PENDAHULUAN
WHO tahun 1999 menyatakan terdapat kematian 10,5 juta anak usia
kurang dari 5 tahun dan 99% diantaranya tinggal di negara berkembang. Penyebab
kematiannya antara lain 54% adalah karena malnutrisi, disusul dengan kondisi
perinatal yang kurang baik, pneumonia, diare, DI dan lainnya.1
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi
kesehatan masyarakat dan masih menjadi maslaah utama di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. KEP dimanifestasikan secara primer akibat
kurangnya asupan diet yang mengandung energi dan protein secara tidak adekuat,
baik karena kurangnya asupan kedua nutrisi ini yang seharusnya digunakan untuk
pertumbuhan normal, maupun karena kebutuhan tubuh akan kedua nutrisi tersebut
yang meningkat yang tidak sesuai dengan asupan yang tersedia.
Namun, karena KEP hampir selalu disertai dengan kekurangan nutrisinutrisi lain, istilah Kurang Gizi Berat Pada Anak-Anak atau Severe Childhood
Undernutrition (SCU), lebih tepat menggambarkan keadaan tersebut. SCU, baik
primer maupun sekunder, merupakan spectrum yang memiliki rentang dari
kekurangan gizi ringan yang ditandai dengan berkurangnya rasio tinggi badan dan
berat badan sesuai umur, hingga kekurangan gizi yang berat yang ditandai dengan
berkurangnya rasio tinggi badan dan berat badan yang signifikan sesuai umur
disertai dengan wasting/ pengurangan atau kehilangan massa otot (bertambah
kurus), yaitu penurunan rasio berat badan sesuai tinggi badan normal. SCU
dibedakan secara klinis menjadi 3, yaitu : 1
Marasmus (penurunan berat badan/wasting yang berat tanpa
disertai edema)
Kwashiorkor (ditandai dengan edema)
Marasmus-Kwashiorkor (merupakan gabungan keduanya, ditandai
dengan wasting dan edema)
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan
bahwa jumlah balita yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989
meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6%
pada tahun 1995. Upaya pemerintah antara lain melalui pemberian makanan
tambahan dalam jaringan pengamanan social (JPS) dan peningkatan pelayanan
gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi buruk kepada tenaga kesehatan,
berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada tahun 198, 8,1% pada
tahun 1999, dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan
kembali 7% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15%.2
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen
Kesehatan-Unicef tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi
buruk sebanyak 169 kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257
kabupaten/kota lainnya prevalensi tinggi. Dari data Depkes juga terungkap
masalah gizi di Indonesia ternyata lebih serius dari yang kita bayangkan selama
ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita, tetapi semua
kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak.
Sekitar 4 juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya
kekurangan energi kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir
350.000 bayi lahir dengan kekurangan berat badan (berat badan rendah).2
Kasus kematian akibat gizi buruk di Indonesia bukan karena faktor
kelaparan, melainkan penyakit penyerta, seperti infeksi saluran penapasan,
kelainan jantung, dan diare berat. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB)
pada 18 Oktober 2012 lalu contohnya, merupakan masalah serius karena sampai
menyebabkan kematian 21 balita. Untuk itu, petugas kesehatan di NTB diminta
memberikan penanganan yang tepat pada balita gizi buruk, terutama
meningkatkan daya tahan tubuh mereka. Sedangkan menurut Gubernur NTB
Muhammad Zainul Majdi ada faktor lain yang dapat mengakibatkan kasus gizi
buruk masih ada, kasus gizi buruk yang muncul belakangan ini tidak semata-mata
diakibatkan ketidakmampuan ekonomi keluarga, tetapi lebih pada faktor kelalaian
orangtua. Contohnya, ada penderita gizi buruk yang ibunya justru memiliki
gelang emas dan bapaknya merokok dengan santai. Orangtua, kalau makan, lebih
mementingkan diri sendiri daripada anaknya, kata Zainul Majdi.
I.2 TUJUAN
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami mengenai Kurang Energi Protein
b. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
I.3 MANFAAT
1. Bagi pembaca agar dapat menambah pengetahuan untuk dapat lebih
memahami Kurang Energi Protein.
2. Bagi penulis sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari
dengan berbagai teori dan sumber yang ada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Marasmus-Kwashiorkor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat
yang gejala klinisnya merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang
disebabkan oleh kurangnya asupan energi, dan kwashiorkor, yaitu kondisi yang
disebabkan oleh kurangnya asupan protein sehingga gejalanya disertai edema.1
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekurangan gizi
sebagai "ketidakseimbangan seluler antara asupan nutrisi dan energi dan
kebutuhan tubuh untuk menjamin pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi-fungsi
khusus." Malnutrisi protein-energi (KEP) berlaku untuk sekelompok gangguan
yang berhubungan seperti marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Istilah marasmus berasal dari kata Yunani marasmos, yang berarti layu atau
kurang tenaga. Marasmus berhubungan dengan asupan yang tidak memadai
protein dan kalori dan ditandai oleh kekurusan. Istilah kwashiorkor ini diambil
dari bahasa Ga dari Ghana dan berarti "penyakit dari penyapihan." Williams
pertama kali menggunakan istilah pada tahun 1933, dan mengacu pada asupan
protein yang tidak memadai dengan asupan kalori dan energi yang wajar. Edema
adalah karakteristik dari kwashiorkor namun tidak ada dalam marasmus.3
Studi
menunjukkan
bahwa
marasmus
merupakan
respon
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi.
Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita
mengalami gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi
balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah
kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi
yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005,
Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk
yang terjadi di NTT sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan
edaran tanggal 27 Mei tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang
penanganan KLB gizi buruk di propinsi NTB.4
2.3 ETIOLOGI
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada
beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit
tersebut, antara lain faktor diet, faktor social, kepadatan penduduk, infeksi,
kemiskinan, dan lain-lain.2
A. Peranan diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi
kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor,
sedangkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang
akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus.
Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan
Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama, pada
beberapa anak timbul gejala-gejala kwashiorkor, sedangkan pada beberapa
5
2.4. PATOFISIOLOGI
Banyak manifestasi dari KEP merupakan respon penyesuaian pada
kurangnya asupan energi dan protein. Untuk menghadapi asupan yang
kurang, maka dilakukannya pengurangan energi dan aktifitas. Namun,
meskipun ini respon penyesuaian, deposit
saat kekurangan asupan terjadi. Hal ini juga telah dipertimbangkan bahwa
pemberian karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-edematous
KEP membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah,
sehingga deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis albumin
menurun, sehingga terjadi hipoalbuminemia dengan edema. Fatty liver
juga berkembang secara sekunder, mungkin, untuk lipogenesis dari asupan
karbohidrat berlebih dan mengurangi sintesis apoliprotein. Penyebab lain
KEP edematous adalah keracunan aflatoksin serta diare, gangguan fungsi
ginjal dan penurunan aktivitas NA K ATPase. Akhirnya, kerusakan radikal
bebas telah diusulkan sebagai faktor penting dalam munculnya KEP
edematous. Kejadian ini didukung dengan konsentrasi plasma yang rendah
akan metionin, suatu precrusor dari sistein, yang diperlukan untuk sintesis
dari faktor antioksidan major, glutathione. Kemungkinan ini juga didukung
oleh tingkat yang lebih rendah dari sintesis glutathione pada anak-anak
dengan pembengkakan dibandingkan dengan non-edematous KEP. 1
10
2.5 KLASIFIKASI
1. Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP
Jika tujuannya untuk menentukan prevalensi KEP di suatu daerah, maka
yang diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP, hingga dapat
ditentukan persentasi gizi-kurang dan berat di daerah tersebut. Dengan
demikian pemerintah dapat menentukan prioritas tindakan yang harus
diambilnya untuk menurunkan insidensi KEP. Klasifikasi demikian yang
sering dipakai adalah sebagai berikut :2
11
0 (normal)
90%
1 (ringan)
89-75%
2 (sedang)
74-60%
3 (berat)
<60%
keseragaman
dalam
membuat
rencana
dan
modifikasi
yang
klasifikasi
ditetapkan
Gomez.
oleh
Berbeda
Gomez,
dengan
lokakarya
mengklasifikasikan status gizi dalam gizi lebih, gizi baik, gizi kurang,
dan gizi buruk. Tabel di bawah memperlihatkan batas-batasnya :2
Derajat KEP
0 = normal
= / > 80 %
1 = gizi kurang
60 79 %
2 = gizi buruk
< 60 %
13
Edema
Tidak ada
Ada
> 60 %
Gizi kurang
Kwashiorkor
< 60 %
Marasmus
Kwashiorkor marasmic
Angka
Edema
14
Dermatosis
Hepatomegali
< 3.25
1.00 1.49
3.25 3.99
1.50 1.99
4.00 4.74
2.00 2.49
4.75 5.49
2.50 2.99
5.50 6.24
3.00 3.49
6.25 6.99
3.50 3.99
7.00 7.74
> 4.00
> 7.75
5
4
3
2
1
0
= marasmus
4-8 angka
= marasmic-kwashiorkor
9-15 angka
= kwashiorkor
15
Stunting
Wasting
> 95%
> 90 %
95 90 %
90 80 %
89 85 %
80 70 %
< 85 %
< 70 %
baku
Harvard
persentil
50
sebagai
patokan
dan
16
17
Penampilan
Penampilannya seperti anak yang gemuk (suger baby) bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein,
walaupun di bagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat
adanya atrofi.2
Gangguan Pertumbuhan
Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari baku
Harvard persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi
badannya terutama jika KEP sudah berlangsung lama. 2
Perubahan Mental
Perubahan mental sangat mencolok. Pada umummnya mereka
banyak menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis.
Perbaikan
kelainan
mental
tersebut
menandakan
suksesnya
pengobatan. 2
Edema
Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian
besar penderita kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat
mengiringi edema. 2
18
Atrofi otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring
terus-menerus, walaupun sebelum menderita penyakit demikian
sudah dapat berjalan. 2
Sistem gastro-intestinum
Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia
yang berat penderita menolak segala macam makanan, hingga
adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui sonde lambung.
Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang cair
dan mengandung banyak asam laktak karena mengurangnya
19
Perubahan rambut
Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya
(texture) maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor
ialah rambut yang mudah dicabut. Pada penyakit kwashiorkor yang
lanjut dapat terlihat rambut kepala yang kusam, kering, halus, jarang,
dan berubah warnanya. Warna rambut yang hitam menjadi merah,
coklat, kelabu, maupun putih. Rambut alispun menunjukkan
perubahan demikian, akan tetapi tidak demikian dengan rambut
matanya yang justru memanjang. 2
Perubahan kulit
Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang
melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy
pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi
penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titiktitik merah menyerupai ptechiae, berpadu menjadi bercak yang
lambat-laun menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas, maka
terdapat bagian-bagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yag
masih hitam. Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan
keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus mendapat tekanan
merupakan
predileksi
crazy
pavement
dermatosis,seperti
di
Pembesaran hati
20
Anemia
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita demikian. Bilamana
kwashiorkor disertai oleh penyakit lain, terutama ankylostomiasis,
maka dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis anemia pada
kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik normokrom,
mikrositik hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya.
Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor dapat dijelaskan oleh
kekurangan berbagai faktor yang mengiringi kekurangan protein,
seperti zat besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, tembaga,
insufisiensi hormone, dan sebagainya. Macam anemia yang terjadi
menunjukkan faktor mana yang lebih dominan. Pada pemeriksaan
sumsum tulang sering ditemukan mengurannya sel system eripoitik.
Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan
terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun. 2
21
member
angka
(skor)
untuk
membedakan
Penampilan
23
Perubahan mental
Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih
merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada
penderita marasmus yang berat. 2
Otot-otot
Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. 2
Saluran pencernaan
Penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. 2
Jantung
Tidak jarang terdapat bradikardi. 2
24
Tekanan darah
Pada umummnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan
dengan anak sehat seumur. 2
Saluran nafas
Terdapat pula frekuensi pernafasan mengurang. 2
Sistem darah
Pada umummnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah. 2
25
2.7. DIAGNOSIS
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada
kedua kaki atau adanya severe wasing (BB/TB < 70 % atau < -3SD), atau
ada gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor, marasmus, dan marasmuskwashiorkor). Walaupun kondisi klinis pada kwashiorkor, marasmus, dan
marasmus kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya sama.5,6
A. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
26
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu,
lengan, pantan dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa
adanya edema. 5,6
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena
mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, keciali
jika ditemukan penyakit lain yang berat. 5,6
B. Penilaian awal anak gizi buruk
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan. 5,6
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lendir)
27
Dilakukan
untuk
mencari
penyebab
dan
rencana
tatalaksana
Batuk kronik
Riwayat imunisasi
Pemeriksaan fisik
28
Sangat pucat
29
Catatan :
30
2.9. PENATALAKSANAAN
31
32
33
Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak letargis
atau idak sadar.
Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama
kali pemberian cairan dan setiap 5-10menit
Jika ada perbaikan tapi belum adekuat (denyut nadi melambat,
frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill >3 detik):
o Berikan lagi cairan di atas 10 ml/kbBB selama 30 menit
o Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah
diberikan
Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat,
frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill < 2 detik):
o Alihkan ke terapi oral atau menggunakan NGT dengan ReSoMal
10ml/kgBB/jam hingga 10 jam
34
35
36
Anak dengan tanda syok dinilai untuk tanda lainnya (letargis atau
tidak sadar). Pada gizi buruk, tanda gawat darurat umum yang
biasa terjadi pada anak syok mungkin timbul walaupun anak
tidak mengalami syok.
o Jika anak letargis atau tidak sadar, jaga agar tetap hangat
dan berikan cairan infus dan glukosa 10% 5ml/kgBB iv.
o Jika anak sadar (tidak syok) jaga agar tetap hangat dan
berikan glukosa 10% 10ml/kgBB lewat mulut atau pipa
nasogastrik dan lakukan segera penilaian menyeluruh dan
pengobatan lebih lanjut. 6
37
38
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana
III, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis
Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera,
yaitu:7
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare
atau dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:7
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas
Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:7
39
40
Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase
yang harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8
14), faserehabilitasi (Minggu ke 3 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7
26). Dimana tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:7
sebanyak 5 ml/kgBB
Selanjutnya berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir
15ml/kgBB
selama
jam
pertama
atau
tetes/menit/kgBB
Selanjutnya berika larutan Glukosa 10% secara intravena (iv)
(bolus) sebanyak 5ml/kgBB
*5 gram gula pasir (=1 sendok teh munjung) + air matang s/d 50ml
Pemantauan6 :
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah
setelah 30 menit.
42
Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian
Pencegahan6 :
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau
jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur
setiap 2-3 jam siang malam.
Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia
Hipotermia8 :
1. Adalah suatu keadaan tubuh dimana suhu aksiler <360C
2. Hipetermia biasanya terjadi bersama-sama dengan
kejadian
hipoglikemia.
3. Hipoglikemia daan hipotermia pada anak gizi buruk biasanya
merupakan tanda dari adanya infeksi sistemik yang serius.
4. Semua anak gizi buruk dengan hiponatremia harus mendapat
pengobatan untuk mengatasi hipoglikemia dan infeksi.
5. Cadangan energi anak gizi buruk sangat terbatas, sehingga tidak
mampu memproduksi panas untuk mempertahankan suhu tubuh.
6. Setiap anak gizi buruk harus dipertahankan suhu tubuhnya dengan
menutup tubuhnya dengan penutup yang memadai.
7. Tindakan menghangatkan tubuh, adalah usaha untuk menghemat
penggunaan cadangan energi pada anak tersebut.
43
4. Jangan membiarkan anak tanpa baju terlalu lama pada saat tindakan
pemeriksaan dan penimbangan.
5. Usahakan tangan dari pemberi perawatan pada saat menangani anak
gizi buruk dalam keadaan hangat.
6. Segeralah ganti baju atau peralatan tidur yang basah oleh karena air
kencing atau keringat atau sebab-sebab yang lain.
7. Bila anak baru saja dibersihkan tubuhnya dengan air, segera
keringkan dengan sebaik-baiknya.
8. Jangan menghangati anak dengan air panas dalam botol, hal ini
untuk menghindari ibu anak/pengasuh lupa membungkus botol
dengan kain akan menyebabkan kulit anak terbakar.
Suhu tubuh <360C (hipotermia)8
Cara untuk memulihkan penderita gizi buruk yang mengalami
hipotermia adalah:
1. Bila suhu <360C harus dilakukan tindakan menghangati untuk
mengembalikan kembali suhu tubuh anak.
2. Pemanasan suhu tubuh anak yang hipotermia adalah dengan cara
kanguru, yaitu dengan mengadakan kontak langsung kulit ibu dan
kulit anak untuk memindahkan panas tubuh ibu kepada tubuh anak
dan anak digendong serta diselimuti seluruh tubuhnya.
3. Pemanasan tubuh anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan
lampu. Lampu harus diletakkan 50cm dari tubuh anak.
4. Suhu tubuh harus dimonitor setiap 30 menit untuk memastikan
bahwa suhu tubuh anak tidak terlalu tinggi akibat pemanasan.
5. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai 370C.
Pemantauan6 :
1. Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat
menjadi 36,50C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap
setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36,50C.
2. Patikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama
pada malam hari.
3. Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi.
Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Diagnosis6
44
Resep ReSoMal
ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na, 40 mmol K, 3 mmol Mg per liter
Bahan
Jumlah
Oralit WHO*
1 sachet (200ml)
Gula pasir
10 gr
Larutan mineral-mix**
8 ml
45
400
Jumlah
Oralit
Gula pasir
Bubuk Kcl
Ditambah air sampai menjadi
1 sachet (200ml)
10 g
0,8 g
400 ml
Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu,
maka dapat diberikan makanan yang merupakan sumber mineral
tersebut. Dapat pula diberikan MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis
0,3 ml.kgBB, maksimum 2 ml/hari.
Larutan Mineral-mix
Larutan ini digunakan pada pembuatan F-75, F-100 dan ReSoMal.
Jika tidak tersedia larutan mineral-mix siap pakai, buatlah larutan
dengan menggunakan bahan berikut ini :
Bahan
Jumlah (g)
89,5
32,4
30,5
3,3
0,56
1000 ml
Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap
setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam
berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat
berbahaya dan bias mengakibatkan gagal jantung dan kematian.6
Periksalah
Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
46
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan
mulai ada dieresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan
fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda
membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak
memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi,
sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.6
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat
5x/menit
dan
frekuensi
nadi
15x/menit),
hentikan
pemberian
KCl/kgBB/hari)
-
/kgBB/hari)
47
Untuk
rehidrasi,
berikan
cairan
rendah
natrium
(Resomal/pengganti)
-
Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah
Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama
7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna
mempercepat perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan
oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik
dalam usus halus.9
Pilihan antibiotik spektrum luas:
Bila tanpa komplikasi:
Atau
48
Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :
Dan
Suplementasi multivitamin
49
mg/kgBB/hari
-
Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12
bulan : 100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan
anak sudah mendapat suplementasi vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada
tanda/gejala defisiensi vit.A, berikan vitamin dosis terapi. 9
Langkah Ke-7: Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar
agar tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat
badan 50 g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya
selera makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara
perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung dan
intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi
makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.9
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan
dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan9 :
-
per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan
protein 2.9 gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi
bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan
energi dan protein yang sama.
-
frekwensi nafas
50
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula,
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuhkejar.9
Pemantauan setelah periode transisi:
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :
-
cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah
dapat diatasi.
-
51
Per 1000 ml
F-75
F-75 (=sereal)
F-100
gram
25
25
85
Gula pasir
gram
100
70
50
Tepung beras/maizena
gram
35
Minyak sayur
gram
27
27
60
Larutan elektrolit
ml
20
20
20
ml
1000
1000
1000
Energi
Kkal
750
750
1000
Protein
gram
11
29
Laktosa
gram
13
13
42
Kalium
mmol
40
42
63
Natrium
mmol
19
Magnesium
mmol
4.3
4.6
7.3
Seng
mg
20
20
23
Tembaga
mg
2.5
2.5
2.5
% energi protein
12
% energi lemak
32
32
53
mOsm/l
413
334
419
Nilai gizi/1000ml
Osmolaritas
52
hipo/iso-osmolar.
Berikan secara oral/nasogastrik
Energi : 80 100 kal/kgBB/hari
Protein : 1 1.5 g/kgBB/hari
Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat
edema)
Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah
pemberian formula.
53
Muntah
BB (harian)
Kasih sayang
Lingkungan yang ceria
Terapi bermain terstruktur selama 15 30 menit/hari
Aktifitas fisik segera setelah sembuh
Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).
Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah
Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80%
BB/U, dapat dikatakan anak sembuh.
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan
dirumah setelah penderita dipulangkan.9
Peragakan kepada orangtua :
-
Sarankan:
-
54
bulan I
: 1x/minggu
bulan II
: 1x/2 minggu
bulan III
: 1x/bulan
Tindakan
peradangan
Kekeruhan pada
kornea
Ulkus pada kornea
normal.
Gantilah kasa setiap hari.
Beri vitamin A
Umur
Dosis
< 6 bulan
55
6 12 bulan
1-5 tahun
100.000 ( 1 kap
200.000 (1 kaps
selama 3 jam,
Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfuse dimulai.
specimen feses.
Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia,
beri Metronidazol 7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).
Intoleransi laktosa
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja.
Tatalaksana intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus
menerus ini menghambat perbaikan secara umum. Perlu diingat
bahwa F-75 sudah merupakan formula rendah laktosa. 5,6
Pada kasus tertentu :
laktosa.
Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu
diberikan kembali secara bertahap.
Diare osmotic
Diare osmotic perlu diduga jika diare makin memburuk pada
pemberian F-75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika
kandungan gula dan osmolaritasnya dikurangi. 5,6
57
5. Tuberkulosis
Jika anak diduga kuat menderita tuberkulosis,lakukan: 5,6
Tes Mantoux (walaupun seingkali negative palsu)
Foto thoraks, bila mungkin
Untuk diagnosis dan tatalaksana sesuai dosis pengobatan
TB pada anak
C. Pemulangan dan tindak lanjut
Bila telah tercapai BB/TB > -2SD (setara dengan >80%) dapat dianggap
anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena
anak berperwakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi
harus tetap dilanjutkan di rumah.5,6
Berikan contoh kepada orang tua: 5,6
Menu dan cara membuat makanan kaya energia dan padat dizi serta
frekuensi pemberian makan yang sering.
Sarankan:
Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
Mengikuti program pemberian vitamin A
Pemulangan sebelum sembuh total
Anak-anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk
kambuh. Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan
faktor risiko.
Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan
lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta
untuk mencegah kekambuhan. 5,6
Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil :
Anak seharusnya : 5,6
58
tinggi
kalori
di
antara
waktu
makan
(misalnya
susu,pisang,roti, biscuit).
Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya.
Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan makan anak
dapat dicek.
Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit.
ASI diteruskan sebagai tambahan.
Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local
2.9. KOMPLIKASI
Gizi buruk atau KEP berat seperti marasmus-kwashiorkor memiliki
komplikasi-komplikasi yaitu :
Perkembangan mental
Mwnurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada
masa dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA,
dengan akibat terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang
59
walaupun besarnya otak normal. Jika KEP terjadi setelah masa divisi
otak berhenti, hambatan sintesis protein akan menghasilkan otak
dengan jumlah sel yang normal namun dengan ukuran yang lebih
kecil. Dari hasil penelitian Karyadi (1975) terhadap 90 anak yang
pernah menderita KEP bahwa terdapat deifisit IQ pada anak-anak
tersebut, deficit tersebut meningkat pada penderita KEP lebih dini.
Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang abnormal mencapai 30
persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu meningkat hinggal 65
persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.2
Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa
mulut yang bersifat prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan
dagu, biasanya disertai nekrosis sebagian tulang rahang yang
berdekatan dengan lokasi noma tersebut. Noma merupakan salah satu
penyakit yang menyertai KEP berat akibat imunitas tubuh yang
menurun, noma timbul umumnya pada tipe kwashiorkor. 2
Xeroftalmia
Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat
defisiensi dari vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun
dapat juga terjadi pada marasmus. Penyakit ini perlu diwaspadai pada
penderita KEP berat karena ditakutkan akan mengalami kebutaan.2
Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada
umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti
tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Tidak
jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit gizi lainnya. Maka dapat
dimengerti mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi. Daya
tahan tubuh pada penderita KEP berat akan semakin menurun jika
disertai dengan infeksi, sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan
semakin berat.2
2.10. PENCEGAHAN
60
penghasilan rakyat.
Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan
2.11. PROGNOSIS
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian
dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi
prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi ditangani secara
tepat dan cepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan
61
62
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara
di dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmikkwashiorkor, yang diakibatkan defisiensi protein berat dan pemasukan kalori
yang sedikit atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain
hambatan pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot,
perubahan tekstur dan warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur
yang tegas dalam, pembesaran hati, anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain.
Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik (gejala klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan
laboratorium yang memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol,
glukosa, gangguan keseimbangan elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi
mikronutrien yang penting bagi tubuh.
Penatalaksanaan gizi buruk secara umum memiliki 10 prinsip yang harus
dilakukan yaitu mengatasi/mencegah hipoglikemia, mengatasi/mencegah
hiponatremia,
mengatasi/mencegah
dehidrasi,
koreksi
gangguan
anak
Indoneisa
yang
tumbuh
kembangnya
terhambat
dan
63
64
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics.18th Edition. United States of America : Sunders Elsevier Inc.2007.
Hal : 229-232.
2. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi
Klinis pada Anak. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia.
Jakarta. 2005 : 95-137.
3. Emedicine. Protein Energy Malnutrition. Diunduh pada tanggal 18 Agustus
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-
overview#a0101
65