BAB 1
I.
PENDAHULUAN
Allah SWT sebagai musyarri memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan
kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi
pada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka
Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi
kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan tingkat
kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya
syariat itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan
manusia sendiri.
Dalam hal ini, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni
positif (wajib), cenderung kepositif (sunnah), cenderung kenegatif (makruh) dan
negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT
memberikan hukum keharusan yang disebut dengan Azimah yakni keharusan
untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif.
[1]
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi
atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam
ini, Allah SWT memberikan hukum rukhsah yakni keringanan-keringanan tertentu
dalam kondisi tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk
melakukan azimah seimbang dengan dengan kebolehan melakukan rukhsah.[2]
Allah SWT berfirman:
: )
Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan (QS. Al
Baqarah: 286)
Bagi Asy-Syahibi, kesulitan itu dihilangkan bagi orang mukallaf karena dua
sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap
ibadah, serta benci terhadap taklif, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi
orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada
hakikatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua, karena takut
terkurangi kegiatan-kegitan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia,
baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan
dengan hak-hak orang lain itu juga termasuk ibadah pula. (Wahbah as Zuhaili,
1982:41-42)
Menurut Dr. Wahab Az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah diatas adalah
untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar
Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan
mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam
kondisi menyulitkan. (Wahbah as Zuhaili, 1982:195-196)
II.
Dari segi bahasa masyaqqah bermaksud sesuatu yang meletihkan.[3]Atau AlMasyaqqah menurut ahli bahasa (etimologis) adalah al-taabyaitu kelelahan,
kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
Dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu negeri yang tidak sampai ketempat
tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran) [4]
Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti didalam hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan oleh :
Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang
benar dan mudah (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Jadi makna kaidah tersebut secara istilah adalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga
syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.[5]
III.
DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN
QAIDAHMASYAQQAH TAJLIBU AL-TAISIR
Berikut merupakan dalil-dalil atau nas-nas syari yang berkaitan dengan Qaidah
ini antaranya ialah :
1)
Al-Quran
Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan, dan ia tidak menghendaki kamu
menanggung kesukaran.
Firman Allah s.w.t lagi :