Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

Kanker prostat merupakan penyakit keganasan ke-5 terbanyak untuk seluruh


keganasan dan ke-2 terbanyak pada pria, dengan insidensi di seluruh dunia 25.3 per
100.000 orang dan angka mortalitas 8,1 per 100.000 orang. 1 Lebih dari kasus
kanker prostat terjadi pada usia di atas 65 tahun, dan sangat sedikit yang terjadi pada
usia di bawah 50 tahun. Penyakit ini lebih banyak dijumpai di negara maju daripada
negara berkembang dengan perbandingan insidensi 19% vs 5,3%.2 Disamping faktor
genetik dan lingkungan, hal ini diduga erat kaitannya dengan faktor demografi
penduduk, di negara maju proporsi usia tua lebih banyak dibandingkan negara
berkembang.3
Penemuan prostate specific antigen (PSA) merupakan sebuah revolusi baru
dalam kanker prostat. PSA merupakan enzim serine protease yang dihasilkan oleh sel
epitel prostat. Kini PSA dapat digunakan untuk tujuan skrining, diagnostik, staging,
monitoring keberhasilan terapi, kekambuhan, maupun prognosis penyakit. Untuk
tujuan praktis, PSA dapat dikatakan sebagai marker yang organ-specific dan bukan
cancer-specific. PSA dapat meningkat pada benign prostatic hyperplasia (BPH),
prostatitis, maupun kondisi keganasan yang lain. Ada banyak perdebatan mengenai
nilai normal PSA. Namun nilai 0-4 ng/ml adalah yang paling banyak dipakai. 4,5
Namun demikian, terdapat beberapa pria dengan nilai PSA normal yang juga
mengalami kanker prostat.6

Hampir semua penderita kanker prostat yang bermetastasis menunjukkan nilai


PSA yang tinggi. Namun, progresivitas kanker prostat dapat juga terjadi meskipun
dengan nilai PSA yang rendah. Angka kejadian kanker prostat yang bermetastasis
dengan nilai PSA yang rendah < 1% dari keseluruhan kanker prostat yang
bermetastasis.7 Pada kasus tersebut biasanya progresivitas penyakit sangat cepat
sehingga prognosisnya menjadi lebih buruk dibandingkan kanker prostat yang
bermetastasis dengan nilai PSA yang tinggi.8
Dalam

makalah

ini

akan

dilaporkan

penderita

kanker

prostat

(adenokarsinoma) yang bermetastasis jauh di lebih dari 1 organ, namun dengan nilai
PSA normal dan Gleason score yang tidak terlalu tinggi serta usia yang relatif muda.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Prostat


2.1.1 Anatomi Prostat
Prostat normal memiliki berat sekitar 18 g, panjang 3 cm, lebar 4 cm, dan
kedalaman 2 cm. Prostat berbentuk ovoid dan menyempit pada bagian apeks di
inferior dan meluas pada bagian basal di superior yang berhubungan dengan dasar
buli. Prostat memiliki kapsul yang terdiri dari kolagen, elastin, dan otot polos. Pada
permukaan anterior dan anterolateral prostat, kapsul prostat bersatu dengan fasia
endopelvik. Pada bagian apeks, ligamentum puboprostatika memanjang ke anterior
untuk memfiksasi prostat ke tulang kemaluan. Bagian lateral prostat berbatasan
dengan levator ani dan berhubungan langsung dengan fasia endopelvik. Bagian apeks
prostat bersatu dengan sfingter uretra eksterna. Secara histologi, jaringan prostat
normal dapat meluas sampai ke otot lurik tanpa stroma fibromuskular. Pada bagian
basal, serat otot detrusor longitudinal bagian luar bersatu dengan jaringan
fibromuskular kapsul prostat (Gambar 2.1).4

Gambar 2.1 Prostat potongan transversal beserta batasannya 4


3

Jaringan prostat terbagi menjadi beberapa zona. Zona perifer merupakan


bagian terbesar (70%) yang melingkupi bagian posterior dan lateral prostat. Sekitar
70% kanker prostat terjadi pada daerah ini. Sekitar sepertiga massa prostat
merupakan stoma fibromuskular di daerah anterior. Daerah tersebut dapat digantikan
oleh jaringan kelenjar pada adenoma prostat. Namun, daerah tersebut jarang diinvasi
oleh karsinoma. Zona transisi menempati 5-10% jaringan kelenjar prostat. Zona
tersebut merupakan lokasi tersering terjadinya benign prostatic hypertrophy (BPH).
Sekitar 20% adenokarsinoma juga terjadi pada daerah tersebut. Zona sentral
menempati 25% dari jaringan kelenjar prostat dan meluas dalam bentuk kerucut di
sekitar duktus ejakulatorius hingga ke dasar buli. Sekitar 1-5% adenokarsinoma
berasal dari zona ini, meskipun bisa juga merupakan infiltrasi dari zona disekitarnya
(Gambar 2.2).4

Gambar 2.2 Pembagian zona prostat4


2.1.2 Biologi Molekuler dan Fisiologi Prostat
Proses pembentukan prostat dimulai pada minggu ke-10 kehamilan. Proses
pertumbuhan dan diferensiasi prostat tidak hanya melibatkan androgen, namun
melalui serangkaian proses yang kompleks. Hipotalamus mengeluarkan luteinizing
4

hormone-releasing hormone (LHRH), juga dikenal dengan istilah gonadotropinreleasing hormone (GnRH), yang akan menstimulasi kelenjar hipofisis untuk
menghasilkan luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH),
yang akan menstimulasi sel leydig di testis untuk menghasilkan testosteron.4
Testosteron merupakan andogen terbesar dalam serum yang memicu
pertumbuhan prostat. Konversi testosteron menjadi estrogen terjadi di perifer melalui
proses aromatisasi. Kelenjar adrenal dipengaruhi oleh adrenocorticotropic hormone
(ACTH) dan melepas sebagian kecil androgen, seperti androstenedion, yang juga
akan dikonversi di perifer menjadi estrogen. Prolaktin juga telah dibuktikan memiliki
efek dalam menstimulasi androgen untuk memicu perkembangan prostat (Gambar
2.3).4

Gambar 2.3 Aksis Hipotalamus - Hipofisis - Gonad4


Testosteron dan faktor pertumbuhan saling berinteraksi diantara stroma dan
sel epitel. Produksi faktor pertumbuhan distimulasi dan diinhibisi oleh androgen.
Faktor pertumbuhan dapat berfungsi pada sel yang sama (autokrin) atau pada sel
tetangganya (parakrin). Terdapat tiga jenis sel epitel prostat yang saling berinteraksi
5

satu sama lain, yaitu neuroendokrin, sekretorius, dan basal. Sel stroma dibagi menjadi
5, yaitu sel otot polos, fibroblast, sel imun, sel endotel, dan sel saraf. Testosteron
diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh 5-reductase pada kompartemen
stroma (Gambar 2.4).4

Gambar 2.4 Biologi molekuler interaksi sel prostat4


2.1.3 Epidemiologi
Kejadian kanker prostat sangat bervariasi di seluruh belahan dunia. Asia
dikatakan memiliki frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan Eropa maupun
Amerika. Kanker prostat cenderung terjadi pada pria yang berada di atas 50 tahun
(Gambar 2.5).3,9,10 Di eropa, 345.900 pria pada tahun 2006 diperkirakan mengidap
kanker prostat dan 87.400 diantaranya meninggal dunia.11 American Cancer Society
memperkirakan ada sekitar 218.890 kasus baru yang didiagnosis di Amerika Serikat
selama tahun 2007, dan lebih dari 27.000 meninggal dunia akibat kanker prostat.12
Insidensi kanker prostat tertinggi yang pernah dilaporkan di dunia adalah di Jamaica
dengan 304/100.000 pria.13
6

Gambar 2.5 Insidensi kanker prostat di seluruh dunia per 100.000 orang3
2.1.4 Diagnosis
Alat diagnostik utama yang digunakan untuk menegakkan diagnosis kanker
prostat adalah digital rectal examination (DRE), prostat specific antigen (PSA) dan
transrectal ultrasonography (TRUS). Diagnosis kanker prostat didasarkan pada
temuan sel kanker pada pemeriksaan histopatologi core biopsy prostat, spesimen
operasi, maupun fine needle aspiration biopsy (FNAB). Pemeriksaan histopatologi
biasanya diikuti dengan pemeriksaan grading tumor (Gambar 2.6).4,5
Akurasi DRE untuk mendeteksi kanker prostat sangat tergantung pada nilai
PSA. Jika nilai PSA 0-1 ng/mL, maka risiko seseorang untuk menderita kanker
prostat sebesar 3-5%. Jika nilai PSA 1-2,5 ng/ml risikonya akan meningkat menjadi
11-14%. Jika nilai PSA 2,5-4 ng/ml akan menjadi 22-30%, dan jika nilai PSA 4-10
ng/ml menjadi sekitar 40%. Risiko untuk menjadi kanker prostat menjadi sangat
tinggi jika PSA di atas 10 ng/ml (sekitar 70%).14

Keterangan: PSA (Prostate Specific Antigen); DRE (Digital Rectal Examination); TRUS (Transrectal Ultrasonography)

Gambar 2.6 Skema diagnosis kanker prostat15


Saat ini banyak penelitian yang dilakukan untuk menemukan marker baru
yang lebih sensitif untuk mendeteksi kanker prostat. Salah satunya adalah prostate
specific membrane antigen (PSMA). PSMA adalah protein transmembran yang hanya
ditemukan pada sel prostat, terutama pada sel kanker prostat. Penemuan tersebut
selain untuk diagnostik, dimanfaatkan juga untuk keperluan terapi. PSMA dijadikan
sebagai target antibodi untuk memberikan efek terhadap sel yang memiliki PSMA.16
Protein baru NMP48 yang memiliki sekuensi menyerupai vitamin D-binding
protein juga ditemukan pada prostatic intraepitehelial neoplasia (PIN) maupun
kanker prostat dan tidak ditemukan pada pasien BPH atau prostat normal.4,17

2.1.5 Grading dan Staging


2.1.5.1 Grading WHO
Sistem yang dipakai oleh WHO untuk grading prostat didasarkan pada
gambaran inti dan pola arsitekturnya. Dikatakan grade I bila kelenjar prostat
berdiferensiasi baik dengan gambaran inti sedikit anaplasia. Grade II bila ditemukan
formasi kelenjar namun inti menunjukkan gambaran anaplasia yang moderat. Grade
III adalah jaringan dengan inti anaplasia yang sangat jelas atau tumor yang tidak
berdiferensiasi (tidak membentuk kelenjar).18
2.1.5.2 Grading Gleason
Sistem grading yang paling sering digunakan untuk adenokarsinoma prostat
adalah Gleason score. Jaringan biopsi (core biopsy atau spesimen operasi) diperlukan
untuk menentukan Gleason score, sedangkan preparat sitologi tidak dapat digunakan
untuk keperluan tersebut. Grading Gleason didasarkan pada derajat kerusakan
arsitektur kelenjar normal (seperti bentuk, ukuran, dan diferensiasi jaringan).
Penjumlahan grading Gleason primer dan sekunder disebut sebagai Gleason score.
Rentang Gleason score dimulai dari 2 (paling tidak agresif) sampai dengan 10 (paling
agresif) (Gambar 2.7). Gleason score 2-4 disebut low, 5-7 moderate, dan 8-10 high
grade.9,19
Sejak tahun 2005, hal ini sudah dimodifikasi. Pada core biopsy, grading yang
dilaporkan adalah grading yang paling banyak ditemukan dan grading yang paling
jelek. Untuk spesimen prostatektomi, Gleason sekunder yang dilaporkan harus paling
sedikit 5% dari keseluruhan gambaran sel kanker yang ditemukan. Grading tersier
dapat ditambahkan jika lebih banyak dari grading primer dan sekunder.19
9

Gambar 2.7 Klasifikasi gradasi Gleason20


2.1.5.3 Sistem TNM
Pada sistem TNM, ditentukan ekstensi tumor primer (T), keterlibatan kelenjar
getah bening regional (N), dan metastasis jauh (M). Hal tersebut dapat diketahui dari
pemeriksaan klinis dan penunjang (Tabel 2.1). Pathological TNM (pTNM) merujuk
pada kategori yang ditentukan dari pemeriksaan patologi spesimen reseksi tumor.4

10

Tabel 2.1 Sistem staging TNM pada tahun 1992 dan 1997 untuk kanker prostat4

2.1.6 Terapi
2.1.6.1 Terapi Kuratif
a. Radikal Prostatektomi
Radikal prostatektomi adalah pengangkatan prostat, vesikula seminalis, dan
limfonodus pelvik.9 Pada kanker prostat yang masih terbatas pada prostat (belum
invasif) dengan gejala bladder outlet obstruction (BOO), radikal prostatektomi
merupakan pilihan utama.21 Saat ini prosedur tersebut dapat dilakukan melalui
retropubik, transperineum, laparoskopi tanpa atau dengan bantuan robot.22 Pada

11

pasien dengan staging klinis T1 sampai dengan T2, kemungkinan bebas dari
progresivitas penyakit adalah sebesar 75% selama 10 tahun pasca operasi.23
b. Radiasi
Radiasi prostat dapat dilakukan dengan external beam radiation therapy
(EBRT) maupun brakiterapi.4,24 Pada penelitian yang dilakukan oleh Nilsson, dkk.
dikatakan bahwa pada pasien dengan localized prostate cancer EBRT dan brakiterapi
menunjukkan angka keberhasilan yang hampir sama dengan radikal prostatektomi. 25
Pada advanced prostate cancer, radiasi dosis tinggi telah pernah dicobakan dengan
beberapa diantaranya menunjukkan keberhasilan.26
c. Survey Aktif
Konsep ini dipakai pada pasien yang kemungkinan besar tidak akan
mengalami progresifitas yang signifikan, namun terapi radikal tetap diberikan pada
pasien yang mempunyai risiko tinggi atau mengalami progresivitas. 4,27 Pasien dengan
PSA doubling time (PSA-DT) 3 tahun atau Gleason score yang memburuk pada
saat biopsi disarankan untuk intervensi radikal. Sisanya dimonitor secara ketat dengan
PSA serial dan biopsi prostat berkala pada tahun pertama, ke-4, ke-7, dan ke-10.28
2.1.6.2 Terapi Non-Kuratif
a. Watchful Waiting
Selama watchful waiting, tidak ada terapi yang diberikan, baik itu
medikamentosa, radiasi, maupun pembedahan, dengan tujuan untuk menghindari
risiko dan efek samping terapi. Watchful waiting direkomendasikan bila kanker tidak
menimbulkan gejala, progresifitasnya lambat, dan pada stadium awal. Watchful
waiting juga cocok untuk penderita lansia, kondisi umum yang sangat jelek, atau
12

kombinasi keduanya. Banyak penderita dengan kondisi tersebut yang masih dapat
menjalankan kesehariannya tanpa masalah yang berarti. Jika ada progresifitas
penyakit, androgen deprivation therapy (ADT) harus segera diberikan. ADT adalah
segala usaha yang dilakukan untuk mensupresi aktivitas androgen.4
b. Terapi Hormonal/Androgen Deprivation Therapy (ADT)
Pada tahun 1941, Huggins dan Hodges menilai efek kastrasi dengan
pembedahan dan pemberian estrogen pada progresifitas kanker prostat yang
bermetastasis. Hasilnya menunjukkan adanya respon kanker prostat terhadap ADT.
Sekresi testosterone diregulasi oleh axis hipotalamus-hipofisis-gonad. Hipotalamus
mensekresi LHRH yang akan menstimulasi kelenjar hipofisis untuk melepaskan
hormone LH dan FSH. Selanjutnya LH akan menstimulasi sel leydig testis untuk
mensekresikan testosteron. Jika sel prostat tidak distimulasi oleh androgen, maka
selnya akan mengalami apoptosis. ADT dapat dilakukan dengan menekan sekresi
androgen testis baik dengan pembedahan (orkidektomi bilateral) atau medikamentosa
(LHRH-agonis atau estrogen parenteral), atau dengan menghambat aksi androgen
yang bersirkulasi pada reseptornya di sel prostat dengan menggunakan preparat
antiandrogen baik golongan steroid maupun non-steroid.4,29,30,31 Untuk pilihan terapi
kanker prostat dapat dilihat pada (Tabel 2.2).

Tabel 2.2. Pilihan terapi kanker prostat berdasarkan klasifikasi TNM27


13

14

c. Kemoterapi
Adanya beberapa laporan tentang efek kemoterapi pada hormone-refractory
prostate cancer (HRPC) membuktikan bahwa kemoterapi masih mempunyai tempat
dalam penatalaksanaan kanker prostat. Sampai saat ini, peran kemoterapi masih
terbatas untuk terapi paliatif. Docetaxel kini dapat dipertimbangkan sebagai terapi
standar untuk HRPC.4,32,33 Selain docetaxel, penggunaan obat-obatan lain kini banyak
berkembang. Cabazitaxel merupakan turunan semisintetis dari taxoid. Obat tersebut
merupakan microtubule inhibitor, dan merupakan pilihan terapi lanjutan untuk HRPC
setelah gagal dengan terapi docetaxel.4
Abiraterone merupakan inhibitor selektif enzim cytochrome P17 yang
merupakan regulator sintesis androgen di adrenal. Penggunaan obat tersebut pada
HRPC (baik sebelum maupun setelah pemberian docetaxel) menunjukkan penurunan
PSA 50% dan juga pemanjangan masa metastasis ke tulang maupun organ viseral.
Enzalutamide merupakan antagonis androgen receptor (AR) nonsteroid yang
poten untuk kasus HRPC. Tidak seperti antiandrogen lain yang mempunyai efek
agonis AR parsial, Enzalutamide tidak menunjukkan aktivitas yang demikian dan
15

dapat mencegah translokasi inti AR dengan hasil akhir tumoricidal (bukan sitostatik).
Salah satu keuntungan enzalutamide terhadap obat lain seperti abiraterone adalah
kebutuhan kortikosteroidnya lebih kecil.
2.1.6.3 Imunoterapi
Ide ini muncul karena adanya temuan infiltrasi sel-sel inflamasi yang sangat
sedikit pada > 80% kanker prostat, terutama pada stadium lanjut. Secara teoritis,
inflamasi merupakan respon fisiologis akibat adanya infeksi, kerusakan jaringan,
faktor pertumbuhan, ataupun kemokin. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa
pada kanker prostat, sel kanker dapat menghindari sistem imun, baik dengan
memodulasi antigen tumor, mereduksi ekspresi major histocompatibility complex-1
(MHC-1) ataupun dengan menghambat aktivitas cytotoxic T-cell.
Imunoterapi dapat dilakukan melalui pemberian vaksin kanker maupun
antibodi monoklonal. Antibodi monoklonal biasanya dikonjugasikan dengan agen
kemoterapi, racun biologis, zat radioaktif, ataupun imunotoksin. Imunoterapi untuk
kanker prsotat menjadi sangat berkembang sejak adanya temuan PSMA, yang hampir
100% hanya ditemukan pada kanker prostat. Salah satu antibodi monoklonal yang
banyak digunakan adalah J591.24
2.1.6.4 Terapi Gen
Terapi ini berkembang karena adanya fenomena HRPC dan penggunaan
kemoterapi yang belum memuaskan. Terapi ini juga dapat berkembang akibat adanya
perkembangan dalam biologi sel dan molekuler, pemahaman yang lebih baik
mengenai progresifitas kanker prostat, dan perkembangan sistem prodrug. Terapi ini
memerlukan vektor untuk mentransfer gen ke target sel. Vektor tersebut dapat dibagi
16

menjadi viral vector dan non-viral vector. Hingga saat ini ada empat mekanisme yang
diharapkan untuk dapat membunuh sel kanker, yaitu:
1. Pemberian tumor-suppressor genes yang akan meningkatkan apoptosis
2. Pemberian effector genes yang dapat memicu respon imun dengan mengaktifasi
cytotoxic T-cell (CTL)
3. Suicide gene therapy yang mengubah prodrug menjadi metabolit toksik yang dapat
membunuh sel kanker
4. Oncolytic viruses yang dapat menginfeksi dan membunuh sel kanker tanpa insersi
cytotoxic transgene17
2.1.7 Prognosis
Prognosis kanker prostat tergantung pada beberapa faktor, baik yang berkaitan
dengan tumor, pasien, maupun faktor independen (luar). Ekstensi tumor, gambaran
histologi (Gleason score), dan nilai PSA adalah faktor prognosis yang terkait tumor
(Tabel 2.3). Usia, performance status, harapan hidup, penyakit komorbid, dan ras
adalah faktor prognosis yang terkait pasien. Sementara status sosial-ekonomi,
kebijakan politik, dan demografi penduduk dikatakan sebagai faktor luar
(independen) yang turut mempengaruhi prognosis penyakit.34
Tabel 2.3 Klasifikasi risiko berdasarkan faktor prognosis pada localized/locally
advanced prostate cancer34

2.2 Prostate Specific Antigen (PSA)

17

PSA adalah glikoprotein yang dihasilkan terutama oleh sel epitel kelenjar
prostat. PSA dapat meningkat pada BPH, prostatitis, maupun kondisi keganasan yang
lain. Kemampuan PSA dalam memprediksi kanker prostat lebih baik dibandingkan
dengan DRE maupun TRUS. Deteksi kanker prostat yang tidak dapat dipalpasi
tergantung pada nilai PSA dalam serum. Hingga saat ini tidak ada nilai cut-off PSA
yang dapat diterima secara universal, namun demikian nilai PSA > 4 ng/ml banyak
digunakan pada penelitian-penelitian. Adanya temuan pada beberapa pria yang
menderita kanker prostat meskipun dengan nilai PSA yang rendah banyak menarik
perhatian para ahli urologi. Untuk meningkatkan spesifisitas

nilai PSA dalam

mendeteksi kanker prostat, digunakan beberapa modifikasi seperti PSA density, PSA
velocity, PSA doubling time, age-adjusted reference ranges for PSA, dan PSA
molecular forms.4,5
2.2.1 PSA Velocity
PSA velocity adalah kecepatan perubahan nilai PSA di dalam serum. Pasien
dengan kanker prostat mengalami peningkatan PSA yang lebih tinggi dibanding
mereka yang tidak mengalami kanker prostat. Peningkatan nilai PSA minimal 0,75
ng/mL/tahun meningkatkan kecurigaan ke arah kanker prostat.5
2.2.2 PSA Density
PSA density adalah perbandingan nilai PSA terhadap volume prostat.
Beberapa peneliti menyarankan biopsi prostat baru dilakukan apabila PSA density
melebihi 0,1 atau 0,15. Untuk meningkatkan akurasi PSA density, sebagian peneliti
menyarankan untuk membandingkan nilai PSA dengan volume zona transisi (PSA
transition zone density).8
18

2.2.3 Age-Adjusted Reference Ranges for PSA


Nilai age-adjusted reference ranges for PSA dapat dilihat pada (Tabel 2.4).
Peningkatan nilai PSA pada usia tua disebabkan karena pembesaran ukuran prostat
seperti pada kasus benign prostatic hyperplasia (BPH). Penyesuaian nilai PSA
berdasarkan usia akan meningkatkan sensitivitasnya pada usia yang muda dan
spesifisitasnya pada usia yang lebih tua. Namun, harus diperhatikan bahwa nilai
tersebut berasal dari penelitian yang dilakukan pada orang Amerika berkulit putih,
dan perlu dibuat acuan untuk tiap ras.5
Tabel 2.4 Nilai PSA berdasarkan usia5

2.2.4 PSA Molecular Forms


Saat ini dikenal beberapa bentuk molekul PSA baik yang bebas maupun yang
berikatan dengan protein. Pada kanker prostat diketahui bahwa persentase free PSA
lebih sedikit daripada mereka yang mengalami BPH. Pada penelitian multi senter
dikatakan bahwa pria dengan DRE normal dan nilai PSA total 4-10 ng/ml, nilai cutoff
free PSA 25% akan mendeteksi 95% kanker sehingga dapat mencegah biopsi yang
tidak diperlukan.5

19

BAB 3
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki, 50 tahun datang ke Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSUD


Dr. Soetomo dengan keluhan tidak bisa buang air kecil (BAK) dan kelemahan pada
kedua ekstremitas bawah. Lima bulan sebelumnya pasien menjalani operasi TransUrethral Resection of the Prostate (TUR-P) dengan hasil histopatologi jaringan
reseksi prostat menunjukkan adenocarcinoma prostate, Gleason score 7 (4+3).
Sepuluh hari pasca operasi dilakukan pemeriksaan PSA dengan hasil 5,05 ng/ml. Dua
hari kemudian dilakukan pemeriksaan PSA ulang, namun hasilnya tetap sama 5,05
ng/ml.
Selain pemeriksaan PSA dilakukan juga MRI abdominopelvis (Gambar 3.1)
yang menunjukkan massa prostat dengan ukuran 6,8 x 7,4 x 9,2 cm yang tampak
menginfiltrasi buli dan rektum disertai massa pada kelenjar getah bening (KGB)
presakral dengan ukuran 1,5 x 1,9 cm dan perubahan intensitas bone marrow pada
vertebra torakal 11 dan lumbal 2 (staging AJCC 2010: T4N1M1). Empat bulan dari
pemeriksaan PSA terakhir dilakukan pemeriksaan PSA ulang, namun hasilnya tetap
saja tidak meningkat, bahkan menurun menjadi 1,65 ng/ml. Khawatir akan adanya
kerusakan pada alat atau human error, akhirnya 4 hari kemudian dilakukan
pemeriksaan ulang PSA di laboratorium klinik yang berbeda dengan hasil 1,06.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, anemis, dan
kelemahan pada kedua ekstremitas bawah (kekuatan motorik: ekstremitas atas D/S
44444/44444 dan ekstremitas bawah D/S 11111/11111; sensorik: sulit dievaluasi).
20

Tidak dijumpai kelainan pada daerah thoraks dan abdomen. Dari status urologis, tidak
ditemukan kelainan, hanya didapatkan terpasang foley kateter ukuran 18 Fr (indikasi:
retensi bekuan darah), produksi urin +/- 2000cc dalam 24 jam dengan warna urine
kemerahan. Pada pemeriksaan colok dubur tonus spingter ani (TSA) kesan normal,
mukosa rektum licin, teraba massa prostat derajat III dengan konsistensi padat, keras,
permukaan tidak rata, beberapa nodul dijumpai pada kedua lobus prostat, serta reflex
bulbokavernosa positif, Dari sarung tangan pemeriksa didapatkan feses, namun tidak
tampak darah.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan pasien anemia (Hb 5,8 g/dL) dan
leukositosis (WBC 26,47 x 103/uL). Pasien juga mengalami gangguan fungsi ginjal
(BUN 42 mg/dL dan SC 2,65 mg/dL), hipoalbuminemia (albumin 2,56 g/dL),
gangguan elektrolit (Na 108 mEq/L, K 3,8 mEq/L, dan Cl 82 mEq/L), dan gangguan
pembekuan darah (aPTT 40,3 detik; kontrol aPTT 27,1 detik dan PPT 12,1 detik;
kontrol PPT 11,1 detik). Selain itu, pasien juga mengalami alkalosis respiratorik (pH
7,543, pCO2 25,7 mmHg, pO2 96,7 mmHg, HCO3- 22,3 mmol/L, BE -0,4 mmol/L,
dan SO2 98,5%). Dari urinalisis didapatkan hematuria dan leukosituria (sedimen
eritrosit > 100 per lapangan pandang, leukosit 15-20 per lapangan pandang, dan
dijumpai sedikit epitel).
Dari pemeriksaan foto thorax proyeksi anteroposterior (AP)/lateral (gambar
3.2) didapatkan nodul multipel (coarse nodule type) dengan ukuran bervariasi di
kedua lapangan paru yang dapat merupakan proses metastasis. Dari foto BOF
(gambar 3.3) didapatkan fraktur kompresi pada vertebra lumbal III dan tidak
ditemukan gambaran opasitas di sepanjang traktus urinarius. Dari pemeriksaan USG
21

Abdomen (gambar 3.4) didapatkan massa prostat dengan ukuran 10,7 x 8,56 x 15,0
cm yang menginfiltrasi sampai ke buli serta adanya gambaran hidronefrosis sedang
bilateral. Selanjutnya, dilakukan perbaikan kondisi umum pasien, pemeriksaan PSA
ulang, dan direncanakan untuk tindakan subcapsular orchidectomy. Tindakan tersebut
dipilih karena merupakan baku emas untuk mendeprivasi androgen dan mencegah
efek flare up pada penggunaan LHRH agonis, mengingat kondisi pasien yang buruk
disertai adanya destruksi pada vertebra.
Dalam perjalanannya, pasien mengalami penurunan kesadaran dan dilakukan
CT-Scan kepala dengan kontras (gambar 3.5) untuk menyingkirkan adanya kelainan
intrakranial. Hasilnya tidak ditemukan kelainan pada otak. Setelah kondisi pasien
membaik, dilakukan pemeriksaan PSA ulang dengan hasil 0,58 ng/ml. Kemudian
dilakukan tindakan subcapsular orchidectomy kanan dan kiri. Namun pada akhirnya
pasien meninggal dunia 2 hari pasca operasi karena multiple organ failure.

Gambar 3.1. MRI Abdominopelvis

Gambar 3.2 Foto thorax proyeksi AP/Lateral

22

Gambar 3.3 Foto BOF.

Gambar 3.4 USG abdomen

Gambar 3.5 CT-Scan kepala

23

BAB 4
PEMBAHASAN

Hampir semua penderita karsinoma prostat yang bermetastasis memiliki nilai


PSA yang tinggi. Pasien dengan karsinoma prostat yang bermetastasis dengan nilai
PSA yang rendah hanya sebesar 1%.7 Beberapa varian karsinoma prostat yang
berkaitan dengan nilai PSA yang rendah diantaranya small cell, anaplastik, dan
neuroendokrin. Namun bentuk tersebut sangat jarang dan lebih sering ditemukan
bersamaan dengan adenokarsinoma.35,36 Kasus terbaru tahun 2015 yang dilaporkan di
India oleh Sandeep Gupta adalah laki-laki usia 72 tahun dengan adenokarsinoma
prostat yang bermetastasis ke tulang iga dan pelvis dengan nilai PSA 7,4 ng/ml (free
PSA 16%) dan Gleason score 6 (3+3).37
Di Texas Amerika Serikat, dari 46 penderita kanker prostat yang bermetastasis
dengan nilai PSA normal, yang dikumpulkan dari tahun 1999 sampai dengan 2004 di
University of Texas M. D. Anderson Cancer Center, 10 (22%) diantaranya bahkan
dengan PSA yang tidak terdeteksi (< 0,1 ng/ml).7
Yamamoto dkk di Korea Selatan pernah juga melaporkan 8 penderita kanker
prostat yang bermetastasis dengan nilai PSA < 10 ng/ml. Kebanyakan dari mereka
adalah jenis tumor yang poorly differentiated dan undifferentiated serta memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan kebanyakan kanker prostat yang
bermetastasis. Yamamoto menyebutkan bahwa ADT tidak efektif untuk kasus-kasus
yang demikian, sehingga dia lebih merekomendasikan kemoterapi dan radiasi sebagai
terapi awal.8
24

Sella dkk. juga pernah melaporkan 18 penderita androgen-independent


prostate cancer dengan nilai PSA yang rendah. Masing-masing penderita
menunjukkan peningkatan pada salah satu atau lebih tumor marker, seperti CEA, CA
19-9, CA 15-3, maupun CA 125.35 Hal tersebut diperkuat oleh temuan Nishio dkk
pada penelitian mereka di Jepang yang dimuat dalam jurnal Internatioanl Urology
Nephrology dan Dong Kil Lee dkk di Korea Selatan dalam Korean Journal of
Urology.38,39 Dalam analisisnya, Sella dkk juga menyebutkan karakteristik kanker
prostat dengan nilai PSA yang rendah dengan adanya metastasis viseral, lesi litik pada
tulang, imunoreaktivitas neuroendokrin, lebih sensitif terhadap cisplatin, dan
gambaran histopatologi tipe small cell atau adenokarsinoma yang poorly
differentiated.35
Karakteristik tersebut sesuai dengan penemuan Dong Kil Lee dkk. Mereka
menemukan pasien adenokarsinoma prostat yang bermetastasis ke nodus limfatik,
tulang, hepar, dan paru dengan nilai PSA yang sangat rendah (0,02) dan Gleason
score 10 (5+5). Awalnya penderita didiagnosis dengan adenokarsinoma prostat
T1cN0M0 dengan nilai PSA 21,6 ng/ml dan Gleason score 8 (4+4). Penderita diterapi
dengan radioterapi dan ADT, namun 9 tahun kemudian mengalami metastasis ke
tulang belakang dan organ viseral dengan nilai PSA yang sangat rendah.39
Adanya fenomena kanker prostat yang progresif tanpa peningkatan nilai PSA
kemungkinan disebabkan oleh adanya proliferasi sel dari jaringan prostat yang
berdiferensiasi sangat buruk dan kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan
PSA.39 Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Oofelein dkk. yang

25

menyebutkan adanya progresifitas yang sangat cepat pada pasien kanker prostat
dengan nilai PSA yang sangat rendah pasca prostatektomi radikal.40
Adenokarsinoma prostat dalam perkembangannya dapat berubah secara
histopatologi menjadi bentuk lain seperti mucinous, transitional, squamous, signet
ring cell, atau small cell. Hal tersebut diduga terjadi karena dediferensiasi/metaplasia
dari adenokarsinoma prostat. Namun, teori yang kemudian berkembang dan paling
banyak dianut adalah teori stem cell prostat pluripoten, yang dapat berdiferensiasi ke
berbagai bentuk sel. Perubahan bentuk tersebut dapat terjadi karena adanya stimulus
normal maupun abnormal. Perubahan tersebut dapat juga diikuti dengan
ketidakmampuan mengekspresikan PSA.41
Hal tersebut pernah dilaporkan oleh Kim YW dkk. pada penderita yang
awalnya didiagnosis dengan adenokarsinoma prostat dan PSA 30.3 ng/ml. Tujuh
bulan kemudian pasien didiagnosis dengan adenoskuamous karsinoma prostat dengan
PSA 0,27 ng/ml.42 Kasus terbaru yang serupa di tahun 2014 dilaporkan oleh Cecen K
pada penderita yang awalnya didiagnosis dengan adenokarsinoma prostat T2N0M0,
Gleason score 7 (3+4), dan nilai PSA 23 ng/ml, namun kemudian berubah menjadi
small cell carcinoma dengan nilai PSA normal setelah pasien mengeluhkan adanya
benjolan di skapula.43
Pada kasus ini, kejadian adenokarsinoma prostat yang bermetastasis pada usia
50 tahun merupakan kasus yang jarang terjadi. Hal ini didasarkan karena
adenokarsinoma prostat merupakan penyakit yang lambat berkembang dengan ratarata doubling time 300 hari, sehingga kanker dapat bermanifestasi 10 tahun

26

kemudian.21 Artinya, secara teoritis awal terjadinya kanker jauh di bawah usia 50
tahun.
Fenomena nilai PSA yang normal pada kasus ini memang masih menjadi
misteri. Namun berdasarkan teori yang ada, kemungkinan pada kasus ini telah terjadi
perubahan jenis kanker. Dalam teorinya, Tu dkk menyebutkan bahwa keganasan
sering berasal dari stem cell. Early progenitor stem cells memiliki kemampuan
pluripoten untuk bermigrasi, invasi, dan inkorporasi ke berbagai jaringan
(metastasis). Sementara lately progenitor stem cells (fase diferensiasi lanjut stem cell)
memiliki kemampuan metastasis yang terbatas dan fenotip yang relatif homogen.44
Dengan demikian, tumor yang berasal dari bentuk primitif prostate stem cell
dapat bermetastasis ke berbagai organ seperti paru, hati, otak, maupun tulang, namun
tidak mengekspresikan PSA. Tumor tersebut biasanya mengekspresikan marker
embrional (carcinoembryonic antigen) atau neuroendokrin (neuron-specific enolase
atau chromogranin A).44 Sayangnya, pada kasus ini belum sempat dilakukan
pemeriksaan biopsi ulang pada tumor primer maupun metastasisnya karena pasien
meninggal dunia. Selain itu, belum juga dilakukan pemeriksaan tumor marker lain
untuk membuktikan hal tersebut. Satu hal lagi yang mendukung adalah karena
prognosis penderita sangat buruk, yang sangat mungkin disebabkan oleh varian
kanker prostat lain.
Berkaitan dengan terapi pada kasus ini memang belum ada prosedur baku
yang digunakan. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya jumlah kasus dan survival rate
penderita yang rendah. Diharapkan dengan semakin baiknya konsep tentang penyakit

27

tersebut dan semakin banyaknya kasus yang dijumpai, dapat dibuat prosedur tetap
penatalaksanaan adenokarsinoma prostat yang bermetastasis dengan PSA normal.
Pada kasus ini juga ditemukan kanker bermetastasis ke paru dan vertebra
dengan overall survival (OS) 6-7 bulan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gregory
R. Pond, dkk disebutkan bahwa penderita kanker prostat dengan metastasis liver
dengan/tanpa metastasis di tempat lain memiliki prognosis yang paling jelek dengan
median OS 10,0 bulan, diikuti metastasis paru dengan/tanpa metastasis KGB atau
tulang

dengan median OS 14,4 bulan. Metastasis yang hanya melibatkan KGB

memiliki prognosis yang paling baik dengan median OS 26,7 bulan, diikuti
metastasis yang hanya melibatkan tulang (median OS 19,0 bulan) dan metastasis
yang melibatkan tulang dan KGB (median OS 15,7 bulan) 45. Hal tersebut sesuai
dengan metaanalisis yang dilakukan oleh Susan Halabi, dkk.46
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa prognosis pasien kanker prostat yang
bermetastasis ke organ viseral lebih buruk dibandingkan dengan tulang. Namun,
belum ada penjelasan pasti mengenai hal tersebut. Giorgio G dalam ulasannya
menyebutkan bahwa kemungkinan hal itu disebabkan karena fungsi organ viseral
yang biasanya menjadi lokasi metastasis lebih vital dibandingkan dengan tulang.
Selain itu, fenotip dari metastasis organ viseral lebih agresif dibandingkan dengan
tulang.47 Pada penelitian yang dilakukan oleh Akfirat dkk. ditemukan bahwa
metastasis pada soft tissue lebih cenderung mengekspresikan nuclear survivin.
Sementara metastasis tulang lebih cenderung mengekspresikan cytopasmic survivin,
B-cell lymphoma 2 (BCL2), dan myeloid cell leukemia 1 (MCL1). Data tersebut
dikaitkan dengan adanya perbedaan survival rate pada kanker prostat yang diterapi
28

karena memungkinkan adanya perbedaan efikasi obat yang menginduksi apoptosis


pada sel kanker (tergantung lokasi metastasis).48
Pada kasus ini, OS yang lebih pendek mungkin juga disebabkan karena
adanya perubahan jenis kanker. Varian kanker prostat selain adenokarsinoma
biasanya memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan adenokarsinoma
prostat.4

29

BAB 5
KESIMPULAN

Adenokarsinoma prostat dapat bermetastasis meskipun dengan nilai PSA


normal. Sehingga, penanganan kasus yang demikian harus lebih waspada terutama
bila Gleason score sangat buruk/undifferentiated. Meskipun belum ada prosedur tetap
penatalaksanaan pada kasus ini, namun dari berbagai penelitian yang ada, disarankan
untuk melakukan biopsi ulang tumor primer maupun metastasisnya karena ada
kemungkinan adenokarsinoma berubah menjadi varian karsinoma prostat lain. Selain
itu, pemeriksaan tumor marker lain dapat juga dilakukan untuk memperkuat atau
mengeksklusi diagnosis.
Dengan meningkatnya pengetahuan mengenai adenokarsinoma prostat yang
bermetastasis dengan nilai PSA normal dan pengalaman kasus yang lebih banyak,
diharapkan terapi terbaik untuk kasus ini dapat dikembangkan. Jumlah kasus yang
sedikit, menyebabkan prognosis adenokarsinoma prostat yang bermetastasis dengan
nilai PSA normal masih dipertanyakan, namun dari beberapa laporan, dikatakan
bahwa prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan adenokarsinoma prostat yang
bermetastasis dengan nilai PSA yang tinggi.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Parkin DM, et.al. Global Cancer Statistics. CA Cancer J Clin, 55:74108, 2005
2. Quinn M and Babb P. Patterns and Trends in Prostate Cancer Incidence, Survival,
Prevalence and Mortality. Part I: International comparisons. BJU Int, 90:162173,
2002
3. Nelen V. Epidemiology of Prostate Cancer in Prostate Cancer. New York: Springer,
2007
4. Wein A., et al. Campbell-Walsh Urology, 10 th Edition. Philadelphia: ElsevierSaunders, 2012
5. Tanagho EA and McAninch JW. Smiths General Urology 18th. New York: Mc
Graw Hill, 2013
6.Thompson IM, et al. Prevalence of Prostate Cancer Among Men with a ProstateSpecific Antigen Level 4.0 ng/mL. N Engl J Med, 350: 22392246, 2004
7. Leibovici D, et al. Prostate Cancer Progression in the Presence of Undetectable or
Low Serum Prostate-Specific Antigen Level. Cancer, 109: 198-204, 2007
8. Yamamoto S. M1 Prostate Cancer with a Serum Level of Prostate-Specific Antigen
Less than 10 ng/mL. Int J Urol, 8:374-9, 2001
9. Schwab M. Encyclopedic Reference of Cancer. New York: Springer, 2001.
10. Siegel R. Cancer Statistics: The Impact of Eliminating Socioeconomic and Racial
Disparities on Premature Cancer Deaths. Cancer J Clin, 61: 21236, 2011

31

11. Ferlay, J., et al. Estimates of the Cancer Incidence and Mortality in Europe in
2006. Ann Oncol, 18: 581-592, 2007
12. Jemal, A., et al. Cancer Statistics, 2007. CA Cancer J Clin, 57: 4366, 2007
13. Glover FE Jr., et al. The Epidemiology of Prostate Cancer in Jamaica. J Urol, 159:
1984-6. 1998
14. Eastham JA., et al. Development of a Nomogram that Predicts the Probability of a
Positive Prostate Biopsy in Men with an Abnormal Digital Rectal Examination and a
ProstateSpecific Antigen between 0 and 4 ng/mL. Urology, 54: 709713, 1999
15. Harrison TR. Principles of Internal Medicine, 17 th edition. Newyork: Mc Graw
Hill, 2008
16. Chang SS. Management of Prostate Cancer, 2nd edition. New Jersey: Humana
Press, 2004
17. Waxman J. Urological Cancer. London: Springer, 2005
18. Mostofi FK. Grading of Prostatic Carcinoma. Cancer Chemother Rep, 59: 111117, 1975
19. Epstein J., et al. The 2005 International Society of Urological Pathology (ISUP)
Consensus Conference on Gleason Grading of Prostatic Carcinoma. Am J Surg
Pathol, 29: 12281242, 2005
20. Gleason DF and Mellinger GT. Prediction of Prognosis for Prostatic
Adenocarcinoma by Combined Histological Grading and Clinical Staging. J Urol,
111: 5864, 1974

32

21. Brewster S. Prostate Cancer in Urology A Handbook for Medical Student.


London: BIOS, 2001
22. Feneley MR and Kirby RS. Surgical Traetment of Prostate Cancer in Urological
Cancers in Clinical Practice. London: Springer, 2007
23. Hernandez DJ., et al. Natural History of Pathologically Organ-Confined (pT2),
Gleason Score 6 or Less, Prostate Cancer after Radical Prostatectomy. Urology, 72:
172176, 2008
24. Chang C. Prostate Cancer Basic Mechanism and Therapeutic Approach.
Singapore: World Scientific, 2005
25. Nilsson S. et al. A systematic Overview of Radiation Therapy Effects in Prostate
Cancer. Acta Oncol, 43: 316381, 2004
26. Deger S. High Dose Rate Brachytherapy of Localized Prostate Cancer. Eur Urol,
41: 420426, 2002
27. Heidenreich A. Guidelines and Counselling for Treatment Options in the
Management of Prostate Cancer in Prostate Cancer. New York : Springer, 2007
28. Klotz L. Active Surveillance with Selective Delayed Intervention for Favorable
Risk Prostate Cancer. Urol Oncol, 24: 4650, 2006
29. Waxman J. Urological Cancer in Clinical Practice. London: Springer. 2007
30. Lisek EW, et al. Prostate Cancer in Surgical Oncology An Algorithmic Approach.
New York: Springer. 2003
31. Rabbani F. T1b-T2NxM0: A Case for Hormonal Therapy? in Advanced Therapy
of Prostate Disease. London: BC Decker, 2000

33

32. Fossa S., et al. Weekly Docetaxel and Prednisolone Versus Prednisolone Alone in
AndrogenIndependent Prostate Cancer: A Randomized Phase II Study. Eur Urol,
2007
33. Scullin Paula, et al. Strategies for the Implementation of Chemotherapy and
Radiotherapy in Metastasis of Prostate Cancer. New York: Springer, 2007
34. Braeckman J and Michielsen. Prognostic Factors in Prostate Cancer in Prostate
Cancer. New York : Springer, 2007
35. Sella A. Low PSA Metastatic Androgen-Independent Prostate Cancer. Eur Urol,
38: 250-54, 2000
36. Trotz C. Prostate Cancer with a Normal PSA: Small Cell Carcinoma of the
ProstateA Rare Entity. JABFP. 2003
37. Gupta S, et al. Metastatic Prostatic Carcinoma with Low PSA and Gleason Score.
Journal of Case Reports in Practice (JCRP), 3(2): 25-26, 2015
38. Nishio R, et al. Metastatic Prostate Cancer with Normal Level of Serum ProstateSpecific Antigen. Int Urol Nephrol, 35: 189-92, 2003
39. Lee DK, et al. Progression of Prostate Cancer Despite an Extremely Low Serum
Level of Prostate-Specific Antigen. Kju, 51.5.358, 2010
40. Oefelein MG, et al. The Incidence of Prostate Cancer Progression with
Undetectable Serum Prostate Specific Antigen in A Series of 394 Radical
Prostatectomies. J Urol, 154: 2128-31, 1995
41. Randolph TL, et al. Histologic Variants Os Adenocarcinoma and Other
Carcinomas of Prostate; Pathologic Criteria and Clinical Significance. Mod Pathol,
10: 612-29, 1997
34

42. Kim YW, et al. Adenosquamous Carcinoma of the Prostate. Yonsei Med J, 40:
396-9, 1999
43. Cecen K, et al. Small Cell Carcinoma of the Prostate Presenting with Skin
Metastasis: A Casa Report. Journal of Medical Case Reports, 8: 146, 2014
44. Tu SM, Lin SW, and Logothetis CJ. Stem-Cell Origin of Metastasis and
Heterogeneity in Solid Tumors. Lancet Oncol, 3: 508513, 2002
45. Pond GR, et al. The Prognostic Importance of Metastatic Site in Men with
Metastatic Castration-Resistant Prostate Cancer. European Urology, 65: 3-6, 2014
46. Halabi S, dkk.The Site of Visceral Metastases to Predict Overall Survival in
Castration-Resistant Prostate Cancer (CRPC) Patients: A Meta Analysisof Five Phase
III Trials. J Clin Oncol, 32:5s, 2014
47. Gandaglia G, et al. Impact of the Site of Metastases on Survival in Patients with
Metastatic Prostate Cancer. Eur Urol, 2014
48. Akfirat C, et al. Tumor Cell Survival Mechanisms in Lethal Metastatic Prostate
Cancer Differ Between Bone and Soft Tissue Metastases. The Journal of Pathology
230: 291-297, 2013.

35

Anda mungkin juga menyukai