Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

CHF e.c HHD

Pembimbing:
dr. Rendi Asmara, Sp. JP

Disusun oleh:
Aras Nurbarich Agustin

G4A013063

M. Taufiqurrahman

G4A013073

Bagus Sanjaya

G4A013074

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2014LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


CHF e.c HHD

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh :

Aras Nurbarich Agustin

G4A013063

M. Taufiqurrahman

G4A013073

Bagus Sanjaya

G4A013074

Pada tanggal, Mei 2014


Mengetahui
Pembimbing,

dr. Rendi Asmara., Sp.JP

BAB I
PENDAHULUAN

Masalah kesehatan dengan gangguan system kardiovaskuler termasuk


didalammya Congestive heart Failure (CHF) masih menduduki peringkat yang
tinggi, menurut data WHO dilaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika
menderita CHF. American Heart Association (AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2
juta penduduk Amerika menderita gagal jantung, asuransi kesehatan Medicare
USA paling banyak mengeluarkan biaya untuk diagnosis dan pengobatan gagal
jantung dan diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung setiap
tahunnya di seluruh dunia.
Walaupun angka yang pasti belum ada untuk seluruh Indonesia, tetapi
dengan bertambah majunya fasilitas kesehatan dan pengobatan dapat diperkirakan
jumlah penderita gagal jantung akan bertambah setiap tahunnya.
Saat ini CHF merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskuler yang terus
meningkat insiden dan prevalensinya. Risiko kematian akibat gagal jantung
berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal jantung ringan yang akan meningkat
menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Selain itu, CHF merupakan penyakit
yang paling sering memerlukan pengobatan ulang di rumah sakit, meskipun
pengobatan rawat jalan telah diberikan secara optimal. Dari hasil pencatatan dan
pelaporan rumah sakit (SIRS, Sistem Informasi Rumah Sakit) menunjukkan Case
Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada gagal jantung yaitu sebesar 13,42%.
Seperti halnya penyakit kardiovaskuler yang lain, CHF tidak lepas dari
gaya hidup yang kurang sehat yang bayak dilakukan seiring berubahnya pola
hidup, seperti konsumsi lemak tinggi, kurang aktivitas, merokok, dan konsumsi
alkohol. Hasil survei di Amerika menemukan bahwa hampir 40% kebutuhan
kalori mereka berasal dari lemak. Kondisi ini sangat beresiko terhadap kejadian
penyakit jantung. Terutama bila konsumsi lemak ini tidak diiringi dengan
konsumsi serat dari buah-buahan dan sayuran yang cukup. Selain itu, beberapa
studi menemukan bahwa alkohol dapat mengurangi risiko penyakit jantung dan
juga dapat meningkatkan molekul tertentu yang dapat meningkatkan penyakit
jantung. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal

jantung akut maupun gagal jantung aritmia. Alkohol ditemukan menyebabkan


gagal jantung pada 2-3% dari kasus.
Penyebab CHF secara pasti belum diketahui, meskipun demikian secara
umum dikenal berbagai faktor yang berperan penting terhadap timbulnya Gagal
Jantung. Kajian epidemiologi menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang
mendahului dan menyertai gagal jantung. Berdasarkan penelitian epidemiologis
prospektif, misalnya penelitian Framingham memberikan gambaran yang jelas
tentang gagal jantung. Pada studinya disebutkan bahwa kejadian gagal jantung per
tahun pada orang berusia lebih dari 45 tahun adalah 7,2 kasus setiap 1000 orang
laki-laki dan 4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan, dan ditemukan mortalitas
pada gagal jantung selama lima tahun sebesar 62% pada laki-laki dan 42% pada
perempuan. Faktor risiko jantung koroner seperti diabetes dan merokok juga
merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung.
Selain itu faktor kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai
faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.

BAB II
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat

:
:
:
:

Ny. S
45 tahun
Perempuan
Wangon RT 03/13

Pekerjaan
Agama
Tgl. Masuk RS

:
:
:

Ibu rumah tangga


Islam
17 April 2014

Tgl Periksa

22 April 2014

Ruang

Mawar

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamnesis)


1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan utama

: Sesak nafas

b. Onset

: 1 tahun yang lalu

c. Kuantitas

: Terus menerus sepanjang hari

d. Kualitas

: Sangat sesak

e. Progresivitas

: Semakin lama semakin sesak, tidak membaik

f. Faktor memperingan : dalam posisi duduk atau setengah duduk


g. Faktor memperberat : jika beraktivitas
h. Keluhan penyerta : sangat mudah lelah, lemas, pusing, sering
berkeringat, nyeri dada kiri tidak menjalar, nyeri ulu hati.
Pasien datang ke IGD RSMS karena sesak nafas yang sudah
berlangsung selama 1 tahun terakhir. Sesak nafas yang dirasakan terus
menerus sepanjang hari, tidak kunjung membaik dan puncak sesak
yang dirasakan saat 1 hari sebelum masuk IGD RSMS. Pasien merasa
semakin sesak terutama jika beraktivitas sehari-hari seperti mengepel
lantai dan sedikit berkurang sesaknya jika dalam posisi duduk.
Pasien

mengeluhkan

sesaknya

sudah

sejak

tahun

belakangan sehingga menghambat aktivitasnya. Pasien menjadi


mudah lelah, sering mengeluarkan keringat berlebih, dan tidak bisa
tidur. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri dada di sebelah kiri
yang tidak menjalar dan nyeri ulu hati.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama

: diakui

b. Riwayat hipertensi

: diakui

c. Riwayat DM

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

: diakui

e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal

g. Riwayat asma

: disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan yang sama

: disangkal

b. Riwayat hipertensi

: disangkal

c. Riwayat DM

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal

4. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Satu tahun terakhr ini pasien
merasa aktivitasnya terganggu karena mudah lelah dan sesak. Suami
pasien adalah seorang buruh. Semua kebutuhan keluarga terasa
tercukupkan dari penghasilan keduanya. Pasien merupakan pasien
BPJS non PBI.
b. Keluarga
Pasien tinggal di rumah bersama suami dan kedua orang anaknya yang
semua anaknya berjenis kelamin laki-laki. Hubungan keluarga bisa
dikatakan harmonis.
c. Diet
Pasien makan 3 kali sehari dengan jumlah dan komposisi sayur dan
lauk cukup. Pasien jarang makan makanan yang pedas dan asam.
Pasien senang mengkonsumsi mendoan dan makanan yang asin serta
gurih.
d. Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol
e. Drugs
Pasien rutin mengkonsumsi obat hipertensi.
III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

Tampak sesak, sedang

Kesadaran
Vital Sign

:
:

Tinggi Badan
Berat Badan

:
:

Compos mentis, GCS E4M6V5


TD : 160/110 mmhg
N : 100 x/menit
RR : 26 x/menit
S : 36,3O C
155 cm
48 kg

IMT

20,8 (Normal)

Status Generalis
1.
2.

3.
4.
5.

Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala
Rambut
Pemeriksaan Mata
Palpebra
Konjunctiva
Sklera
Pupil
Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan Mulut

:
:

Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)


Warna hitam, distribusi merata

:
:
:
:
:
:
:

Edema (-/-), ptosis (-/-)


Anemis (-/-)
Ikterik (-/-)
Reflek cahaya (+/+), isokor 3 mm
Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), rinore (-/-)
Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir kering (-),
Lidah kotor (-), tremor (-),ikterik (-)

6.

Pemeriksaan Leher
Trakea
Kelenjar Tiroid
Kel. Limfonodi
JVP

7.

:
:
:
:

Deviasi trakea (-)


Tidak membesar
Tidak membesar, nyeri tekan (-)
Meningkat (5+3 cmH2O)
Pemeriksaan Dada

Paru-paru
Inspeksi

Hemithorax dextra = sinistra

Ketinggalan gerak (-)


8. Pemeriksaan Abdomen
Jantung : Vocal fremitus apex dextra = sinistra
Palpasi Inspeksi
: Datar
Auskultasi
: fremitus
Bising
usus
normal
Inspeksi
: Ictus
cordis
tampak
Vocal
basal(+)
dextra
= sinistradi SIC VI 2 jari lateral
Perkusi
: Pekak sisi (-), pekak alih (-)
LMCS,
P.Parasternal
P.Epigastrium
(-)kiri atas
Perkusi Palpasi :
Sinistra
: Dextra
Undulasi
(-), Nyeri
tekan (-)(-),
kuadran
kanan dan
HeparPalpasi : Dalam
batas cordis
normal teraba di SIC VI 2 jari lateral
: Ictus
Lien
: Dalam batas normal
9 Pemeriksaan Ekstremitas LMCS, kuat angkat (-)
Superior
(-/-), sianosis (-/-), edem (-/-)
Perkusi : Akral
: dingin
Batas jantung
Inferior
: Akral dingin (-/-), sianosis (-/-), edem (-/-)
Kanan atas
SIC II LPSD
Auskultasi
: Apex : SD vesikuler
+/+
Kanan bawah
SIC IV LPSD
Basal : SD vesikuler
+/+ (menurun)
Rbh basal +/+Kiri
; Rbk
-/- ; IIwh.
parahiler -/atasparahilerSIC
LPSS
Kiri bawah
Auskultasi

SIC VI 2 jari lateral LMCS

S1 > S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)


A1 < A2 ; P1 < P2 ; T1 > T2 ; M1 > M2

IV.

10. Pemeriksaan Limphonodi

: Tidak teraba

11. Pemeriksaan turgor kulit

: < 1 detik

12. Pemeriksaan Akral

: Hangat

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 18 April 2014
Pemeriksaan
Haemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
KIMIA KLINIK
SGOT
SGPT
Ureum darah
Kreatinin darah
Glukosa sewaktu
Natrium
Kalium
Klorida
Kalsium

Hasil
11,6 (L)
11380 (H)
34 (L)
4,0 juta (L)
394000
84,5
28,9
34,2
12,7
10,5
0,4
0,3 (L)
0,4 (L)
69,1
22,2 (L)
7,6 (H)
32
25 (L)
36,0
1,54 (H)
330 (H)
132 (H)
4,0
98
8,5

Pemeriksaan Laboratorium 19 April 2014


Pemeriksaan
Glukosa puasa
Glukosa 2 jam pp
HBA1C

Hasil
304 mg/dL (H)
402 mg/dL (H)
13,9 (H)

Pemeriksaan EKG 17 April 2014

Interpretasi EKG:
Sinus takikardi
HR 115 bpm
Normo axis
P wave normal
Interval PR 0,12
QRS complex normal
ST depresi di lead II dan V6
Aritmia (-)

Pemeriksaan EKG 21 April 2014

Interpretasi EKG:
Sinus takikardi
HR 107 bpm
Normo axis
P wave normal
Interval PR 0,16
QRS complex normal
ST T changes (-)
Aritmia (-)
V. DIAGNOSIS KERJA
CHF e.c HHD NYHA II
Edema paru akut
DM tipe 2
VI.

TERAPI
O2 4 lpm nk
IVFD RL 20 tpm
Inj furosemid 2x1 amp
PO ISDN 3x5 mg
PO aspilet 1x1 tab
PO amlodipin 1x10 mg

PO Captopril 3x12,5 mg
PO digoxin 1x1/2 tab
PO aspar K 2x1 tab
PO HCT 1x25 mg
PO gliquidon 1-0-0
PO Lansoprazole 1x1 tab

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah sindrom
klinis akibat penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta
retensi natrium dan air yang abnormal, yang sering menyebabkan edema.
Kongesti ini dapat terjadi dalam paru atau sirkulasi perifer atau keduanya,
bergantung pada apakah gagal jantungnya pada sisi kanan atau menyeluruh.1
Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya
ada jika disertai dengan peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal
jantung kongestif biasanya disertai dengan kergagalan pada jantung kiri dan
jantung kanan.2
B. Epidemiologi
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung
dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien
jantung.Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat
pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus
baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi
penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar
400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit
gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan.3
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan
makin meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah
kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung
masih punya harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan
mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita.3
C. Etiologi

Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit


jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan
gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal,
meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium.
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal (preload) meliputi
regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir (afterload)
meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi
sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium
dan kardiomiopati. 3
Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung, terdapat faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan
jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang mengganggu
pengisian

ventrikel

(misal,

stenosis

katup

atrioventrikularis)

dapat

menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti perikarditis konstriktif


dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui kombinasi
beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel.
Dengan demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologik
atau kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya
gagal jantung; efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh
berbagai gangguan patofisiologis. Penelitian terbaru menekankan pada
peranan TNF dalam perkembangan gagal jantung. Jantung normal tidak
menghasilkan TNF, namun jantung mengalami kegagalan menghasilkan TNF
dalam jumlah banyak. 3
Demikian juga, tidak satupun penjelasan biokimiawi yang diketahui
berperan dalam mekanisme dasar terjadinya gagal jantung. Kelainan yang
mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokardium juga tidak diketahui.
Diperkirakan penyebabnya adalah kelainan hantaran kalsium dalam
sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil. 4
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi sistemik
dan infeksi paru-paru, serta emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi
mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respons
mekanis, respons mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan

tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan
memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang
meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi
terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan.
Penanganan gagal jantung yang efektif membutuhkan pengenalan dan
penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis penyakit yang
mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal
jantung.
D. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The
New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas,
berdasarkan hubungannya dengan gejala dan

jumlah atau usaha yang

dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:


1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan
aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan
sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan
dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat. 5
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk
menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki
penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki
gejala-gejala dari gagal jantung
3. Stage C pasien memiliki penyakit jantung structural dan memiliki gejalagejala dari gagal jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi
khusus. 6

E. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem ReninAngiotensinAldosteron (sistem
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.7
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.7
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin

II

plasma

dan

aldosteron.

Angiotensin

II

merupakan

vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus

vagal

dan

merangsang

pelepasan

aldosteron.

Aldosteron

akanmenyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.


Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.6,7
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada
endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis
dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat
sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja
antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan

reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide


pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya
sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai
terapi pada penderita gagal jantung.2,6
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.2
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian.
Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin.2,6
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard,
dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel
kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,
dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel
yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi
sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

Gambar 1. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF.

F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto
toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler.
1. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik dan karakteristik forward orbackward, left or right heart
failure. Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart
Study :
a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru

3) Edema akut paru


4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea deffort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria
mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
- Pemeriksaan darah lengkap
- Kimia klinik (SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, natrium, kalium,
klorida, kolesterol total, LDL, HDL)
b. Elektrokardiogram
Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat
menunjukkan bukti MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia, namun
alam kasus noncardiogenic, EKG biasanya normal.
c. Radiologi
1) Foto thoraks
Fungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui
ukuran dan bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paruparu.

Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu

atau lebih pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan


pembesaran pada jantung. Pemeriksaan radiologi memberikan
informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya,
distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang
efusi pleura, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat
mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.
2) Computed Tomography

CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin


dan manajemen gagal jantung kongestif. 9 Multichannel CT scan
berguna dalam menggambarkan kelainan bawaan dan katup,
namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik
(MRI)

dapat

memberikan

informasi

yang

sama

tanpa

mengekspos pasien untuk radiasi pengion.9


3) Echocardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari
evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui
atau diduga. Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan
katup primer dan sekunder dapat dinilai secara akurat.
Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran berharga
dalam menentukan fungsi diastolik dan dalam menegakkan
diagnosis HF diastolik.

Dua dimensi dan Ekokardiografi

Doppler dapat digunakan untuk menentukan kinerja sistolik dan


diastolik LV(ventrikel kiri), cardiac output (fraksi ejeksi), dan
tekanan

arteri

pulmonalis

dan

pengisian

ventrikel.

Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi


penyakit katup penting secara klinis.Tingkat kepercayaan di
echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan positif palsu
dan negatif palsu yang rendah. 9
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
penalaksanaan

secara

penderita
non

dengan

farmakologis

gagal
dan

jantung

secara

meliputi

farmakologis.

Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk


mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.
1. Non Farmakalogi :
a. Anjuran umum :
1) Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan.
2) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan
seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang
masih bisa dilakukan.
3) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

b. Tindakan Umum :
1) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
2) Hentikan rokok
3) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada
yang lainnya.
4) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
5) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.
2. Farmakologi
Terapi farmakologik

terdiri

atas

panghambat

ACE,

Antagonis

Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator


lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.14,15
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan
paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik,
dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau
kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
(klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,
dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa
minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya
diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretik.

d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada


intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi
atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta
blocker.
f. Antikoagulan

dan

antiplatelet.

Aspirin

diindikasikan

untuk

pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial


dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan
pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis
dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma
ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik
atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus
dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia
klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia
atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat
digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan

kalsium

antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal


jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5
2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah
baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena
mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian
heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas.
Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium,
gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. 13
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis
dispneu, takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita
tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik
< 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan
bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang
berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas,

aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya


problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum
ventrikel pasca infark. 13
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi
dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui
penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan
perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi
duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker
sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta
produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi
jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi
jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan
pada kasus yang refrakter. 13
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum
ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti
obat

antiflamasi

nonsteroid,

sehingga

harus

dihindari

bila

memungkinkan.13
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat
juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru.
Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.13
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus)
mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk
pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak
sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian
harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan
arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi

terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya


hanya 16 24 jam. 13
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang
diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal
jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5
g/kg/menit. 13
Nesiritide

adalah

peptide

natriuretik

yang

merupakan

vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang


dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan
neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.
Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit. 13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan /
atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan
tekanan darah 85 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan
darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah
dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg. 13
Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan
curah jantung. Pada pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang
reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung
serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor
adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3
g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15

g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt. 13
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclicAMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik
jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan
enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut
dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 g/kg bolus
10 20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis enoximone
0,25 0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt. 13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung
akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90
mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30
menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.
Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt. 13
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.
Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.
Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan
untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau
nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan.
Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan
aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal
ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi. 13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon
intra

aorta,

pemasangan

pacu

jantung,

implantable

cardioverter

defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan


pada penderita gagal jantung berat atau syok

kardiogenik yang tidak

memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau

ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk


mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium
dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverterdevice bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis
yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik. 13
H. Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui.
Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi
yaitu: (2)
1. Kelas NYHA I
2. Kelas NYHA II
3. Kelas NYHA III
4. Kelas NYHA IV

: mortalitas 5 tahun 10-20%


: mortalitas 5 tahun 10-20%
: mortalitas 5 tahun 50-70%
: mortalitas 5 tahun 70-90%

BAB IV
KESIMPULAN

1. Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan


fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada
jika disertai dengan peninggian volume diastolik secara abnormal.
2. Diagnosis pada kasus ini adalah CHF e.c HHD dengan NYHA II, edema
pulmo akut, dan DM tipe II

3. Penegakkan diagnosis CHF salah satunya berdasarkan kriteria Framingham


4. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain: labarotorium darah,
EKG, radiologi (foto thorax, CT scan thorax) dan echocardiografi
5. Penatalaksanaan meliputi non farmakologis dan farmakologis
1.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV
2. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrisons principle of internal
medicine.2005; ed XVI
3. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan.Buku ajar kardiologi. jakarta : balai
penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia, 2004.hal 7 17,115
126.
4. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M.Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.hal.633-640.
5. Oemar, Hamed.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : balai penerbit fakultas
kedokteran universitas indonesia. 2004. hal. 7-12.
6. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.
Vol. Volume 2.
7. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA:
Lipincott Williams & Wilkins 2007 ; hal.167-168.
8. Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of
the adult patient sixth edition, Philadephia, USA: Lipincott Williams &
Wilkins 2009;.hal.275-287
9. Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition, Australia: Blackwell
publishing 2006;hal. 10-11.
10. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
11. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the
older patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
12. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
13. Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with

heart failure. A statement for healthcare professionals from The


Cardiovascular Nursing Councils of The American Heart Assiciation
Circulation 2000

Anda mungkin juga menyukai