Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah perdarahan yang terjadi
di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Perdarahan saluran
cerna bagian atas merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan yang sering terjadi dan
membawa pasien datang untuk berobat ke dokter. Angka kejadian dan angka
kematian akibat PSCBA ini masih tinggi. Pasien datang biasanya dengan keluhan
muntah darah dan atau buang air besar hitam. Keadaan ini perlu menjadi perhatian
terutama pada penanganan pertama diruang gawat darurat. Hematemesis (muntah
darah) biasanya menunjukkan adanya perdarahan disebelah proksimal Ligamentum
Treiz, karena darah yang memasuki traktus gastrointestinal dibawah duodenum jarang
masuk kedalam lambung.1
Kasus perdarahan saluran cerna yang paling banyak ditemukan adalah
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (PSCBA). Di Amerika Serikat, diperkirakan
100/100.000 penduduk dirawat di rumah sakit karena penyakit ini. Kasus ini paling
banyak ditemui pada pria dan semakin meningkat insidennya pada orangtua ( >60
tahun ). Sebanyak 1.673 kasus PSCBA di SMF Penyakit Dalam RSU dr. Sutomo
Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises esophagus, 19,% gastritis erosif,
1,0% tukak peptic, 0,6% kanker lambung dan 2,6% karena sebab-sebab lain.
Perdarahan SCBA berdasarkan keperluan klinik dibedakan atas perdarahan varises
esophagus dan perdarahan non varises, karena terdapat perbedaan penanganan dan
prognosis diantara keduanya. Penyebab tersering timbulnya perdarahan SCBA
adalah ulkus peptikum, varises esophagus, gastritis erosif, gastropati kongestif,
sindrom Mallory-Weiss, dan keganasan. Dari penyebab perdarahan SCBA, meliputi
hampir 90% dapat ditemukan suatu lesi yang pasti.2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
PSCBA adalah perdarahan saluran cerna pada daerah proksimal dari

Ligamentum Treitz. Manifestasi kliniknya dapat berupa hematemesis. Hematemesis


adalah muntah darah segar (bekuan/gumpalan atau cairan berwarna merah cerah) atau
hematin (berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk
seperti butiran kopi).3
2.2

Etiologi
Di Indonesia, dari 1673 kasus PSCBA di SMF Penyakit Dalam RSU

dr.Sutomo Surabaya penyebabnya 76,9 % pecahnya varises esophagus, 19% gastritis


erosif, 1% tukak peptik, 0,6% kanker lambung dan 2,6% karena sebab-sebab lain.
Laporan kasus di RS Swasta yakni RS Darmo Surabaya perdarahan karena tukak
peptik 51,2%, gastritis erosif 11,7%, varises esophagus 0,9%, keganasan 9,8%,
esofagitis 5,3%, sindrom Mallory-weiss 1,4%, tidak diketahui 7%. Dinegara barat
tukak peptik berada diurutan pertama penyebab PSCBA dengan frekuensi sekitar
50%. Perdarah SCBA yang berat dapat disebabkan olek peptic ulcer 55%, varises
esophagus 14%, angioma 6%, sindrom Mallory-weiss 5%, tumor 4%, tidak diketahui
11%.3,4
2.3 Faktor Resiko
The American Society for Gastrointestinal Endoscopy (ASGE) mengelompokkan
pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas berdasarkan usia dan kaitan
antara kelompok usia dengan resiko kematian. ASGE menemukan angka mortalitas
3.3% pada pasien usia 21-31 tahun, 10.1% pada pasien berusia 41-50 tahun, dan
14.4% untuk pasien berusia 71-80 tahun .
2.4 Diagnosis
A. Gambaran klinis
2

Gejala klinis dari perdarahan SCBA diantaranya adalah hematemesis, atau


melena. Hematemesis adalah muntah darah segar. Hematemesis menunjukkan
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas yaitu proksimal dari
Ligamentum treitz. Sebagian besar hematemesis menunjukkan adanya perdarahan
pada esophagus, lambung atau duodenum. Namun ada kalanya perdarahan ginggival,
perdarahan nasofaring, perdarahan pulmoner dan bahkan perdarahan pankreatobilier
juga bermanifestasi sebagai hematemesis. Adanya riwayat seperti lemah, pusing dan
pingsan bisa diasosiasikan dengan manifestasi klinis hematemesis dan melena.
Kadang-kadang perdarahan SCBA dapat bermanifestasikan sebagai hematoskezia
(feses yang disertai darah merah segar), hematoskezia ini biasanya disebabkan oleh
perdarahan SCBA yang banyak dan langsung turun ke saluran cerna bagian bawah.
Timbulnya hematoskezia pada perdarahan SCBA dapat diidentifikasi penyebabnya
dengan pemeriksaan esophagogastroduodenoscopy.3
Pasien dengan perdarahan SCBA umumnya memiliki riwayat seperti
dyspepsia, cepat merasa kenyang, konsumsi obat-obat anti inflamasi, munta-muntah
berlebihan, konsumsi alkohol dan riwayat penyakit hati. Adanya riwayat dyspepsia
(terutama gejala dyspepsia pada malam hari) memperberat dugaan ulkus peptikum.
Adanya riwayat muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah lebih kearah
robekan Mallory-weisss. Konsumsi obat-obat anti inflamasi seperti aspirin atau
ibuprofen mengarah dugaan kegastritis (30-40%). Erosi lambung sering terjadi pada
pasien yang mengalami trauma berat, pembedahan dan penyakit sistemik yang berat,
khususnya pada pasien luka bakar dan pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial. Penyakit ulkus peptikum (30-40%) atau kadang-kadang varises.
Penurunan berat badan mengarahkan dugaan ke keganasan. Perdarahan yang berat
disertai adanya bekuan dan pengobatan syok refrakter meningkatkan kemungkinan
varises. Adanya riwayat pembedahan Aorta Abdominalis sebelumnya meningkatkan
kemungkinan fistula aortoenterik. Pada pasien usia muda dengan riwayat SCBA
singkat berulang (sering disertai kolaps hemodinamik) dan endoskopi yang normal
harus dipertimbangkan lesi Dieulafoy (adanya arteri submukosa, biasanya dekat
kardia, yang dapat menyebabkan perdarahan SCBA. Perdarahan varises secara khas
3

terjadi mendadak dan massif. Kehilangan darah gastrointestinal yang kronik jarang
ditemukan. Perdarahan dari varises esofagus atau lambung biasanya disebabkan oleh
hipertensi portal yang terjadi sekunder akibat sirosis hepatis. Suatu meta analisis
melaporkan insidensi dari perdarahan SCBA yang akut memiliki manifestasi klinis
sebagai berikut:3,4,5
Hematemesis 40-50%
Melena 70-80%
Hematoskezia 15-20%
Hematoskezia atau melena 90-98%
Sinkop 14,4%
Presinkop 43,2%
Dyspepsia 18%
Nyeri epigastrium 41%
Rasa terbakar didada 21%
Nyeri seluruh perut 10%
Nyeri menelan 5%
Penurunan berat badan 12%
Ikterik 5,2%
B.

Pemeriksaan Awal
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah menentukan

beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaan


meliputi :4
Tekanan darah dan nadi posisi baring
Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
Ada tidaknya vasokontriksi perifer (akral dingin)
Kelayakan nafas
Tingkat kesadaran
Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda-tanda sebagai
berikut:
Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi
>100/menit
Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHg
4

Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit


Akral dingin
Kesadaran menurun
Anuria atau oliguria (produksi urin < 30ml/jam)
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi

hemodinamik tidak stabil adalah bila ditemukan :

c.

Hematemesis
Hematoskezia
Darah segar pada pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih
Hipotensi persisten
Dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000 ml
Pemeriksaan Lanjutan
Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilitas hemodinamik lengkapi

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan.


Dalam anamnesis yang perlu ditekankan :1,3,4
Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
Riwayat perdarahan sebelumnya
Riwayat perdarahan dalam keluarga
Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain
Penggunaan obat-obatan terutama anti inflamasi non steroid dan antikoagulan
Kebiasaan minum alkohol
Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam
tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi, alergi obat-obatan
Riwayat transfusi sebelumnya
Pemeriksaan fisik yang diperlukan :
- Stigmata penyakit hati kronik
- Suhu badan dan perdarahan ditempat lain
- Tanda-tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan
saluran cerna, misalnya pigmentasi mukokutaneus pasa sindrom Peutz-Jegher
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Elektro kardiogram : terutama pasien berusia >40 tahun
- BUN, kreatinin serum : pada PSCBA pemecahan darah oleh kuman usus akan
mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau
-

sedikit meningkat
Elektrolit (Na, K, Cl) : perubahan elektrolit bisa terjadi karena perdarahan,
transfusi, atau kumbah lambung
5

Pemeriksaan lainnya tergantung macam kasus yang dihadapi

2.5 Penatalaksanaan
1. Non endoskopi
- Kumbah lambung. Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan
memperbaiki proses hemostatik. Kumbah lambung diperlukan untuk
-

persiapan pemeriksaan endoskopi.


Pemberian vitamin K.
Vasopressin. PSCBA dapat dihentikan melalui efek vasokontriksi pembuluh
darah splanknik yang menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta
menurun. Pemberian vasopressin dengan cara mengencerkan sediaan
vasopressin 50 unit dalam 100 mL dekstrose 5% diberikan 0,5-1 mg/menit/iv
selama 20-60 menit dan dapat diulang setiap 3-6 jam ; setelah pemberian
pertama

dilanjutkan

perinfus

0,1-0,5

U/menit.

Vasopressin

dapat

menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak


sehingga pemberiannya disarankan dengan preparat nitrat, misalnya dengan
nitrogliserin IV dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian dititrasi sampai
-

maksimal 400 mcg/menit


Somatostatin dan analognya diketahui dapat menurunkan aliran darah
splanknik. Somatostatin dapat menghentikan pendarahan akut varises
esophagus pada 70-80% kasus dan dapat digunakan untuk perdarahan non
varises. Dosis awal bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan periinfus 250 mcg/jam

selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.


Proton pump inhibitor. Golongan obat ini diketahui bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang SCBA. Diawali dengan bolus omeprazol 80
mg/iv kemudian dilanjutkan periinfus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam. Dari
hasil penelitian didapatkan perdarahan ulang pada kelompok placebo 20%

sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4,2 %


Pemberian antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2. Pemberian obatobatan ini masih diperbolehkan dengan tujuan penyembuhan lesi mukosa

penyebab perdarahan.
2. Endoskopi terapeutik
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan yang masih aktif atau dengan
pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi :
6

Kontak termal (bipolar elektrokoagulasi)


Non kontak termal (laser)
Non termal (suntikan adrenalin, alkohol, atau pemakaian klip)

Sedangkan kontraindikasi dari terapi endoskopi adalah sebagai berikut


Kontraindikasi absolut :
-

Pasien tidak kooperatif


Oklusi koroner akut
Gagal jantung berat
Koma
Emfisema dan penyakit paru obstruktif berat

Kontraindikasi relatif :

2.6.

Pasien gagal jantung


Penyakit infeksi akut
Toksemia pada kehamilan terutama bila disertai dengan hipotensi berat

atau kejang-kejang
Gangguan kesadaran
Tumor mediastinum

Sirosis Hepatis

2.6.1. Defenisi
Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh
darah besar dan seluruh sistem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak
teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang
mengalami regenerasi.6
2.6.2

Etiologi
Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas

penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hati kronis yang disebabkan
oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan
minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain dari penyakit hati kronis
diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis), penyakit autoimun yang
menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit hati bawaan, penyakit metabolik
seperti Wilsons disease, kondisi inflamasi kronis (sarcoidosis), efek toksisitas obat
7

(methotrexate dan hipervitaminosis A), dan kelainan vaskular, baik yang didapat
ataupun bawaan.6,7

2.6.3. Manifestasi Klinis


Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap
kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga sering
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala-gejala
awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang,
perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, Pada laki-laki dapat timbul
impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta hilangnya dorongan seksualitas.
Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi sirosis dekompensata) gejala-gejala
akan menjadi lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan
hipertensi porta, meliputi kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang
tidak begitu tinggi. Selain itu, dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah,
perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna
seperti teh pekat, hematemesis, melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa,
sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
Akibat dari sirosis hati, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental yaitu
kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan tanda-tanda
klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa berat kelainan
fundamental tersebut. 6,8

Gejala Kegagalan Fungsi Hati Gejala Hipertensi Porta6


Kegagalan fungsi Hati
Ikterus

Hipertensi Porta
Spider naevi

Ginekomastia

Ascites

Hipoalbumin

Varises esophagus

Kerontokan bulu ketiak

Splenomegali

Eritema Palmaris

Pelebaran vena collateral

Edema

Caput medusa
hemoroid

2.6.4

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium dapat diperiksa tes fungsi hati yang meliputi

aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin,


dan waktu protombin. Nilai aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil
oksaloasetat transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum
glutamil piruvat transaminase (SGPT) dapat menunjukan peningkatan. AST biasanya
lebih meningkat dibandingkan dengan ALT, namun bila nilai transaminase normal
tetap tidak menyingkirkan kecurigaan adanya sirosis. Alkali fosfatase mengalami 10
peningkatan kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi
bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
Gammaglutamil transpeptidase (GGT) juga mengalami peningkatan, dengan
konsentrasi yang tinggi ditemukan pada penyakit hati alkoholik kronik.4
Konsentrasi bilirubin dapat normal pada sirosis hati kompensata, tetapi bisa
meningkat pada sirosis hati yang lanjut. Konsentrasi albumin, yang sintesisnya terjadi
di jaringan parenkim hati, akan mengalami penurunan sesuai dengan derajat
perburukan sirosis. Sementara itu, konsentrasi globulin akan cenderung meningkat

yang merupakan akibat sekunder dari pintasan antigen bakteri dari sistem porta ke
jaringan limfoid yang selanjutnya akan menginduksi produksi imunoglobulin.
Pemeriksaan waktu protrombin akan memanjang karena penurunan produksi faktor
pembekuan pada hati yang berkorelasi dengan derajat kerusakan jaringan hati.
Konsentrasi natrium serum akan menurun terutama pada sirosis dengan ascites,
dimana hal ini dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.6.8,9
Pada pemeriksaan hematologi juga biasanya akan ditemukan kelainan seperti
anemia, dengan berbagai macam penyebab, dan gambaran apusan darah yang
bervariasi, baik anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer, maupun
hipokrom makrositer. Selain anemia biasanya akan ditemukan pula trombositopenia,
leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali kongestif yang berkaitan dengan
adanya hipertensi porta. 6.8.9
2.6.5

Diagnosis
Pada stadium kompensasi sempurna sulit menegakkan diagnosis sirosis hati.

Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis
dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan
pemeriksaan penunjang lain. Penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas anamnesis
yang cermat, pemeriksaan fisis,laboratorium,dan USG. Pada kasus tertentu
diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan
hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini. Diagnosis pasti sirosis hati
ditegakkan dengan biopsi hati. Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala
tidak sulit ditegakkan karena gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan
adanya komplikasi.6

2.6.6

Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati,

akibat kegagalan dari fungsi hati dan hipertensi porta, diantaranya:10


1. Varises Esophagus

10

Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi


porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat diagnosis sirosis
dibuat. Varises ini memiliki kemungkinan pecah dalam 1 tahun pertama sebesar 515% dengan angka kematian dalam 6 minggu sebesar 15-20% untuk setiap
episodenya.
2. Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang
bersifat reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah
mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan darikelainan ini
terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke
derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.
3. Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang dapat
diamati pada pasien yang mengalami sirosis dengan komplikasi ascites. Sindrom ini
diakibatkan oleh vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil sehingga
menyebabkan menurunnya perfusi ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnosa sindrom hepatorenal ditegakkan ketika
ditemukan cretinine clearance kurang dari 40 ml/menit atau saat serum creatinine
lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500 mL/d, dan sodium urin kurang dari
10 mEq/L.
4. Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal. Pada
kasus ini, pasien mengalami komplikasi berupa perdarahan pada saluran cerna akibat
pecahnya varises esophagus dan gastropati hipertensi porta yang dibuktikan melalui
pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi.
2.6.7. Penatalaksanaan
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
11

a. Istirahat yang cukup


b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang, misalnya : cukup kalori, protein
1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi,
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti:
Varises esophagus
Asites
Hepatorenal syndrome
Ensefalophaty hepatik
1. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan resusitasi sampai keadaan pasien
stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :

Pasien diistirahatkan dan dipuasakan


Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
Pemasangan NasoGastric Tube, hal ini mempunyai banyak

sekali

kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, pemberian obat-obatan,

evaluasi darah
Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K,

Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin.


Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan
perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan skleroterapi /
Ligasi atau Oesophageal Transection.
2.

Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :

Istirahat
Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet
rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka
penderita harus dirawat.

Diuretik : pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya
12

kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat


pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan
encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan
dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4
hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat

kita kombinasikan dengan furosemid.


Terapi lain : Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan
konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis.
Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan
catatan harus dilakukan infuse albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites yang
dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien.
Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs C, Protrombin < 40%, serum
bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan

natrium urin < 10 mmol/24 jam.


3. Hepatorenal Sindrome
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian diuretik yang berlebihan,
pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan
infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi
cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang
Nefrotoxic. Diuretik dengan dosis yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat
mencetuskan perdarahan dan shock. Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang
diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal.
4. Ensefalopati Hepatik
Pada umumnya ensefalopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya factor
pencetus, antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang
Hepatotoxic.
Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :

Mengenali dan mengobati faktor pencetus


intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-toxin

yang berasal dari usus dengan jalan : Diet rendah protein, Pemberian antibiotik
(neomisin), Pemberian lactulose/ lactikol
13

Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter : Secara langsung


(Bromocriptin,Flumazemil) dan tak langsung (Pemberian AARS)

14

Anda mungkin juga menyukai