Anda di halaman 1dari 11

QIYAS 6

Ardhus Sunnah Ala


Ushulil Aammah
(Membandingkan Hadis
Dengan Kaidah-Kaidah
Umum)
SANDI PUJIANSYAH

Perbedaan Mashdar Tasyri


dan Ushulil Aammah
Mashdar Tasyri: Apa yang diambil dari teks-teks
(nash) yang pasti (Al-Quran-Al-Sunnah) dalam seluruh
aspek kehidupan.
Ushulil Aammah : Kaidah-kaidah umum yang diambil
dari teks/nash syariat, dan disepakati/sesuai dengan
ruh atau spirit agama dan maqhosid-maqhosidnya yang
umum. Teks/Nash tersebut terkadang berkenaan
dengan hukum yang husus atau satu perkara tertentu.

CONTOH




(108 : ) .



Hukum Ayat : Larangan mencaci tuhan orang kafir.
Menurut fuqoha: hukumnya lebih luas, yaitu larangan mencaci tuhan
orang kafir sehingga orang kafir pun tidak mencaci Alloh SWT.
Larangan ini adalah larangan terhadap sesuatu yang mubah, dan
menjadi dasar dari kaidah Saddud DzaroI.

Pandangan Para Ulama Terhadap QIYAS


Ardhus Sunnah Ala Ushulil Aammah
Ibn Hazm : Hadits itu jika shahih sanadnya, maka tidak
perlu menyalahi atau menolaknya.
Ibn Qayyim : Hadits itu sesuai dengan pokok/dasar
syariat dan kaidah-kaidahnya. Namun jika bertentangan,
maka hadits tersebut menjadi pokok/dasar dengan
dirinya sendiri sebagaimana hadits lainnya.
Ini adalah pandangan seluruh ahli hadits. Jika shahih
sanad suatu hadits, maka tidak ditolak.

Pandangan Para Ulama Terhadap QIYAS


Ardhus Sunnah Ala Ushulil Aammah
Ibnul Arobi : Jika Khobar Ahad bertentangan dengan kaidahkaidah syara. Apakah boleh diamalkan atau tidak?
Abu Hanifah : Tidak boleh mengamalkannya.
Al-Syafii : Boleh.
Imam Malik cenderung meragukan kaidah ini, namun
Pandangannya yang paling masyhur yang dapat dipegang
adalah: Jika hadits itu membantu kaidah yang lain, maka ia
berfatwa dengannya (seperti dalam jual-beli aroya). Jika hadits
tersebut sendirian (tanpa penguat) maka ia meninggalkannya
(Seperti dalam kasus mencuci bekas jilatan anjing).
Kesimpulannya :
disepakati.

Qiyas

ini

bukanlah

sesuatu

yang

syariat dan maqhosid-maqhosidnya yang


diambil dari seluruh dalil Al-Quran dan AlSunnah
Seluruh dalil-dalil syariat itu berfungsi menjaga tujuan-tujuan (Maqhosid)
tertentu. Penjagaan terhadap tujuan-tujuan terbagi kepada tingkattingkat/level sesuia dengan urgensinya. Tujuan-tujuan (Maqhosid) yang
dijaga oleh syariat tersebut adalah:
Menjaga Agama
Menjaga Jiwa
Menjaga Akal
Menjaga Keturunan
Menjaga Harta
TuJuan-tujuan tersebut terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
Dharuriyyah
Haajiyyah
Tahsiniyyah

Dharuriyyah: Harus menegakkan kemaslahatan agama dan dunia, yaitu


membuang apa saja yang tidak menegakan keduanya baik dari ibadah
seperti menegakan shalat, adat seperti menjaga makanan dan pakaian,
Muamalah, maupun jinayah.
Haajiyyah : adalah apa yang dibutuhkan oleh sesuatu yang lebih luas dan
menghilangkan kesempitan; biasanya dalam hal kesulitan atau kesusahan
yang berkaitan dengan. Ini pun mencakup ibadah, adah, Muamalah, dan
jinayah. Dalam ibadah seperti keringanan yang dikarenakan adanya
kesulitan seperti safar atau sakit. Dalam adah seperti bolehnya berburu
dan bersenang-senang dengan sesuatu yang tahyyib dan halal.
Tahsiniyyah : Mengambil sesuatu yang dapat membaguskan sesuatu
yang bersifat adat, dan menjauhi hal-hal kotor yang dipandang rendah
oleh akal. Ini terkumpul dalam masalah makarimul akhlaq dalam ibadah,
adah, Muamalah, dan jinayah. Dalam ibadah seperti menghilangkan najis
dan menutup aurat. Dalam adah, seperti adab makan dan minum. Dalam
muamalah seperti jual beli sesuatu yang najis. Dalam jinayah seperti
melarang membunuh hamba sahaya (Huruun) dengan hamba sahaya
(Abdun).

Contoh-Contoh

mensucikan buruan anjing



Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu.
(QS. Al-Maidah: 4)
Dari sini, Imam Malik menolak hadits mencuci bejana
yang dijilati anjing sebanyak 7 kali cucian.
Imam Malik : Hadits tersebut datang sedangkan aku
tidak tahu hakikatnya.
Beliau mendhaifkannya dan berkata:
Buruannya dimakan, lalu bagaimana dengan kemakruhan air liurnya

Contoh-Contoh

mensucikan buruan anjing


Ibn Arobi: Hadits ini bertentangan dengan dua ushul pokok
yang agung, yaitu:
firman Alloh swt (QS. Al-Maidah:4)
Bahwasannya ilat suci itu adalah hidup, dan itu ada pada
anjing.
Kesimpulan: yang benar adalah, bahwa pertentangan ayat
dengan hadits tersebut tidak ada. Memakan buruan adalah
satu hal, dan jilatan anjing terhadap bejana adalah hal lain.
Hadits tersebut shahih, maka tidak boleh ditolak selama
memungkinkan untuk dijama.

Contoh-Contoh

Manusia tidak mendapat apa pun


kecuali yang diusahakannya


Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. (QS. An Najm: 39)





( )






Imam Malik menolak hadits diatas karena QS. An.Najm: 39)

Imam asy-syathibi, membuat fasal tentang pendapat-pendapat terhadap


hadits ini. Setidaknya, hadits ini bertentangan dengan hukum syariat yang
qothi, sedangkan hadits tersebut tidak sampai derajat mutawattir baik secara
lafadz atau pun makna. Maka yang dzon tidak boleh menentang yang Qathi.

Contoh-Contoh

Manusia tidak mendapat apa pun


kecuali yang diusahakannya
Al-Quran hukumnya pasti (qathi), sedangkann hadits pengganti shaum di
atas adalah khabar ahad, maka statusnya dzanni, sehinnga tidak boleh
bertentangan dengan yang qathi. Karena itu, hadits tersebut ditolak.
Kesimpulan:
Khobar ahad yang shahih sanadnya menghasilkan hukum yang qathi
seperti al-Quran dan hadits mutawattir. Maka hadits ini sendiri menjadi
asal sebagaimana ayat tersebut juga menjadi asal. Jadi, pertentangan
ayat dan hadits tersebut tidak tepat, karena sekalipun hadits ini tidak
menghususkan ayat, namun diperkuat oleh hadits lain yang
menyebutkan ada 3 amalan anak adam yang tidak akan terputus
meskipun ia sudah wafat.

Anda mungkin juga menyukai