Anda di halaman 1dari 40

PENDAHULUAN

Tuberkulosis

(TB)

adalah

penyakit

infeksi

menular

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis.1 Penyakit ini sudah lama dikenal oleh manusia. Penularan
penyakit ini sebagian besar melalui udara yang berkaitan dengan keadaan lingkungan sekitar
seperti kelembaban udara dan ventilasi.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001) penderita TB paru 95% berada di negara
berkembang dan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (15 50 tahun)
dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian
utama ketiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Risiko penularan setiap tahun
(Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan
bervariasi antara 1-2 %. Hal ini berarti pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, setiap tahun
diantara 100.000 penduduk, 100 (seratus) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang
yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang
akan menjadi penderita TB paru. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
penderita TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah diantaranya karena gizi buruk atau
HIV/AIDS.2 Hal ini menunjukkan bahwa penyakit Tuberkulosis paru banyak terjadi dinegara
berkembang dimana tingkat kesehatan dan gizi penduduknya masih kurang sehingga mudah
terjadi infeksi tuberkulosis.
Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang
tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara
dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993,
WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).1
Berdasarkan data WHO tahun 2009, lima negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu
India (1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria(0,37-0,55 juta)
dan Indonesia (0,35-0,52 juta). India menyumbangkan kira-kira seperlima dari seluruh jumlah
kasus didunia (21%).3
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif
(cost-efective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan
penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan
dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan
1

memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.


Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan
penularan TB.1
Tujuan nomor 6

dari Millenium Development Goals (MDG) 2015 yaitu melawan

HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya termasuk TB. Diharapkan proporsi kasus TB yang
terdeteksi dan pengobatan dengan DOTS meningkat. Di Indonesia, pada tahun 2010 target
indikator case detection rate (CDR) sebasar 73% dengan pencapaian 73.02% dan target angka
keberhasilan pengobatan atau success rate (SR) 88%. Target stop TB partnership pada tahun
2015 yaitu mengurangi rerata prevalens dan kematian dibandingkan pada tahun 1990. Pada
tahun 2050 targetnya adalah mengurangi insiden global kasus TB aktif menjadi kurang dari 1
kasus per satu juta populasi per tahun.3 Oleh karena itu diharapkan Indonesia dapat mngurangi
angka kesakitan dari penyakit tuberkulosis sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tujuan pembuatan tinjauan pustaka ini agar dapat memahami mengenai penyakit
Tuberkulosis yang merupakan penyakit menular beserta dampaknya bagi orang-orang disekitar
penderita. Selain itu, juga dapat mengetahui tatalaksana yang tepat beserta prognosis untuk
kelanjutan hidup penderitanya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnnya.1 Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik yang
dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban dan lingkungan yang padat.4
2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting didunia. Pada
tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai
Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dan 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesat kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB didunia,
namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.1
Di Indonesia masih menempati urutan ke-5 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah
Afrika selatan dan Nigeria. Setiap tahun terdapt 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000
kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomer satu diantara penyakit
menular dan merupakan penyebab kematian nomer tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.3

3. Etiologi
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini
berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora, dan tidak berkapsul . Bakteri
ini berukuran lebar 0,3-0,6 m dan panjang 1-4 m. Bakteri ini mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman ini bersifat aerob dan hidup sebagai parasit
intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam jaringan. Sifat ini menunjukkan
bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal
ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.5
3

Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding bakteri yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan
tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.2
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal.3

4. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis meliputi empat hal, yaitu:1
a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru
b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA
negatif
c. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat
d. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

TB paru: adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 1 Tuberkulosis milier diklasifikasikan
sebagai TB paru karena lesinya yang terletak dalam paru.3

TB ekstra paru: tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru seperti pleura,
kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan atau hilus), abdomen, traktus
genitourinarius, kulit, sendi, tulang, selaput otak, selaput jantung (pericardium).3

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis:

Tuberkulosis paru BTA positif adalah:1,3


Sekurang-kurangnya 2 atau lebih dari 3 spesimen dahak SPS menunjukkan hasil
BTA positif
Satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan foto toraks menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) dan kultur biakan
M.tuberculosis positif
4

Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.

Tuberkulosis paru BTA negatif 3


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-), gambaran klinis dan kelainan
radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan biakan M. tuberculosis
positif

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.1

TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk ringan: jika gambaran foto toraks terdapat gambaran infiltrat minimal pada
satu lobus paru bagian kanan atau kiri, dan keadaan umum pasien masih baik.
Bentuk berat: jika gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien yang
buruk

TB ekstra paru berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:


TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.

d.) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya2,3


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :

Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.

Kasus kambuh (relaps)


Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan BTA (+) atau biakan positif.
5

Bila BTA (-) atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau
perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan:

Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan)

TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten


menangani kasus tuberculosis.

Kasus defaulted atau drop outng


Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak meminum obat 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 atau akhir pengobatan.

Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Kasus pindahan (Transfer in)2


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya

Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA (-), biakan (-), dan gambaran radiologi paru menunjukkan
lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

5. Patogenesis
A. Tuberkulosis primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran
napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer.
Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag. Kebanyakan
partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial
6

bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembangbiak
dalam sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.3,4
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadi efusi
pleura. Kuman dapat juga masuk ke saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, kulit,
terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh
organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran
ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.

Kemudian sarang primer akan kelihatan

peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersamasama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mangalami:3

Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran
di hilus)

Menyebar dengan cara:


o Perkontinuitatum (menyebar ke sekitarnya)
Misalnya epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus
lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, sehingga disebut epituberkulosis.
o Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun di paru sebelahnya
atau tertelan.
o Penyebaran secara hematogen dan limfogen.
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang
yang ditimbulkan dapat tumbuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti
yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy . Penyebaran ini
juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal,
anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan:
7

Sembuh dengan meninggalkan sekuele

Meninggal

B. Tuberkulosis postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer disebut juga
tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, dan tuberkulosis menahun. Bentuk
tuberkulosis inilah yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, Karena bisa menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini pada awalnya berbentuk
suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut:3

Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan
jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul
dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian
dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
o Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru
o Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi.
o Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti yang menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti
yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan


penyembuhannya3

6. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
A. Gambaran klinis
Berdasarkan ISTC 2009 penekanan dalam penemuan kasus secara aktif berdasarkan gejala
pada populasi berisiko tinggi.6 Gambaran klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
adalah gejala respiratori.3,6

Gejala respiratori
o Batuk 2 minggu
o Batuk darah
o Sesak napas
o Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai yang cukup berat
tergantung luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.bila bronkus
belum terlibat dalam proses penyakit, pasien belum ada gejala batuk. Batuk yang pertama
terjadi karena iritasi bronkus, selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar.
o Gejala sistemik
o Demam
o Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun.
9

Gejala TB ekstraparu
Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis TB
akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada
meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleurutis TB terdapat gejala sesak napas
dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada TB paru, kelainan tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan
paru pada umumnya terletak didaerah lobus superior bagian apeks dan segmen posterior (S1
dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma dan mediastinum.3
Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisik tegantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.3
Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah
leher, kadang di ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.3

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB memiliki arti yang sangat

penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal
dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan jaringan biopsi (biopsi jarum
halus/BJH).3
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. 4,6 Atau dengan
cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): Bahan pemeriksaan atau spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan atau ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih
dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor,.3
Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus (BJH), dapat dibuat sediaan apus kering di
gelas objek, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan dapat ditambahkan NaCl 0.9% 3-5
ml sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi anatomi. 3
10

Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain


Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, BAL, urin, feses, dan jaringan biopsy,
termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara:3

Mikroskopis

Mikroskopis biasa

: pewarnaan Ziehl- Nielsen.

Mikroskopis fluoresens

: pewarnaan auramin-rhodamin

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:


-

3 kali positif, atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

1 kali positif, 2 kali negatif

ulang BTA 3 kali, kemudian;

bila

1 kali positif, 2 kali negatif

BTA positif

bila 3

kali negatif

BTA negative

Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala


International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD):
-

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan kuman


Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).
Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.3
Pemeriksaan identifikasi M. tuberculosis dengan cara:3
a. Biakan:

Egg base media: Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh

Agar base media: Middle brook

Mycobacteria growth indicator tube test (MGITT)

BACTEC
11

b. Uji molekular:

PCR- Based Method of IS6110 Genotyping

Spoligotyping

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

MIRU / VNTR Analysis

PGRS RFLP

Genomic Deletion Analysis

c. Identifikasi M. Tuberculosis dan uji kepekaan:

Hain test (uji kepekaan untuk R dan H)

Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)

Gene X-pert (uji kepekaan untuk R)

Lowenstein-Jensen
Pada identifikasi M.tuberculosis, pemeriksaan dengan media biakan lebih sensitif dibandingkan
dengan

pemeriksaan

mikroskopis.

Pemeriksaan

biakan

dapat

mendeteksi

10-1000

mycobacterium/ml. Media biakan terdiri dari media padat dan media cair. Media LowensteinJensen adalah media padat yang menggunakan media basa telur. Media ini digunakan untuk
isolasi dan pembiakan Mycobacteria species. Pemeriksaan identifikasi M. tuberculosis dengan
media Lowenstein-Jensen ini memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dan dipakai
sebagai alat diagnostik pada program penanggulangan TB. 3

Uji tuberkulin

Di Indonesia dengan prevalens TB yang tinggi, uji tuberculin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji tuberculin banyak dipakai untuk membantu
menegakan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes
Matoux yakni dengan menyuntikan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative)
intrakutan berkekuatan 5. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikan, akan timbul rekasi berupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibodi seluler dengan antigen tuberkulin. Berdasarkan banyak sedikitnya reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dengan antigen tuberkulin, hasil tes Mantoux ini dibagi
dalam:4
1) Indurasi 0-5 mm: Mantoux negatif = golongan no sensitivity
2) Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity
3) Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan nornal sensitivity
12

4) Indurasi lebih dari 15 mm: Mantoux positif kuat = golongan hyper-sensitivity


Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberculin dapat memberikan hasil negative.

Pemeriksaan Radiologi
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak

secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan dengan indikasi:1

Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Hal ini diperlukan untuk
mendukung diagnosis TB

Ketiga specimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika
non OAT.

Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis, atau efusi
pleura) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis
dan aspergiloma)
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,

top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai
lesi TB aktif:3

Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.

Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Tuberkuloma

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB aktif:

Fibrotik

Kalsifikasi

Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed lung):4


-

Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis atau
13

multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
-

Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif):

Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5)
serta tidak dijumpai kaviti.

Lesi luas. Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan Penunjang Lain

a. Analisis cairan pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat,
serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.3
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsy atau otopsi, yaitu3:
o Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah benih (KGB).
o Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
o Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal
needle aspiration/ TTNA, biopsi paru terbuka).
o Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai TB
o Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan dimasukkan ke
dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta
sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.3
c. Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberculosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
14

indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberculosis. Limfositpun kurang spesifik.3

Gambar 2. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa2

7. Jenis Tuberkulosis Ekstrapulmonal

TB Milier
TB diseminata (DTB) mengacu pada keterlibatan beberapa organ. Organ paling biasanya
terlibat adalah paru-paru, hati, limpa, sumsum tulang, ginjal, dan meninges6. Penyebaran
dapat terjadi selama infeksi primer atau setelah reaktivasi dari fokus laten / infeksi ulang.
Selama infeksi primer, sejumlah kecil basil tuberkulum mendapatkan akses ke sirkulasi
melalui limfatik dan menyebar ke viseral yang memiliki suplai vaskuler kaya dan
oksigenasi yang baik seperti hati, limpa, sumsum tulang dan otak.7

15

Gejala klinis yang sering ditemukan antara lain demam, batuk dan dispnea. Menggigil dan
kekakuan, biasanya terlihat pada pasien malaria, atau, sepsis dan bakteremia sering
memiliki gambaran yang sama dengan pasien TB milier. Organomegali juga merupakan
temuan fisik sering. Pada kulit dapat ditemukan makula eritematosa dan papula, serta lesi
ulseratif juga dapat ditemukan. Tanda-tanda keterlibatan hati terlihat dalam bentuk ikterus
dan hepatomegali. Neurologis keterlibatan dalam bentuk meningitis atau tuberkuloma
adalah umum. Selain itu, dapat ditemukan gejala sakit perut dan sakit kepala.8

TB Pleura
Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB
dalam rongga pleura.7,8 Gejala klinis TB pleura dapat ditemikan berbagai pola batuk, nyeri
dada (klasik "pleuritik" atau nonspesifik), demam, dan dyspnea. Malaise, berkeringat, dan
penurunan berat badan berkaitan dengan lama berdiri, penyakit yang lebih luas.8

TB Kelenjar Getah Bening


Infeksi tuberkolosis pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula,
merupakan bentuk TB ektrapulmonal pada sering terjadi pada anak dan terbanyak terjadi
pada kelenjar limfe leher.6,7 Kelenjar limfe tonsilar, servikal anterior, submandibula dan
supraklavikula dapat terinfeksi secara sekunder akibat perluasan lesi primer pada paru
bagian atas atau abdomen. Pembesaran kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah
aksila terjadi akibat limfadenitis regional yang disebabkan oleh tuberkulosis kulit atau
sistem skeletal.8

TB Abdomen
TBC abdominal merupakan istilah yang digunakan untuk mencakup TB pada saluran
pencernaan, peritoneum, omentum, dan mesenterium node dan organ padat intra-abdominal
lain seperti hati, limpa dan pankreas.8
Manifestasi klinisnya tidak spesifik dan tergantung tempat dan luasnya penyakit. Anoreksia,
malaise, low grade fever, penurunan berat badan, keringat malam, melena, massa pada
pankreas atau abses atau ikterus obstruktif. TB pankreas mungkin hadir sebagai pankreatitis
akut atau kronis atau keganasan. TBC limpa tampak hipersplenisme atau abses limpa atau
sebagai lesi limpa yang soliter.7

TB Genitourinaria
TB kemih termasuk ginjal, ureter, kandung kemih, rahim-tuba, prostat, dan penyakit
epididimis. Hal ini lebih sering terjadi pada perempuan dan usia tua. Umumnya pasien
datang dengan gejala yang berkaitan dengan iritasi atau disfungsi organ yang terkena.
16

Pasien datang dengan keluhan seperti disuria, hematuria yang mungkin tanpa rasa sakit,
nyeri panggul, massa ginjal, piuria, dan infeksi saluran kemih berulang. Gejala
konstitusional seperti demam, menggigil, berkeringat, malaise, penurunan berat badan atau
muncul di akhir kursus. Diagnosis bergantung pada konfirmasi mikrobiologi, kultur urin.8

TB Tulang dan Sendi


TB tulang dan sendi sering terjadi pada tulang pinggul, lutut, dan tulang belakang.
Namun, TB dapat melibatkan hampir semua tulang termasuk tulang pipih dari tengkorak
atau panggul. Umumnya infeksi menyebar ke sendi di dekatnya sehingga arthritis. TBC
tulang belakang (tulang belakang TB) adalah bentuk tuberkulosis tulang yang paling
sering ditemukan. Vertebra torakal dan lumbal yang paling sering terjadi TBC tulang
belakang diikuti oleh lumbal dan tulang belakang servical. Gejala klinis yang ditemukan
antara lain kelemahan, kehilangan nafsu makan dan berat badan, keringat malam.7,8

Perikardial Tuberkulosis
Secara klinis pasien dengan perikarditis biasanya mengeluh batuk, yang mungkin dipicu
oleh iritasi perikardial. Dispnea atau pembatasan aktivitas mungkin mencerminkan sebagai
efusi atau penyempitan fibrosis. Selain itu, pasien dapat datang dengan keluhan demam,
malaise dan kelemahan, nyeri dada samar-samar, batuk, dan penurunan berat badan,
peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), dan pulsus paradoksus. Radiografi dada
biasanya menunjukkan kardiomegali, kadang-kadang ini dapat disertai dengan efusi pleura
kiri. Elektrokardiogram biasanya menunjukkan tegangan rendah dan ST-segmen depresi.7,8

Tuberkulosis Neurologis
Tuberkulosis neurologis ditemukan dalam 3 bentuk meningitis, tuberkuloma, araknoiditis
spinalis. Meningitis TB merupakan kasus yang paling banyak ditemui sekitar 70-80% dari
kasus tuberkulosis neurologis.8
Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi menjadi 3 fase. Fase prodromal berlangsung
2 - 3 minggu, ditandai dengan malaise, sefalgia, demam tidak tinggi dan dapat dijumpai
perubahan kepribadian. Fase meningitik sebagai fase berikutnya dengan tanda neurologis
yang lebih nyata seperti meningismus, sefalgia hebat, muntah, kebingungan dan kelainan
saraf kranialis dalam berbagai derajat. Defisit neurologis fokal dapat mendahului tandatanda iritasi meningeal . Kejang fokal atau umum terjadi dalam 20-30% pasien. Dalam
kasus yang tidak diobati,

dapat berkembang ke penurunan tingkat kesadaran yang

progresif, kelainan pupil karena meningkatnya hidrosefalus dan herniasi tentorial.

17

Terminal penyakit ini ditandai dengan koma dan decerebrate. Tanpa pengobatan, kematian
biasanya terjadi dalam 5-8 minggu.8

Tuberkulosis kulit
Tuberkulosis kulit dapat terjadi melalui 2 mekanisme, pertama infeksi primer atau
inokulasi langsung kuman TB di kulit dan yang kedua TB pasca primer salah satunya
adalah limfadenitis TB yang pecah ke kulit. Contoh yang pertama antara lain tuberculous
chancre. Sedangkan contoh kedua adalah skrofuloderma dan lupus vulgaris.8

Tuberkulosis mata
Keterlibatan okular terjadi dalam 2 30% dari pasien dengan tuberculosis dan biasanya
berkembang sebagai akibat dari diseminasi hematogen. Sedangkan TBC dapat
mempengaruhi semua bagian dari mata, koroid dan bagian yang paling sering terkena
adalah pada strukturnya. TBC konjungtiva dan lupus vulgaris adalah manifestasi umum
dari tuberkulosis primer.8

8. Pengobatan Tuberkulosis
Tujuan pengobatan TB adalah:3
o Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
o Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya
o Mencegah kekambuhan
o Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain
o Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya
Prinsip pengobatan TB
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut2:
-

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT=
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO)

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
Tahap awal (intensif): 2-3 bulan2

18

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap lanjutan : 4-7 bulan2
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Panduan obat yang digunakan
terdiri dari panduan obat utama dan tambahan.3
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 lini yakni:

Obat primer/ lini pertama.


Isoniazid (INH)
Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid. Efek bakterisidnya
hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif.1,9
Rifampisin
Aktivitas antibakteri: rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif
dan gram negatif. Mekanisme kerja rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang
bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA-polymerase dari mikobakteria
dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA.
Pada kebanyakan pasien yang memakai rifampisin, air mata, ludah, urin, faeces akan
menjadi berwarna merah. Ini disebabkan oleh metabolit dari rifampisin.10
Pirazinamid
Aktivitas antibakteri pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase
menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang
besifat asam.10
Etambutol
Hampir semua galur M.tuberculosis dan M.kansasii sensitif terhadap etambutol. Obat ini
tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid

19

dan steptomisin. Mekanisme kerja: menghambat sintesis metabolit sel sehingga


metabolisme sel terhambat dan sel mati.10
Streptomisin
Streptomisin in vitro bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman tuberkulosis.10

Pengobatan lini kedua:


Kanamisin
Aktivitas antibakteri: bersifat bakterisid. Mekanisme kerja obat ini menghambat sintesis
protein mikroba.10
Kapreomisin
Obat ini terutama digunakan pada infeksi paru oleh M.tubeculosis yamg resisten terhadap
antituberkulosis primer.10
Sikloserin

Aktivitas antibakteri: in vitro, sikloserin menghambat pertumbuhan M. tuberculosis pada


kadar 5-20 ug/ml melalui penghambatan sintesis dinding sel.10

Etionamid/ protionamid
Etionamid menghancurkan M.tuberculosis jenis human. Basil yang sudah resisten
terhadap tuberkulostatik masih sensitif terhadap etionamid.10
Para-Amino Salisilat (PAS)
Aktivitas antibakteri obat ini bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerja: PAS mempunyai
rumus molekul yang mirip dengan para aminobenzoat (PABA).10
Obat-obatan yang efikasinya belum jelas (Makrolid, amoksisilin+asam klavulanat, linezolid,
clofazimin)
OAT lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB multidrug resistant
(MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS belum tersedia di
pasaran Indonesia tetapi sudah digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR.
Tabel 1. Dosis OAT3
Obat
R
H
Z
E

Dosis(Mg/KgB
B/Hari)
8-12
4-6
20-30
15-20

Dosis yang dianjurkan


Harian(Mg/ Intermiten(M

Dosis

KgBB/hari)
10
5
25
15

mg)
600
300

g/KgBB/hari)
10
10
35
30

maks/hr(

Dosis/BB(kg)/hr
<40

40-60

>60

300
300
750
750

450
300
1000
1000

600
300
1500
1500
20

S*

15-18

15

15

1000

Sesuai

750

1000

BB
*Pasien berusia lebih dari 60 tahun tidak bisa mendapatkan dosis lebih dari 500mg perhari
Paduan Obat Anti Tuberkulosis
a. TB paru kasus baru
BTA positif atau BTA negatif dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh
paru)
Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4R3H3 atau 2RHZE/4RH
atau 2RHZE/6HE

BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal


Paduan obat yang dianjurkan: 2RHZE/4RH atau 6 RHE atau 2RHZE/4R3H3

b. TB paru kasus kambuh


Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan obat
RHE selama 5 bulan. 2RHZES/1RHZE/5RHE
c. TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan
kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin, dan dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat
diberikan 2 RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak
terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai kriteria:
Berobat 4 bulan
BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan pertimbangan penyakit paru lain. Bila terbukti
TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jamgka waktu lebih lama.
BTA saat ini positif

21

Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu lebih lama.
Berobat < 4 bulan
BTA positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan lebih lama.
BTA negatif: gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan di teruskan.
e. TB Paru kasus kronik
Jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika sudah ada hasil uji resistensi ,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif)
ditambah dengan obat lini 2 seperti: kuinolon, betalaktam, makrolid. Pengobatan minimal
18 bulan.
Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
Tabel 2. Ringkasan paduan obat3
Kategori

II

Kasus
Paduan obat yang dianjurkan
Kasus baru,BTA (+)/ *2RHZE/4R3H3 atau2RHZE/4RH
(-), lesi luas

2RHZE/6HE

Kambuh
Gagal pengobatan

2RHZES/1RHZE/5RHE
3 - 6 bulan (kanamisin,

Keterangan
atau

Bila
ofloksasin,

etionamid, sikloserin) dilanjutkan 15 18


bulan (ofloksasin, etionamid, sikloserin)
Putus obat

dapat

diganti

atau 2RHZES/1RHZE/5RHE
kanamisin
Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama
radiologi

saat

ini

*2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
Kasus baru, BTA (-), 2RHZE/4RH
atau
6
RHE
lesi minimal
Kronik

atau:
atau

*2RHZE/4R3H3
RHZES/sesuai hasil uji resistensi (min. OAT
yang sensitif)+ obat lini 2 (kuinolon,

IV

alergi

berhenti minum obat, klinis, bakteriologi &

II

III

streptomisin

betalaktam, makrolid). Pengobatan minimal


MDR TB

18 bulan.
Sesuai uji resistensi+OAT lini 2 atau H

seumur hidup
*Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB
22

DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)


Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif
(cost-efective). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan
demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan dan penularan TB.1
Tujuan metode DOTS antara lain:3

Mencapai angka kesembuhan yang tinggi

Mencegah putus obat

Mengatasi efek samping obat jika timbul

Mencegah resistensi
Dalam melaksanakan DOTS, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan

penjelasan bahwa harus ada seorang PMO (pengawas minum obat), dan PMO tersebut harus
ikut hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan tentang DOTS.3
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarankan untuk menggantikan panduan obat tunggal dengan Kombinasi Dosis Tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998.
Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Paduan
OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.1

a.

Kategori 1
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:1,3

Pasien baru TB paru BTA positif


Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
23

Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HREZE)/4(HR)3


Berat badan

30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg
Dikutip dari:1

Tahap intensif

Tahap lanjut

Tiap hari selama 56 hari

3 kali seminggu selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT

RH (150/150)
2 tablet 2 KDT
3 tablet 2 KDT
4 tablet 2 KDT
5 tablet 2 KDT

Tabel 4. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2(HREZE)/4(HR)3


Tahap

Lama

peng-

Pengo-

kali menelan

obatan

batan

obat

Intensif
2 bulan
Lanjutan
4 bulan
1
Dikutip dari:

b.

Dosis per hari / kali

Tablet

Kaplet

Tablet

isoniazid

Rifampisin

@ 300 mg
1
2

@ 450 mg
1
1

Jumlah hari /

Tablet

piriazinamid Etambutol
@ 500 mg
3
-

@ 250 mg
3
-

56
48

Kategori 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:1

Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus obat.
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HREZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3
Berat

Tahap intensif

Tahap lanjut

badan

Tiap hari

3 kali seminggu selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 56 hari
Selama

RH (150/150)
Selama 20 minggu

30-37 kg

2 tablet 4 KDT + 500 mg inj

28 hari
2 tablet

38-54 kg

3 tablet 4 KDT + 750 mg inj

4 KDT
3 tablet

+ 2 tab Etambutol
3 tablet 2 KDT

55-70 kg

4 tablet 4 KDT + 1000 mg inj

4 KDT
4 tablet

+ 3 tab Etambutol
4 tablet 2 KDT

2 tablet 2 KDT

24

71 kg

5 tablet 4 KDT + 1000 mg inj

4 KDT
5 tablet

+ 4 tab Etambutol
5 tablet 2 KDT

4 KDT

+ 5 tab Etambutol

Dikutip dari:

Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HREZE)S/(HRZE)/ 5H3R3E


Tahap peng-

Lama

Tablet

Kaplet

Tablet

obatan

peng-

isonia-

rifam-

pirazi-

obatan

zid @

pisin @

namid @

300 mg 450 mg
Tahap
intensif
(dosis harian)
Tahap

500 mg

Etambutol
Tablet

Tablet @

250 mg

400 mg

2 bulan
1 bulan

1
1

1
1

3
3

3
3

4 bulan

Strepto

Jumlah

misin

hari / kali

injeksi

menelan
obat

0,75
-

56
28
60

lanjutan
(dosis 3 x
seminggu)
Dikutip dari:1

c. OAT sisipan (HRZE)


Paduan OAT diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif
masih tetap BTA positif.
Tabel 7. Dosis KDT Sisipan (HRZE)
Berat badan
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg
Dikutip dari:1

Tahap intensif
Tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT
Tabel 8. Dosis OAT Kombipak Sisipan (HRZE)

25

Tahap

Lama

Tablet

pengobatan pengobatan

Tahap

Kaplet

Tablet

isoniazid rifampisi

Etambuto Jumlah hari / kali

pirazinami

@ 300mg

n@

d @ 500

Tablet 2

450mg
1

mg
3

250 mg
3

1 bulan

menelan obat

28

intensif
(dosis harian)
Dikutip dari:1

Efek Samping Obat


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping , oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping penting dilakukan selama pengobatan3.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat. Bila efek samping ringan (minor)
dapat diatasi dengan obat simtomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. Apabila pasien
mengalami efek samping berat (mayor), OAT penyebab dapat dihentikan segera pasien dirujuk
ke pelayanan kesehatan yang lebih besar atau dokter paru untuk tatalaksanan selanjutnya.
Pendekatan berdasarkan masalah untuk penatalaksanaan OAT dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.3

Tabel 8. Efek Samping dan Tatalaksanan dari Penggunaan OAT


Efek samping
Mayor
Kemerahan kulit dengan atau

Obat

tanpa gatal

Streptomisi

Tatalaksana
Hentikan obat penyebab dan rujuk secepatnya
Hentikan OAT

Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisi

Hentikan streptomisin

kotoran)
n
Pusing (vertigo dan nistagmus) Streptomisi

Hentikan streptomisin

Tuli (bukan disebabkan oleh

Kuning (setelah penyebab lain

n
Isoniazid

disingkirkan), hepatitis

Pirazinamid

Hentikan pengobatan TB

26

Rifampisin
Minor

Teruskan pengobatan dan berikan pengobatan


simptomatis.
Hentikan pengobatan TB

Bingung (diduga gangguan

Sebagian

hepar berat bila bersamaan

besar OAT

dengan kuning
Gangguan penglihatan (setelah

Etambutol

Hentikan etambutol

gangguan lain disingkirkan)


Syok, purpura, gagal ginjal

Rifampisin

Hentikan rifampisin

akut
Penurunan jumlah urin

Streptomisi

Hentikan streptomisin

Tidak nafsu makan, mual,

n
Pirazinamid

Berikan obat bersama dengan makanan

nyeri perut

Rifampisin

ringan atau sebelum tidur dan anjurkan pasien

Isoniazid

untuk minum obat dengan air sedikit demi


sedikit. Apabila terjadi muntah yang terusmenerus, atau ada tanda perdarahan segera
pikirkan sebagai efek samping mayor dan

Nyeri sendi
Rasa terbakar, kebas, atau

Pirazinamid
Isoniazid

kesemutan pada tangan dan


kaki
Mengantuk
Urin bewarna kemerahan atau

segera rujuk
Aspirin atau NSAID atau parasetamol
Piridoksin dosis 100-200 mg/hari selama 3
minggu. Sebagai profilaksis 25-100 mg/hari

Isoniazid
Rifampisin

Yakinkan kembali, berikan obat sebelum tidur


Yakinkan pasien dan sebaiknya pasien diberi

oranye
Sindrom flu (demam,

Dosis

tahu sebelum mulai pengobatan


Ubah pemberian dari intermiten ke pemberian

menggigil, malaise, sakit

rifampisin

harian

kepala, nyeri tulang)


Dikutip dari:3

intermiten

Pengobatan suportif atau simtomatis


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dilakukan pengobatan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala.3
a. Pasien rawat jalan
27

- Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)
- Bila demam dapat diberikan obat demam
- Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain
b. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap:
TB paru disertai keadaan atau komplikasi:
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif atau bilateral
- Sesak napas berat (buakn karena efusi pleura)
- TB diluar paru yang mengancam jiwa:
- TB paru milier
- Meningitis TB
Nutrisi untuk penderita TB
Terdapat banyak bukti bahwa perjalanan klinis dan hasil akhir penyakit infeksi termasuk
TB sangat dipengaruhi kondisi kurangnya nutrisi. Makanan sebaiknya bersifat tinggi kaloriprotein. Secara umum protein hewani lebih superior dibanding nabati dalam fungsi imunitas.
Selain itu bahan mikronutrien seperti Zink, vitamin (D,A,C), dan zat besi, diperlukan untuk
mempertahankan imunitas tubuh terutama imunitas seluler yang berperan penting dalm
melawan TB. Peningkatan pemakaian energi dan penguraian jaringan yang berkaitan dengan
infeksi dapat meningkatkan kebutuhan mikronutrien seperti vitamin A,E,B6, C, D, dan folat.3
Rekomendasi pemberian nutrisi penderita TB3:

Pemberian makanan dalam porsi kecil diberikan 6 kali perhari untuk menggantikan porsi
biasa 3 kali per hari.

Bahan-bahan makanan rumah tangga, seperti gula, minyak nabati, mentega, kacang, telur
dan bubuk susu kering nonlemak dapat dipakai untuk pembuatan bubur, sup, kuah daging,
atau

minuman berbahan susu untuk menambah kandungan kalori dan protein tanpa

menambah besar ukuran makanan.


28

Minimal 500-750 ml per hari susu atau yogurt yang dikonsumsi untuk mencukupi asupan
vitamin D dan kalsium secara adekuat

Minimal 5-6 porsi buha dan sayuran dikonsumsi tiap hari.

Sumber terbaik vitamin B6 adalh jamur, terigu, liver sereal, polong, kentang, pisang, dam
tepung haver.

Alkohol harus dihindarkan karena mengandung kalori tinggi, tidak memiliki vitamin dan
memperberat fungsi hepar.

Menjaga asupan cairan yang adekuat (minum minimal 6-8 gelas per hari)

Terapi pembedahan
Indikasi operasi
a. Indikasi mutlak
Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif
Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif
b. Indikasi relatif
Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kaviti yang menetap
Tindakan invasif (selain pembedahan):
-

Bronkoskopi

Punksi pleura

Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

Evaluasi pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta
evaluasi keteraturan berobat.2
a. Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1
bulan hal yang dievaluasi adalah respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan,
pemeriksaan fisis.
29

b. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /8 bulan pengobatan)


Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
-

Sebelum pengobatan dimulai

Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

Pada akhir pengobatan

Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
c. Evaluasi radiologik (0 - 2 6/8 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan
dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan
d. Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada
keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
e. Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum atau
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan
mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan
kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan
timbulnya masalah resistensi.
f. Kriteria sembuh
30

BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.

Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama atau perbaikan

Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

g. Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi
adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24
bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,
12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

9. Pengobatan Tuberkulosis pada Keadaan Khusus


A. TB Milier3
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai 12 bulan
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
-

Tanda / gejala meningitis

Sesak napas

Tanda / gejala toksik

Demam tinggi

Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari,
lama pemberian 4 6 minggu
B. Pleuritis eksudativa TB (Efusi Pleura TB) 2,3
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan
kortikosteroid dengan cara tappering off pada pleuritis eksudativa tanpa lesi di paru
Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C.TB Paru dengan Diabetes Melitus (DM)
31

Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol


Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum
cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan
Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;
sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat oral
anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
Perlu kontrol atau pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol atau
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
Penggunaan INH pada pasien TB dengan DM harus lebih ketat dipantau efek neuropati
perifer
D. TB Paru dengan HIV/AIDS
Tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang
memerlukan uji HIV, misalnya3:
Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
MDR-TB atau TB kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah
pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan CD4. Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat
pada tabel 8.
Tabel 9. Gambaran TB-HIV3
Sputum mikroskopis
TB ekstra pulmonal
Mikobakterimia
Tuberculin
Foto toraks

Infeksi dini (CD4>200/mm3)


positif
jarang
Tidak ada
positif
Reaktivasi TB, kaviti di

Infeksi lanjut (CD4<200/ mm3)


Negatif
Umum/banyak
Ada
Negatif
Tipikal primer TB milier/

Adenopati hilus/mediastinum
Efusi pleura

puncak
Tidak ada
Tidak ada

interstisial
Ada
Ada

Pengobatan OAT pada TB-HIV:

Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.

Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
32

Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan


menyebabkan efek toksik berat pada kulit

Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang
steril.

Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan


toksik yang serius pada hati

Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan,
selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya
malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang
berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima
suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum

Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH


diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak

INH diberikan terus menerus seumur hidup.

Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan MDRTB

Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4
dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel)
Tabel 10. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV3
Kondisi
Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB Mulai terapi OAT, segera mulai terapi ARV
ekstrapulmonal
jika toleransi terhadap OAT telah tercapai
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai
limfosit total < 1200 sel/mm3
setelah 2 bulan
TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung Mulai terapi TB.
limfosit total > 1200/mm3

Jika

memungkinkan

monitor hitung CD4. Mulai ARV sesuai


indikasi* setelah terapi TB selesai

Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan


terjadinya efek toksik OAT

Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai
buffer antasida

33

Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan
inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena
rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.

Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini
belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan

1. TB paru pada kehamilan


Hampir semua OAT aman untuk kehamilan kecuali Streptomisin karena bersifat permanet
otoxic dan dapat menembus barier plasenta.1
2. TB paru menyusui1
Pasien TB yang sedang menyusui boleh mendapatkan pengobatan TB karena
pengobatan yang tepat merupakan cara untuk memutus transmisi kuman TB pada bayi.
Ibu dan bayi dapat digabung.
Bayi diperiksa untuk kemungkinan TB aktif, apabila tidak terjadi maka bayi sebaiknya
diberikan INH preventive therapy selanjutnya vaksinasi BCG.
Suplemen piridoksin direkomendasikan pada pasien hamil atau sedang menyusui (yang
mendapatkan INH).
Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi.
Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat
pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat dosis
berlebihan
Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan.
3. TB Paru pengguna kontrasepsi
Pasien TB sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-hormonal atau yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mcg) karena rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi
hormonal.1
4. TB Paru pada gagal ginjal1,3
Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin
INH dan rifampisin mengalami ekskresi di bilier sehingga tidak perlu penyesuaian
dosis. Sedangkan etambutol dan pirazinamid mengalami ekskresi di ginjal sehingga
perlu penyusuaian dosis.

34

Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan


terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat
diberikan dengan pengawasan kreatinin.
Pemberian OAT 3 kali seminggu dengan dosis yang disesuaikan
-

Dosis pirazinamid: 25 mg/kg

Dosis etambutol : 15 mg/kg

Karena dapat meningkatkan risiko nefrotoksik dan ototoksik maka aminoglikosid


sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan gagal ginjal, apabila streptomisin harus
digunakan maka dosis yang dipakai 15 mg/kgBB, 2-3 kali seminggu dengan dosis
maksimal 1 gram. Sebaiknya kadar obat dalam darah juga dimonitor.
Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin)
5. TB Paru dengan kelainan hati2,3
Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10
HE
Pasien dengan kondisi ini dapat diberikan pengobatan TB dan dipastikan tidak ada
penyakit hati kronik
-

Hepatitis virus carriage

Riwayat hepatitis akut

Konsumsi alcohol yang berlebihan

Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan
Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat
diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan 6 RH
Hepatitis imbas obat (Drug Induced Hepatitis)
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced
hepatitis) Tatalaksana hepatitis imbas obat tergantung pada:

Fase pengobatan TB (tahap awal atau lanjutan)

Beratnya gangguan pada hepar

Beratnya penyakit TB
35

Kemampuan atau kapasitas pelayanan kesehatan dalam tatalaksana efek samping akibat
OAT.

Penatalaksanaan
-

Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) : OAT Stop

Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop

Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:


o Bilirubin > 2 : OAT Stop
o SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
o SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali
(bilirubin,SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis
penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis
penuh , bila klinik dan laboratoriumnormal , tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
10. Komplikasi Tuberkulosis
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.1,3
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
-

Batuk darah

Pneumotoraks

Luluh paru

Gagal napas

Gagal jantung

Efusi pleura

11. Resisten Ganda (Multi Drug Resisten/MDR)


Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan
atau tanpa OAT lainnya1-3 Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi1,3:

36

Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.

Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada
riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak

Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya
minimal 1 bulan.

Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat OAT3:

Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT

Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.

Multidrug-resistance (MDR): kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan


rifampisin

Extensive drug-resistance (XDR): TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu obat
golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, amikasin)

Total Drug Resistance: resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada kondisi
ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai.

Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah3:

Kasus TB Paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2

Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan
kategori 2.

Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat OAT lini
kedua seperti kuinolon dan kanamisin

Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1

Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan
kategori 1.

TB Paru kasus kambuh

Pasien TB yang kembali setelah lalai pada pengobatan kategari 1 dan atau kategori 2.

Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi,
termasuk petugas kesehatan yang berbetugas dibangsal TB-MDR.

Pasien yang memenuhi criteria suspek harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan mutu
ekternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.
37

Diagnosis TB-MDR3:

Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan

Semua suspek TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan


biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M. tuberculosis yang resisten
minimal terhadap rifampisin dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR

Uji kepekaan OAT lini 2 dilakukan bila terdapat riwayat pemakaian OAT lini ke 2 atau
pada pasien MDR yang dalam masa pengobatan tidak tejadi konversi atau perburukan
secara klinis.

Penatalaksanaan TB-MDR3:
Kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB resisten obat:

Kelompok 1: OAT lini 1. Isoniazid, rifampisin, etembutol, pirazinamid, rifabutin

Kelompok 2: obat suntik. Kanamisin. Amikasin. Kapreomisin. Streptomisin

Kelompok 3: Fluorokuinolon moksifloksasin. Levofloksasin. Ofloksasin

Kelompok 4 : Bakteriostatik OAT lini 2. Etionamid. Protionamid, siklosrin, terzidone,


PAS.

Kelompok 5: obat yang belum diketahui efektifitasnya. Klofazimine, linezoid, amoksiklav,


tiosetazone, imipenem/cilastin, klaritromisin.

Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi
penggunaan OAT di negara tersebut. Beberapa strategi pengobatan TB-MDR1:

Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang
representative digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil
uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang
sama.

Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan


TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representative.

Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB


sebelumnya dan hasil uji kepekaan.

Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah :


6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Z: pirazinamid, E:Etambutol, Kn: kanamisin, Lfx: levofloksasin, Eto: etionamid, Cs: sikloserin
Lama Fase Intensif

38

Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan adalah berdasarkan
kultur konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4
bulansetelah hasil sputum atau kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan
individual termasuk, hasil kultur, sputum, foto toraks, dan klinis pasien yang dapat
membantu memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik.1
Lama pengobatan
Lamanya pengobatan berdasarkan kultur konversi. Panduan yang direkomendasikan
adalah meneruskan pengobatan minimal 18 bulan srtelah kultur konversi.1

12. Prognosis
Prognosis pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan1:

50% meninggal

25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi

25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan kedua.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.h.3-37, 71-95.
2. Rusnoto, Pasihan Rahmatullah, Ari Udiono. 2006. Studi kasus di Balai Pencegahan Dan
Pengobatan Penyakit Paru Pati: Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb
Paru Pada Usia Dewasa. Semarang: Fakultas Kedokteran UNDIP Bagian Penyakit
Dalam.
3. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika.2011.
4. Zulkifli Amin, Asril Bahar. Tuberkulosis Paru. Dalam :Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi
I, dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid II. Jakarta ;2006
5. Price SA, Standridge MP. Tuberkulosis paru. Dalam: Hartanto H, Susi N, Wulansari P,
Mahanani DA, editor. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Volume ke 2,
edisi ke 22. Jakarta: EGC; 2005.h.852-61.
6. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC). The Hague, 2009.

39

7. Iseman MD. Mycobacterial disease of the lungs. In: Hanley EM, Wrish CH, editors.
Current diagnosis & treatment in pulmonary medicine. Colorado: Mc-Graw Hills;
2003.p.315-7.
8. Shama SK, Mohan A. Extrapulmonary tuberculosis. Indian J Med Res; 2004;120: 316353.
9. Standar internasional penanganan tuberkulosis. Edisi ke 2. Jakarta: perhimpunan paru
Indonesia; 2009.h.13-5.
10. Yusuf Zubaedi. Tuberkulostatik dan leprostatik. Dalam: Ganiswarna SG, Setiabudy R,
Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 5.
Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.p.597610.

40

Anda mungkin juga menyukai