Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

WHO tahun 1999 menyatakan terdapat kematian 10,5 juta anak usia
kurang dari 5 tahun dan 99% diantaranya tinggal di negara berkembang. Penyebab
kematiannya antara lain 54% adalah karena malnutrisi, disusul dengan kondisi
perinatal yang kurang baik, pneumonia, diare, DI dan lainnya.1
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi
kesehatan masyarakat dan masih menjadi maslaah utama di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. KEP dimanifestasikan secara primer akibat
kurangnya asupan diet yang mengandung energi dan protein secara tidak adekuat,
baik karena kurangnya asupan kedua nutrisi ini yang seharusnya digunakan untuk
pertumbuhan normal, maupun karena kebutuhan tubuh akan kedua nutrisi tersebut
yang meningkat yang tidak sesuai dengan asupan yang tersedia.
Namun, karena KEP hampir selalu disertai dengan kekurangan nutrisinutrisi lain, istilah Kurang Gizi Berat Pada Anak-Anak atau Severe Childhood
Undernutrition (SCU), lebih tepat menggambarkan keadaan tersebut. SCU, baik
primer maupun sekunder, merupakan spectrum yang memiliki rentang dari
kekurangan gizi ringan yang ditandai dengan berkurangnya rasio tinggi badan dan
berat badan sesuai umur, hingga kekurangan gizi yang berat yang ditandai dengan
berkurangnya rasio tinggi badan dan berat badan yang signifikan sesuai umur
disertai dengan wasting/ pengurangan atau kehilangan massa otot (bertambah
kurus), yaitu penurunan rasio berat badan sesuai tinggi badan normal. SCU
dibedakan secara klinis menjadi 3, yaitu : 1
Marasmus (penurunan berat badan/wasting yang berat tanpa
disertai edema)
Kwashiorkor (ditandai dengan edema)
Marasmus-Kwashiorkor (merupakan gabungan keduanya, ditandai
dengan wasting dan edema)
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan
bahwa jumlah balita yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989

meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6%
pada tahun 1995. Upaya pemerintah antara lain melalui pemberian makanan
tambahan dalam jaringan pengamanan social (JPS) dan peningkatan pelayanan
gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi buruk kepada tenaga kesehatan,
berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada tahun 198, 8,1% pada
tahun 1999, dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan
kembali 7% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15%.2
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen
Kesehatan-Unicef tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi
buruk sebanyak 169 kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257
kabupaten/kota lainnya prevalensi tinggi. Dari data Depkes juga terungkap
masalah gizi di Indonesia ternyata lebih serius dari yang kita bayangkan selama
ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita, tetapi semua
kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak.
Sekitar 4 juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya
kekurangan energi kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir
350.000 bayi lahir dengan kekurangan berat badan (berat badan rendah).2
Kasus kematian akibat gizi buruk di Indonesia bukan karena faktor
kelaparan, melainkan penyakit penyerta, seperti infeksi saluran penapasan,
kelainan jantung, dan diare berat. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB)
pada 18 Oktober 2012 lalu contohnya, merupakan masalah serius karena sampai
menyebabkan kematian 21 balita. Untuk itu, petugas kesehatan di NTB diminta
memberikan penanganan yang tepat pada balita gizi buruk, terutama
meningkatkan daya tahan tubuh mereka. Sedangkan menurut Gubernur NTB
Muhammad Zainul Majdi ada faktor lain yang dapat mengakibatkan kasus gizi
buruk masih ada, kasus gizi buruk yang muncul belakangan ini tidak semata-mata
diakibatkan ketidakmampuan ekonomi keluarga, tetapi lebih pada faktor kelalaian
orangtua. Contohnya, ada penderita gizi buruk yang ibunya justru memiliki
gelang emas dan bapaknya merokok dengan santai. Orangtua, kalau makan, lebih
mementingkan diri sendiri daripada anaknya, kata Zainul Majdi.

I.2 TUJUAN
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami mengenai Kurang Energi Protein
b. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Definisi Kurang Energi Protein


Epidemiologi Kurang Energi Protein
Etiologi Kurang Energi Protein
Patofisiologi Kurang Energi Protein
Klasifikasi Kurang Energi Protein
Manifestasi Klinis Kurang Energi Protein
Diagnosis Kurang Energi Protein
Diagnosis Banding Kurang Energi Protein
Tatalaksana Kurang Energi Protein
Komplikasi Kurang Energi Protein
Pencegahan Kurang Energi Protein
Prognosis Kurang Energi Protein

I.3 MANFAAT
1. Bagi pembaca agar dapat menambah pengetahuan untuk dapat lebih
memahami Kurang Energi Protein.
2. Bagi penulis sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari
dengan berbagai teori dan sumber yang ada

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Marasmus-Kwashiorkor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat
yang gejala klinisnya merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang
disebabkan oleh kurangnya asupan energi, dan kwashiorkor, yaitu kondisi yang
disebabkan oleh kurangnya asupan protein sehingga gejalanya disertai edema.1
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekurangan gizi
sebagai "ketidakseimbangan seluler antara asupan nutrisi dan energi dan
kebutuhan tubuh untuk menjamin pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi-fungsi
khusus." Malnutrisi protein-energi (KEP) berlaku untuk sekelompok gangguan
yang berhubungan seperti marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Istilah marasmus berasal dari kata Yunani marasmos, yang berarti layu atau
kurang tenaga. Marasmus berhubungan dengan asupan yang tidak memadai
protein dan kalori dan ditandai oleh kekurusan. Istilah kwashiorkor ini diambil
dari bahasa Ga dari Ghana dan berarti "penyakit dari penyapihan." Williams
pertama kali menggunakan istilah pada tahun 1933, dan mengacu pada asupan
protein yang tidak memadai dengan asupan kalori dan energi yang wajar. Edema
adalah karakteristik dari kwashiorkor namun tidak ada dalam marasmus.3
Studi

menunjukkan

bahwa

marasmus

merupakan

respon

adaptif/penyesuaian terhadap kelaparan, sedangkan kwashiorkor merupakan


respon maladaptive terhadap kelaparan. Anak-anak mungkin datang dengan
gambaran beragam antara marasmus dan kwashiorkor, dan anak-anak dapat
datang dengan bentuk yang lebih ringan dari malnutrisi. Untuk alasan ini, Jelliffe
menyarankan istilah malnutrisi protein-kalori (energi) untuk menyatukan istilah
dari keduanya.3

2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi.
Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita
mengalami gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi
balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah
kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi
yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005,
Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk
yang terjadi di NTT sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan
edaran tanggal 27 Mei tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang
penanganan KLB gizi buruk di propinsi NTB.4

2.3 ETIOLOGI
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada
beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit
tersebut, antara lain faktor diet, faktor social, kepadatan penduduk, infeksi,
kemiskinan, dan lain-lain.2
A. Peranan diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi
kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor,
sedangkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang
akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus.
Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan
Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama, pada
beberapa anak timbul gejala-gejala kwashiorkor, sedangkan pada beberapa
5

anak yang lain timbul gejala-gejala marasmus. Mereka membuat


kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang penting, tetapi ada
faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat menjelaskan timbulknya
gejala tersebut.2
B. Peranan faktor sosial
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang
sudah turun-temurun dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP.
Adakalanya pantangan tersebut didasarkan pada keagamaan, tetapi
ada pula yang merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan itu
didasarkan pada keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika pantangan
tersebut berlangsung karena kebiasaan, maka dengan pendidikan gizi yang
baik dan dilakukan terus-menerus hal tersebut masih dapat diatasi. Faktorfaktor sosial lain yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP
adalah2 :
a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah
mempunyai banyak anak dengan suaminya yang merupakan
pencari nafkah tunggal;
b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan
anak, sehingga dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat
member cukup makan pada anggota keluarganya yang besar itu;
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu,
misalnya pada musim panen mereka pergi memotong padi para
pemilik sawah yang letak sawahnya jauh dari tempat tinggal para
ibu tersebut. Anak-anak terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga
jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian dan pengobatan
semestinya;
d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap
sehingga harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore.
6

Dengan demikian, bayi tersebut tidak mendapat ASI sedangkan


pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak
dilakukan dengan semestinya.
C. Peranan kepadatan penduduk
Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi
dengan bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai
merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan penduduk
merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan
yang bergizi baik di samping kuantitasnya. 2

McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam


jumlah yang banyak jika suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan
keadaan hygiene yang buruk, misalnya, di kota-kota dengan kemungkinan
pertambahan penduduk yang sangat cepat; sedangkan kwashiorkor akan
terdapat dalam jumlah yang banyak di desa-desa dengan penduduk yang
mempunyai kebiasaan untuk member makanan tambahan berupa tepung,
terutama pada anak-anak yang tidak atau tidak cukup mendapat ASI. 2
D. Peranan infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi antara malnutrisi dan infeksi.
Indeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi,
walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negative pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergistis, sebab malnutrisi disertai
infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar daripada
sendiri-sendiri. 2
E. Peranan kemiskinan

Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin dan


terutama merupakan problema bagi golongan termiskin dalam masyarakat
negara tersebut. Pentingnya kemiskinan ditekankan dalam laporan Oda
Advisory Committee on Protein pada tahun 1974. Mereka menganggap
kemiskinan merupakan dasar penyakit KEP. Tidak jarang terjadi bahwa
petani miskin harus menjual tanah miliknya untuk mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari, lalu ia menjadi penggarap yang menurunkan lagi
penghasilannya, atau ia meninggalkan desa untuk mencari nafkah di kota
besar.
Dengan penghasilan yang tetap rendah, ketidakmampuan menanam
bahan makanan sendiri, ditambah pula dengan timbulnya banyak penyakit
infeksi karena kepadatan tempat tinggal seperti telah diutarakan tadi,
timbulnya gejala KEP lebih dipercepat.2

2.4. PATOFISIOLOGI
Banyak manifestasi dari KEP merupakan respon penyesuaian pada
kurangnya asupan energi dan protein. Untuk menghadapi asupan yang
kurang, maka dilakukannya pengurangan energi dan aktifitas. Namun,
meskipun ini respon penyesuaian, deposit

lemak dimoilisasi untuk

memenuhi kebutuhan energi yang sedang berlangsung meskipun rendah.


Setelah deposit lemk habis, katabolisme protein harus menyediakan
substrat yang berkelanjutan untuk menjaga metabolisme basal.
Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang
tidak mengalami edema pada KEP masih belum diketahui. Meskipun tidak
ada faktor spesifik yang ditemukan, beberapa kemungkinan dapat
dipikirkan. Salah satu pemikiran adalah variabilitas antara bayi yang satu
dengan yang lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan komposisi cairan tubuh

saat kekurangan asupan terjadi. Hal ini juga telah dipertimbangkan bahwa
pemberian karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-edematous
KEP membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah,
sehingga deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis albumin
menurun, sehingga terjadi hipoalbuminemia dengan edema. Fatty liver
juga berkembang secara sekunder, mungkin, untuk lipogenesis dari asupan
karbohidrat berlebih dan mengurangi sintesis apoliprotein. Penyebab lain
KEP edematous adalah keracunan aflatoksin serta diare, gangguan fungsi
ginjal dan penurunan aktivitas NA K ATPase. Akhirnya, kerusakan radikal
bebas telah diusulkan sebagai faktor penting dalam munculnya KEP
edematous. Kejadian ini didukung dengan konsentrasi plasma yang rendah
akan metionin, suatu precrusor dari sistein, yang diperlukan untuk sintesis
dari faktor antioksidan major, glutathione. Kemungkinan ini juga didukung
oleh tingkat yang lebih rendah dari sintesis glutathione pada anak-anak
dengan pembengkakan dibandingkan dengan non-edematous KEP. 1

10

2.5 KLASIFIKASI
1. Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP
Jika tujuannya untuk menentukan prevalensi KEP di suatu daerah, maka
yang diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP, hingga dapat
ditentukan persentasi gizi-kurang dan berat di daerah tersebut. Dengan
demikian pemerintah dapat menentukan prioritas tindakan yang harus
diambilnya untuk menurunkan insidensi KEP. Klasifikasi demikian yang
sering dipakai adalah sebagai berikut :2

11

A. Klasifikasi menurut Gomez (1956)


Klasifikasi tersebut didasarkan atas berat badan individu
dibandingkan dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat
seumur. Sebagai baku patokan dipakai persentil 50 baku Harvard
(Stuart dan Stevenson,1954). Gomez mengelompokkan KEP dalam
KEP-ringan, sedang, dan berat. Tabel di bawah memperlihatkan cara
yang dilakukan oleh Gomez.2
Klasifikasi KEP menurut Gomez
Derajat KEP

Berat badan % dari baku*

0 (normal)

90%

1 (ringan)

89-75%

2 (sedang)

74-60%

3 (berat)

<60%

*Baku = persentil 50 Harvard


B. Modifikasi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan R.I.
Demi

keseragaman

dalam

membuat

rencana

dan

mengevaluasi program-program pangan dan gizi serta kesehatan di


Indonesia, maka Lokakarya Antropometri Gizi Departemen Kesehatan
R.I. yang diadakan pada tahun 1975 membuat keputusan yang
merupakan
penggolongan

modifikasi
yang

klasifikasi
ditetapkan

Gomez.
oleh

Berbeda
Gomez,

dengan
lokakarya

mengklasifikasikan status gizi dalam gizi lebih, gizi baik, gizi kurang,
dan gizi buruk. Tabel di bawah memperlihatkan batas-batasnya :2

Klasifikasi KEP menurut Dep.kes. (1975)


12

Derajat KEP

Berat badan % dari baku*

0 = normal

= / > 80 %

1 = gizi kurang

60 79 %

2 = gizi buruk

< 60 %

*Sebagai baku patokan dipakai persentik 50 Harvard

2. Klasifikasi menurut tipe (klasifikasi kualitatif)


Klasifikasi ini menggolongkan KEP dalam kelompok menurut tipenya :
gizi kurang, marasmus, kwashiorkor, dan kwashiorkor marasmik.
A. Klasifikasi kualitatif menurut Wellcome Trust (FAO/WHO
Exp.Comm.,1971)
Cara Wellcome Trust dapat dipraktekkan dengan mudah, tidak
diperlukan penentuan gejala klinis maupun laboratoris, dan dapat
dilakukan oleh tenaga para medis setelah diberi latihan seperlunya.
Untuk survei lapangan guna menentukan prevalensi tipe-tipe KEP
banyak gunanya.
Akan tetapi jika cara Wellcome Trust diterapkan pada penderita
yang sudah beberapa hari dirawat dan dapat pengobatan diet, maka
adakalanya dapat dibuat diagnosa yang salah. Seorang penderita
dengan edema, kelainan kulit, kelainan rambut, dan perubahanperubahan lain yang khas bagi kwashiorkor dengan berat badan lebih
dari 60%, jika dirawat selama 1 minggu akan kehilangan edemanya
dan beratnya dapat menurun dibawah 60% walaupun gejala klinisnya
masih ada. Dengan berat dibawah 60% dan tidak terdapatnya edema,
penderita tersebut dengan klasifikasi Wellcome Trust didiagnosia
sebagai penderita marasmus. Tabel di bawah menunjukkan klasifikasi
kualitatif menurut Wellcome Trust :2
Klasifikasi kualitatif KEP menurut Wellcome Trust

13

Edema

Berat badan % dari baku*

Tidak ada

Ada

> 60 %

Gizi kurang

Kwashiorkor

< 60 %

Marasmus

Kwashiorkor marasmic

* Baku = persentil 50 Harvard


B. Klasifikasi kualitatif menurut McLaren,dkk (1967)
McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut
tipenya. Gejala klinis edema, dermatosis, edema disertai dermatosis,
perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi nilai bersama-sama
dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum. Cara
demikian dikenal dengan scoring system McLaren dan tabel di bawah
memperlihatkan cara pemberian angka

Cara pemberian angka menurut McLaren


Gejala klinis/laboratoris

Angka

Edema

14

Dermatosis

Edema disertai dermatosis

Perubahan pada rambut

Hepatomegali

Albumin seru atau protein total serum/g%


< 1.00

< 3.25

1.00 1.49

3.25 3.99

1.50 1.99

4.00 4.74

2.00 2.49

4.75 5.49

2.50 2.99

5.50 6.24

3.00 3.49

6.25 6.99

3.50 3.99

7.00 7.74

> 4.00

> 7.75

5
4
3
2
1
0

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan


tiap penderita:
0-3 angka

= marasmus

4-8 angka

= marasmic-kwashiorkor

9-15 angka

= kwashiorkor

Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan


cara Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter
dengan bantuan laboratorium.2

C. Klasifikasi KEP Menurut Waterlow (1973)


Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan
menahun. Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi
mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan

15

wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan


akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju
tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting)
untuk seusianya.2
Klasifikasi KEP menurut Waterlow
Derajat gangguan

Stunting

Wasting

(tinggi menurut umur)

(berat terhadap tinggi)

> 95%

> 90 %

95 90 %

90 80 %

89 85 %

80 70 %

< 85 %

< 70 %

Lokakarya Antropometri Dep.Kes.R.I pada tahun 1975 memutuskan untuk


mengambil

baku

Harvard

persentil

50

sebagai

patokan

dan

menggolongkannya sebagai berikut :


Bagi tinggi menurut umur
Tinggi normal : diatas 85 % Harvard persentil 50
Tinggi kurang : 70 84 % Harvard persentil 50
Tinggi sangat kurang : dibawah 0 % Harvard persentil 50
Bagi berat terhadap tinggi
Gizi baik : 90 % atau lebih dari Harvard persentil 50
Gizi kurang dan buruk : di bawah 90 % Harvard persentil 50
Beberapa cara membuat klasifikasi direncanakan sedemikian, hingga
hanya memerlukan alat-alat yang sederhana, tidak diperlukan untuk

16

menkalkulir hasilnya, tidak perlu mengetahui umur yang akan diperiksa,


hingga dapat dilakukan oleh tenaga paramedik atau sukarelawan setelah
mendapat petunjuk seperlunya.2

2.6. MANIFESTASI KLINIS


GEJALA KLINIS KEP
Gejala klinis KEP berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi
protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh adanya
kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Pada KEP ringan yang
ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang, seperti berat badan yang
kurang dibandingkan dengan anak yang sehat. Keadaan KEP yang berat
memberi gejala yang kadang-kadang berlainan, tergantung dari dietnya,
fluktuasi musim, keadaan sanitasi, kepadatan penduduk, dan sebagainya.2
A. Gejala klinis Kwashiorkor

Gambar 1. Manifestasi klinis anak dengan kwashiorkor

17

Penampilan
Penampilannya seperti anak yang gemuk (suger baby) bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein,
walaupun di bagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat
adanya atrofi.2

Gangguan Pertumbuhan
Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari baku
Harvard persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi
badannya terutama jika KEP sudah berlangsung lama. 2

Perubahan Mental
Perubahan mental sangat mencolok. Pada umummnya mereka
banyak menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis.
Perbaikan

kelainan

mental

tersebut

menandakan

suksesnya

pengobatan. 2

Edema
Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian
besar penderita kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat
mengiringi edema. 2

18

Gambar 2. Edema dan kelainan kulit pada kwashiorkor

Atrofi otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring
terus-menerus, walaupun sebelum menderita penyakit demikian
sudah dapat berjalan. 2

Sistem gastro-intestinum
Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia
yang berat penderita menolak segala macam makanan, hingga
adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui sonde lambung.
Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang cair
dan mengandung banyak asam laktak karena mengurangnya

19

produksi lactase dan enzim disakaridase lain. Adakalanya diare


demikian disebabkan pula oleh cacing dan parasit lain. 2

Perubahan rambut
Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya
(texture) maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor
ialah rambut yang mudah dicabut. Pada penyakit kwashiorkor yang
lanjut dapat terlihat rambut kepala yang kusam, kering, halus, jarang,
dan berubah warnanya. Warna rambut yang hitam menjadi merah,
coklat, kelabu, maupun putih. Rambut alispun menunjukkan
perubahan demikian, akan tetapi tidak demikian dengan rambut
matanya yang justru memanjang. 2

Perubahan kulit
Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang
melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy
pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi
penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titiktitik merah menyerupai ptechiae, berpadu menjadi bercak yang
lambat-laun menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas, maka
terdapat bagian-bagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yag
masih hitam. Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan
keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus mendapat tekanan
merupakan

predileksi

crazy

pavement

dermatosis,seperti

di

punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit


lainnya seperti kulit kering dengan garis kulit yang mendalam, luka
yang mendalam tanpa tanda-tanda inflamasi. Kadang-kadang pada
kasus yang sangat lanjut ditemui petechiae tanpa trombositopenia
dengan prognosis yang buruk bagi si penderita. 2

Pembesaran hati

20

Termasuk gejala yang sering ditemukan. Kadang-kadang batas hati


terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar dengan mudah dapat
diraba dan terasa kenyal pada rabahan dengan permukaan yang lici
dan pinggir yang tajam. Sediaan hati demikian jika dilihat dibawah
mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi dengan lemak.
Pada kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat
terutama di segi taga Kirnan, lebih berat penyakitnya lebih banyak
sel hati yang terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat
perlemakan terdapat pada hamper semua sel hati. Adakalanya terlihat
juga adanya fibrosis dan nekrosis hati. 2

Anemia
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita demikian. Bilamana
kwashiorkor disertai oleh penyakit lain, terutama ankylostomiasis,
maka dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis anemia pada
kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik normokrom,
mikrositik hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya.
Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor dapat dijelaskan oleh
kekurangan berbagai faktor yang mengiringi kekurangan protein,
seperti zat besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, tembaga,
insufisiensi hormone, dan sebagainya. Macam anemia yang terjadi
menunjukkan faktor mana yang lebih dominan. Pada pemeriksaan
sumsum tulang sering ditemukan mengurannya sel system eripoitik.
Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan
terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun. 2

Kelainan biokimiawi darah


Ada hipotesis mengatakan bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh
tidak dapat beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh

21

kekurangan protein maupun energi. Oleh sebab itu banyak perubahan


biokimiawi dapat ditemukan pada penderita kwashiorkor, misalnya:
o Albumin serum
Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering
dianggap spesifik dan sudah ditemukan pada tingkat dini, maka
McLarena

member

angka

(skor)

untuk

membedakan

kwashiorkor dan marasmus. Lebih rendah kadar albumin serum,


lebih tinggi pemberian angkanya. 2
o Globulin serum
Kadar globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi
tidak sebanyak menurunnya albumin serum, hingga pada
kwashiorkor terdapat rasio albumin/globulin yang biasanya 2
menjadi lebih rendah, bahkan pada kwashiorkor yang berat
ditemukan rasio yang terbalik. 2
o Kadar kolesterol serum
Pada penderita kwashiorkor, terutama yang berat, kadar
kolesterol darahnya rendah. Mungkin saja rendahnya kolesterol
darah disebabkan oleh makanan sehari-harinya yang terdiri dari
sayuran hingga tidak mengandung kolesterol, atau adanya
gangguan dalam pembentukan kolesterol dalam tubuh. 2
o Tes thymol turbidity(derajat kekeruhan)
Merupakan tes fungsi hati. Penentuan terhadap 109 penderita
kwashiorkor member hasil sebagai berikut : pada 73 penderita
meninggi, sedangkan pada selebihnya tidak. Tidak ditemukan
korelasi antara tingginya kekeruhan dan beratnya perlemakan
hati maupun tingginya angka kematian, maka tes tersebut tidak
mempunyai nilai diagnosis maupun prognosis. 2
22

B. Gejala klinis Marasmus


Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering
dijumpai pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi
makanan penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat
terjadi akibat berbagai penyakit lain, seperti infeksi, kelainan bawaan
saluran pencernaan atau jantung, malabsorbsi, gangguan metabolic,
penyakit ginjal menahun, dan juga pada gangguan saraf pusar. Perhaian
ibu dan pengasuh yang berlebihan sehingga anak dipaksa menghabiskan
makanan yang disediakan, walaupun jumlahnya jauh melampaui
kebutuhannya, dapat menyebabkan anak kehilangan nafsu makannya,
atau muntah begitu melihat makanan atau formula yang akan
diberikannya. Adakalanya anak demikian menolak segala macam
makanan hingga pertumbuhannya terganggu. 2

Gambar 3. Manifestasi klinis marasmus

Penampilan
23

Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua.


Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian
besar lemak dan otot-ototnya. 2

Perubahan mental
Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih
merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada
penderita marasmus yang berat. 2

Kelainan pada kulit tubuh


Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan
banyak lemak dibawah kulit serta otot-ototnya. 2

Kelainan pada rambut kepala


Walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor,
adakalanya tampak rambut kering, tipis dan mudah rontok. 2

Lemak dibawah kulit


Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang. 2

Otot-otot
Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. 2

Saluran pencernaan
Penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. 2

Jantung
Tidak jarang terdapat bradikardi. 2

24

Tekanan darah
Pada umummnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan
dengan anak sehat seumur. 2

Saluran nafas
Terdapat pula frekuensi pernafasan mengurang. 2

Sistem darah
Pada umummnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah. 2

C. Gejala klinis Marasmus-Kwashiorkor


Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran
antara penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya
tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan
yang normal. Pada penderita demikian, disamping menurunnya berat
badan di bawah 60% dari normal memperlihatkan gejala-gejala
kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan
kelainan biokimiawi terlihat pula. 2

25

Gambar 4. Manifestasi klinis Marasmus-Kwashiorkor

2.7. DIAGNOSIS
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada
kedua kaki atau adanya severe wasing (BB/TB < 70 % atau < -3SD), atau
ada gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor, marasmus, dan marasmuskwashiorkor). Walaupun kondisi klinis pada kwashiorkor, marasmus, dan
marasmus kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya sama.5,6
A. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :

BB/TB < -3 SD atau < 70% dari median (marasmus)

26

Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh


(kwashiorkor : BB/TB > -3 SD atau marasmus-kwashiorkor: BB/TB
< -3SD)

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu,
lengan, pantan dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa
adanya edema. 5,6
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena
mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, keciali
jika ditemukan penyakit lain yang berat. 5,6
B. Penilaian awal anak gizi buruk
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan. 5,6
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):

Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lendir)

Kapan terakhir berkemih

Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami


dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera. 5,6
Anamnesis lanjutan

27

Dilakukan

untuk

mencari

penyebab

dan

rencana

tatalaksana

selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratna ditangani:

Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit

Riwayat pemberian ASI

Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari


terakhir

Hilangnya nafsu makan

Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru

Pernah sakit camapat dalam 3 bulang terakhir

Batuk kronik

Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

Berat badan lahir

Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain

Riwayat imunisasi

Apakah ditimbang setiap bulan

Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)

Diketahi atau tersangka infeksi HIV

Pemeriksaan fisik

28

Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua


punggung kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TBPB.

Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati


menentukan status dehidrasi pada gizi buruk)

Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang


melambat, nadi lemah dan cepat) kesadaran menurun.

Demam (suku aksilar 37,50C) atau hipotermi (suhu aksilar <


35,50C)

Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung

Sangat pucat

Pembesaran hati dan ikterus

Adakah perut kembung, bising usu melemah/meninggi, tanda asites,


atau adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal
splash)

Tanda defisiensi vitamin A pada mata :

Gambar 5. Bercak Bitot pada mata

29

o Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot


o Ulkus kornea
o Keratomalasia

Ulkus pada mulut

Fokus infeksi : telinga, tenggorokan, paru, kulit

Lesi kulit pada kwashiorkor :


o Hipo- atau hiper- pigmentasi
o Deskuamasi
o Ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang
telinga)
o Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seingkali
dengan infkesi sekunder (termasuk jamur)

Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir)

Tanda dan gejala HIV

Catatan :

Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia. Penting


untuk memeriksa mata dengan hati-hati untuk menghindari
robeknya kornea.

Pemeriksaan laboratorium terhadap HB dan atau Ht, jika didapatkan


anak sangat pucat5,6.

30

2.8. DIAGNOSIS BANDING


KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu
kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor sehingga perlu
dibedakan dari masing-masing gejala yang telah dijelaskan sebelumnya
di atas.

2.9. PENATALAKSANAAN

31

Gambar 6. Alur pemeriksaan anak gizi buruk

Pada saat masuk rumah sakit

Anak dipisahkan dari pasien infeksi

Ditempatkan di ruangan yang hangat (25-30oC, bebas dari angin)

Dipantau secara rutin

Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera


keringkan.

Demi keberhasilan tatalaksana diperlukan:

Fasilitas dan staf yang professional (Tim Asuhan Gizi)

32

Timbangan badan yang akurat

Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar

Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga


kemajuan selama perawatan dapat dievaluasi

Keterlibatan orang tua

Gambar 7. Alur pelayanan anak gizi buruk di rumah sakit/puskesmas


perawatan
Tatalaksana umum
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dilakukan dengan tatalaksana
syok pada anak dengan gizi buruk :

33

Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak letargis
atau idak sadar.

Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan


tanda syok.

Timbang anak untuk menghitung volume cairan yang harus


diberikan

Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium


gawat darurat)

Masukkan larutan Ringer Laktat dengan dekstrose5% (RLD5%)


atau Ringer Laktat atau Garam Normal pastikan aliran infus
berjalan lancer. Bila gula darah tinggi maka berikan Ringer Laktat
(tanpa dekstrose) atau Garam Normal.

Alirkan cairan infus 10ml/kgBB selama 30 menit

Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama
kali pemberian cairan dan setiap 5-10menit
Jika ada perbaikan tapi belum adekuat (denyut nadi melambat,
frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill >3 detik):
o Berikan lagi cairan di atas 10 ml/kbBB selama 30 menit
o Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah
diberikan
Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat,
frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill < 2 detik):
o Alihkan ke terapi oral atau menggunakan NGT dengan ReSoMal
10ml/kgBB/jam hingga 10 jam

34

o Mulai berikan anak makanan dengan F-75 (resep formula


modifikasi)

Jika tidak ada perbaikan, lanjutkan dengan pemberian cairan


rumatan 4ml/kgBB/jam dan pertimbangkan penyebab lain selain
hipovolemik
o Transfusi darah 10ml/kgBB selama 1 jam (bila ada perdarahan
nyata yang signifikan dan darah tersedia)
o Bila kondisi stabil rujuk ke rumah sakit dengan kemampuan lebih
tinggi.
Jika kondisi anak menurun selama diberikan cairan infus (napas
anak meningkat 5 kali/menit atau denyut nadi 15 kali/menit),
hentikan infus karena cairan infus dapar memperburuk kondisi
anak. Alihkan ke terapi oral atau menggunakan pipa nasogastrik
dengan ReSoMal, 10 ml/kgBB/jam hingga 10 jam.6
Catatan pada saat memberikan penanganan gawat-darurat
pada anak dengan gizi buruk6
Selama proses triase, semua anak dengan gizi buruk akan
diidentifikasi sebagai anak dengan tanda prioritas, artinya mereka
memerlukan pemeriksaan dan penanganan segera.
Pada saat penilaian triase, akan ditemukan sebagian kecil anak gizi
buruk dengan tanda kegawatdaruratan.

35

Gambar 8. Klasifikasi tanda bahaya atau tanda kegawatdaruratan

Hal hal penting yang harus diperhatikan :7


1. Jangan berikan Fe sebelum minggu ke-2 (Fe diberikan pada
fase stabilisasi)
2. Jangan berikan cairan intravena kecuali syok atau dehidrasi
berat.
3. Jangan berikan protein terlalu tinggi pada fase stabilisasi.
4. Jangan berikan diuretic pada penderita kwashiorkor.

36

Anak dengan tanda dehidrasi berat tapi tidak mengalami syok


tidak boleh dilakukan rehidrasi dengan infus. Hal ini karena
diagnosis dehidrasi berat pada anak dengan gizi buruk sulit
dilakukan dan sering terjadi salah diagnosis. Bila diinfus berarti
menempatkan anak ini dalam resiko over-hidrasi dan kematian
karena gagal jantung. Dengan demikian, anak ini harus diberi
perawatan rehidrasi secara oral (melalui mulut) dengan larutan
rehidrasi khusus untuk gizi buruk (ReSoMal). 6

Anak dengan tanda syok dinilai untuk tanda lainnya (letargis atau
tidak sadar). Pada gizi buruk, tanda gawat darurat umum yang
biasa terjadi pada anak syok mungkin timbul walaupun anak
tidak mengalami syok.
o Jika anak letargis atau tidak sadar, jaga agar tetap hangat
dan berikan cairan infus dan glukosa 10% 5ml/kgBB iv.
o Jika anak sadar (tidak syok) jaga agar tetap hangat dan
berikan glukosa 10% 10ml/kgBB lewat mulut atau pipa
nasogastrik dan lakukan segera penilaian menyeluruh dan
pengobatan lebih lanjut. 6

Catatan : ketika memberikan cairan infus untuk anak syok,


pemberian cairan infus tersebut berbeda dengan anak yang dalam
kondisi gizi baik. Syok yang terjadi karena dehidrasi dan sepsis
mungkin dapat terjadi secara bersamaan dan hal ini sulit untuk
dibedakan dengan tampilan klinis semata. Anak dengan dehidrasi
memberikan reaksi yang baik pada pemberian cairan infus (napas
dan denyut nadi lebih lambat, capillary refill lebih cepat). Anak
yang mengalami syok sepsis dan tidak dehidrasi, tidak akan
memberikan reaksi. Jumlah cairan yang diberikan harus melihat
reaksi anak. Hindari terjadi over-hidrasi. Pantau denyut nadi dan
pernapasan pada saat infus dimulai dari tiap 5-10 menit untuk

37

melihat kondisi anak mengalami perbaikan atau tidak. Ingat


bahwa jumlah dan kecepatan aliran cairan infus berbeda pada
gizi buruk. 6

Semua anak dengan gizi buruk membutuhkan penilaian dan


pengobatan segera untuk mengatasi masalah serius seperti
hipoglikemi, hipotermi, infeksi berat, anemia berat dan
kemungkinan besar kebutaan pada mata. Penting juga melakukan
pencegahan timbulnya maslah tersebut bila belum terjadi pada
saat anak dibawa ke rumah sakit. 6

Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena


terdapat berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan
yang dilakukan berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda
penting, yang dikelompokkan menjadi 5, yaitu:7
Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi.Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan
Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama

38

berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis :

5ml/kgBB setiap pemberian


catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30
menit

Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana
III, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis

5ml/kgBB setiap pemberian


catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera,
yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai

dengan berat badan (NGT)


catat nadi, frekuensi nafas

Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare
atau dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas

Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:7
39

Gambar 9. Bagan Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk7

40

Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase
yang harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8
14), faserehabilitasi (Minggu ke 3 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7
26). Dimana tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:7

Gambar 10. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk7


A. Prinsip Dasar Pengobatan Gizi Buruk (10 Langkah utama)
Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia
Tanda-tanda hipoglikemi8 :
1. Hipoglikemi adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah yang
sangat rendah.
2. Anak gizi buruk, dianggap hipoglikemia bila kadar glukosa darah < 3
mmol/liter atau <54 mg/dl.
41

3. Hipoglikemia biasanya juga terjadi bersamaan dengan hipotermia.


4. Tanda lain hipoglikemia adalah letargis, nadi lemah, dan kehilangan
kesadaran.
5. Gejala hipoglikemia berupa berkeringat dan pucat, sangat jarang
dijumpai pada anak gizi buruk.
6. Kematian karena hipoglikemia pada anak gizi buruk, kadang-kadang
hanya didahului dengan tanda seperti mengantuk saja.
7. Di unit pelayanan kesehatan yang belum mampu memeriksa kadar
glukosa darah, setiap anak gizi buruk yang dating harus dianggap
mengalami hipoglikemia. Oleh jarena itu harus segera mendapatkan
perawatan dan penanganan sebagai penderita hipoglikemia.
Cara mengatasi hipoglikemia:8
1. Sadar (tidak letargis)
Berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10% * secara
oral atau NGT (bolus) sebanyak 50ml
2. Tidak sadar (letargis)
Berikan larutan Glukosa 10% secara intravena(iv) (bolus)

sebanyak 5 ml/kgBB
Selanjutnya berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir

10% secara oral atau NGT (bolus) sebanyak 50 ml.


3. Renjatan(syok)
Berikan cairan intravena (iv) berupa Ringer Laktat dan
Dextrose/Glukosa 10% dengan perbandingan 1:1 (=RLG 5%)
sebanyak

15ml/kgBB

selama

jam

pertama

atau

tetes/menit/kgBB
Selanjutnya berika larutan Glukosa 10% secara intravena (iv)
(bolus) sebanyak 5ml/kgBB

*5 gram gula pasir (=1 sendok teh munjung) + air matang s/d 50ml

Pemantauan6 :
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah
setelah 30 menit.

42

Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian

larutan glukosa atau gula 10%.


Jika suhu rectal <35,50C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hiponatremia, ulangi pengukuran
kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan (hiponatremia dan
hipoglikemia).

Pencegahan6 :
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau
jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur
setiap 2-3 jam siang malam.
Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia
Hipotermia8 :
1. Adalah suatu keadaan tubuh dimana suhu aksiler <360C
2. Hipetermia biasanya terjadi bersama-sama dengan

kejadian

hipoglikemia.
3. Hipoglikemia daan hipotermia pada anak gizi buruk biasanya
merupakan tanda dari adanya infeksi sistemik yang serius.
4. Semua anak gizi buruk dengan hiponatremia harus mendapat
pengobatan untuk mengatasi hipoglikemia dan infeksi.
5. Cadangan energi anak gizi buruk sangat terbatas, sehingga tidak
mampu memproduksi panas untuk mempertahankan suhu tubuh.
6. Setiap anak gizi buruk harus dipertahankan suhu tubuhnya dengan
menutup tubuhnya dengan penutup yang memadai.
7. Tindakan menghangatkan tubuh, adalah usaha untuk menghemat
penggunaan cadangan energi pada anak tersebut.

Suhu tubuh 36-370C 8


Keadaan ini pada anak gizi buruk dapat dengan mudah jatuh pada
hiponatremia, cara untuk mempertahankan (pencegahan) agar tidak
hipotermia adalah :
1. Tutuplah tubuh anak termasuk kepalanya
2. Hindari adanya hembusan angin dalam ruang perawatan
3. Petahankan suhu ruangan sekitar 25-300C.

43

4. Jangan membiarkan anak tanpa baju terlalu lama pada saat tindakan
pemeriksaan dan penimbangan.
5. Usahakan tangan dari pemberi perawatan pada saat menangani anak
gizi buruk dalam keadaan hangat.
6. Segeralah ganti baju atau peralatan tidur yang basah oleh karena air
kencing atau keringat atau sebab-sebab yang lain.
7. Bila anak baru saja dibersihkan tubuhnya dengan air, segera
keringkan dengan sebaik-baiknya.
8. Jangan menghangati anak dengan air panas dalam botol, hal ini
untuk menghindari ibu anak/pengasuh lupa membungkus botol
dengan kain akan menyebabkan kulit anak terbakar.
Suhu tubuh <360C (hipotermia)8
Cara untuk memulihkan penderita gizi buruk yang mengalami
hipotermia adalah:
1. Bila suhu <360C harus dilakukan tindakan menghangati untuk
mengembalikan kembali suhu tubuh anak.
2. Pemanasan suhu tubuh anak yang hipotermia adalah dengan cara
kanguru, yaitu dengan mengadakan kontak langsung kulit ibu dan
kulit anak untuk memindahkan panas tubuh ibu kepada tubuh anak
dan anak digendong serta diselimuti seluruh tubuhnya.
3. Pemanasan tubuh anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan
lampu. Lampu harus diletakkan 50cm dari tubuh anak.
4. Suhu tubuh harus dimonitor setiap 30 menit untuk memastikan
bahwa suhu tubuh anak tidak terlalu tinggi akibat pemanasan.
5. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai 370C.
Pemantauan6 :
1. Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat
menjadi 36,50C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap
setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36,50C.
2. Patikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama
pada malam hari.
3. Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi.
Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Diagnosis6
44

Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang


berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk.
Hal ini disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara
tepat pada anak dengan gizi buruk hanya dengan menggunakan gejala
klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak
jelas, anggap dehidrasi ringan.
Catatan: hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.
Tatalaksana6
1. Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, keciali pada kasus dehidrasi
berat dengan/tanpa syok.
2. Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
Beri 5ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.
Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml.kgBB/jam berselangseling dengan F-75 dengan jumlah yang sama setiap jam selama
10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau,
volume tinja yang keluar, dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa
digunakan mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium
rendah; cairan yang lebih tepat adalah ReSoMal.

Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.


Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia
<1th: 50-100ml setiap buang air besar, usia 1 thL 100-200ml
setiap buang air besar.

Resep ReSoMal
ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na, 40 mmol K, 3 mmol Mg per liter
Bahan

Jumlah

Oralit WHO*

1 sachet (200ml)

Gula pasir

10 gr

Larutan mineral-mix**

8 ml

45

Ditambah air sampai menjadi

400

*2,6 g NaCl; 2,9 g trisodium citrate dehydrate, 1.5 g KCl, 13.5 g


glukosa dalam 1L
**Lihat resep larutan mineral mix
Bila larutan mineral mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal
dapat dibuat larutan sebagai berikut:
Bahan

Jumlah

Oralit
Gula pasir
Bubuk Kcl
Ditambah air sampai menjadi

1 sachet (200ml)
10 g
0,8 g
400 ml

Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu,
maka dapat diberikan makanan yang merupakan sumber mineral
tersebut. Dapat pula diberikan MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis
0,3 ml.kgBB, maksimum 2 ml/hari.
Larutan Mineral-mix
Larutan ini digunakan pada pembuatan F-75, F-100 dan ReSoMal.
Jika tidak tersedia larutan mineral-mix siap pakai, buatlah larutan
dengan menggunakan bahan berikut ini :
Bahan

Jumlah (g)

Kalium klorida (KCL)


Tripotassium citrate
Magnesium klorida (MgCl2, 6H2O)
Seng asetat (Zn asetat, 2H2O)
Tembaga sulfat (CuSO4, 5H2O)
Air tambahkan menjadi

89,5
32,4
30,5
3,3
0,56
1000 ml

Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap
setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam
berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat
berbahaya dan bias mengakibatkan gagal jantung dan kematian.6
Periksalah
Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
46

Frekuensi buang air besar dan muntah

Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan
mulai ada dieresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan
fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda
membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak
memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi,
sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.6
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat
5x/menit

dan

frekuensi

nadi

15x/menit),

hentikan

pemberian

cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.6


Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan
pada anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal
sebagai pengganti larutan oralit standar.

Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI


Pemberian F-75 sesegera mungkin
Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.

Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit


Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun
kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg)
sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.9
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema
(jangan obati edema dengan pemberian diuretikum)9
Berikan :
-

Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg

KCl/kgBB/hari)
-

Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2

/kgBB/hari)
47

Untuk

rehidrasi,

berikan

cairan

rendah

natrium

(Resomal/pengganti)
-

Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.

Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang


ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan
tersebut pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.
(Lihat lampiran 6 untuk cara pembuatan larutan).9
Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat/gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya
infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.9
Karenanya pada semua KEP berat/gizi buruk beri secara rutin :
-

Antibiotik spektrum luas

Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah

diimunisasi (tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah


keadaan gizi anak menjadi baik.9

Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama
7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna
mempercepat perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan
oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik
dalam usus halus.9
Pilihan antibiotik spektrum luas:
Bila tanpa komplikasi:

Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2 x/hari selama 5


hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg)

Atau

48

Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :

Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 2 hari,


dilanjutkan dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8
jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50
mg/kgBB setiap 6 jam secara oral.

Dan

Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.

Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan


kloramfenikol 25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.

Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik


spesifik yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan
darah untuk malaria positif.9
Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari.
Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap,
termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten
serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.9
Langkah Ke-6: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien
Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi
(Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai
naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal
dapat memperburuk keadaan infeksinya.9
Berikan setiap hari:
-

Suplementasi multivitamin

Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)

Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari

49

Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari

Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10

mg/kgBB/hari
-

Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12

bulan : 100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan
anak sudah mendapat suplementasi vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada
tanda/gejala defisiensi vit.A, berikan vitamin dosis terapi. 9
Langkah Ke-7: Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar
agar tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat
badan 50 g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya
selera makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara
perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung dan
intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi
makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.9
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan
dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan9 :
-

Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g

per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan
protein 2.9 gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi
bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan
energi dan protein yang sama.
-

Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit

formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali


(=200 ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi:

frekwensi nafas

frekwensi denyut nadi

50

Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi


>25x/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume
pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume
seperti di atas.9
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
-

Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.

Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari

Protein 4-6 gram/kgBB/hari

Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula,

karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuhkejar.9
Pemantauan setelah periode transisi:
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :
-

Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.

Evaluasi kenaikan BB setiap minggu

Bila kenaikan BB:


-

kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh :

cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah
dapat diatasi.
-

Baik ( 50 g/minggu), lanjutkan pemberian makanan

51

Resep formula WHO F-75 dan F-1006


Bahan makanan

Per 1000 ml

F-75

F-75 (=sereal)

F-100

Susu krim bubuk

gram

25

25

85

Gula pasir

gram

100

70

50

Tepung beras/maizena

gram

35

Minyak sayur

gram

27

27

60

Larutan elektrolit

ml

20

20

20

Tambahan air s/d

ml

1000

1000

1000

Energi

Kkal

750

750

1000

Protein

gram

11

29

Laktosa

gram

13

13

42

Kalium

mmol

40

42

63

Natrium

mmol

19

Magnesium

mmol

4.3

4.6

7.3

Seng

mg

20

20

23

Tembaga

mg

2.5

2.5

2.5

% energi protein

12

% energi lemak

32

32

53

mOsm/l

413

334

419

Nilai gizi/1000ml

Osmolaritas

52

Langkah Ke-8: Memberikan makanan untuk tumbuh kejar


Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhatinati karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik
berkurang.9
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan
dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk
memenuhi metabolisme basal.9
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :

Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan

hipo/iso-osmolar.
Berikan secara oral/nasogastrik
Energi : 80 100 kal/kgBB/hari
Protein : 1 1.5 g/kgBB/hari
Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat

edema)
Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah
pemberian formula.

Formula khusus seperti F-75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian


makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip
tersebut di atas: (lihat tabel 2 halaman 24). Berikan formula dengan
cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.9
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal
pemberian makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 23 hari saja (1 hari untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak
mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa
nasogastrik. Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase
stabilisasi ini.9

Pantau dan catat :

53

Jumlah yang diberikan dan sisanya

Muntah

Frekwensi buang air besar dan konsistensi tinja

BB (harian)

Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai


naik, tetapi pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu
bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai
naik.9
Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan
Emosional
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan
perilaku, karenanya berikan:9

Kasih sayang
Lingkungan yang ceria
Terapi bermain terstruktur selama 15 30 menit/hari
Aktifitas fisik segera setelah sembuh
Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).
Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah
Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80%
BB/U, dapat dikatakan anak sembuh.
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan
dirumah setelah penderita dipulangkan.9
Peragakan kepada orangtua :
-

pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan

nutrien yang padat


-

terapi bermain terstruktur.

Sarankan:
-

Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:

54

bulan I

: 1x/minggu

bulan II

: 1x/2 minggu

bulan III

: 1x/bulan

Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)

Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.

B. Pengobatan Penyakit Penyerta


1. Masalah pada mata
Jika anak mempunyai gejala defisiensi vitamin A, lakukan hal
seperti di bawah ini6 :
Gejala

Tindakan

Hanya bercak Bitot

Tidak memerlukan obat tetes mata

saja (tidak ada


gejala mata yang
lain)
Nanah atau

Beri tetes mata kloramfenikol atau tetrasiklin (1%)

peradangan
Kekeruhan pada
kornea
Ulkus pada kornea

Tetes mata kloramfenikol 0,25%-1% atau tetes

tetrasiklin (1%); 1 tetes, 4x sehari, selama 7-10 hari


Tetes mata atropine (1%); 1 tetes, 3x sehari, selama
3-5 hari.

Jika perlu, kedua jenis obat tetes mata tersebut dapat


diberikan secara bersamaan

Jangan menggunakan sediaan yang berbentuk salep.


Gunakan kasa penutup mata yang dibasahi larutan garam

normal.
Gantilah kasa setiap hari.
Beri vitamin A
Umur

Dosis

< 6 bulan

50.000 (1/2 kap

55

6 12 bulan
1-5 tahun

100.000 ( 1 kap
200.000 (1 kaps

Bila ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit


campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan
dosis sesuai umur pada hari ke 1,2, dan 15.6
Catatan :
Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia sehingga
selalu menutup matanya. Penting untuk memeriksa mata
dengan hati-hati untuk menghindari rupture kornea.6
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan jika:
Hb < 4 g/dl
Hb 4-6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau
tanda gagal jantung.
Pada anak gizi burukm transfuse harus diberikan secara lebih
lambat dan dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat.
Beri :
Darah utuk (whole blood), 10 ml/kgBB secara lambat

selama 3 jam,
Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfuse dimulai.

Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah


merah (packed red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan
kwashiorkor mengalami redistribusi cairan sehingga terjadi
penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfuse.
Hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT selama anak
ditransfusi.5,6
Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama
transfuse. Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas meningkat
5x/menit atau nadi 25x/menit), perlambat transfuse.5,6
Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfuse, jangan ulangi
transfuse dalam 4 hari. 5,6
3. Lesi kulit pada kwashiorkor
56

Defisiensi seng (Zn); sering terjadi pada anak dengan


kwashiorkor dan kulitnya akan membaik secara cepat dengan
pemberian suplementasi seng. 5,6
Sebagai tambahan:
Kompres daerah luka dengan larutan Kalium permanganate

PK; KMnO4) 0,01% selama 10menit/hari.


Bubuhi salep/krim (seng dengan minyak kastor, tulle gras)
pada daerah yang kasar, dan bubuhi gentian violet (atau jika

tersedia, salep nistatin) pada lesi kulit yang pecah-pecah.


Hindari penggunaan popok-sekali-pakai agar daerah

perineum tetap kering. 5,6


4. Diare persisten
Tatalaksana
Giardiasis dan kerusakan mukosa usus
Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas

specimen feses.
Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia,
beri Metronidazol 7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).

Intoleransi laktosa
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja.
Tatalaksana intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus
menerus ini menghambat perbaikan secara umum. Perlu diingat
bahwa F-75 sudah merupakan formula rendah laktosa. 5,6
Pada kasus tertentu :

Ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas

laktosa.
Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu
diberikan kembali secara bertahap.

Diare osmotic
Diare osmotic perlu diduga jika diare makin memburuk pada
pemberian F-75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika
kandungan gula dan osmolaritasnya dikurangi. 5,6

57

Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia

dengan osmolaritas yang lebih rendah.


Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.

5. Tuberkulosis
Jika anak diduga kuat menderita tuberkulosis,lakukan: 5,6
Tes Mantoux (walaupun seingkali negative palsu)
Foto thoraks, bila mungkin
Untuk diagnosis dan tatalaksana sesuai dosis pengobatan
TB pada anak
C. Pemulangan dan tindak lanjut
Bila telah tercapai BB/TB > -2SD (setara dengan >80%) dapat dianggap
anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena
anak berperwakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi
harus tetap dilanjutkan di rumah.5,6
Berikan contoh kepada orang tua: 5,6
Menu dan cara membuat makanan kaya energia dan padat dizi serta
frekuensi pemberian makan yang sering.
Sarankan:
Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
Mengikuti program pemberian vitamin A
Pemulangan sebelum sembuh total
Anak-anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk
kambuh. Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan
faktor risiko.
Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan
lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta
untuk mencegah kekambuhan. 5,6
Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil :
Anak seharusnya : 5,6

Telah menyelesaikan pengobatan antibiotic


Mempunyai nafsu makan yang baik
Menunjukkan kenaikan berat badan yang baik
Edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang

58

Ibu atau pengasuh seharusnya : 5,6

Mempunyai waktu untuk mengasuh anak


Memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis,

jumlah dan frekuensi)


Mempunyai sumber daya untuk member makan anak. Jika tidak
mungkin, nasihati tentang dukungan yang tersedia.

Penting untuk mempersiapkan orang tua dalam hal perawatan di rumah.


Hal ini mencakup: 5,6

Pemberian makanan seimbang dengan bahan local yang terjangkau.


Pemberian maknan minimal 5 kali sehari termasuk makanan selingan
(snacks)

tinggi

kalori

di

antara

waktu

makan

(misalnya

susu,pisang,roti, biscuit).
Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya.
Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan makan anak

dapat dicek.
Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit.
ASI diteruskan sebagai tambahan.

Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebeblum sembuh


Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut
sampai anak sembuh:

Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local

untuk melakukan supervise dan pendampingan.


Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan
kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi
penurunan berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit. 5,6

2.9. KOMPLIKASI
Gizi buruk atau KEP berat seperti marasmus-kwashiorkor memiliki
komplikasi-komplikasi yaitu :

Perkembangan mental
Mwnurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada
masa dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA,
dengan akibat terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang

59

walaupun besarnya otak normal. Jika KEP terjadi setelah masa divisi
otak berhenti, hambatan sintesis protein akan menghasilkan otak
dengan jumlah sel yang normal namun dengan ukuran yang lebih
kecil. Dari hasil penelitian Karyadi (1975) terhadap 90 anak yang
pernah menderita KEP bahwa terdapat deifisit IQ pada anak-anak
tersebut, deficit tersebut meningkat pada penderita KEP lebih dini.
Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang abnormal mencapai 30
persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu meningkat hinggal 65
persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.2

Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa
mulut yang bersifat prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan
dagu, biasanya disertai nekrosis sebagian tulang rahang yang
berdekatan dengan lokasi noma tersebut. Noma merupakan salah satu
penyakit yang menyertai KEP berat akibat imunitas tubuh yang
menurun, noma timbul umumnya pada tipe kwashiorkor. 2

Xeroftalmia
Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat
defisiensi dari vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun
dapat juga terjadi pada marasmus. Penyakit ini perlu diwaspadai pada
penderita KEP berat karena ditakutkan akan mengalami kebutaan.2

Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada
umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti
tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Tidak
jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit gizi lainnya. Maka dapat
dimengerti mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi. Daya
tahan tubuh pada penderita KEP berat akan semakin menurun jika
disertai dengan infeksi, sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan
semakin berat.2

2.10. PENCEGAHAN

60

Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi insidensi


KEP dan menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Akan tetapi
tujuan yang lebih luas dalam pencegahan KEP ialah memperbaiki
pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak-anak Indonesia
sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat bekerja baik
dan memiliki kecerdasan yang cukup. Ada berbagai macam cara intervensi
gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu faktor dasar
penyebab KEP (Austin, 1981), yaitu :2

Meningkatkan hasil produksi pertanian, agar persediaan bahan


makanan menjadi lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan

penghasilan rakyat.
Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan

tinggi energi untuk anak-anak yang disapih.


Memperbaiki infrastruktur pemasarna.
Subsidi harga bahan makanan.
Pemberian makanan suplementer.
Pendidikan gizi yang bertujuan untuk mengajarkan rakyat untuk
mengubah kebiasaan mereka dalam menanam bahan makanan dan cara

menghidangkan makanan agar menghasilkan makanan yang bermutu.


Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan:
o Pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu, misalnya ke
Pusksesmas, Posyandu.
o Melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang
memiliki prevalensi yang tinggi.
o Memperbaikin higienitas lingkungan.
o Mendidik rakyat untuk mengunjungi Puskesmas secepatnya jika
kesehatan terganggu.
o Menganjurkan keluarga berencana.

2.11. PROGNOSIS
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian
dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi
prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi ditangani secara
tepat dan cepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan

61

penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang


menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak yang
mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding
terbalik dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan malnutrisi
lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat
perbaikan keadaan gizinya akan cenderung mendapatkan kesembuhan
psikomotornya lebih sempurna dibandingkan dengan anak yang lebih tua,
sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya saja
pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi
marasmus in cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal
pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahanan berat anak, walaupun
jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam batas yang
normal.1,2

62

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara
di dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmikkwashiorkor, yang diakibatkan defisiensi protein berat dan pemasukan kalori
yang sedikit atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain
hambatan pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot,
perubahan tekstur dan warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur
yang tegas dalam, pembesaran hati, anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain.
Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik (gejala klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan
laboratorium yang memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol,
glukosa, gangguan keseimbangan elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi
mikronutrien yang penting bagi tubuh.
Penatalaksanaan gizi buruk secara umum memiliki 10 prinsip yang harus
dilakukan yaitu mengatasi/mencegah hipoglikemia, mengatasi/mencegah
hiponatremia,

mengatasi/mencegah

dehidrasi,

koreksi

gangguan

keseimbangan elektrolit, obati/cegah infeksi, mulai pemberian makanan,


fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth), koreksi defisiensi nutrient mikro,
stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental, persiapkan dan rencanakan
tindak lanjut setelah sembuh.
3.2. SARAN
Marasmus-kwashiorkor merupakan salah satu manifestasi klinis dari
kurang energi protein berat yang sering terjadi dan anak-anaklah yang banyak
mengalami kondisi gizi buruk ini. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan
banyak

anak

Indoneisa

yang

tumbuh

kembangnya

terhambat

dan

mempengaruhi sumber daya manusianya di kemudian hari, sehingga

63

diperlukan usaha yang lebih untuk menanggulangi permasalahan tersebut,


seperti:
1. Anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sebaiknya
mendapatkan asupan gizi yang adekuat sesuai empat sehat lima
sempurna, yaitu kecukupan karbohidrat, lemak, protein, serat, vitamin
dan mineral dalam makanan sehari-harinya.
2. Orang tua lebih memperhatikan asupan anak-anaknya apakah makanan
yang diberikan sudah mencukupi nutrisi yang dibutuhkan dalam masa
tumbuh kembang serta secara rutin memeriksakan anaknya ke pusat
kesehatan terdekat seperti posyandu atau puskesmas untuk memantau
tumbuh kembang anak-anaknya.
3. Pemerintah bersama dengan masyarakat melalui posyandu dan
puskesmas turut berperan aktif sebagai basis terdepan dalam usaha
meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama anak-anak dalam
menuju Indonesia sehat di masa depan.
4. Pemerintah menggalakan kembali program Keluarga Berencana
melalui puskesmas-puskesmas maupun pusat kseshatan lain yang
tersebar di kota maupun di daerah tertinggal untuk menekan tingkat
pertumbuhan penduduk sehingga dengan rendahnya pertumbuhan
penduduk maka akan meningkatkan tingkat kesejahteraan individu dan
keluarga teruama anak-anak, Sehingga kasus gizi buruk pada anakanak dapat ditekan serendah mungkin.

64

DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics.18th Edition. United States of America : Sunders Elsevier Inc.2007.
Hal : 229-232.
2. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi
Klinis pada Anak. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia.
Jakarta. 2005 : 95-137.
3. Emedicine. Protein Energy Malnutrition. Diunduh pada tanggal 18 Agustus
2013

dari

http://emedicine.medscape.com/article/1104623-

overview#a0101

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina


Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan
Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2008.
5. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Management
of the Child with Serious Infection or Severe Malnutrition : Guidelines for
Care at the First-Refferal Level in Developing Countries.United States of
America : World Health Organization. 2000. Hal : 80-91.
6. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku : Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit, Pedoman Bagi Rumah Sakit Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta : Departemen Kesehatan dan WHO. 2009. Hal : 193-221.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2011.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Petunjuk
Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2011.
9. Indonesian Nutrition Network. Pedoman Tata Laksana KEP pada Anak di
Rumah Sakit Kabupaten/Kota. Diunduh tanggal 18 Agustus 2013 dari :
http://gizi.depkes.go.id/pedoman-gizi/pd-kep-kab-kota.shtml

65

Anda mungkin juga menyukai