Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Resusitasi jantung paru adalah serangkaian penyelamatan hidup pada henti


jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung
penyelamat, korban, dan keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap ada, yaitu
bagaimana melakukan RJP yang lebih dini, lebih cepat dan lebih efektif.1
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi baik
di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang
meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini
tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak
sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu
berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi. 1,2
Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan
anak juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi penyebab
utama kematian yang premature, dan perbaikan kecil dalam usaha penyelamatannya
akan menjadi ribuan nyawa yang dapat diselamatkan setiap tahun. 1,2
Resusitasi

jantung

paru

merupakan

usaha

yang

dilakukan

untuk

mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernafasan pada henti jantung (cardiac
arrest) dan atau henti nafas (respiratory arrest) pada orang dimana fungsi tersebut
gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila
kedua fungsi tersebut bekerja kembali yang merupakan sebuah upaya menyediakan
oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang
1

meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekuat. Kegawatdaruratan


pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat
yakni sekitar 4-6 menit.1,2
Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang
terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan
dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam. 1,2
Menurut American Heart Associaton, rantai kehidupan mempunyai hubungan erat
dengan tindakan jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP, mempunyai
kesempatan yang amat besar untuk data hidup kembali . 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Resusitasi Jantung Paru yang biasa kita kenal dengan nama RJP atau
Cardiopulmonary Resuscitation adalah usaha untuk mengembalikan fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau denyut jantung.
Resusitasi sendiri berarti menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha
2

untuk mencegah berlanjutnya episode henti jantung menjadi kematian biologis. Dapat
diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau
sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi gagal.3
2. 2 Indikasi
2.2.1. Henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan
seperti: 7
-

Tenggelam atau lemas


Stroke
Obstruksi jalan nafas
Epiglotitis
Overdosis obat-obatan
Tersengat listrik
Infark Miokard
Tersambar petir

Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa
menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya,
jika pada keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat bermanfaat pada
korban.3,5,7
2.2.2. Henti Jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.

Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis)
disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil
tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Bantuan hidup dasar
merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk:5
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban
yang mengalami henti jantung atau henti jantung melalui resusitasi jantung
paru (RJP).
2.3. Sistem Pernafasan dan Sirkulasi
Tubuh manusia terdiri dari beberapa sistem, diantaranya yang utama adalah
sistem pernafasan dan sistem sirkulasi. Kedua sistem ini merupakan komponen utama
dalam mempertahankan hidup. Terganggunya salah satu fungsi ini dapat
mengakibatkan ancaman kehilangan nyawa. Tubuh dapat menyimpan makanan untuk
beberapa minggu dan menyimpan air untuk beberapa hari, tetapi hanya dapat
menyimpan oksigen (O) untuk beberapa menit saja.
Sistem pernafasan

mensuplai oksigen kedalam tubuh sesuai dengan

kebutuhan dan juga mengeluarkan karbondioksida (CO2). Sistem sirkulasi inilah yang
bertanggungjawab memberikan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh.7,8
Komponen-komponen yang berhubungan dengan sirkulasi adalah:
1.

Jantung

2.

Pembuluh Darah ( Arteri, Vena, Kapiler)

3.

Darah dan kompone-komponennya.


4

Jantung berfungsi untuk memompa darah dan kerjanya sangat berhubungan


erat dengan sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja jantung semakin
cepat pula frekuensi pernafasan dan sebaliknya.7,8
Jantung dapat berhenti bekerja karena banyak sebab,diantaranya:
1.

Penyakit jantung

2.

Gangguan pernafasan

3.

Syok

4.

Komplikasi penyakit lain: Stroke

5.

Penurunan kesadaran

2.4. Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of
Survival, yang meliputi :
a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency
response system
b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada
c. Defibrilasi yang cepat
d. Advanced life support yang efektif
e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi

RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan


dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen
RJP.8,9
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah
terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan
ventilasi, sebagai suatu tim.8
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada
menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak
seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi
dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada henti jantung
menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.8
2.5. Bantuan Hidup Dasar
Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada
organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan
sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara
normal. Resusitasi mencegah agar supaya sel-sel tidak rusak akibat kekurangan
oksigen. Bantuan hidup dasar (Basic Life Support) atau resusitasi ABC atau resusitasi
6

kardiopulmoner berarti menjaga jalan napas tetap paten (A), membuat napas buatan
(B) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung (C). Tindakan ini dilakukan
tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan cepat dalam
waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan terarah.3

a. Dalam fase I ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C


(circulation).
- A (airway )
: menjaga jalan nafas tetap terbuka
- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru

Gambar 1. Bagan Basic Life Support


b. Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D
(drug) dan E (EKG)
- D ( drugs ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
- E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk
mengetahuis

fibrilasi ventrikel.

Gambar 2. Bagan Advanced Life Support


c. Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambahan dari BLS dan
ALS, G (gauge), H (head), I (Intensive care).
- G ( gauge ) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus,
-

dinilai, dicari penyebabnya dan

kemudian mengobatinya.
H (Head)
: tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistem saraf dari kerusakan lebih

lanjut akibat terjadinya henti

jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya neurologic yang


-

permanen.
I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan
sirkulasi mengedalikan jika terjadinya kejang.1,7

Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur


awal pada pasien/korban, yaitu:
a. Memastikan keamanan lingkungan
Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu sendiri.
b. Memastikan kesadaran pasien/korban
Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan
menyentuh atau menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut
dan mantap, sambil memanggil namanya.
c. Meminta pertolongan
Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon segera
minta pertolongan dan beritahukan posisi dimana, pergunakan alat
komunikasi yang ada, atau aktifkan bel/sistem emergency yang ada
(bel emergency di rumah sakit).
d. Memperbaiki posisi pasien/korban
Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi
telentang, berada pada permukaaan yang rata/keras dan kering. Bila
ditemukan pasien/korban miring atau telungkup pasien/korban harus
ditelentangkan dulu dengan membalikkan sebagai satu kesatuan yang
utuh untuk mencegah cedera/komplikasi.
e. Mengatur posisi penolong

10

Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar pada


ssat memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak
perlu banyak pergerakan.

Gambar 3. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

2.5.1. A (AIRWAY) Jalan Nafas


Jika diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus segera
dimulai. Letakkan pasien pada posisi telentang pada alas keras ubin atau
selipkan papan jika pasien diatas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah aan
menyumbat faring dan epiglottis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglottis
penyebab utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar.3 Untuk
menghindari hal ini, maka dilakukan beberapa tindakan atau parasat misalnya:
1. Head tilt-chin lift maneuver
Parasat ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain
mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap
keatas dan epiglottis terbuka, sniffing position, posisi cium, posisi hirup.3
2. Jaw-thrust maneuver

11

Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorongkedepan


pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Karena lidah melekat
pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka.3
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan manuever triple airway (kepala tengadah, rahang
didorong kedepan, mulut dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender atau benda
asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan napas buatan.3

(a)

(b)

Gambar 4. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw
thrust manuver (b)
2.5.2. B (BREATHING) Bantuan Nafas
Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas buatan
tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of life, mouthto-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau
mulut ke mulut via sungkup muka. 3
a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)
Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong
tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban
dan hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari

12

penolong.Volume udara yang berlebihan dapat menyebabkan udara masuk


ke lambung. 3

Gambar 5. Pemberian nafas dari mulut ke mulut


b. mulut ke hidung (mouth-to-nose),
Direkomendasikan
bila
bantuan

dari

mulut

korban

tidak

memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus atau luka


berat.Penolong sebaiknya menutup mulut

pasien/korban pada saat

memberikan bantuan nafas. 3

Gambar 6. Pernafasan dari mulut ke hidung


c. mulut ke stoma trakheostomi
Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang

trakheostomi atau

mengalami laringotomi.3

13

Gambar 7. Pernafasan mulut ke stoma.


2.5.3. C (CIRCULATION) bantuan sirkulasi
Terdiri dari 2 tahap :
1.

Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban

Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan


cara dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea,
kemudian digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5
10 detik. Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas
berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas pertahankan airway
pasien/korban.7,8
2.

Memberikan bantuan sirkulasi

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau
kompresi jantung luar dengan cara:
-

Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang iga


pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu tulang
dada (sternum).

14

Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut

merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.


Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
telapak tangan diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-jari menyentuh

didnding dada pasien/korban.


Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan

kedalaman penekanan 1,5 2 inchi ( 3,8 5 cm).


Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang
kembali ke posisi semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan

melepaskan kompresi harus sama ( 50% duty cycle).


Tangan tidak boleh berubah posisi.
Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu penolong
maupun dua penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit.
Dilakukan selama 4 siklus.
Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60 80

mmHg dan diastolik yang sangat rendah.Selang waktu mulai dari menemukan
pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30
detik.8

15

Gambar 8. Kompresi dada


2.5.4. D (DEFIBRILATION) terapi listrik
Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada pasien/korban yang
penyebab henti jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama adalah
ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi. Pada penggunaan orang awam tersedia
alat Automatic External Defibrilation (AED).3 Tahapan defibrilasi :
-

Nyalakan AED

Ikuti petunjuk

Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)

16

PENILAIAN ULANG
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi
kembali :
-

Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas dengan

ratio 30 : 2
Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi sisi

mantap
Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas
sebanyak 12 kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.

Gambar 9. Defibrilasi
2.6. Panduan RJP 2010
2.6.1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus
AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan kebutuhan RJP yang
berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
a. Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari kurang
lebih 100 x/menit)
b. Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling
sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak
dan bayi (sekitar 1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2 inchi [5cm] pada anak-anak)

17

Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan
kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi
sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC
c. Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali
selesai kompresi
d. Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
e. Menghindari ventilasi yang berlebihan
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi yaitu
sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru
lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk
memberikan nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas telah dibebaskan,
kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling sedikit
100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Nafas buatan kemudian dapat
diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 nafas per detik).
Ventilasi yang berlebihan harus dihindari. 1,2
2.6.2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B
Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation
berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari
penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan
jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan
mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang seorang diri.
Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum
adalah Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada penderita
tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah kompresi dada dan
defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda
18

ketika penolong membuka jalan nafas untuk memberikan nafas buatan, mencari alat
pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai
emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai
kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan perkecualian dari protokol ini,
dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, feel,
sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan.1,2
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai sesegera
mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama dari 30
kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita yang
mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh
orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun salah
satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur
yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan memberikan nafas buatan. Memulai
pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong untuk
memulai RJP.

2.6.3. Rata-rata kompresi


Sebaiknya dilakukan kira kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi
dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation [ROSC]) dan fungsi
neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit
ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam
19

melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas, memberikan nafas


buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical Defibrilator]). 7,8,9

Gambar 10. Alur pemberian AED


Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan
tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit dihubungkan
dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai
kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan
kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan gangguan pada komponen
penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering (atau
keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per menit.

20

2.6.4. Kedalaman kompresi


Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1 - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan
cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung
dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan
tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan
aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung dan otak.

Gambar 11. Alur pemberian AED


2.6.5

Tim Resusitasi
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif.

Misalnya : satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan


penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau

21

memakaikan bag mask untuk membantu pernafasan dan penolong ke-empat


mempersiapkan dan defibrilator. 8,9

Gambar 12. Basic Life Support dalam tim

Gambar 13. Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi
(termasuk RJP pada neonatus).

22

Gambar 14. Alur resusitasi pada bayi baru lahir

23

Gambar 15. Alur resusitasi pada anak

24

BAB III
KESIMPULAN
1. Resusitasi jantung paru otak merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernafasan pada henti jantung
(cardiac arrest) dan atau henti nafas (respiratory arrest) dengan bantuan
pernapasan dan kompresi dada.
2. Indikasi dilakukan resusitasi jantung paru otak adalah henti napas dan henti
jantung
3. Prosedur RJP terbaru adalah kompresi dada 30 kali dengan 2 kali napas
buatan. Fase-fase pada RJP adalah Bantuan Hidup Dasar, Bantuan Hidup
Lanjut dan Bantuan terus-menerus. Sistem RJP yang dilakukan sekarang
adalah adaptasi dan pembaharuan dari pedoman yang telah diperkenalkan oleh
Peter Safar dan kemudiannya diadaptasi oleh American Heart Association.
4. Prosedur resusitasi otak jantung paru dapat diterapkan pada bayi, anak dan
dewasa.

DAFTAR PUSTAKA
25

1. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Support in


Circulation Journal.
2. American Heart Association. 2005. Part 4 Adult Basic Life Support in
Circulation Journal
3. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit
FKUI. Jakarta.
4. Bantuan

Hidup

Dasar.

Diakses

dari

http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidup-dasar tanggal 25 Februari


2015.
5. Siahaan, Olan SM. Resusitasi Jantung Paru dan Otak. Cermin Dunia
Kedokteran. 1992.
6. Resusitasi Jantung dan Paru. Diakses dari
http://itja.wordpress.com/2010/10/07/resusitasi-jantung-paru/ tanggal 25
februari 2015.
7. Bantuan Hidup Dasar. Diakses dari
http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidup-dasar tanggal 25 februari
2015.
8. Peter Safar and the ABC of Resuscitation. Diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/ABC_(medicine) tanggal 25 februari 2015.
9. Peter J. Safar. Diakses dari
http://www.laerdalfoundation.org/dok/Peter_Safar.pdf tanggal 25 februari
2015.

26

27

Anda mungkin juga menyukai