Anda di halaman 1dari 60

CITA 2012

CITARUM
L A P O R A N

F O T O

Kompleksitas dan
Konsekuensi yang
Tidak Sederhana
Kronik Banjir
Bandung Selatan
Bicara Tentang
Pengelolaan Banjir Ideal
Merekareka Alternatif
Solusi Yang Sesuai Untuk
Penanganan Banjir

TANTANGAN BANJIR SUNGAI CITARUM

MARI BICARA SOLUSI

Cita-Citarum: Untuk Citarum yang Lebih Baik


Visi:
www.citarum.org

Pemerintah dan masyarakat bekerja bersama demi terciptanya


sungai yang bersih, sehat dan produktif, serta membawa manfaat
berkesinambungan bagi seluruh masyarakat di wilayah Citarum.

CITA CITARUM
Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah
instansi pemerintah dan lembaga
swadaya masyarakat berpartisipasi dalam
serangkaian dialog yang pada akhirnya
dapat menghasilkan Citarum Roadmap,
yaitu suatu rancangan strategis berisi
hasil identifikasi program-program utama
untuk meningkatkan sistem pengelolaan
sumber daya air dan memulihkan kondisi di
sepanjang aliran Citarum.
Hingga kini telah teridentifikasi
sebanyak 80 jenis program dengan
perkiraan kebutuhan pembiayaan mencapai
Rp. 35 triliun yang berasal dari berbagai
sumber pembiayaan, baik itu anggaran
pemerintah, kontribusi pihak swasta maupun
masyarakat, juga bantuan dari lembaga
keuangan internasional yang dilaksanakan
secara bertahap dalam waktu 15 tahun ke
depan. Citarum Roadmap membutuhkan
pendekatan komprehensif, multisektor dan
terpadu untuk memahami dan memecahkan
masalah kompleks seputar air dan lahan di
sepanjang aliran Citarum.
PRINSIP UTAMA PELAKSANAAN
Pelaksanaan program ini dilakukan
melalui koordinasi dan konsultasi antar
para pemangku kepentingan, serta
mengutamakan partisipasi masyarakat dalam
menentukan prioritas, rancangan hingga
pelaksanaan. Koordinasi Program dilakukan
oleh Bappenas, sedangkan lembaga
pelaksana kegiatan tahap I dikordinasikan
melalui Ditjen Sumber Daya Air, Departemen
Pekerjaan Umum melalui Balai Besar Wilayah
Sungai Citarum (BBWSC), dengan melibatkan
berbagai Departemen dan Kementerian
terkait baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten melalui Dinas-Dinas terkait.
Laporan ini disusun oleh:
Penulis :
Diella Dachlan, Rivki Maulana,
Nancy Rosmarini
Fotografer : Ng Swan Ti, Agung Widjanarko,
Veronica Wijaya, Adhi Wicaksono,
Diella Dachlan, Rivki Maulana,
Titah Hari Prabawa, Dokumentasi
BBWS Citarum
Peta : Anjar Dwi Krisnanta
Penata letak: Bobby Haryanto
Laporan foto ini dapat diunduh di
www.citarum.org
2

5
13
35
51

Kompleksitas dan
Konsekuensi yang Tidak
Sederhana
Kronik Banjir
Bandung Selatan
Bicara Tentang
Pengelolaan Banjir
Ideal
Merekareka Alternatif
Solusi Yang Sesuai Untuk
Penanganan Banjir
3

Keterangan foto: Menjaga sumber air


dari sekarang untuk anak cucu kita
nanti
4

Kompleksitas
dan Konsekuensi
yang Tidak Sederhana
5

Dayeuh Kolot, daerah yang rutin terkena banjir Citarum. Foto diambil awal 2010.

Take away people from water,


singkahkeun balarea ti cai
(pemindahan penduduk, relokasi,
transmigrasi, mahal).
Take away water from people,
singkahkeun cai ti balarea
(membuat rekayasa teknik seperti
sodetan, banjir kanal, juga mahal).
Living harmony together between
people and nature,
hirup sauyunan balarea jeung alam
(adaptasi sosial budaya dan
lingkungan, murah)
Kutipan dari website Sobirin is
Back to nature ini menggambarkan
prinsip filosofis dalam penanganan
banjir yang kerap menghantui
daerah Cekungan Bandung.
Penjabaran kalimat sederhana
ini menjadi panjang lebar jika
kita mengeksplorasinya dalam
penjabaran ilmiah yang diharapkan
6

dapat mampu mengerucutkan


masalah ke dalam alternatifalternatif solusi.
Banjir di Sungai Citarum
memang bukan lagi menjadi
masalah yang baru. Catatan
sejarah menunjukkan banjir
telah terjadi di daerah Bandung
bahkan sejak abad 15 sekalipun.
Karena itu Bupati Bandung R.A.
Wiranatakusumah II memindahkan
ibu kota Bandung dari Krapyak
ke daerah Kabupaten Bandung
bagian tengah (pusat kota
Bandung sekarang). Peristiwa
itu terjadi pada awal abad ke19. Ibukota baru itu diberi nama
Bandung yang diresmikan
tanggal 25 September 1810.
Meskipun ibu kota Bandung
telah pindah, namun banjir
yang terjadi di beberapa daerah,
khususnya di daerah Bandung

Selatan seperti Dayeuh Kolot,


Baleendah dan sekitarnya terus
terjadi. Permasalahan banjir
diperburuk oleh kualitas air sungai
yang buruk pula karena banyak
terjadi pencemaran baik oleh
bahan organik maupun anorganik
dari limbah domestik dan industri
di kawasan hulu.
Penanganan masalah banjir
bukannya tidak dipikirkan. Cukup
banyak studi dan riset yang telah
dilakukan untuk mencari solusi
penanganan banjir ini. Ternyata,
dalam menangani permasalahan
banjir, masalah yang dihadapi pun
tidak kalah kompleks.

Kompleksitas dan
Konsekuensi
Sebagaimana penanganan di
kawasan yang telah padat oleh
permukiman dan penduduk, setiap

Kawasan hulu Citarum di daerah Gunung Wayang. Karena


banyaknya tanah yang masuk ke dalam sungai, akibatnya
sungai menjadi dangkal.

Lereng gunung yang tidak lagi memiliki hutan sebagai kawasan tangkapan air.
7

keputusan untuk tindakan yang


akan dilakukan, tidak lepas dari pro
dan kontra. Meskipun sudah ada
panduan teknis dan aturan hukum,
namun di lapangan, prakteknya
tidak semudah membalik telapak
tangan. Setiap keputusan atau
tindakan menimbulkan sebuah
konsekuensi dan persoalan baru.
Sebagai contoh, jika
pengaturan kawasan sempadan
sungai diterapkan dengan ketat
dan tegas, maka salah satu
konsekuensi yang ditimbulkan
adalah penggusuran atau
pemindahan permukiman
dan penduduk di daerah
kawasan tersebut. Di daerah
perkotaan dimana penduduk
dan permukiman cukup padat,
serta tingginya harga lahan,
hal ini menimbulkan sebuah
permasalahan baru. Belum lagi jika
berbicara mengenai apa alternatif
solusi dari pemindahan tersebut.
Penduduk belum tentu mau
dipindahkan begitu saja, karena
sudah bertahun-tahun menempati
daerah tersebut dengan lokasi
mata pencaharian yang biasanya
mudah dijangkau dari tempatnya
saat itu.
Jika berbicara mengenai
pemulihan kawasan lindung,
khususnya di daerah hulu di
kawasan tangkapan air yang
berubah fungsi dari hutan
menjadi ladang-ladang dan
perkebunan. Belum lagi jika
pertanian dilakukan di lerenglereng perbukitan serta menanam
tanaman musiman seperti sayuran.

Aliran air sungai akan mengalir lancar, jika sungai bersih dari sampah

Sebagai dampaknya, tanah akan


mudah tergerus dan longsor. Jika
di bawah lereng tersebut dilewati
aliran sungai, maka jumlah tanah
yang masuk ke dalam sungai pun
bisa beribu-ribu bahkan berjutajuta meter kubik dalam setahun.
Akibatnya sungai mengalami
pendangkalan dan daya
tampungnya berkurang hingga
dapat menjadi salah satu penyebab
banjir.
Menghutankan kembali
kawasan lindung seperti yang
tampaknya ideal pun tidak mudah.
Upaya ini merupakan upaya
strategis yang dapat dilakukan
untuk jangka menengah dan
jangka panjang. Namun, tidak
jarang, upaya mengembalikan
tata guna lahan menjadi kawasan
lindung mendapatkan perlawanan
dari pihak pengguna lahan sebagai
pemanfaat untuk budidaya lahan.
10

Rencana Strategis
Dalam berbagai kesempatan,
baik dalam pertemuan atau
lokakarya yang dilakukan oleh
kalangan pemerintah, akademisi,
lembaga kemasyarakatan,
komunitas, dengan pemberitaan
yang disebarkan oleh media,
berbagai upaya penanganan
masalah banjir telah dibahas
dan didiskusikan.
Secara sederhana, untuk
menggambarkan rencana
penanganan permasalahan banjir
ini, perlu dilakukan dalam rencana
darurat (urgent plan), rencana
jangka pendek, jangka menengah
dan jangka panjang. Rencana
strategis ini dibagi lagi ke dalam
upaya struktural yaitu upaya-upaya
yang membutuhkan intervensi
atau pembangunan fisik, dan upaya
non-struktural. Dalam upaya non-

struktural ini akan memperhatikan


aspek-aspek sosial dan budaya
dan intervensi yang sifatnya
bukan intervensi pembangunan
fisik semata.
Dalam menghadapi
kompleknya permasalahan
banjir, intervensi strutural dan
non-struktural dapat dilakukan
secara paralel. Upaya jangka
menengah dan jangka panjang
seperti mengembalikan fungsi
kawasan lindung di hulu-hulu
sungai, harus tetap memperhatikan
dan melakukan upaya darurat
dan jangka pendek. Intervensi
fisik seperti membangun
tanggul, membersihkan sungai,
mengedukasi dan mengadvokasi
penduduk yang tinggal di daerah
rawan banjir sebagai upaya
peringatan dini dan mitigasi
bencana harus dilakukan.

11

12

Kronik Banjir
Bandung Selatan
Oleh : Rivki Maulana
13

Kepala RW 20 Cieunteung, Jaja, menunjukkan pompa yang berada di desanya.

tak..tak..tak.. suara martil


terdengar melenting di kuping.
Siang itu, awal Januari lalu
sekelompok warga Kampung
Cieunteung, Bale Endah sedang
memasang mesin pompa yang
berdampingan dengan pintu air
di pinggir tanggul Sungai Citarum.
Pompa digunakan untuk menyedot
lumpur dan air sisa banjir. Pompa
juga menghalangi lumpur agar
tidak menyumbat pintu air.
Ketua RW 20 Cieunteung,
Jaja (44) mengatakan, ada
delapan mesin pompa yang
disiagakan. Mesin-mesin
itu bantuan dari Balai Besar
Wilayah Sungai (BBWS) Citarum
dioperasikan 5 hingga 8 jam
per hari. Jaja menjelaskan, mesin
pompa meringankan beban warga
Cieunteung dalam membersihkan
14

lumpur bawaan banjir. Dulu


(lumpur) seperti gak ada
habisnya, tapi sekarang bisa cepat
(dibersihkan), ungkapnya.
Banjir seolah menjadi fitrah
bagi Cieunteung. Topografi
Cieunteung adalah daerah
sempadan sungai. Secara
alamiah banjir akan meluap
ke daerah sempadan. Dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir,
setidaknya terjadi dua periode
banjir besar, yakni 1986 dan 2005.
Normalisasi sungai dilakukan
untuk mengurangi dampak banjir.
Caranya beragam, mulai dari
pengerukan hingga penyodetan.
Jaja mengaku, banjir mulai
terasa semakin besar sejak 2005.
Puncaknya 2009 dan 2010,
ujarnya. Saat itu, Aktivitas sosialekonomi warga Cieunteung sangat

terganggu. Menurut Jaja, saat itu


warga banyak yang mengungsi,
berbulan-bulan lamanya. Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) anak-anak
sekolah dipindahkan. Banjir juga
membuat SD Mekarsari tidak lagi
digunakan untuk kegiatan KBM.
Agus, warga Cieunteung yang
berprofesi sebagai pedagang
menuturkan, dia mengungsi
selama tujuh bulan. Selama
kurun waktu tersebut, Agus
kerap menengok rumahnya yang
tergenang lumpur. Tapi, Agus
tak bisa berlama-lama, dia hanya
sehari dua hari melihat kondisi
rumahnya. Dia harus kembali
beraktivitas, berdagang di Pasar
Bale Endah. Pokokna full weh
sataun seperti itu, pungkasnya.

Warga Cieunteung rutin


mengungsi jika banjir tiba

15

Suasana ketika banjir dan pasca banjir yang rutin terjadi setiap musim hujan atau hujan besar terjadi, terutama di Kecamatan
Bale Endah dan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung. Banyak bangunan warga yang rusak akibat banjir dan lumpur yang terjadi
pasca banjir.

Hidup di pengungsian
membuat Agus harus
merogoh kocek lebih dalam ;
pengeluarannya bertambah.
Meski begitu, dia bersyukur karena
banyak bantuan yang datang
dari para dermawan. Bantuan ini,
menurut Jaja bahkan jumlahnya
berlebih, Banyak (bantuan) yang
dijual lagi oleh warga, terangnya.
Penanggulangan banjir
Citarum sudah dilakukan
secara bertahap. Baik Jaja
maupun Agus turut merasakan
efektivitas penanggulangan
tersebut. Agus menjelaskan,
air bah mencapai empat meter
pada 2010 sementara 2011 air
paling tinggi hanya mencapai

16

1,5 meter. Banjir pun cepat


surut karena sistem drainase
sudah diperbaiki.
Selain itu, menurut Jaja,
banjir di akhir 2011 tidak terlalu
membebani masyarakat. Pasalnya,
lumpur bawaan banjir tertahan di
pintu air. Padahal, 2010 lalu, banjir
meninggalkan lumpur setinggi satu
meter dan butuh dua bulan untuk
membersihkannya. Lebih nahas
lagi, karena acapkali ketika lumpur
sudah dibersihkan, banjir datang
lagi, membuyarkan kerja keras yang
telah dilakukan.
Baik uraian Jaja maupun Agus
tadi menyiratkan, perlahan namun
pasti, dampak banjir Citarum di
Cieunteung sudah bisa dikurangi

berkat penanggulangan secara


bertahap. Tentu saja, semua
persoalan tidak selesai begitu saja,
masih banyak pekerjaan rumah
yang mesti ditunaikan secara
tanggung renteng.
Lantas, bagaimana dengan
kampung-kampung lain yang juga
kebanjiran tapi diam-diam luput
dari perhatian?
Tepat di seberang Cieunteung,
di sisi lain Citarum, terdapat
permukiman padat penduduk,
Kampung Leuwi Bandung
namanya. Letak kampung ini bisa
dibilang tidak menguntungkan.
Pasalnya, Leuwi Bandung
tepat berada di muara sungai
Cikapundung dan aliran Citarum

(hasil pelurusan). Di dieu (banjir)


hampir 2 meter, mawa leutak jeung
runtah , ujar Budi, warga RW 14,
Kampung Leuwi Bandung, Desa
Citeureup, Dayeuh Kolot. Budi
menceritakan, kampungnya
selalu kebanjiran seperti halnya
kampung tetangga mereka,
Cieunteung. Wilayah yang paling
parah terendam berada di RW 1, 2,
dan 14.
Riwayat banjir di sini pun
secara umum tak berbeda dengan
wilayah lain di sekitar Bale Endah
dan Dayeuh Kolot. Menurut Budi,
warga mulai merasakan banjir
besar sejak 2005. Saat itu genangan
mencapai 175 cm. Sebelumnya
memang kerap terjadi banjir,

namun ketinggian air maksimal


hanya satu meter.
Budi menuturkan,
banjir terparah terjadi pada
akhir 2009 hingga pertengahan
2010, tinggi air mencapai dua
meter. Saat itu, satu hari setelah
banjir, warga mulai terserang
penyakit kutu air. Dulu lima hari
baru terasa, sekarang satu hari aja
sudah gatal-gatal, pungkas Budi.
Hal ini tidak mengherankan
jika merujuk pada data Badan
Pengendalian Lingkungan Hidup
(BPLHD) Kabupaten Bandung.
Pasalnya, 90% aliran air Sungai
Citarum, tercemar limbah
(inilah.com ;12/1/2012). Data
BPLHD menyebut, dari 75 titik

uji sampel, 68 dalam keadaan


buruk akibat limbah domestik
dan industri.
Saat banjir 2010, sebagian besar
dari 550 KK warga Leuwi Bandung
bertahan selama berbulan-bulan di
lantai dua (loteng) rumah mereka.
Warga yang tidak punya loteng
terpaksa mengungsi, jumlahnya
sekitar 31 KK. Sejak banjir 2005,
warga Leuwi Bandung memang
sudah waspada jika hujan lebat
turun atau ada informasi dari
jaringan komunikasi di wilayah
lain seperti Majalaya dan Sapan.
Minimal, warga sudah siaga, semua
parabot diamankan, kata Budi.
Di Leuwi Bandung, evakuasi
adalah persoalan yang cukup pelik.

17

Suhartono, warga desa Bojong Asih, Dayeuh Kolot, salah satu


penghuni rumah kontrakan yang juga rutin terkena banjir

18

Pasalnya, kampung ini adalah


permukiman padat penduduk.
Perahu karet sulit masuk ke dalam
gang-gang yang sempit. Kondisi ini
tak hanya terjadi di Leuwi Bandung,
di Kampung Bojong Asih, Desa
Dayeuh Kolot evakuasi korban
berjalan lambat karena perahu
terbatas dan akses sulit dijangkau.
Kami nunggu perahu itu dua
jam, ungkap Yayan Setiana, Ketua
RW 4 Bojong Asih.
Yayan menjelaskan, saat banjir
besar 2010 silam, perahu karet
hanya menyisir di jalan kampung
yang lebarnya dua meter. Warga
yang terjebak banjir di dalam
gang-gang sulit keluar dari jeratan
air bah. Warga yang rumahnya
bertingkat, bertahan di loteng
mereka; yang tak memiliki loteng
tak jarang bertahan di atap dan
plafon rumah.
Selain sulitnya akses,
keterbatasan perahu juga menjadi
kendala serius. Di Kampung
ini, hanya ada satu perahu
kayu bantuan pemprov Jabar
tahun 2007 lalu. Tentu saja ini tidak
sebanding dengan jumlah warga
Bojong Asih yang mencapai 600 KK.
Tak heran evakuasi memakan waktu
yang sangat lama.
Nestapa tak hanya di situ
saja, menurut Yayan, hampir tidak
tempat evakuasi yang cukup bagi
warga Bojong Asih. Warga merasa
kesulitan untuk mengungsi karena
tempat pengungsian di kecamatan
sudah penuh. Boro-boro untuk
warga saya, untuk warga lain saja
sudah tidak cukup, tukas Yayan.

Akses yang sulit tidak hanya


membuat evakuasi berjalan lambat.
Distribusi pun berjalan tersendat.
Bantuan logistik dari dermawan
pun sebetulnya tidak terlampau
banyak, tapi tetap didistribusikan
karena warga memang
membutuhkan. Dulu kami dapet
mie (instan) dua aja susah banget,
keluh Yayan.
Ini juga jadi perhatian warga
Bojong Asih, mengapa bantuan
selalu ke Cieunteung, padahal
Bojong Asih merasakan dampak
banjir yang sama parahnya dengan
Cieunteung. Sebetulnya bukan
soal bantuan, tapi perhatian,
daerah kami jarang diekspos,
ungkap Yayan.
Untuk mengantisipasi sulitnya
akses dan lambatnya evakuasi,

Rusdiana, pemilik salah satu rumah


kontrakan di Bojong Asih, Dayeuh Kolot.

Yayan Setiana, Ketua RW 4 Bojong Asih.

warga Bojong Asih secara swadaya


sedang membangun tempat
singgah sementara (shelter). Tempat
itu juga difungsikan sebagai kantor
RW 4. Menurut Yayan, shelter
berfungsi sebagai tempat transit
bagi evakuasi warga saat banjir.
Nantinya, warga yang ada di gang
diungsikan ke shelter. nanti perahu
karet tinggal datang ke sini (shelter),
bawa korban ke tempat yang lebih
aman, jelasnya.
Persoalan tak langsung
selesai setelah banjir surut.
Sampah dan lumpur mengendap,
menempel di sekujur bangunan
rumah warga. Ketinggian
lumpur bervariasi, berkisar
sepuluh hingga 40 sentimeter.
Di Leuwi Bandung, sampah
seakan menyerbu kampung.

19

Pemulihan Sungai Citarum membutuhkan kerja sama dan komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan.

Maklum, Cikapundung dikenal


sebagai tempat sampah warga
Kota Bandung. Jadi kami dapat
limbah cair (pabrik) dari Majalaya
dan limbah padat dari Kota
Bandung,ujar Budi.
Beragam jurus dilakukan
untuk membuang lumpur. Baik
di Leuwi Bandung maupun di
Bojong Asih, warga bergotong
royong menghalau lumpur dari
permukiman mereka. Di Leuwi
Bandung, warga langsung
meminggirkan lumpur ke
sempadan sungai Citarum.
Sedangkan, di Bojong Asih, warga
memanfaatkan lahan kosong untuk
memidahkan lumpur. Bingung
karena sudah tidak tempat
lagi untuk membuang lumpur,
ucap Yayan.

20

Banjir tidak hanya


mengotori permukiman, tapi
juga melumpuhkan salah satu
pendapatan warga ; kontrakan.
Di Bojong Asih banyak terdapat
kontrakan yang umumnya dihuni
oleh pekerja pabrik. Kampung ini
memang strategis, berdekatan
dengan banyak pabrik dan tidak
rawan macet. Namun, banjir
perlahan mulai menghapus semua
aspek strategis ekonomi tersebut.
Aceng (60), salah satu pemilik
kontrakan mengungkapkan,
banyak pengontrak yang pindah
karena kapok kebanjiran. Sebulan,
Aceng mematok tarif Rp 100 ribu.
Sebelum 2005, kontrakan Aceng
terisi penih, kini, dari enam
petak, kontrakan miliknya hanya
terisi separuhnya saja. Praktis

pendapatannya berkurang separuh.


Saya masih beruntung, yang lain
kosong sama sekali, ungkapnya.
Aceng hanya berharap, banjir tidak
datang terus menerus sehingga
kontrakannya bisa terisi penuh
seperti dulu.
Pemilik kontrakan lain, Rusdiana
(52) juga merasakan hal yang
sama. Dia memiliki beberapa blok
kontrakan, di satu blok yang berisi
sebelas petak, kini hanya tersisa
satu penghuni. Letak kontrakan
miliki Rusdiana hanya 50 meter
dari bibir sungai Citarum. Tak ayal,
kontrakannya kerap terendam
banjir saat Citarum meluap.
Banjir seakan memporakporandakan properti Rusdiana.
Sepuluh kamar kontrakan
miliknya kini dalam kondisi yang

Upaya pengerukan untuk mengurangi sedimentasi tidak akan maksimal jika tidak dibarengi dengan upaya
perbaikan kawasan hulu yang sudah kritis dan menyumbang lumpur ke Sungai Citarum akibat erosi.

mengenaskan. Semua kamar sudah


tak berpintu dan berkaca, hanya
rangka kusen yang masih tersisa.
Seluruh dinding tampak kusam
oleh bekas lumpur. Bahkan, di
dalam, tampak sampah berserakan
dan endapan lumpur yang sudah
mengeras setinggi betis.
Rusdi mengaku pasrah. Ia
berharap banjir tidak sering datang
sehingga kontrakannya bisa terisi
seperti sedia kala. Menurutnya,
pendangkalan di Citarum sudah
parah sehingga perlu dikeruk.
Insyaallah kalau dikeruk tidak
sering banjir, ungkapnya.
Budhi, salah satu pegawai
desa Dayeuh Kolot menyebut,
setiap bulan, sekitar 30 50 warga
yang pindah ke luar desa.
Alasannya gampang ditebak,

kapok kebanjiran. Di RW 4,
dari 600 KK yang terdata sebelum
2010, sekaran susut menjadi 492 KK.
Bahkan, menurut perkiraan Yayan,
penghuni kontrakan tersisa tinggal
20% saja.
Suhartono adalah sebagian
kecil pengontrak yang masih
bertahan di Bojong Asih. Pria asal
Semarang ini mengontrak sepetak
kamar milik Rusdi sejak 2001.
Satu per satu, tetangganya pergi,
terutama setelah 2005 saat banjir
besar menerjang kampung. Namun
ia bertahan dan tidak kapok
dengan banjir. Kalau banjir kan
banyak sampah tuh, saya ambilin
aja, ujarnya. Pekerjaan Suhartono
memang mengumpulkan
rongsokan. Dia bersyukur,

pekerjaan ini cukup untuk bertahan


hidup dan membayar sewa
kontrakan sebesar Rp 250 ribu
per bulan.

Penanggulangan
Ikhtiar untuk menanggulangi
dampak banjir Citarum terus
dilakukan. Kepala Balai Besar
Wilayah Sungai Citarum (BBWSC),
Dr. A. Hasanudin mengatakan,
rehabilitasi penanggulangan
banjir sungai Citarum akan
dilakukan secara menyeluruh dan
berkesinambungan selama tiga
tahun, 2011 2013. Rehabilitasi
dimulai dengan melakukan
pengerukan meliputi ruas Sungai
Citarum dari hulu hingga hilir
(citacitarum.org/November-2011).

21

22

23

Seperti dilansir situs


citacitarum.org, rehabilitasi ini
bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas dan memperlancar
aliran sungai Citarum. Diharapkan,
luas genangan bisa berkurang
hingga 20 ribu hektar. Di ruas
Citarum Hulu, Citarum akan
dikeruk dari Sapan hingga Nanjung
sepanjang 45 kilometer. Total
panjang Sungai Citarum yang
dikeruk mencapai 180 kilometer.
Sumber pendanaan berasal dari
APBN murni sebesar Rp 1,2 Triliun
dengan sistem anggaran tahun
jamak (multi-years).
Peneliti Hidrologi dari Pusat
Penelitian Sumber Daya Air (Pusair),
Petrus Syariman mengingatkan,
pengerukan tidak akan berarti
jika persoalan sedimentasi tidak
ditanggulangi. Dalam sekejap
(hasil pengerukan) bisa tertutup
lagi, sama aja seperti Sangkuriang,
sia-sia, tegasnya.
Petrus beralasan, pengerukan
sudah sering dilakukan tapi tidak
menyelesaikan persoalan secara

Limbah dan sampah di sungai yang membuat kualitas air menjadi sangat buruk.

24

tuntas karena erosi di kawasan


hulu Citarum tidak diatasi. Erosi ini
menurut Petrus akibat tata guna
lahan yang tidak sesuai kaidah
konservasi. Menurut data Dinas
Kehutanan Jawa Barat, tingkat
erosi di Daerah Aliran Sungai
Citarum tergolong tinggi. Dari luas
lahan 230.802 hektar, setiap tahun
terjadi erosi sebesa 112.346.477
ton atau 487 ton per hektar (Gatra,
Mei 2011).
Di samping itu, keberadaan
industri di Kawasan Bandung
Selatan (KBS) justru menyebabkan
banjir semakin parah. Dia
mengatakan, keberadaan pabrikpabrik di wilayah tersebut
mengakibatkan penurunan
ketinggian permukaan tanah
kerena menyedot air tanah dalam
jumlah yang sangat banyak. Pabrik
itu ya biang keroknya, jelas pria
berkacamata ini.
Hal itu, lanjut Petrus,
menyebabkan lapisan air tanah
pada struktur lapisan bumi menjadi
berkurang. Akibatnya, lapisan

Mobil dapur umum siaga ketika banjir. Pelatihan mitigasi bencana banjir yang
dilakukan BBWSC pada pertengahan Juni 2011.

25

Peta banjir yang sudah rutin terjadi menunjukkan daerah-daerah yang rutin tergenang.

tanah dan batuan di atasnya


turun karena tertarik oleh gravitasi
bumi dan terjadilah penurunan
permukaan tanah. Secara tegas
Petrus menerangkan, banjir
semakin parah karena daya serap
tanah terhadap air di wilayah
tersebut menjadi berkurang karena
lahan-lahan yang harusnya menjadi
tempat penyerapan air malah
dijadikan pabrik. Berdasarkan hasil
penelitian Petrus, permukaan tanah
ambles hingga lima meter.
Rehabilitasi Citarum dengan
pendekatan struktural juga harus
diimbangi dengan pendekatan
nonstruktural. Bentuk pendekatan
ini seperti reboisasi, menahan
laju alih fungsi lahan, mengubah
kebiasaan buang sampah ke
sungai, serta penegakan hukum

26

dan sosialisasi tentang dampak


penggundulan hutan.
Petrus meminta warga
introspeksi dengan menghentikan
kebiasaan membuang sampah
ke sungai. Kebiasaan ini dinilai
sebagai penyakit sosial. Antropolog
Universtias Padjadjaran, Rimbo
Gunawan mengatakan, kebiasaan
membuang sampah adalah budaya
yang malpraktik. Ini bermakna
individu sudah tidak sadar
dengan perubahan struktur dan
komposisi demografi.
Rimbo menilai, kebiasaan
membuang sampah timbul
karena masyarakat tidak sadar
daya dukung lingkungan sudah
tidak seimbang dengan aktivitas
manusia. Ini budaya ingin
gampang saja, mereka harus sadar

bahwa ruang semakin terbatas


dan harus belajar untuk mengelola
sampah mereka sendiri, jelasnya.
Rimbo menambahkan, pengelolaan
sampah ini harus menjadi gerakan
sosial dan perlu contoh untuk
membangun kesadaran bahwa
ruang semakin sempit sementara
populasi terus bertambah.

Mitigasi
Salah satu bentuk pendekatan
struktural dalam rehabilitasi
Citarum adalah sistem peringatan
dini dan peningkatan kapasitas
masyarakat dalam menanggulangi
banjir. Pengetahuan dan
keterampilan masyarakat dalam
penanganan banjir ini perlu
terus ditingkatkan. Tujuannya
untuk mengurangi dampak

Menghadapi banjir, perlu pemikiran dan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat. Diskusi dengan warga
Cieunteung. Desember 2011.

resiko bencana banjir karena


sesungguhnya masyarakatlah
garda terdepan dalam penanganan
bencana banjir.
BBWSC sendiri sudah
melakukan pelatihan mitigasi
bencana untuk masyarakat
pada Juni 2011 silam. Peserta
berasal dari berbagai kelompok
masyarakat yang terhimpun dalam
Perhimpunan Kelompok Kerja
(PKK DAS Citarum), perwakilan dari
masyarakat tingkat RT/RW di Bale
Endah, Dayeuh Kolot, Rancaekek,
hingga Sumedang.
Di Kampung Leuwi Bandung,
menurut penuturan Budi, warga
merasakan manfaat dari pelatihan
mitigasi tersebut. Sebelumnya,
warga Leuwi Bandung tidak
terkoordinasi dalam menghadapi

banjir. Namun, sekarang, warga


sudah siap siaga jika ada
peringatan dini bencana banjir.
Di pihak lain, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kabupaten Bandung
juga tengah menyusun peta
mitigasi bencana di seluruh desa
di Kabupaten Bandung. Seperti
dilansir inilah.com (3/1/2012),
peta mitigasi bermanfaat untuk
memperkirakan kapan terjadi
bencana dan antisipasinya,
sehingga dapat meminimalisir
kerugian dan korban yang besar.
Peta mitigasi berisi peringatan
dini, potensi bencana, dan
identifikasi bencana. Plt Kepala
BPBD Kabupaten Bandung Ayi
Koswara mengatakan, BPBD
menyiapkan dana Rp 100 juta

untuk 267 desa dan 1 kelurahan di


Kabupaten Bandung.
BPBD sendiri tetap meminta
masyarakat waspada terhadap
banjir meski di awal tahun ini banjir
sudah mulai surut. Pasalnya, Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) memperkirakan
curah hujan dari Januari sampai
Februari 2012 masih tinggi
(Galamedia, 3/1/2012). Dengan
kata lain, banjir sewaktu-waktu
bisa menerjang permukiman
warga. Kabid Kedaruratan dan
Logistik (BPBD), Cecep Hendrawan
mengatakan, untuk mengantisipasi
hal itu, BPBD menyiapakan dua
perahu karet bermesin (LCR) dan
dua buah kayak yang bisa langsung
dipakai saat banjir tiba.

27

28

29

PETA LOKASI KEGIATAN MULTY YEARS BALAI BESAR


WILAYAH SUNGAI CITARUM 2011-2013

30

31

32

Pengerukan Sungai Citarum

Pada awal November 2011 yang


lalu, Kementerian Pekerjaan Umum
melalui Balai Besar Wilayah Sungai
Citarum memulai pelaksanaan
Rehabilitasi Penanggulangan Banjir
Sungai Citarum yang menyeluruh
dan berkesinambungan
dalam tiga tahun, yaitu mulai
tahun 2011 hingga 2013.
Total panjang pekerjaan
pengerukan ruas Sungai Citarum
ini yaitu 180 kilometer dengan

Paket
1

pendanaan melalui APBN


murni, dengan total anggaran
pelaksanaan tahun jamak (multiyears) yaitu Rp 1,2 Triliun,
Diharapkan dengan rehabilitasi
penanggulangan banjir ini
dapat meningkatkan kapasitas
dan memperlancar aliran sungai
Citarum, serta mengurangi luas
genangan yang diharapkan dapat
mencapai 20,000 hektar.

Pembangunan
Rehabilitasi Prasarana
Pengendalian Banjir Sungai
Citarum Hilir Walahar-Muara
Gombong di Kab. Bekasi
( W 1129-W1256 dan W1207Muara Bendera)
Rehabilitasi Prasarana
Pengendalian Banjir Sungai
Citarum Hilir Walahar-Muara
Gombong, Kab. Kerawang dan
Kab. Bekasi ( W 718-W1129 dan
Kali Bungin)
Rehabilitasi Prasarana
Pengendalian Banjir Sungai
Citarum Hilir Walahar-Muara
Gombong, Kab. Kerawang
dan Kab. Bekasi (Bendungan
Walahar-W718)
Rehabilitasi Prasarana
Pengendalian Banjir Sungai
Citarum Hilir Bendungan
Jatiluhur-Curug di Kab.
Purwakarta dan Kab. Karawang
Rehabilitasi Prasarana
Pengendalian Banjir Sungai
Citarum Hulu dan SapanNanjung dan anak-anak Sungai
Citarum di Kab. Bandung dan
Kab. Bandung Barat

Panjang

Outcome

Luas Genangan yang


diharapkan

Lokasi

17.3 km

3400 ha

Kab.
Kerawang
dan Kab.
Bekasi

42.6 km

2750 ha

Kab.
Karawang
dan Kab.
Bekasi

65.15 km

2456 ha

Kab.
Karawang
dan Kab.
Bekasi

9.5 km

1750 ha

Kab.
Purwakarta

45 km

9734 ha

Kab.
Bandung
dan
Bandung
Barat

33

Banjir Citarum di daerah CIkao,


Jatiluhur. Awal 2010. Foto: Titah Hari
Prabawa/Dok.Cita-Citarum
34

Bicara Tentang

Pengelolaan
Banjir Ideal
35

Bantuan pangan, air bersih dan obat-obatan selalu diperlukan pada saat banjir datang.

Ketika banjir terjadi, fokus kita


segera berubah untuk segera
memberi respon dan pertolongan,
khususnya kepada warga yang
terkena banjir. Jika kita mengingat
tahun 2010 yang lalu dimana
curah hujan yang tinggi membuat
kejadian banjir menjadi tajuk-tajuk
utama berita di media massa. Banjir
akibat luapan Sungai Citarum
menjadi pemberitaan media nyaris
sepanjang tahun 2010, karena
banjir terjadi merata, baik di daerah
hulu, tengah dan hilir.
Bagi sebagian besar warga
yang tinggal di daerah-daerah
langganan banjir Citarum, baik
di bagian hulu, tengah maupun
hilir, prioritas keinginan warga
tentu adalah daerahnya tidak lagi
mengalami banjir.

36

Menangani banjir dengan


segudang permasalahan
sebagaimana layaknya yang
terjadi di Sungai Citarum bukanlah
pekerjaan satu malam. Masalah
saling berkaitan antara satu
dengan yang lainnya. Demikian
pula dengan penyelesaiannya.
Jika ditangani secara terpisah dan
parsial, maka masalah banjir tidak
akan pernah tuntas.
Dalam pengelolaan banjir,
idealnya penanganannya terbagi
atas tiga hal, yaitu (1) Perencanaan
yang meliputi rencana mitigasi,
(2) Respon ketika banjir terjadi
dan (3) Pemulihan pasca banjir.
Dalam ketiga penanganan ini
perlu dilakukan upaya-upaya
yang bersifat struktural dan nonstruktural.

Pada Perencanaan, penanganan


struktural meliputi peningkatan
dan pemeliharaan aliran sungai,
serta upaya pengendalian laju
erosi, yang mengakibatkan
masuknya tanah ke dalam sungai
dalam jumlah besar. Sedangkan
dalam upaya non-struktural pada
Perencanaan, dapat dilakukan
pemetaan terhadap daerah-daerah
rawan banjir, yang diharapkan
dapat membuat perencanaan
mitigasi banjir dan membuat
sistem peringatan dini bagi
masyarakat di daerah-daerah
tersebut. Selain itu membuat
simulasi model curah hujan,
simulasi banjir, serta membuat
regulasi penggunaan lahan.
Pada respon penanganan ketika
banjir terjadi, maka upaya struktural

yang dilakukan adalah membuat


tanggul-tanggul penahan luapan
air sementara di pinggir sungai,
terutama yang berbatasan
langsung dengan permukiman.
Sedangkan upaya non-struktural
yang dilakukan misalnya dengan
melakukan evakuasi warga ke
daerah-daerah yang lebih aman.
Sedangkan pada pemulihan
pasca banjir, upaya struktural yang
dilakukan adalah rekonstruksi
prasarana yang terkena banjir.
Rekonstruksi ini terbagi lagi ke
dalam penanganan darurat dan
permanen, misalnya membuat
tanggul dan parapet untuk masa
tanggap darurat. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi laju kerusakan
jika dalam waktu dekat terjadi
banjir kembali. Sedangkan dalam
penanganan permanen, diperlukan
perencanaan yang lebih matang
untuk membuat prasarana fisik
yang dapat bermanfaat pada
jangka waktu yang lebih panjang.
Upaya non-struktural dalam masa
pemulihan pasca banjir, diperlukan
upaya seperti mempersiapkan
lokasi-lokasi pengungsian,
merencanakan logistik dan
mobilisasinya ketika banjir terjadi,
terutama pengadaan makanan dan
air bersih.
Jika kita berbicara mengenai
gambaran besar pengelolaan banjir
ideal, maka diagram berikut ini
menunjukkan gambaran tersebut.

Masyarakat adalah salah satu pemangku kepentingan yang paling penting dalam
upaya pencegahan dan penanganan banjir. Saluran air yang penuh dengan
sampah (Cieunteung 2010) dan ketika saluran telah dibersihkan dan direhabilitasi
(Cieunteung 2011).
37

STRUKTURAL
Perbaikan sungai
Pembuatan tanggul penahan
Kontrol erosi

PERENCANAAN/
MITIGASI

NON STRUKTURAL

PENGELOLAAN BANJIR

Regulasi penggunaan lahan


Pemetaan resiko banjir
Permodelan banjir
Perkiraan banjir dan sistem
peringatan banjir

STRUKTURAL
Penanggulangan banjir

RESPON
(ketika banjir)

NON STRUKTURAL
Evakuasi banjir

STRUKTURAL
Rekonstruksi prasarana

Mendesak/
darurat

Permanen

PEMULIHAN
(pasca banjir)

NON STRUKTURAL
Penyediaan pangan, air dll
Tempat tinggal sementara

Sumber: Paparan Flood Management in the Upper Citarum Basin


(Planning for Flood Intervention), BBWSC, Mei 2010
38

39

40

Perbaikan saluran sungai


(tanggul, pengerukan, dll)
Pembangunan bendung,
areal penampungan air
dan saluran pembuangan
(discharge chanel)

TINDAKAN PENGENDALIAN
BANJIR KOMPREHENSIF

PERBAIKAN
SUNGAI
(River improvement)

TINDAKAN
PERBAIKAN
DAS
(Measurement for
river basins)

TINDAKAN
PERBAIKAN
KERUSAKAN
(Meaures to alleviate
damage)

Kawasan
penahan dan
penyimpan
air
(Water
retaining)

Mengontrol arus urbanisasi


Konservasi lahan
Membangun tangki
penampung air hujan
Membangun pavement
yang dapat menyerap air
serta kolam resap air

Kawasan
tangkapan
air

Mengontrol arus
urbanisasi
Mengurangi sedimen
Meningkatkan
pertanian ramah
lingkungan

Daerah
rendah
(lowland)

Membangun prasarana
pengering
Membangun kolam
atau tangki
Mendukung adanya
bangunan-bangunan
tahan air

Pihak
berwenang
untuk
konservasi
sungai
(institusi
terkait,
pemerintah,
dll)

Membangun sistem
peringatan dan evakuasi
Meningkatkan sistem
pengendalian banjir
Menginformasikan dampak
kerusakan dan daerah
yang berpotensi terendam
Bangunan tahan air
Meningkatkan kesadaran
warga lokal

Sumber: Paparan Expectation for Flood Control Management in Upper Citarum River
Basin (Urgent Plan and Long Term Plan), BBWSC, Oktober 2010

41

Peran dan Upaya BBWS Citarum


Balai Besar Wilayah Sungai
Citarum (BBWSC) dibentuk
berdasarkan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No
26/PRT/M/2006. Badan ini bertugas
untuk mengelola sumber daya
air di Wilayah Sungai Citarum
yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan konstruksi, operasi
dan pemeliharaan dalam rangka
konservasi, pengembangan dan
pendayagunaan Sumber Daya
Air (SDA).

42

Secara rinci fungsi dari BBWS


Citarum adalah: (a) penyusunan
pola dan rencana pengelolaan
sumber daya air pada wilayah
sungai; (b) penyusunan rencana
dan pelaksanaan pengelolaan
kawasan lindung sumber air pada
wilayah sungai; (c) pengelolaan
sumber daya air yang meliputi
konservasi sumber daya air,
pengembangan sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air
dan pengendalian daya rusak air

pada wilayah sungai; (d) penyiapan


rekomendasi teknis dalam
pemberian ijin atas penyediaan,
peruntukan, penggunaan dan
pengusahaan sumber daya air
pada wilayah sungai; (e) operasi
dan pemeliharaan sumber daya
air pada wilayah sungai; (f )
pengelolaan sistem hidrologi;
(g) penyelenggaraan data dan
informasi sumber daya air; (h)
fasilitasi kegiatan Tim Koordinasi
Pengelolaan Sumber Daya Air pada

Pada bulan November 2011 lalu, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC) memulai pekerjaan untuk
Rehabilitasi Prasarana Pengendali Banjir Sungai Citarum 2011-2013.

Periode Desain
Perencanaan Banjir
Return Period of Design
Flood

1.5-tahun
(equal to 86 flood)
5-tahun
20-tahun
50-tahun

Daerah Genangan Banjir


Areas of Flood Inundation
Sebelum Proyek
Setelah
Setelah
Penyelesaian
Penyelesaian
Rencana
Proyek Jangka
Mendesak
Panjang
7,450 ha
945 ha
Nil
10,082 ha
11,547 ha
12,804 ha

2,948 ha
4,358 ha
5,265 ha

83 ha
309 ha
1,240 ha

Sumber: JICA, BBWSC

43

44

45

Masyarakat adalah salah satu pemangku kepentingan yang paling penting dalam upaya pencegahan dan penanganan banjir.

Saluran di Cieunteung yang dipenuhi oleh sampah. April 2010


46

wilayah sungai (BBWSC berperan


penting sebagai sekretariat
Tim Koordinasi Pengelolaan
Sumber Daya Air atau TKPSDA);
(j) pemberdayaan masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya
air. (Sumber: Citarum Stakeholders
Analysis B1 Report Institutional
Strengthening for IWRM in the 6 Cis
RBT, Desember 2010)
Didalam kerangka Program
Pengelolaan SDA Citarum Terpadu
atau Integrated Citarum Water
Resources Management and
Investment Program (ICWRMIP),
posisi BBWSC adalah sebagai
manajemen pelaksana program
atau disebut sebagai Project
Coordination Management Unit
(PCMU) dan juga sebagai Project
Implementation Unit (PIU) untuk
beberapa kegiatan di dalam
tahapan pelaksanaan ICWRMIP ini.
Beberapa kegiatan yang dilakukan
oleh BBWSC di dalam kerangka
program ICWRMIP antara lain
rehabilitasi jaringan utama Tarum
Barat, melakukan studi untuk

peningkatan sumber air baku


Bandung dan pengembangan
kebijakan pokok dan strategi untuk
pengelolaan sumber daya air di
Wilayah Sungai Citarum.
Dalam penanganan banjir di
bagian Citarum hulu, beberapa
upaya yang dilakukan oleh BBWS
Citarum antara lain:

Upper Citarum Flood


Control Urgent Plan
Pada tahun 1987-1988,
BBWSC dibantu dengan Japan
International Cooperation Agency
(JICA) melakukan studi dan rencana
utama di daerah hulu sungai
Citarum. Rancangan teknis dari
studi ini selesai dilakukan pada
1992-1993. Konstruksi tahap
pertama dilakukan pada tahun
1994-1999. Sedangkan konstruksi

tahap ke-dua dilakukan pada tahun


1999-2008. Konstruksi tahap ketiga
masih berada dalam usulan.
Pada tahun 2010, penanganan
fisik yang dilakukan BBWS Citarum
di Kabupaten Bandung, khususnya
daerah yang terkena banjir.
Upaya ini termasuk dalam upaya
penanganan program darurat dan
jangka pendek dalam menghadapi
anomali cuaca yang menyebabkan
banjir yang dikenal sebagai banjir
Citarum 2010.
Upaya ini antara lain
penanggulangan darurat akibat
bencana alam banjir di Sungai
Cikeruh, Cimande, Ciraab
& Cisunggalah, Kabupaten
Bandung. Pemeliharaan Prasarana
Pengendalian Banjir Sungai
Citarum di Cieunteung hingga
Dayeuh Kolot, peninggian

dan pembangunan parapet,


pengerukan sedimen dari
muara sungai Cikapundung
sampai dengan muara Citepus
(hal ini termasuk dalam
program pemeliharaan sungai)
dan penanganan darurat di
hulu Cieunteung.

Saluran air Cieunteung ketika saluran telah dibersihkan dan direhabilitasi (Cieunteung 2011).

47

48

BBWS Citarum melakukan pelatihan


mitigasi banjir untuk masyarakat di Bale
Endah dan Dayeuh Kolot. Juni 2011

49

50

Merekareka

Alternatif
Solusi

Yang Sesuai Untuk


Penanganan Banjir
Sumber: Paparan Rakor Gubernur Jawa Barat, Maret 2010

51

Rekomendasi
Solusi penanganan Wilayah
Sungai Citarum dilakukan
melalui pendekatan struktural
dan nonstruktural serta sosiokultural simultan hulu-hilir dengan
sinergi multi sektor bersama
masyarakat secara terintegrasi
dalam wadah koordinasi badan
strategis pengelolaan WS Citarum.
Pendekatan non-struktural meliputi
manajemen hulu DAS, penataan
ruang, pengendalian erosi dan

alih fungsi lahan, perijinan


pemanfaatan lahan, pemberdayaan
masyarakat kawasan hulu,
manajemen daerah rawan banjir,
sistem peringatan dini ancaman
dan evakuasi banjir, peningkatan
kapasitas kelembagaan dan
partisipasi masyarakat untuk
penanggulangan banjir,
pengendalian penggunaan air
tanah, pengelolaan dan perbaikan
kualitas air sungai.

Pendekatan struktural
meliputi normalisasi sungai,
tanggul penahan banjir, kolam
penampungan banjir, sistem
polder dan sumur-sumur
resapan,pembangunan waduk dan
embung, penyediaan prasarana
air baku, pengembangan sistim
penyediaan air minum dan air
kotor, rehabilitasi jaringan irigasi,
pengembangan pembangkitan
tenaga listrik.

FILOSOFIS
Pindahkan
penduduk dari banjir
Pindahkan banjir dari
penduduk
Hidup harmoni
bersama banjir

Metode
Struktur
PENANGANAN
MASALAH
BANJIR
CEKUNGAN
BANDUNG

NORMATIF
Metode
Non Struktur
SOSIAL DAN
BUDAYA
Alih mata
pencaharian
Perubahan perilaku
pemukiman sehat
Menghidupkan
kembali kearifan
lokal yang positif

52

Konstruksi Teknik Sipil


Waduk atau embung di hulu
Kolam penampungan banjir
(retention basin) di hilir
Tanggul penahan banjir penghalang
sepanjang tepi sungai
Sistem Podler
Sumur-sumur resapan

Manajemen Daerah Rawan Banjir


Sistem Peringatan Dini
Diseminasi peringatan ancaman dan
sistem evakuasi banjir
Pembuatan peta bahaya banjir
Peningkatan kapasitas dan pertisipasi
masyarakat untuk penanggulangan banjir
Asuransi bencana banjir
Manajemen Hulu Daerah Aliran Sungai
Penataan ruang
Pengendalian erosi di hulu DAS (vegetasi, dll)
Pengendalian alih fungsi lahan
Pengendalian perijinan pemanfaatan lahan
Pengendalian kualitas air sungai
Kelembagaan/Otoritas DASCitarum Hulu
Pembuatan peta kawasan lindung
Peningkatan kapasitas dan partisipasi
masyarakat untuk konservasi hulu DAS

Sejak beberapa tahun lalu,


sejumlah instansi pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat
berpartisipasi dalam serangkaian
dialog yang menghasilkan
Citarum Roadmap, yaitu suatu
rancangan strategis berisi hasil
identifikasi program-program
utama untuk meningkatkan
sistem pengelolaan sumber daya
air terpadu dan memperbaiki
kondisi di sepanjang Wilayah
Sungai Citarum. Citarum Roadmap
disusun melalui pendekatan yang
komprehensif, multi sektor dan
terpadu untuk memahami dan
memecahkan masalah kompleks
seputar pengelolaan air dan lahan
di sepanjang aliran Citarum.

Rekomendasi penanganan
WS Citarum meliputi aspek
kelembagaan, sosial ekonomi
dan budaya, pengawasan dan
pengendalian serta rehabilitasi
dan pemulihan.

A. Rehabilitasi dan
Pemulihan
1. Reboisasi dan rehabilitasi lahan
kritis bersama pemangku
kepentingan (multi stakeholders)
dengan sistem insentif
2. Pembelian lahan untuk
memperluas lahan
konservasi (land banking) dan
pengembangan hutan koloni
(Contoh : membeli lahan
rakyat dengan dana deviden
BUMN atau buat Citarum
Conservation Fund)

3. Optimalisasi pemanfaatan HGU


terlantar lebih kurang 12.000 Ha
terletak di hulu Sungai Citarum,
4. Pembangunan sumur resapan
di Citarum Hulu
5. Normalisasi Sungai Citarum
hulu segmen Sapan - Nanjung
dan 9 anak sungainya
6. Pembuatan 2 kanal banjir
di Citarum Hulu (utara
dan selatan)
7. Rehabilitasi jaringan irigasi dan
optimasi penggunaan air rigasi
8. Penataan kawasan
permukiman dan industri di
sempadan sungai
9. Pembentukan
kawasan kawasan
pertumbuhan baru
10. Program operasi dan perbaikan
keamanan bendungan.
53

54

B. Pengawasan dan
Pengendalian
1. Stop semua pembalakan di
WS Citarum
2. Moratorium perizinan konversi
lahan khususnya di daerah
tampungan air
3. Larangan pertanian semusim
di kelerengan lebih besar
dari 30 persen
4. Penertiban pemanfaatan
kawasan lindung,
5. Penertiban garis
sempadan sungai
6. Pengendalian limbah
domestik, industri, peternakan
dan pertanian
7. Pengendalian penggunaan
air tanah, pembuatan sumur
resapan dalam.
8. Operasionalisasi kerjasama TNI
dalam pelestarian lingkungan
9. Pembentukan satuan
polisi lingkungan.

C. Sosial Ekonomi dan


Budaya
1. Alih mata pencaharian yang
lebih kondusif bagi penduduk
peladang di kawasan
2. konservasi
3. Relokasi kawasan permukiman
melalui pembangunan
rumah susun
4. Revitalisasi permukiman
akrab banjir
5. Relokasi industri secara selektif
dan bertahap
6. Menghidupkan kembali nilai nilai positif kearifan lokal
7. Orientasi pembangunan ke
arah pedesaan.

55

Tanaman kopi yang dapat tumbuh dibawah tegakan pohon merupakan alternatif budidaya tanaman yang juga bernilai ekonomi
tinggi untuk menggantikan tanaman sayuran semusim yang biasa ditanam di lereng-lereng gunung di daerah hulu Sungai
Citarum.

D. Kelembagaan
1. Pembuatan Rencana Induk
Pengelolaan WS Citarum secara
terintegrasi sebagai
2. rujukan semua pihak,
3. Penguatan kelompok dan kader
masyarakat peduli lingkungan
4. Pembentukan Badan Strategis
Rehabilitasi WS Citarum yang
menangani pengelolaan WS
secara terpadu
5. Kaji ulang pengaturan, dan
penyusunan pengaturan,
kebijakan, pedoman dan
petunjuk pelaksanaan
pengelolaan WS secara terpadu.
(seperti perizinan, tarif ).

56

E. Pengembangan sarana
dan prasarana sumber
daya air dan prasarana
lainya
1. Pengembangan prasarana
sistim penyediaan air baku
untuk air minum, industri,
2. Pembangunan waduk-waduk,
polder/retensi,
3. Pengembangan prasarana
sistim penyediaan air minum
4. Pengembangan prasarana
sistim pengelolaan limbah
domestik dan limbah industri,
5. Pengembangan pembangkitan
listrik tenaga air,
6. Pengembangan sistim
perencanaan terpadu dan
penyusunan program, sistim
informasi pengelolaan sumber
daya air.

F. Data dan Informasi


1. Pengembangan Sistem
Informasi untuk dukungan
pengambilan keputusan untuk
2. pengelolaan sumber daya
air terpadu di wilayah
sungai Citarum
3. Meningkatkan monitoring
untuk kualitas air sungai dan
waduk-waduk, meningkatkan
jaringan monitoring air tanah
4. Meningkatkan pengelolaan dan
diseminasi data air dan sumber
daya alam, benchmarking
pengumpulan data sumber
daya air dan pengelolanya.
5. Mengembangkan laporan dan
tahunan status dan kondisi
WS Citarum.
Sumber: Dokumen Rencana
Penanganan Terpadu Wilayah
Sungai Citarum 2010-2025

Mencintai lingkungan sebaiknya dimulai dari usia dini.

Pertanian ramah lingkungan akan membuat kesuburan tanah dan air tetap terjaga.
57

Foto udara Daerah Bale Endah. Juni 2011.

Upaya Mendesak
1. Normalisasi Sungai Citarum
dengan pengerukan dasar
sungai sepanjang Sapan
hingga Nanjung
2. Normalisasi 9 anak sungai
Citarum (Cisangkuy, Citalugtug,
Citarum, Ciputat, Citarik,
Cikeruh, Cimande, Cikijing
dan Cibeusi)
3. Pembangunan 22 waduk
dan kolam-kolam retensi di
Cieunteung, Parunghalang
dan Citepus
4. Konservasi di 7 Sub-DAS
Citarum hulu
5. Pembenahan drainase lokal
6. Revitalisasi permukiman di
bantaran sungai
7. Sosialisasi kepada masyarakat
daerah rawan banjir untuk
mewujudkan prinsip hidup
harmoni bersama banjir
8. Sosialisasi kepada masyarakat
daerah rawan banjir untuk
mewujudkan prinsip hidup
harmoni bersama banjir
9. Relokasi perumahan di daerah
rawan banjir
Sumber: BBWS Citarum

58

59

60

www.citarum.org

Anda mungkin juga menyukai