalian alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian untuk mewujudkan lahan abadi,
(2) sertifikasi lahan petani, (3) konservasi dan rehabilitasi sumberdaya
lahan dan air pada daerah aliran sungai (DAS), (4) pengembangan sistem
pertanian ramah lingkungan (agroforestry dan pertanian organik), (5)
pemantapan kelompok pemakai air untuk peningkatan pemeliharaan
saluran irigasi, (6) penataan penggunaan air untuk pertanian, pemukiman
dan industri, (7) pengembangan sistem informasi bencana alam dalam
rangka Early Warning System (EWS), (8)

rehabilitasi dan konservasi

sumberdaya alam, (9) perbaikan dan peningkatan jaringan pengairan.

207

3. Penguatan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat/komunitas,


melalui: (1) pengembangan sistem cadangan pangan daerah untuk
mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3 (tiga) bulan , (2)
pengembangan cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan
tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) menguatkan kelembagaan
lumbung pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas
lainnya, (4) pengembangan sistem cadangan pangan melalui Lembaga
Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya
B. Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju
gizi seimbang berbasis pada pangan lokal
1. Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat
untuk peningkatan daya beli pangan beragam dan bergizi seimbang
2. Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: (1)
peningkatan kualitas

dan pengembangan infrastruktur

distribusi, (2)

peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pasca panen, (3)


pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah
dan membuka daerah yang terisolir, (4) pengembangan sistem informasi
pasar, (5) penguatan lembaga pemasaran daerah, (6) pengurangan
hambatan distribusi

karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7)

pencegahan kasus penimbunan

komoditas pangan oleh spekulan, (8)

pemberian bantuan pangan pada kelompok masyarakat miskin dan yang


terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan tepat produk;
3. Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : (1) pemberlakuan Harga
Pembelian Pemerintah pada komoditas pangan strategis , (2) perlindungan
harga domestik dari pengaruh harga dunia melalui kebijakan tarif, kuota
impor, dan/ pajak ekspor, kuota ekspor pada komoditas pangan strategis,
(3) pengembangan Buffer stock Management (pembelian oleh pemerintah
pada waktu panen dan operasi pasar pada waktu paceklik) pada komoditas
pangan strategis, (4) pencegahan impor dan/atau ekspor ilegal komoditas
pangan, (5) peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan

208

kabupaten/kota) dalam menstabilkan harga komoditas pangan strategis,


(6) peningkatan peranan Lembaga pembeli gabah dan Lembaga usaha
ekonomi

pedesaan,

(7)

pengembangan

sistem

pengembangan sistem informasi dan monitoring

tunda

jual,

(8)

produksi, konsumsi,

harga dan stok minimal bulanan


4. Peningkatan

efisiensi

dan

efektivitas

intervensi

bantuan

pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin


(misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok
khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi
kurang
C. Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju
gizi seimbang berbasis pada pangan lokal
1. Pengembangan dan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis
pangan lokal melalui pengkajian berbagai teknologi tepat guna dan
terjangkau mengenai pengolahan pangan berbasis tepung umbi-umbian
lokal dan pengembangan aneka pangan lokal lainnya
2. Pengembangan bisnis pangan untuk peningkatan nilai tambah ekonomi,
gizi dan mutu ketersediaan pangan yang beragam dan bergizi seimbang
melalui penguatan kerjasama pemerintah-masyarakat-dan swasta;
3. Pengembangan materi dan cara ajar diversifikasi konsumsi pangan dan
gizi sejak usia dini melalui jalur pendidikan formal dan non formal
4. Penguatan pola konsumsi pangan lokal yang didaerah dan kelompok
masyarakat tertentu telah beragam;
5. Pengembangan aspek kuliner dan daya terima konsumen, melalui berbagai
pendidikan gizi, penyuluhan, dan kampanye gizi untuk peningkatan citra
pangan lokal, serta peningkatan pendapatan dan pendidikan umum.
6. Pengembangan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya
melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan
program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A;

209

D. Strategi Peningkatan status gizi masyarakat, melalui


1. Peningkatan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin yang
terintegrasi dengan program penanggulangan kemiskinan dan keluarga
berencana, dalam rangka

mengurangi jumlah penderita gizi kurang,

termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan mineral) yang diprioritas
pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu
hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun
tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya;
2. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan
guna mendorong terbentuknya keluarga dan masyarakat sadar gizi yang
tahu dan berperilaku positif untuk mencegah gangguan kesehatan karena
kelebihan gizi seperti kegemukan dan penyakit degeneratif lainnya
3. Penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa
Wisma dalam promosi dan pemantauan tumbuh kembang anak dan
penapisan serta tindak lanjut (rujukan) masalah gizi buruk;
4. Peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga
terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor
di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian,
industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan daerah
untuk promosi keluarga sadar gizi, pencegahan dan penanggulangan gizi
kurang dan gizi buruk secara dini dan terpadu.
F. Strategi Peningkatan mutu dan keamanan pangan, melalui:
1. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang keamanan pangan di
tingkat rumahtangga, industri rumahtangga dan UKM serta importir,
distributor dan ritel serta pemahaman tentang implikasi hukum
pelanggaran peraturan keamanan pangan yang berlaku;
2. Penguatan pengawasan dan pembinaan keamanan pangan dengan
melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan

210

keamanan pangan, law enforcement bagi produsen, importir, distributor


dan ritel yang melakukan pelanggaran terhadap keamanan pangan;
3. Peningkatan kesadaran dan perlindungan konsumen terhadap keamanan
pangan

Tugas dan Peran Bulog

Beras memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan


masyarakat Indonesia dipandang dari aspek ekonomi, tenaga
kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya dan politik. Dalam sejarah
perberasan di Indonesia tidak pernah lepas dari peranan
pemerintah yang secara sengaja turut serta dalam mengatur
ekonomi perberasan nasional. Peranan beras yang sangat khusus
merupakan salah satu alasan penting campur tangan pemerintah
terhadap

perberasan

pemerintah

dalam

masih

ekonomi

dilakukan.
perberasan

Campur

tangan

dilakukan

melalui

lembaga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik (Bulog)


yang didirikan pada tahun 1967.
Sesuai PP No. 7/2003 tentang Pendirian Perum Bulog, Bulog
melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan pemerintah
dalam pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan
pangan

pemerintah

dan

distribusi

pangan

pokok

kepada

golongan masyarakat tertentu, khususnya pangan pokok beras


dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah
dalam rangka ketahanan pangan. Tugas yang diberikan kepada
Bulog merupakan implementasi kebijakan harga seperti yang
diusulkan Affif dan Mears tahun 1969

yang meliputi

(1)

menyangga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang


produksi, (2) perlindungan harga maksimum yang menjamin
harga yang layak bagi konsumen, (3) perbedaan harga yang
layak antara harga

dasar dengan harga

maksimum agar

211

merangsang perdagangan, (4) hubungan harga yang wajar


antara harga domestik dengan harga internasional.
Efektivitas pengendalian harga produsen dan stabilitas
harga konsumen sampai tahun 1998 sangat baik. Penelitian yang
dilakukan oleh David Dew (1999), selama 20 tahun (1973-1997)
menunjukkan bahwa hanya 10 kali dalam 240 bulan (4 persen)
harga gabah yang jatuh dibawah harga. Sebagai perbandingan,
di Philipina jumlahnya mencapai 72 kali dalam 279 bulan (26
persen). Untuk mengamankan harga dasar, antara tahun 19851997, Bulog melakukan pembelian hasil petani sekitar 5,8 persen
dari produksi nasional. Di daerah produsen utama seperti Jawa
dan Sulsel penyerapan tersebut mencapai sekitar 6,6-11,9
persen dari produksi setempat. Penyerapan hasil panen petani
oleh Bulog, sebagai suatu firm, merupakan yang paling dominan
dibanding penyerapan yang dilakukan oleh masing-masing firm
seperti pedagang atau penggilingan secara individu. Lembaga ini
menjadi satu-satunya firm yang mampu membeli beras dalam
jumlah banyak dengan kapasitas dan distribusi gudang yang
cukup memadai serta menyebar di berbagai propinsi di Tanah Air.
Total kapasitas gudang mencapai 3,8 juta ton, 52% diantaranya
berada di wilayah produsen padi di Jawa, 18% di Sulawesi, 13%
di Sumatera, dan 11% di Bali dan Nusatenggara.
Pada masa panen raya, petani selalu menghadapi persoalan
klasik berupa meningkatnya jumlah suplai hasil panen musiman
yang mendorong harga produsen turun. Tanpa ada tambahan
penyerapan hasil panen melalui pengadaan, yang sekaligus
sebagai instrumen harga dasar, harga produsen akan semakin
tertekan. Dalam pasar beras yang tertutup, maka harga dasar
atau harga pembelian beras oleh Bulog merupakan harga
patokan bagi pedagang, karena apabila harga beli pedagang

212

tidak menguntungkan bagi petani mereka dapat menjual ke


Bulog pada harga dasar.
Penyerapan Bulog tidak dibatasi sepanjang persyaratan
kualitas memenuhi. Disisi lain, stabilitas harga konsumen juga
terjaga. Pada periode 1985-2001 fluktuasi harga beras juga
dapat dikendalikan dan jauh lebih rendah dari fluktuasi harga
beras dunia yaitu koefisien variasinya sekitar 5,54% di pasar
domestik dan sekitar 8,63% di pasar dunia. Perhitungan tersebut
masih sejalan dengan analisis yang dilakukan oleh David Dew
(1999) yang menunjukkan stabilitas harga beras domestik antara
1972-1996, mencapai 4 kali lebih stabil dari dunia yaitu
fluktuasinya hanya 6 persen dibanding 22% di pasar dunia.
Dalam perspektif jangka panjang, perkembangan harga
beras domestik juga mengikuti perkembangan harga beras
dunia. Fluktuasi harga beras domestik yang lebih besar dari
harga dunia pada tahun 1998-2001 terutama disebabkan oleh
fluktuasi nilai tukar rupiah yang sangat besar bersamaan dengan
pembukaan pasar beras domestik dari pasar beras dunia. Dalam
kurun waktu 1985-2001, harga nominal beras domestik ratarata
mencapai Rp 1.017 per kg, sedang harga paritas impor sekitar
Rp 1.024 per kg. Artinya stabilitas yang dilakukan dalam pasar
domestik tidak menyebabkan distorsi harga yang berlebihan dan
tidak merugikan konsumen.
Penyediaan beras antar daerah juga berhasil dilaksanakan
oleh Bulog sehingga akses masyarakat terhadap beras secara
fisik dan ekonomi di seluruh daerah terpenuhi. Pada tahun 19851997, jumlah penyaluran beras Bulog di daerah defisit di luar
Jawa dan Sulsel mencapai 9,8 persen dari produksi setempat.
Bahkan untuk daerah-daerah tertentu seperti NTT, Irja dan

213

Maluku sebagian besar kebutuhan berasnya banyak berasal dari


beras Bulog.
Keberhasilan pengendalian harga di tingkat produsen dan
konsumen, serta penyediaan stok beras yang cukup antar waktu
dan antar daerah memberikan kontribusi yang besar dalam
pertumbuhan ekonomi secara langsung maupun secara tidak
langsung akibat stabilitas ekonomi dan stabilitas sosial yang
diciptakan. Kontribusi sektor perberasan dalam pertumbuhan
ekonomi

memang

mengalami

penurunan

sejalan

dengan

membesarnya kontribusi sektor lain. Namun peranannya dalam


menciptakan stabilitas ekonomi dan sosial masih akan tetap
besar untuk waktu yang masih lama.
Operasi Pasar Khusus
Menyadari sulitnya akses penduduk miskin terhadap beras
yang disediakan melalui pasar bebas, mulai Juli 1998 pemerintah
menerapkan kebijakan baru berupa targeted price subsidy yang
dikenal dengan operasi pasar khusus (OPK). Dalam kebijakan ini,
keluarga miskin yang rawan pangan diberikan jatah beras murah
dengan harga Rp 1.000,- per kg, atau 54 persen dari harga pasar
saat itu. Beras tersebut tidak disalurkan melalui pasar bebas
karena bukan untuk tujuan stabilisasi, tetapi langsung diantar
oleh petugas Dolog ke titik distribusi di desa atau kelurahan
tempat keluarga miskin tersebut berada. Setiap keluarga miskin
mendapat jatah 20 kg per bulan. Jumlah ini sekitar 40 persen
kebutuhan

beras

mereka

dengan

asumsi

konsumsi

beras

perkapita 10 kg per bulan dan jumlah anggota keluarga 5 orang.


Pada awal masa krisis ekonomi 1997, targeted price subsidy
dengan OPK masih berjalan bersama dengan general price subsidy
dengan operasi pasar karena Bulog masih bertanggung jawab

214

penuh menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen. Namun


dengan menurunnya harga beras domestik dalam tahun-tahun
berikutnya, serta dibukanya pasar beras domestik, maka operasi
pasar yang ditujukan untuk mengendalikan harga konsumen
tidak dilakukan dan bergeser menjadi penyediaan pangan bagi
keluarga miskin melalui OPK yang merupakan tugas baru bagi
Bulog.
Perubahan kebijakan dari general price subsidy kepada targeted
price subsidy memberikan konsekuensi perubahan operasi Bulog
yang semakin langsung bersentuhan dengan konsumen keluarga
miskin yang jumlahnya mencapai 39,10 juta orang atau 17,7%
dari jumlah penduduk (Deptan, 2007). Pada awal pelaksanaan
OPK banyak pihak yang meragukan apakah Bulog mampu
melaksanakan tugas tersebut karena selama ini Bulog tidak
dirancang untuk melakukan pendistribusian secara langsung ke
masyarakat. Untuk itu, uji coba OPK dilakukan lebih dahulu di
Jabotabek dengan cakupan keluarga sasaran sekitar 275 ribu.
Hasil uji coba dilakukan evaluasi dan direkomendasikan agar
OPK diperluas daerahnya. Pada awalnya disepakati hanya di 15
propinsi mulai Agustus 1998. Namun karena dampak krisis yang
luas, mulai September 1998 OPK telah menjangkau seluruh
propinsi. Saat ini OPK menjangkau sekitar 10 juta keluarga miskin
pada 45.000 titik distribusi di perdesaan dan kelurahan. Dengan
OPK, Bulog telah membangun sistem dan jaringan baru yang
sangat luas antara petugas Dolog langsung dengan masyarakat
di seluruh titik distribusi. Sistem dan jaringan ini merupakan
modal baru yang dapat dimanfaatkan bagi pelaksanaan tugas
Bulog yang akan datang. Program OPK ini dipandang sebagai
usaha transfer pendapatan dalam bentuk natura beras bagi
kelompok miskin yang rawan pangan. Pelaksanaan program ini

215

secara cepat dan meluas di Tanah Air dimungkinkan karena


luasnya jaringan dan infrastruktur logistik yang dikuasai Bulog.
Penelitian tentang dampak ekonomi makro akibat program ini
telah dilakukan oleh Tabor dan Sawit (1999). Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa program ini telah mampu meningkatkan
permintaan agregat kelompok miskin. Setiap Rp 1 trilyun yang
dikeluarkan pemerintah untuk program OPK akan meningkatkan
hampir Rp 2 trilyun pendapatan nasional, karena pengaruh fiskal
multiplier sebesar 1,9. Program ini juga telah mengerem laju
penurunan konsumsi energi dan protein bagi kelompok miskin
sebesar antara 8-12%. Program ini juga telah meningkatkan
produktivitas

program

JPS

lainnya

seperti

kesehatan

dan

pendidikan, karena pesertanya tidak serius kekurangan energi


dan protein. Oleh karena itu, program ini layak dilanjutkan
menjadi program permanen, bahkan bisa diperluas untuk bahan
pangan lain seperti gula dan minyak goreng. Dengan program
seperti ini dapat menghindari alasan pemerintah untuk menekan
harga beras demi kepentingan konsumen umum dan penduduk
kota.

3. PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN

1. Mempertahankan produksi pangan nasional.


Produksi pangan yang kontinyu di dalam negeri dibebankan kepada pada
petani yang berdasarkan data statistik, rata-rata memiliki lahan di bawah 0,5
hektar. Oleh karena itu, kontinuitas produksi pangan yang bermutu menjadi suatu
dilema pada petani kecil seperti ini karena di satu pihak petani kecil harus
memenuhi kebutuhan keluarganya sementara di lain pihak petani harus

216

menggunakan dananya untuk membeli sarana produksi bagi proses usahatani


berikutnya. Tanpa bantuan pihak luar (dalam hal ini pemerintah), petani kecil akan
terus menghadapi dilema seperti ini, mereka tetap ada dalam lingkaran setan
kesejahteraan yang rendah.
Pemerintah perlu memutus lingkaran setan kesejahteraan ini dengan dua
opsi utama, yaitu :
1. Opsi memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun dengan mengurangi
pembelanjaan sarana produksi. Dengan demikian pemerintah telah membantu
beberapa hal, yaitu : mengurangi pembiayaan sarana produksi di satu proses
usahatani saat itu dan proses usahatani berikutnya.
2. Opsi memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun dengan mengurangi
pembelanjaan untuk kepentingan kesejahteraan keluarga petani dari kebutuhan
sekunder petani.
Dua opsi memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun ini dirinci
(breakdown) sebagai berikut :
1. Program menjaga kontinuitas produksi pangan dengan memutus siklus
penurunan kesejahteraan petani dengan cara mengurangi pembiayaan sarana
produksi, antara lain :
Melanjutkan program subsidi pupuk bagi petani yang lebih tepat
sasaran dengan lebih mengakuratkan, data riil petani per desa, data luas
lahan petani, dan data komoditas yang dibudidayakan.
Memberikan pelatihan pada petani tentang pembuatan beberapa
jenis pupuk alternatif berbahan

baku lokal seperti pelatihan

pembuatan kompos dan pembuatan pupuk organik lainnya. Hal ini


dilakukan dengan tujuan mengurangi ketergantungan petani pada pupuk
subsidi dengan melakukan substitusi secara mandiri.
Memberikan penghargaan (award) kepada petani yang menjadi
pioneer atau telah melakukan usahatani/usahaternak/usahaikan dengan
menggunakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan tanpa terlalu
bergantung kepada input produksi yang disubsidi (misalnya pupuk).

217

Memberikan bantuan benih bermutu pada petani sesuai dengan


komotitas yang dibudidayakan.
Memberikan bantuan mekanisasi pertanian untuk pengolahan tanah
dan pemanenan sehingga petani dapat mengurangi biaya untuk investasi
usahataninya. Bantuan seperti ini amat penting karena menstimuli
petani untuk terus memproduksi pangan bagi kepentingan nasional.
Bantuan mekanisasi yang dimaksud adalah hand tractor, cultivator,
pompa air, dan alat perontok padi/jagung. Bantuan seperti ini perlu
diikuti dengan pelatihan pengoperasian dan maintenance untuk
menghindari technological lag pada petani yang menerima bantuan.
Memberikan kredit usahatani dengan bunga rendah dan persyaratan
administrasi yang tidak rumit serta pembayaran pengembalian pinjaman
setelah panen.
2. Opsi memutus siklus kesejahteraan petani yang menurun dengan mengurangi
pembelanjaan untuk kepentingan kesejahteraan keluarga petani dari kebutuhan
sekunder petani. Opsi ini pada dasarnya mengurangi pembelanjaan jangka
panjang petani seperti :
Memberikan bantuan perbaikan rumah petani agar lebih sehat
sehingga petani dapat lebih bersemangat dan kuat dalam bekerja
memproduksi pangan.
Memberikan jaminan kesehatan bagi petani dengan tujuan petani
yang sehat akan mampu mengelola usahatani dengan baik untuk
mempertahankan produksi pangan.
Memberikan beasiswa di luar BOS pada anak petani untuk pembelian
alat tulis dan peralatan sekolah lainnya sampai tingkat SMP (sesuai
dengan wajib belajar 9 tahun).
Memberikan petalatihan pengolahan produk pertanian bagi putraputri petani yang tinggal di desa.
2. Mengefektifkan distribusi pangan.

218

Suatu kenyataan bahwa Indonesia adalah produsen bahan pangan tetapi


faktanya fluktuasi harga pangan dapat mengancam ketahanan pangan. Baik
konsumen pangan maupun petani produsen pangan dapat mengalami kekecewaan,
di satu sisi konsumen kecewa karena pada saat tertentu harga pangan tinggi dan di
sisi yang lain petani produsen pangan mendapatkan harga rendah saat panen raya.
Untuk mengatasi hal ini diperlukan beberapa tindakan berikut ini :
1. Stabilisasi ketersediaan pangan : dengan cara memberikan bantuan
pendanaan bagi pembeli gabah seperti pedagang gabah, koperasi
petani/pertanian, dan gapoktan untuk membeli gabah petani dan
menjualnya pada pelaku stok nasional dalam hal ini BULOG/DOLOG.
Selain itu dapat juga dengan memberikan bantuan peningkatan kapasitas
giling dan pergudangan beras/jagung/kedele.
2. Stabilisasi ketersediaan pangan dan stabilisasi harga panen produk
pangan

(khususnya

beras)

dengan

membuka

WARUNG

PADI/TANI/DESA bagi lembaga-lembaga pedesaan untuk membeli gabah


petani dari petani kecil dengan harga beli gabah bersubsidi untuk
selanjutnya

dibeli

oleh

BULOG/DOLOG.

Program

ini

dapat

meningkatkan posisi tawar petani dalam rantai pemasaran produk pangan.


WARUNG

PADI/WARUNG

TANI/WARUNG

DESA

juga

dapat

difungsikan sebagai lembaga penyalur beras warga miskin (RASKIN)


untuk program raskin yang sedang berjalan (saat ini masih melalui
DESA/KELURAHAN DAN RT).
3. Stabilisasi harga pangan : dengan cara melakukan operasi pasar khusus
(raskin).
4. Memberikan stimuli pengembangan kelembagaan tunda jual bagi
petani : dengan cara memberikan bantuan gudang kecil untuk kelayakan
menyimpan bahan pangan produksi petani. Program ini dapat dikaitkan
dengan program WARUNG PADI/TANI.
5. Mempermudah transportasi pengangkutan bahan pangan antar
daerah baik darat, laut, dan udara.

219

6. Mengembangkan kemampuan penggunaan teknologi pasca panen :


dengan cara memberi bantuan alat pasca panen seperti mesin serba guna
untuk tepung beras, tepung jagung, tepung ketan, tepung tapioka, dan
sebagainya.
3. Peningkatan kualitas konsumsi pangan
Untuk mewujudkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, maka
perlu langkah-langkah yang strategis, yaitu:
10.

Dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, perlu dilakukan kajian


sosiologis untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang beras, terigu dan
jenis makanan pokok spesifik lokasi tertentu.

Melalui kajian tersebut

diharapkan diperoleh metode untuk merubah paradigma bahwa beras/terigu


bukan merupakan satu-satunya sumber karbohidrat untuk memenuhi
kebutuhan kalori masyarakat.
11.

Intervensi mengenalkan diversifikasi pangan pada anak-anak sejak usia


dini, ibu rumah tangga dan masyarakat dengan tidak menjadikan beras/terigu
sebagai satu-satunya sumber karbohidrat bagi penduduk Indonesia, akan tetapi
mendukung pemanfaatan sumber karbohidrat lainnya sebagai sumber energi
sebagaimana yang telah berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, sagu di
Maluku dan Papua, jagung di Madura, umbi-umbian di Jawa, dan singkong di
Lampung. Yang perlu ditekankan adalah angka kecukupan gizi (AKG). Cara
yang sama juga perlu dilakukan terhadap kalangan pers agar memiliki
memahaman yang komprehensif tentang pentingnya diversifikasi pangan
dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga dan ketahanan
pangan nasional.

12.

Melakukan gerakan dan promosi secara komprehensif untuk mendorong


masyarakat untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan ubi-ubian sebagai
sumber tepung untuk berbagai produk olahan pangan dan secara bertahap
mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu.

13.

Fasilitasi pengembangan pangan lokal dan pengembangan industri pangan


dengan bahan bahan pangan lokal.

220

14.

Sosialisasi dan penerapan standart mutu keamanan pangan pada UKM


pangan berbasis pangan lokal.

15.

Mengembangkan kredit mikro, bantuan dana bergulir serta memfasilitasi


kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan besar-menengah
dengan perusahaan kecil dan rumah tangga yang mengolah berbagai produk
pangan berbasis pangan lokal.

16.

Mengoptimalkan peran Perum Perhutani dan LMDH (lembaga masyarakat


desa hutan) dalam penyediaan lahan untuk penanaman berbagai jenis umbiumbian potensial dalam rangka penyediaan bahan pangan lokal.

17.

Penyediaan permodalan bagi UKM pengolahan produk pangan, terutama


yang berbasis sumber pangan lokal (umbi-umbian).

18.

Pemberian insentif khusus bagi industri pangan yang menggunakan bahan


baku lokal (bukan import).

19.

Memberikan penghargaan (award) kepada tokoh ketahanan pangan bidang


produksi pangan olahan berbahan

221

Anda mungkin juga menyukai