Anda di halaman 1dari 15

QOIDAH KE-EMPAT

Al-MASYAQQAH TAJLIBU AL-TAISIR


(KESULITAN MENYEBABKAN ADANYA KEMUDAHAN)

BAB 1
I.

PENDAHULUAN

Allah SWT sebagai musyarri memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan
kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi
pada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka
Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi
kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan tingkat
kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya
syariat itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan
manusia sendiri.
Dalam hal ini, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni
positif (wajib), cenderung kepositif (sunnah), cenderung kenegatif (makruh) dan
negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT
memberikan hukum keharusan yang disebut dengan Azimah yakni keharusan
untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif.
[1]
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi
atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam
ini, Allah SWT memberikan hukum rukhsah yakni keringanan-keringanan tertentu
dalam kondisi tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk
melakukan azimah seimbang dengan dengan kebolehan melakukan rukhsah.[2]
Allah SWT berfirman:

: )
Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan (QS. Al
Baqarah: 286)
Bagi Asy-Syahibi, kesulitan itu dihilangkan bagi orang mukallaf karena dua
sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap
ibadah, serta benci terhadap taklif, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi
orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada
hakikatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua, karena takut
terkurangi kegiatan-kegitan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia,
baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan

dengan hak-hak orang lain itu juga termasuk ibadah pula. (Wahbah as Zuhaili,
1982:41-42)
Menurut Dr. Wahab Az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah diatas adalah
untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar
Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan
mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam
kondisi menyulitkan. (Wahbah as Zuhaili, 1982:195-196)
II.

DEFINISI MASYAQQAH TAJLIBU AL-TAISIR

Dari segi bahasa masyaqqah bermaksud sesuatu yang meletihkan.[3]Atau AlMasyaqqah menurut ahli bahasa (etimologis) adalah al-taabyaitu kelelahan,
kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:


Dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu negeri yang tidak sampai ketempat
tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran) [4]
Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti didalam hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan oleh :


Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang
benar dan mudah (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Jadi makna kaidah tersebut secara istilah adalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga
syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.[5]
III.
DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN
QAIDAHMASYAQQAH TAJLIBU AL-TAISIR
Berikut merupakan dalil-dalil atau nas-nas syari yang berkaitan dengan Qaidah
ini antaranya ialah :
1)

Al-Quran

Berdasarkan kepada firman Allah s.w.t :










Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan, dan ia tidak menghendaki kamu
menanggung kesukaran.
Firman Allah s.w.t lagi :








Kami tidak memberatkan seseorang dengan kewajipan melainkan sekadar


kesanggupannya. [6]
Firman Allah:

















Ya Allah Rabb kami janganlah engkau bebani kami dengan beban yang berat
sebagaimana engkau bebenkan kepada orang-orang sebelum kami.[7]

Dan Allah hendak menerima taubatmu.[8]




Allah tidak ingin menyulitkaa kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.[9]




Dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka.[10]

Kesimpulan berdasarkan kepada firman Allah s.w.t di atas ialah Allah s.w.t tidak
menginginkan kesukaran kepada umat ini, sebaliknya mereka disuruh
melaksanakan sesuatu tanggungjawab sekadar termampu atau mengikut
kemampuan seseorang itu untuk melaksanakan sesuatu perkara.

2)

Sunnah al-Nabawiyyah

Berdasarkan kepada hadis Rasulullah s.a.w :

( )) :
Ditanya Nabi s.a.w, tentang agama (cara hidup) manakah yang paling dikasihi
(disukai) oleh Allah, maka berkata Nabi s.a.w : Agama Nabi Ibrahim a.s (Islam)
yang bertolak ansur. (HR. Ahmad, Thabrani).

(( )) :
Nabi s.a.w bersabda, permudahkanlah dan jangan menyusahkan.

Hadis di atas menjelaskan bahawa syariat Islam adalah mudah dan ringan, ia
juga adalah sebahagian daripada tujuan syariat.[11]
IV.

TINGKATAN KESULITAN DALAM IBADAH

Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :


1. al-Masyaqqah al-Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat), seperti
kekhawatiran yang akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan.
Hilangnya jiwa dan /atau anggota badan mengakibatkan kita tidak bisa
melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini
membawa keringanan.
2. al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat
berat juga sangat tidak ringan). Masyaqqah semacam ini harus
dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqahyang sangat
berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat
kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan disitu. Inilah
yang penulis maksud bahwa mayaqqah itu bersifat individual.
3. al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar
waktu puasa, terasa capek waktu tawaf dan sai, terasa pening waktu
rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqahsemacam ini dapat
ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam
melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang
tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripadamasyaqqah yang ringan
ini.[12]
V.

RUKHSHOH (KERINGANAN)

Rukhshoh dalam bahasa adalah kemudahan, lunak, mudah serta meluas.


Sedangkan menurut istilah adalah Hukum Syari yang ditetapkan untuk
mempermudah dengan adanya udzur walaupun ada dalil yang mengharamkan
karena untuk mempermudahkan dan memperluas. Hukum yang terjadi untuk
menyesuaikan kemampuan beban yang menimpanya bagi dirinya, hartanya,
atau dhorurah yang lain, disebabkan karena sakit, faqir, atau sebab-sebab yang
muncul. Oleh Karena itu syariat sebagai rahmat dengan meringankan beban,
hukum ini sebagai pengganti bagi orang yang tidak mampu untuk
melakukannya.
Yang menjadi pokok itu adalah bagi orang yang sakit, safar mendapatkann
rukhshoh dalam melaksanakan kewajiban agama, seperti sholat, puasa ada
sebab yang bisa merubah kewajiban dengan adanya keringanan, Gugurnya
kewajiban sholat jumat bagi orang yang sakit, musafir, dan disyariatkan
mengqoshor shalat bagi musafir, dan diperbolehkan sholat dengan duduk, atau
meluruskan kakinya bagi siapa yang tidak mampu sholat dengan berdiri atau
duduk, dan diperbolehkan berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit dan
mengganti puasa setelah sudah mampu melaksanakannya dan sembuh.

Contoh Baiu salam (ada rukun yang hilang dadalamnya), Jualbeli yang salah
satu rukunnya hilang maka jual beli tersebut adalah bathil, akan tetapi jika untuk
kebutuhan manusia maka deperbolehkan untuk mempermudahkan.[13]
VI.

KAPAN MASYAQQOH ITU TERJADI MUDAH

Masyaqoh terjadi ketika masyaqoh itu melebihi kemampuan manusia.


Masyaqqoh yang keluar dari kebiasaan manusia maka wajib baginya untuk
mengambil rukhshoh, Karen auntuk menjaga diri. [14]
1. VII.
FAKTOR-FAKTOR YANG DIMUDAHKAN DAN SEBABSEBAB DIRINGANKAN
Asli syariat telah ditetapkan kemudahannya dan mencegah keluar dari syariat,
oleh karena itu ada rukhsokh sebagai penghalang yang menimpa manusia
secara samawy atau tidak samawy. Samawiyah adalah ketentuan dari Allah yang
tidak bisa dirubah, seperti anak kecil, orang gila, orang dungu, lupa, orang yang
tidur, orang yangpingsan, hambasahaya, orang yang sakit, kematian, haidh dan
nifas. Anak kecil belum mendapat beban sampai sia baligh, orang yang gila
sampai dia berakal, orang yang dungu lebih rendah derajatnya daripada orang
gila yang diqiyaskan seperti anak kecil. Orang yang lupa telah dimaafkan dalam
melaksanakan hak-hak Allah, yaitu udzur tanpa da deban dos. Orang yang tidur
sampai ia terbangun, orang yang pingsan sampai ia tersdarakan. Sedangkan
budak yang lemah tidak diwajibkan untuk sholat jumat serta haji. Orang yang
sakit tetap disyariatkan beribadah sesuai kemampuannya. Haidh dan nifas
dengan ketentuan masing-masing. Kematian menggugurkan kewajiban seorang
hamba untuk beribadah, bagi ahli mayit seyogyanya untuk mengurusi
jenazahnya dalam proses pemakaman, membayarkan hutangnya jika ada serta
melaksanakan wasiatnya.
Sedangkan ketentuan yang bisa dirubah adalah kebodohan dengan adanya
Syariat.
Terdapat tujuh sebab keringanan yang diberikan oleh syariat dalam ibadat, yaitu
:

Musafir : syarak memberikan keringanan seperti qasar dan jamaksolat


serta berbuka puasa.

Sakit : Misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardu
sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha
setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh,
wanita yang sedang menstruasi.

Paksaan : syariat mengharuskan seseorang yang dipaksa untuk


melafazkan perkataan kufur. Atau Misalnya boleh tayamum ketika sulit
memakai air, shalat fardu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan
dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had
sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.

Lupa : seseorang yang makan dalam keadaan terlupa semasa berpuasa,


tidak terbatal puasanya. Misalnya seseorang lupa makan dan minum pada
waktu puasa, lupa mengerjakan shalat lalu teringat dan melakukannya
diluar waktunya, lupa berbicara diwaktu shalat padahal belum melakukan
salam.

Sabda Nabi SAW:


(Diangkat pena dari penulis dosa pada ummatku ketika salah, lupa dan
terpaksa). (HR. Baihaqi dari Ibnu Umar)

Kejahilan : Kejahilan terdapat empat macam:

a)
Kejahilan yang bathil; tidak mendapatkan udzur ketika diakhirat seperti
kejahilan kafir terhadap sifat-sifat Allah dan hukum-hukum akhirat. Jahl mengikuti
hawa nafsu, jahl pemberontak, jahl berpaling dari ijtihad dari Al-Quran dan
sunah masyhurah dan ijma.
b)
Kejahilan yang tidak tahu mengunai ijtihad yang benar, maka terkena
udzur. Seperti orang yang menzinai budak dan anaknya atau istrinya dia
menyangka hal tersebut diperbolehkan.
c)
Kejahilan pada Negara yang belum berlaku hukum islam. Misalnya, minum
khomr tidak mendapatkan sanksi karena kebodohan tersebut.
d)

Kejahilan Syafii

Kepayahan : tanaman yang terkena najis binatang yang membajaknya


dimaafkan. Atau misalnya dibolehkan istinja dengan batu, kebaikan
memakai sutra bagi laki-laki yang sakit, jual beli dengan akad salam,
adanya khiar dalam jual beli dan shalat dengan najis yang sulit untuk
dihilangkan

Kekurangan: orang gila dan bayi tidak diberikan tanggungjawab oleh


syarak. Misalnya wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka
diperingankan untuk tidak mengikuti jumat, karena jumat membutuhkan
waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi jumat itu datang bulan. ( asSuyuthi, TT : 56-57).[15]

VIII.

JENIS-JENIS KERINGANAN SYARI

Menurut pendapat Syeikh Izz al-Din bin Abd al-Salam al-Syafii, jenis keringanan
atau rukhsah itu ada enam. Manakala menurut ulama mazhab Hanafi

sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Nujaym,rukhsah itu ada tujuh jenis
yaitu[16]:

a)

keringanan dengan menggugurkan kewajiban.

Contohnya :
v Tidak wajib atau gugur shalat Jumaat karena ada halangan tertentu.
v Digugurkan kewajiban sholat bagi wanota yang haidh dan nifas..
v Digugurkan kewajipan haji dan umrah disebabkan keuzuran,atau wanita yang
tidak mendapatkan mahram.

b) keringanan dengan mengurangkan bebanan.


Contohnya :
v Memendekkan atau qasar shalat zhuhur atau asar menjadi dua rakaat ketika
dalam perjalanan.

c) keringanan dengan gantian atau penukaran.


Contohnya :
v Diganti ibadah dengan ibadah, seperti mengganti wudhu dan mandi dengan
bertayamum ketika tidak air atu tidak mampu untuk mamakainya, mengganti
puasa diwaktu lain karena tidak mampu.
v Menukarkan kedudukan shalat bagi orang sakit yang tidak berdiri dengan
duduk atau baring atau isyarat.
v Menukarkan bagi orang tua yang uzur yang tidak dapat berpuasa dengan
membayar fidyah.

d) keringanan dengan mendahulukan.


Contohnya :
v Menyegerakan membayar zakat sebelum waktu atau haulnya.
v Sembahyang jama taqdim.

e) keringanan dengan mengakhirkan.

Contohnya :
v Menangguhkan puasa Ramadhan kerana musafir,wanita haidh, wanita nifas.
v Shalat dengan jama takhir.
v Menangguhkan shalat demi menyelamatkan orang mati lemas dan terbakar.

f) ( )keringanan mendapat rukhsah kerana terdesak


atau terpaksa.
Contohnya :
v Minum arak karena terlalu dahaga (haus) dan karena tidak ada air.
v Diharuskan makan bangkai kerana terdesak, jika tidak melakukannya maka
akan menyebabkan kematian.

g) keringanan mengubah atau menukar.


Contohnya :
v Menukar dan mengubah kedudukan serta cara mendirikan shalat ketika dalam
keadaan ketakutan dan menghadapi musuh.

IX.

RUKHSAH SYARIYYAH

Menurut ulama ushul fiqh, rukhsah syariyyah didefinisikan sebagai hukumhukum yang disyariatkan oleh Allah s.w.t dengan mengambil uzdur untuk
manusia. Manakala ulama dalam kalangan mazhab Syafie mentarifkannya
sebagai hukum yang menyanggahi dalil kerana keuzurannya. Ulama mazhab
Syafie membagikan rukhsahkepada lima bahagian :
a)

Rukhsah Wajib

Contohnya memakan bangkai ketika darurat, berbuka puasa kerana terlalu lapar
dan dahaga yang membawa kepada kebinasaan diri dan minum arak untuk
melunakkan makanan yang tersekat di kerongkongan ketika tiada minuman lain.
Ia wajib dilakukan bagi menjaga kelangsungan hidupnya. Hal demikian
berdasarkan firman Allah s.w.t:

-
















Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah.
Sungguh, Allah Menyukai orang-orang yang berbuat baik.[17]

b)

Rukhsah Sunnah

Contohnya seperti mengqasarkan shalat ketika perjalanan dan berbuka puasa


kerana sakit atau dalam perjalanan (musafir). Berdasarkan sabda Rasulullah
s.a.w : Ia merupakan sedekah yang disedekahkan oleh Allah kepada kamu,
maka terimalah sedekahnya.

c)

Rukhsah harus

Seperti akad jual salam, bai al-araya, akad sewaan dan sebagainya. Ia diharuska
kerana keperluan.
d)

Rukhsah khilaf al-awla

Seperti melafazkan kekufuran ketika dipaksa dalam keadaan hati tetap beriman
dan berbuka puasa ketika dalam perjalanan bagi orang yang mengalami
kesulitan atau tidak mampu menyempurnakan puasanya. Berdasarkan firman
Allah s.w.t :

Puasa yang diwajibkan itu ialah beberapa hari yang tertentu; maka sesiapa di
antara kamu yang sakit, atau dalam musafir, (bolehlah ia berbuka), kemudian
wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada hari-hari yang lain;
dan wajib atas orang-orang yang tidak terdaya berpuasa (kerana tua dan
sebagainya) membayar fidyah iaitu memberi makan orang miskin. Maka sesiapa
yang dengan sukarela memberikan (bayaran fidyah) lebih dari yang ditentukan
itu, maka itu adalah suatu kebaikan baginya; dan (walaupun demikian) berpuasa
itu lebih baik bagi kamu daripada memberi fidyah), kalau kamu
mengetahui.

e)

Rukhsah makruh

Seperti mengqasar shalat dalam perjalanan yang memakan waktu kurang dari
tiga hari tiga malam.
Namun begitu, ulama mazhab Hanafi membahagikan rukhsah kepada empat
jenis yaitu:
v Harus melakukan yang haram ketika darurat dan suatau kebutuhan, seperti
melafazkan kata-kata kufur ketika dipaksa dalam keadaan hati tetap beriman. Ini
berdasarkan kepada firman Allah s.w.t :
Sesiapa yang kufur kepada Allah sesudah ia beriman (maka baginya kemurkaan
dan azab dari Allah), kecuali orang yang dipaksa (melakukan kufur) sedang
hatinya tenang tenteram dengan iman.

Juga seperti berbuka puasa pada bulan Ramadhan, memusnahkan harta orang
lain ketika dipaksa atau sebagainya. Hukum rukhsah ini harus tetapi hanya
dalam paksaan untuk melakukan kekufuran, mereka berpendapat bahawa
beramal dengan azimah lebih utama.
v Harus meninggalkan yang wajib, seperti harus berbuka puasa pada bulan
Ramadhan kerana sakit atau musafir. Ini berdasarkan firman Allah s.w.t
v Maka bagi siapa di antara kamu yang sakit, atau dalam musafir, (bolehlah ia
berbuka), kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada
hari-hari yang lain.
v Harus melakukan akad atau urusan yang diperlukan oleh manusia walaupun
pada asalnya ia bertentangan dengan kaedah umum perundangan Islam, seperti
akad jual salam dan akad istisna(tempahan).
v Menghapuskan hukum yang menyulitkan yang disyariatkan dalam syariatsyariat terdahulu seperti bunuh diri untuk bertaubat dan mengoyakkan
bahagian yang terkena najis pada pakaian. Rukhsah ini adalah majazi sahaja
kerana pada hakikatnya hukum tersebut tidak terpakai lagi dalam syariat Nabi
Muhammad s.a.w.

Manakala bagi Imam al-Syatibi pula, rukhsah itu sendiri harus secara mutlak,
tidak ada rukhsah wajib atau sunat. Bagi beliau hukum wajib makan bangkai
ketika darurat, sebenarnya azimah yang sabit untuk menjaga kehidupan. Ini
berdasarkan firman Allah s.w.t:
Dan janganlah kamu sengaja mencampakkan diri kamu ke dalam bahaya
kebinasaan.

Firman Allah s.w.t :


Dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri.

Sebagian ulama berpendapat bahawa rukhsah hanya merangkumi perkaraperkara yang tidak dinaskan keharusannya. Tetapi jika ada nas
secara qati, rukhsah tidak berbangkit walaupun ada masyaqqah. Pendapat ini
masyhur dikalangan pengikut mazhab Hanafi.

Jika seseorang itu terus beramal mengikut hukum asal sedangkan


adamasyaqqah yang mengharuskan rukhsah, apakah hukum perbuatan itu? AlZarkashi berpendapat sah dan gugur kewajibannya jikamasyaqqah itu tidak
membawa kepada kebinasaan atau dharar yang lebih besar. Sebaliknya kalau
ditakuti akan timbul dharar yang lebih besar atau boleh membawa kepada

kemusnahan, mestilah diamalkanrukhsah. Kerana itu wajib berbuka puasa ketika


sangat lapar. Sekiranya puasa diteruskan juga ia dikira maksiat (ingkar). Menurut
Imam al-Ghazali, puasa itu mungkin tidak sah kerana ia
mengingkarirukhsah tersebut. Ia boleh disifatkan sebagai jenazah terhadap ruh
yang menjadi hak Allah s.w.t. Bagaimanapun, kata beliau ini tidak bermakna ia
satu maksiat.

X.

QOIDAH PECAHAN (FURU)

Diantara asas-asa Qoidah yang utama tersebut dapat dikeluarkan menjadi


beberapa qoidah pecahan lain yang akan disebutkan di sini sebanyak sepuluh
qaidah diantaranya ialah :

1.

Maksudnya : Apabila sesuatu itu sempit, hukumnya menjadi luas.


Contohnya seseorang yang priksa kedokter dan dia diharuskan untuk membuka
auratnya.
2.
Maksudnya : Apabila sesuatu itu longgar atau luas, hukum menjadi sempit.

Apabila sesuatu itu atau pelaksanaannya mudah ataupun longgar, maka hukum
pelaksanaannya menjadi sempit. Qoidah ini juga berkait rapat dengan kaedah
)) yang dimaksud keadaan darurat itu diharuskan menurut
kadar kemampuannya.

Yang dimakdsud dengan qaidah ini adalah , hukum itu diringankan selama ada
masyaqqah namun jika masyaqqah itu hilang, maka hukum pelaksanaannya
kembali apada asalnya. Contohnya, seseorang yang dalam keadaan lapang,
seharusnya melakukan shalat di awal waktu serta dengan menepati segala
rukun dan syaratnya yang sempurna.[18]

3.
Maksudnya : Kemudaratan-kemudaratan itu membolehkan untuk melakukan
sesuatu yang terlarang.

Qaidah ini bermaksud keadaan kemudaratan itu membolehkan dan


mengharuskan perkara yang dicegah atau dilarang. Qaidah ini dapat dikaitkan
dengan kaedah :
)) yaitu yang dilarang syariat itu diperbolehkan
ketika adanya darurat. Namun dengan begitu, pengharusan waktu darurat itu
menurut kadar kemampuannya atau tidak melebihi kadar yang diharuskan.
Contohnya, harus memakan bangkai atau benda haram ketika sangat lapar
untuk menyelamatkan diri daripada mati kelaparan.
Pengecualian daripada Qoidah (kes pengecualian).
Berikut merupakan hukum yang pengecualian dari qaidah di atas, ia tidak
diharuskan sama sekali melakukannya walaupun terpaksa dan dipaksa,
antaranya ialah :

Kekufuran atau kufur. Seseorang tidak boleh sama sekali murtad atau
kufur kepada Allah walaupun dia disiksa dan akan dibunuh. Namun begitu
dia boleh hanya menzahirkan kekufuran dan hatinya tetap beriman yaitu
konsep taqiyyah. Walau bagaimanapun, menzahirkan keimanan itu lebih
utama demi menyatakan kekuatan Islam.

Membunuh. Seseorang yang disiksa atau dipaksa membunuh orang lain,


ia tidak boleh melakukannya atau melaksanakan arahan tersebut.

Berzina. Jika seseorang itu dipaksa berzina ia tidak boleh melakukannya.

Yang berubah adalah hukum perbuatannya akan tetapi hukumnya tetap harom.

4.
Maksudnya : Keadaan darurat ditentukan sesuai dengan kadarnya.
Keadaan darurat yang diharuskan atau dibolehkan disebabkan ada kemudaratan.
Kadar kemudaratan tersebut hendaklah tidak berlebihan dan melampai batas.
Hukum tersebut hanyalah sekadar untuk menghilangkan kemudaratan yang
sedang menimpa, apabila kemudaratan itu hilang, maka pengharusan terhadap
apa yang didasarkan kepada kemudaratan itu hilang juga, yaitu kembali hukum
asal.
Contohnya, memakan bangkai hanyalah diharuskan untuk menyelamatkan diri
dari kelaparan dan menyebabkan kematian. Apabila sudah bertenaga , batasan
yang diharuskan itu berakhir. Dokter diharuskan melihat aurat pasien lelaki dan
wanita untuk merawat, namun pada anggota atau bahagian sakit sahaja, tidak
lebih dari itu.
5.
Maksudnya : Sesuatu yang diperbolehkan kerana uzdur, batal dengan sebab
hilangnya uzdur tersebut.

Sesuatu yang dihalalkan dan diharuskan ketika ada uzdur itu akan kembali
kepada hukum asal apabila hilangnya uzdur tersebut.
Contohnya, tayammun menjadi batal dengan sebab didapati atau adanya air
sebelum mendirikan shalat. Pada bulan Ramadhan seseorang jatuh sakit,
diharuskan berbuka puasa kerana keuzurannya itu. Namun setelah dia sembuh,
maka dia wajib berpuasa.

6.
Maksudnya : Keperluan atau hajat menempati pada kedudukan darurat secara
umum atau khusus.
Maksud qaidah ini, keringanan itu tidak hanya terbatas untuk perkara darurat
saja, namun ia juga terdapat pada perkara hajiyyat atau keperluan. Dengan arti
kata lain, keringanan itu dibolehkan pada perkara hajiyyat sebagaimana ia
dibolehkan pada perkara darurat. Contohnya, seseorang lelaki diharuskan
memakai pakaian sutera disebabkan ada penyakit kulit dan lainnya, namun
dalam keadaan biasa diharamkan. Selain itu, diharuskan melihat calon isteri
untuk tujuan perkawinan.

7.
Maksudnya : Keadaan terdesak tidak membatalkan hak orang lain.
Maksud qaidah ini adalah, keperluan di waktu terdesak tidak dapat
membatalkan hak milik orang lain sepenuhnya. Ia sama mendapatkan bahaya
disebabkan perkara samawi seperti lapar atau bukan disebabkan
perkara samawi seperti dipaksa. Contohnya, apabila tempo sewa atau upah
menyusu bayi dari ibu susu telah selesai, sedangkan bayi tersebut telah dapat
menyesuaikan diri dengan susunya, tambahan pula, bayi tersebut belum dapat
makan atau menerima makanan lain, maka ibu susu tersebut boleh dipaksa
supaya terus menyusui bayi tersebut, ini adalah untuk menjaga kepentingan
bayi. Ibu susu tersebut hendaklah dibayar upah dengan kadar yang setimpal.
Selain itu, sekiranya tempo sewaan tanah pertanian telah selesai namun
tanamannya masih belum dapat dituai disebabkan belum masak. Sewaan dikira
berterusan sampai ia dapat dituai, dengan kadar tambahan sewaan sepatutnya.
Hal demikian kerana desakan dan tekanan penyewa untuk mengekalkan
tanamannya hingga masak dan dapat dituai tetap tidak membatalkan hak milik
tuan tanah.

8.
Maksudnya : Hukum itu mengikut kemaslahatan yang kukuh.

Kaedah ini banyak digunakan dalam perkara yang berkaitan dengan ibadat, jihad
dan sebagainya. Walaupun kadangkala pada zahirnya didapati ada kerugian dari
perbuatan tersebut, namun kesudahannya atau hakikatnya terdapat
kemaslahatan yang kuat dan rajih. Lantaran itulah syariat menyuruh
melaksanakan. Contohnya, keizinan berjihad dan memerangi musuh. Pada
zahirnya menyebabkan kematian dan kerosakan, namun natijahnya adalah amat
baik dan jelas. Yaitu mempertahankan diri, agama dan menyebaran agama
Islam. Hasil jihad, Islam tersebar ke pelusuk dunia.[19]

9.
Maksudnya : Hukum itu berkisar bersama illahnya atau sebabnya.
Kaedah ini bermaksud sesuatu hukum itu atau hukum yang ada itu disebabkan
ada illahnya atau sebabnya. Lantaran itu sekiranya illahitu hilang, maka tidak
berlakulah hukum tersebut. Contohnya, diharamkan arak disebabkan illahnya
yang memabukkan, apabilaillahnya hilang atau tidak ada lagi, waktu itu ia tidak
diharamkan, seperti arak tersebut telah bertukar menjadi cuka.

Selain itu, sesuatu itu apabila ia mengandungi racun, apabila ia merusakkan


maka ia diharamkan, namun apabila tidak merusakkan bahkan dapat dijadikan
obat, diharuskan. Antara contoh lain lagi, jus anggur atau nira itu apabila ia
bertukar menjadi arak hilanglah kesuciannya.
10.
Maksudnya : Kedudukan perkara yang tidak diketahui itu sama dengan
kedudukan yang tidak ada.
Kaedah ini dibawa oleh Ibn Rajib al- Hanbali dalam kitab Taqrir al-Qawaid wa
Tahrir al-Fawaid.[20] Ia bermaksud apa yang tidak diketahui
atau majhul kedudukan serta tarafnya sama dengan taraf apa yang tidak ada.
Contohnya, barang temuan atau harta yang ditemui tercicir selepas
tempo haul atau masanya, ia menjadi milik orang yang menemuinya atas dasar
asalnya tidak diketahui pemilik. Apa-apa yang tidak dapat dimiliki dari barangan
temuan pula, hendaklah disedekahkan bagi pihak pemilik, menurut pendapat
yang tepat.
Hal demikian, berdasarkan kepada sabda Baginda s.a.w dari Iyad bin Himar :
(( ))
Apabila datang pemiliknya, dialah yang lebih berhak. Sekiranya tidak, ia adalah
harta Allah yang dikurniakan kepada sesiapa yang Ia kehendaki.[21]

BAB III

XI.

PENUTUP

Kesimpulannya, prinsip kaedah masyaqqah tajlibul al-taisir banyak didasarkan


hukum-hukum Islam dan muncul segala hukum kemudahan, kesenangan dan
keringanan asas atau dalil kaedah ini bahawa meletakkan beban dengan perkara
yang susah menjadi kesukaran dan masyaqqah ke pada hambahamba mukallifin.

Dalil-dalil yang menunjukkan perkara di atas memang banyak terdapat di dalam


ayat-ayat al-Quran dan hadis Rasulullah s.a.w yang membuktikan kepada kita
unsur kemudahan, kesenangan dan keringanan syariat Islam sebaliknya syariat
itu tidak dikuatkan untuk kesusahan dan kepayahan.
WALLAHU ALAM BISH SHAWAB.

Anda mungkin juga menyukai