Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,
baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah berada
didalam pembuluh darah vena, obat obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh
melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masing masing dan akhirnya
diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing.
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan
pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat
anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi
dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.
Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting, membutuhkan
pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor pembedahan yang akan
dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional anestesi dikatakan lebih aman
daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa teknik yang satu
lebih baik dari yang lain, sehingga penentuan teknik anestesi menjadi sangat penting.
Pemahaman tentang sirkulasi darah sangatlah penting sebelum obat dapat diberikan
secara langsung ke dalam aliran darah, kedua hal tersebut yang menjadi dasar pemikiran
sebelum akhirnya anestesi intravena berhasil ditemukan.
William Morton , tahun 1846 di Boston , pertama kali menggunakan obat anestesi
dietil eter untuk menghilangkan nyeri selama operasi. Di jerman tahun 1909, Ludwig
Burkhardt, melakukan pembiusan dengan menggunakan kloroform dan ether melalui
intravena, tujuh tahun kemudian, Elisabeth Brendenfeld dari Swiss melaporkan penggunaan
morfin dan skopolamin secara intravena.
Sejak diperkenalkan di klinis pada tahun 1934, Thiopental menjadi Gold Standard
dari obat obat anestesi lainnya, berbagai jenis obat-obat hipnotik tersedia dalam bentuk
1

intavena, namun obat anestesi intravena yang ideal belum bisa ditemukan. Penemuan obat
obat ini masih terus berlangsung sampai sekarang.
Sebagian besar dari tubuh terdiri dari air. Air dan zat-zat yang terkandung didalamnya
yang terdapat didalam tubuh disebut juga cairan tubuh berfungsi menjadi pengangkut zat
makanan ke seluruh sel tubuh dan mengeluarkan bahan sisa dari hasil metabolisme sel untuk
menunjang berlangsungnya kehidupan. Jumlah cairan tubuh berbeda-beda tergantung dari
usia, jenis kelamin, dan banyak atau sedikitnya lemak tubuh.
Tubuh kita terdiri atas 60 % air, sementara 40 % sisanya merupakan zat padat seperti
protein, lemak, dan mineral. Proporsi cairan tubuh menurun dengan pertambahan usia, dan
pada wanita lebih rendah dibandingkan pria karena wanita memiliki lebih banyak lemak
disbanding pria, dan lemak mengandung sedikit air. Sementara neonatus atau bayi sangat
rentan terhadap kehilangan air karena memiliki kandungan air yang paling tinggi
dibandingkan dengan dewasa. Kandungan air pada bayi lahir sekitar 75 % berat badan, usia 1
bulan 65 %, dewasa pria 60 %, dan wanita 50 %.
Zat-zat yang terkandung dalam cairan tubuh antara lain adalah air, elektrolit, trace
element, vitamin, dan nutrien-nutrien lain seperti protein, karbohidrat, dan lemak. Dengan
makan dan minum maka tubuh kita akan tercukupi akan kebutuhan nutrient-nutrien tersebut.
Air dan elektrolit yang masuk ke dalam tubuh akan dikeluarkan dalam waktu 24 jam
dengan jumlah yang kira-kira sama melalui urin, feses, keringat, dan pernafasan. Tubuh kita
memiliki kemampuan untuk mempertahankan atau memelihara keseimbangan ini yang
dikenal dengan homeostasis.
Namum demikian, terapi cairan parenteral dibutuhkan jika asupan melalui oral tidak
memadai atau tidak dapat mencukupi. Sebagai contoh pada pasien koma, anoreksia berat,
perdarahan banyak, syok hipovolemik, mual muntah yang hebat, atau pada keadaan dimana
pasien harus puasa lama karena akan dilakukan pembedahan. Selain itu dalam keadaan
tertentu, terapi cairan dapat digunakan sebagai tambahan untuk memasukkan obat dan zat
makanan secara rutin atau untuk menjaga keseimbangan asam-basa.

BAB II
PEMBAHASAN

OBAT OBAT ANASTESI


1. Teknik Anestesi
Teknik anestesia merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat
langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk
premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. induksi anestesi seperti misalnya
tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada
tindakan analgesia regional.
2. Jenis Obat Anesthesi
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat obat anestesi dan
yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam ,
Degidrobenzperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol. Berikut ini akan dijelaskan lebih jauh
mengenai obat obat anestesi intravena tersebut.
2.1 Propofol ( 2,6 diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan
lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi
pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada
pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol
dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam
etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat
obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik
dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg).

2.1.2 Mekanisme kerja


Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek
primernya berlangsung di reseptor GABA A (Gamma Amino Butired Acid).
2.1.3 Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma,
eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh
propofol diperkirakan berkisar antara 2 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh
lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi
cepat menyebabkan sedasi ( rata rata 30 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif
singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni
tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
2.1.4 Farmakodinamik
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg
/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat.
Pada sistem kardiovaskular
Dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat
turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi, pengaruh terhadap frekuensi jantung
juga sangat minim.
Sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.

2.1.5 Dosis dan penggunaan


a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infuse
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 150 g/kg/min IV (titrate to effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung
penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2%
f) Profofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang
steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
kontaminasi dari bakteri.
2.1.6 Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa
muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan
dengan menggunakan lidocain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2
menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara
I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien
setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga
pemberiannya harus hati hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti
hiperlipidemia dan pankreatitis.
2.2Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan
nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat
anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan
memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai
puncak konsentrasi dan setelah 5 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan
kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan
menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.

Beberapa

jenis

barbiturat

seperti

thiopental

[5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-

thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2-pentynyl)barbituric acid],


dan thiamylal [5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Thiopental (Pentothal) dan
thiamylal (Surital) merupakan thiobarbiturates, sedangan methohexital (Brevital) adalah
oxybarbiturate.
Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental
merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak
dipergunakan untuk induksi anestesi.
2.1.1 Mekanisme kerja
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan
menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan
sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang
beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk
kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinap
saraf dari pada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam
gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter
(presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).
2.1.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk
induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak anak. Perkecualian pada tiopental
rektal atau sekobarbital atau metoheksital untuk induksi pada anak anak. Sedangkan
phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua kelompok
umur.
Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh
selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi,
secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan
6

lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh karena
redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.
Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3
ml/kg/menit dan pada anak anak terjadi 6 ml/kg/menit.
2.1.3 Farmakodinamik
Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis
subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada
dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.
Sistem kardiovaskular
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi
jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal
ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan
dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan
disritmia bila terjadi resistensi Co2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat
ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau
dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh
darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi
oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Sistem pernafasan
Akan mennyebabkan penurunan frekwensi nafas dan volume tidal. bahkan dapat
sampai menyebakan terjadinya asidosis respiratorik.

2.1.4 Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek
negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi
pasien.
2.1.5 Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan
obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat
menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi
pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim daminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan
kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat
diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.
2.2 Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki
struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana
awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine)
yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada
tentara amerika selama perang Vietnam.
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan rapid acting
non barbiturate general anesthesia. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali
diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi,
hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi
dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence
phenomena.

2.2.1 Mekanisme kerja


Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak
dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor
metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
2.2.2 Efek farmakologis
Efek pada susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka
spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari,
seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Apabila diberikan secara
intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk
dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke
otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.
Efek pada mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi
peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.
Efek pada sistem kardiovaskular.
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa
meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik
positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Efek pada sistem respirasi
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat
menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat
pilihan pada pasien ashma.

2.2.3 Dosis dan pemberian


Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses
pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak anak. Ketamin bersifat larut air sehingga
dapat diberikan secara I.V atau I.M. dosis induksi adalah 1 2 mg/KgBB secara I.V atau 5
10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi
untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Emberian
secara intermitten diulang setiap 10 15 menitdengan dosis setengah dari dosis awal sampai
operasi selesai.
2.2.4 Farmakokinetik
Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuscular
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke
seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis
induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek
baru akan muncul setelah 15 menit.
Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa
metabolit yang masih aktif.
Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.
2.2.5 Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada
mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk
juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka

10

selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat
menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
2.2.6 Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah
disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang
menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan
intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada
operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat
obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.
2.3 Opioid
Opioid telah digunakkan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat
opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata opium
berasal dari bahasa yunani yang berarti getah.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan
dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid
kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan
efek samping.
2.3.1 Mekanisme kerja
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan
jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , ,,,. Walaupun opioid
menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari
spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya
aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik
terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.
2.3.2 Dosis

11

Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5
mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.
2.3.3 Farmakokinetik
Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan
puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode
efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi
pada anak-anak (15-20 g/Kg) dan dewasa (200-800 g).
Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan
morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan
durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi
singkat setelah injeksi bolus.
Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar.
Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.
Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan
tergantung pada aliran darah hepar. 5 10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk
metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.

2.3.4 Farmakodinamik
Efek pada sistem kardiovaskuler
System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung
maupun tonus otot pembuluh darah 3.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun
12

karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada
pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.
Efek pada sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi
nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun .11 PaCO2 meningkat dan respon terhadap
CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga
mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot
nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.
Efek pada Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga
terhambat.
Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress
anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.
2.4 Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam
(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut
dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan
emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis
tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan
benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.
2.4.1 Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
Untuk preoperatif digunakan 0,5 2,5mg/kgbb
Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 5 mg

13

Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.


Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
2.4.2 Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul
setelah 4 8 meni

t setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari

benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi
dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat
setelah injeksi bolus, metabo lisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.
2.4.3 Farmakodinamik
Dalam sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek
sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.
Efek Kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put.
Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi
pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.
Sistem Respiratori
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas
mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.
Efek terhadap saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan
spinal , sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.

14

TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF


2.1

Komposisi Cairan Tubuh


Komponen tunggal terbesar dari tubuh adalah air. Air adalah pelarut bagi
semua zat terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk suspensi maupun larutan. Air tubuh
total (TBW, Total Body Water) yaitu persentase dari berat air dibandingkan dengan
berat badan total, bervariasi menurut jenis kelamin, umur, dan kandungan lemak
tubuh. Air membentuk sekitar 60 % dari berat seorang priadan sekitar 50 % dari berat
badan wanita. Pada orang tua, TBW sekitar 45 % sampai 50 % dari berat badannya.
(Maxwell dan Kleeman, 1987). Karena lemak pada dasarnya bebas air, maka makin
sedikit lemak akan mengakibatkan makin tinggi persentase air dari berat badan orang
itu. Sebaliknya, jaringan otot memiliki kandungan air yang tinggi. Oleh karena itu
dibandingkan dengan orang kurus, orang yang gemuk memiliki TBW yang relatif
lebih kecil dibandingkan berat badannya.

Secara proposional wanita umumnya

mempunyai lebih banyak lemak, dan lebih sedikit otot jika dibandingkan dengan pria,
sehingga kandungan airnya pun lebih kecil dibandingkan dengan berat badannya.
Orang yang tua juga mempunyai presentase lemak tubuh yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan orang muda.1
Kandungan air pada saat bayi lahir sekitar 75 % berat badan, usia 1 bulan 65
%, dewasa pria 60 % dan wanita 50 %, sisanya ialah zat padat seperti protein, lemak,
karbohidrat, dll.

Air dalam tubuh berada di beberapa ruangan intraseluler 35 %,

ekstraseluler 20 %,Ekstraslular dibagi menjadi intertisisal 16 %, dan intravascular 7


%. Cairan antarsel khusus disebut cairan transelular misalnya cairan serebrospinal,
cairan persendian, cairan peritoneum, dll. Gbr (1). Gbr (2)

15

Gbr (1) : skema kompartemen cairan tubuh (3

Gbr (2) : Komponen cairan dari tubuh (4


16

Kandungan air dalam setiap organ tidak seragam seperti terlihat pd tabel (1)
Jaringan
- Otak

Persentase Air
84

- Ginjal

83

- Otot lurik

76

- Kulit

72

- Hati

68

- Tulang

22

- Lemak

10

(2

Tabel (2) : Air tubuh total dalam persentase berat badan (1


-

Bayi (baru lahir)

Dewasa

75 %

pria (20 40 th)

60 %

Wanita (20 40 th)

50 %

45 50 %
- Usia lanjut (> 60 th)
Ket : Data dari Maxwell M, Kleeman CR dan Narins RG: clinical disorders of fluid
and electrolyte metabolism, ed 4. New York, 1987. Mc Graw Hill Book Co.
Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau
diperlukan proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi elektrolit
didalam dan diluar sel berbeda. Cairan intraseluler banyak mengandung ion K, ion
Mg, dan ion Fosfat, sedangkan ekstraselular mengandung banyak ion Na dan Cl.(2
Plasma ialah darah dikurangi sel-sel darah seperti eritrosit, lekosit dan
trombosit. Serum ialah plasma darah dikurangi faktor-faktor pembekuan misalnya
fibrinogen dan protombin. Hematokrit ialah presentasi volume eritrosit dalam darah. (2

17

2.2

Elektrolit-Elektrolit Utama dan Distribusinya


Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan nonelektrolit. Nonelektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai dalam larutan yang tidak
bermuatan listrik. Nonelektrolit terdiri dari protein, urea, glukosa, oksigen,
karbondioksida, dan asam-asam organik. Garam yang terurai di dalam air menjadi
satu atau lebih partikel-partikel bermuatan, disebut ion atau elektrolit. Elektrolit tubuh
mencakup natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), klorida
(Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat (HPO4-) dan sulfat (SO4-). Larutan elektrolit
menghantarkan aliran listrik. Ion-ion yang bermuatan positif disebut kation dan yang
membawa muatan negatif disebut anion. Contohnya natrium korida (NaCl) terurai
dalam larutan menjadi Na+ (kation) dan CL- (anion). Sebaliknya, ketika glikosa
dilarutkan dalam air, ia tidak berubah menjadi komponen yang lebih kecil.
Konsentrasi elektrolit dalam cairan tubuh bervariasi pada satu bagian dengan
bagian lainnya, dan dalam keadaan sehat mereka harus berada pada bagian yang tepat
dan dalam jumlah yang tepat. Kation utama pada ECF (extraceluler fluid) adalah
natrium (Na+), dan anion-anion utama adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-);
konsentrasi dari elektrolit-elektrolit ini rendah pada ICF (intraceluler fluid). Pada ICF
kalium (K+) adalah kation utama dan posfat (HPO4-) adalah anion utama, dan
sebaliknya, konsentrasi-konsentrasi ion ini rendah pada ECF. Sebagai partikel
terbanyak pada ECF, natrium memegang peranan penting dalam mengendalikan
volume cairan tubuh total, sedangkan kalium penting dalam mengendalikan volume
sel. Perbedaan muatan listrik di dalam dan diluar membran sel penting untuk
menghasilkan kerja saraf dan otot, dan perbedaan konsentrasi K+ dan Na+ didalam dan
diluar membran sel penting untuk mempertahankan perbedaan muatan listrik itu.
Meskipun konsentrasi ion pada tiap bagian berbeda-beda, hukum netralitas listrik
menyatakan bahwa jumlah muatan-muatan negatif harus sama dengan jumlah
muatan-muatan positif (dalam satuan mili-equivalen) dalam setiap bagian.
Mempertahankan muatan listrik yang netral adalah penting agar dapat menetukan
pemindahan ion antara ECF dan ICF dan pada ginjal. Akhirnya, diperhatikan bahwa
komposisi ion dari ISF mirip dengan IVF. Perbedaan utamanya adalah pada ISF
mengandung sedikit sekali protein dibandingkan dengan IVF. Jumlah protein yang
lebih tinggi didalam plasma berperanan penting dalam mempertahankan volume IVF.
(1

18

2.3

Kebutuhan Air dan Elektrolit setiap hari


Asupan Cairan Harian.

Cairan ditambahkan ke dalam tubuh dari dua

sumber utama : (1) berasal dari larutan atau cairan makanan yang dimakan, yang
normalnya menambah cairan tubuh sekitar 2100 ml/hari, dan (2) berasal dari sintesis
dalam badan sebagai hasil oksidasi karbohidrat, menambah sekitar 200 ml/hari.
Kedua hal ini memberikan asupan cairan harian total kira-kira 2300 ml/hr. (tabel - 3).
Asupan cairan sangat bervariasi pada masing-masing orang dan bahkan pada orang
yang sama pada hari yang berbeda, bergantung pada cuaca, kebiasaan, dan tingkat
aktivitas fisik. (5
Tabel 3 : Asupan dan Pengeluaran Cairan Harian (dalam ml/hari) (5
Normal

Latihan berat yg lama

2100

Asupan
Cairan dari makanan
Dari metabolisme
Asupan total :

200
2300

200
?

Keluaran
Insensible-kulit

350

350

Insensible paru

350

650

Keringat

100

5000

Feses

100

100

Urin

1400

500

Total pengeluaran

2300

6600

Insesible water loss, yang terjadi melalui kulit tidak bergantung pada keringat bahkan
tetap terjadi pada orang yang lahir tanpa kelenjar keringat; jumlah rata-rata kehilangan cairan
dengan cara difusi melalui kulit kira-kira 300-400 ml/hr. Kehilangan ini diminimalkan oleh
lapisan korneumkulit yang mengandung kolesterol, yang memberikan perlindungan terhadap
kehilangan yang berlebihan lewat difusi ini. Bila lapisan korneum ini hilang, seperti terjadi
pada luka bakar yang luas, kecepatan evaporasi dapat meningkat sampai 10 kali lipat,
mencapai 3 sampai 5 liter/hari. Karena alasan ini, maka korban luka bakar harus diberi cairan
dalam jumlah yang besar, biasanya intravena, untuk mengimbangi kehilangan cairan.

19

Insesible water loss melalui traktus respiratorius rata-rata berkisar 300 sampai 400
ml/hr. Ketika udara memasuki traktus respiratorius maka kemudian dijenuhkan dengan
pengembunan, dan mencapai tekanan uap kira-kira 47 mmHg, sebelum dikeluarkan. Karena
tekanan uap dari udara inspirasi kurang dari 47 mmHg, maka dengan respirasi, cairan terus
menerus hilang melaui paru-paru. Pada udara dingin, tekanan uap atmosfer turun sampai 0,
menyebabkan kehilangan cairan bahkan lebih besar dari paru-paru bersamaan dengan
turunnya suhu tubuh. Hal ini menjelaskan perasaan kering pada saluran napas saat cuaca
dingin.
Kehilangan cairan lewat keringat. Jumlah cairan yang hilang melalui keringat
sangat bervariasi, bergantung pada aktifitas fisik dan suhu lingkungan. Volume keringat
normal hanya sekitar 100 ml/hari, tapi pada keadaan cuaca panas ataupun latihan berat,
kehilangan cairan kadang-kadang meningkat sampai 1-2 liter/jam. Hal ini akan cepat
mengurangi volume cairan tubuh jika asupan tidak ditingkatkan, sehubungan dengan aktivasi
mekanisme haus.(5
Kehilangan cairan lewat feses.

Hanya sejumlah kecil cairan yang dikeluarkan

melaui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat meningkat sampai beberapa liter sehari pada
penderita diare. Karena alasan ini, maka diare berat dapat membahayakan jiwa jika tidak
dikoreksi dalam beberapa hari. (5
Kehilangan cairan lewat ginjal. Kehilangan cairan tubuh lainnya adalah dalam urin
yang diekskresikan oleh ginjal. Ada mekanisme multiple yang mengendalikan kecepatan
ekskresi urin. Sebenarnya, cara yang paling penting yang dilakukan oleh tubuh dalam
mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran hampir semua elektrolit dalam tubuh
ialah dengan mengendalikan kecepatan ginjal dalam mengekskresikan zat-zat ini. Sebagai
contoh, volume urin dapat serendah sampai 0,5 liter/hari pada pasien dehidrasi atau bisa
setinggi 20 liter/hari pada orang yang minum cairan yang luar biasa.(5
Variasi yang sangat ekstrim inijuga terjadi pada kebanyakan elektrolit tubuh, seperti
natrium, clorida, dan kalium. Pada beberapa orang, asupan natrium dapat serendah 20
mEq/hari, sedangkan

pada orang lainnya, dapat mencapai 300 500 mEq/hari. Ginjal

dihadapkan dengan keharusan untuk menyesuaikan kecepatan ekskresi cairan dan


elektrolitnya dengan asupan zat-zat ini, demikian juga mengkompensasi kehilangan cairan
dan elektrolit yang berlebihan yang terjadi pada keadaan penyakit tertentu. (5

20

Pada orang dewasa kebutuhan air dan elektrolit setiap hari adalah sebagai berikut :
30-35 ml/kg. Kenaikan suhu 1C ditambah 10-15%
Pada anak sesuai berat badan :
*0-10 kg : 100ml/kgBB
* 10-20 kg : 1000 ml + 50 ml/kg diatas 10 kg
* > 20 kg : 1500 ml + 20 ml/kg diatas 20 kg
Elektrolit :

Na+
K+

2.4

1,5

mEq/kgBB

(100

mEq/hari

5,9

g)

: 1 mEq/kb/BB (60 mEq/hari = 4,5 g)

Cairan Intravena
Berdasarkan fungsinya cairan dapat dikelompokkan menjadi :
1.Cairan pemeliharaan : ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat
urine, tinja, paru dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan
adalah cairan hipotonik, seperti D5 NaCl 0,45 atau D5W.
2.Cairan pengganti : ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh akibat
sekuestrasi atau proses patologi lain seperti fistula, efusi pleura
asites, drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik,
seperti RL, NaCl 0,9 %, D5RL, D5NaCl.
3.Cairan khusus : ditujukan untuk keadaan khusus misalnya asidosis. Cairan
yang dipakai seperti Natrium bikarbonat, NaCl 3%.
Pembagian cairan :
1. Kristaloid
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau
dextrosa, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat
sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang
diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang.
21

Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler 20-30 menit. Ekspansi


cairan dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit
sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine.Secara umum
kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau
tanpa peningkatan volume intrasel.
2. Koloid
Koloid mengandung molekul-molekul besar berfungsi seperti albumin
dalam plasma tinggal dalam intravaskular cukup lama (waktu parah koloid
intravaskuler 3-6 jam), sehingga volume yang diberikan sama dengan
volume darah yang hilang. Contoh cairan koloid antara lain dekstran,
haemacel, albumin, plasma dan darah.
Secara umum koloid dipergunakan untuk :
1. Resusitasi cairan pada penderita dengan defisit cairan berat (shock hemoragik)
sebelum transfusi tersedia.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat, misalnya pada luka bakar
Perbedaan kristaloid dengan koloid :

2.4

Terapi Cairan Perioperatif


- pra-pembedahan
- selama pembedahan
- pasca pembedahan
22

Meliputi :
Penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi
untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal dan pulihnya
perfusi ke jaringan, oksigenasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia
jaringan dan kemungkinan kegagalan organ
a. Cairan Prabedah :

Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi


anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut.

Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing


terakhir, jumlah dan warnanya.

Pemeriksaan fisik :

Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda

obyektif dari status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit,
abdomen, mata dan mukosa.

Laboratorium

meliputi

pemeriksaan

elektrolit,

BUN,

hematokrit,

hemoglobin dan protein.

Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi.

Fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya meningkat sedikit,
belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius. Dehidrasi pada fase ini
terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air).

Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan lemah.
Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.

Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi, terjadi


pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit
biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.

23

24

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan,

a. Pada dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan


lebih dari 20 kg.

a. Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan
ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya.

Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi


tercapai ialah dengan adanya produksi urine 0,5-1 ml/kgBB.

Terapi cairan selama operasi meliputi :


kebutuhan dasar cairan dan penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan
yang hilang selama operasi.
Berdasarkan beratnya trauma pembedahan dikenal pemberian cairan pada trauma
ringan, sedang dan berat.

Pada Dewasa :

Trauma ringan
Cairan 2 ml/kg BB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam
sebagai pengganti akibat trauma pembedahan.

Trauma pembedahan sedang


6 ml/kg BB/jam

Trauma pembedahan berat


8 ml/kg BB/jam

25

Pada anak :

Ringan 2 ml/kg BB/jam,

Sedang 4 ml/kgBB/jam dan

Berat 6 ml/kgBB/jam.

Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan dan perkiraan jumlah
perdarahan.

Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan jumlah perdarahan
dengan {mengukur jumlah darah di dalam botol suction + perkiraan jumlah darah di
kain kasa dan kain operasi} . Satu lembar duk dapat menampung 100 150 ml
darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah
dipakai, dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah.

Perkiraan jumlah perdarahan dapat juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan

hemoglobin secara serial

TRANFUSI DARAH

Jenis golongan darah ABO :


Jenis

Antibodi Kekerapan

Golongan A

Anti B

45 %

Golongan B

Anti A

8%

Golongan AB -

4 % resipien
universal

Golongan O

Anti
Anti B

A,43 % donor
universal

26

Indikasi Transfusi Darah :


Transfusi darah umumnya > 50 % diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan
untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskuler.
Indikasi :
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr% atau Ht < 30 %, pada orang tua kelainan paru,
kelainan jantung Hb < 10 g%
2. Bedah mayor, kehilangan darah > 20 %

volume darah.

Jenis dan Bahan Transfusi :

Darah lengkap (whole blood), segar (< 48 jam), baru (< 6 hari) dan biasa (35 hari).
untuk perdarahan akut, syok hivpovolemik, bedah mayor perdarahan >1500
mL.

Plasma biasa dan Plasma segar beku (FFP, fresh frozen plasma)
diberikan setelah transfusi darah masif, setelah terapi warfarin, dan
koagulopati pada penyakit hepar.

Packed cells biasa dan cuci


digunakan pada perdarahan lambat, anemia, atau pada kelainan jantung.

Faktor pembekuan :
Trombosit mampat (thrombocyte concetrate)
o Cryopricipitate-AHF

Komponen lain, Buffycoat-granolocyt concentrate

Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid


atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia.

27

Pada keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah
untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman,
yaitu Hb 7 10 g/dl atau Hct 21 30%.

Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai

hematokrit dan EBV.


EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB,
fullterm 85 ml/kgBB,
bayi 80 ml/kgBB
pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 85 ml/kgBB.

Reaksi transfusi akibat golongan darah yang tidak cocok


Bila darah donor dengan golongan tertentu ditransfusikan ke resipien dengan
golongan darah yang lain, maka reaksi transfusi yang cenderung terjadi adalah
agutinasi dari sel darah merah dari darah donor. Jarang terjadi bahwa darah yang
ditransfusi akan menyebabkan aglutinasi pada sel-sel darah resipien, karena alasan
berikut; Bagian plasma dari darah donor dengan segera akan diencerkan oleh seluruh
plasma dari resipien, dengan demikian menurunkan titer aglutinin yang diinfuskan
sampai kadarnya sangat rendah untuk dapat menimbulkan aglutinasi. Sebaliknya,
darah yang diinfuskan tidak mengencerkan aglutinindalam plasma resipien sampai
sedemikian besar.

Oleh karena itu, aglutinin resipien tetap masih dapat

mangaglutinasikan sel-sel donor.


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, semua reaksi transfusi akhirnya
menyebabkan hemolisis segera akibat hemolisin atau hemolisis kemudian akibat
fagositosis sel yang teraglutinasi. Hemoglobin yang dilepaskan dari sel darah merah
kemudian diubah oleh sel-sel fagosit menjadi bilirubin dan kemudian dieksresikan ke
dalam empedu oleh hati.

Konsentrasi bilirubin dalam cairan tubuh seringkali

meningkat cukup tinggi sehingga menyebabkan ikterus yaitu, jaringan seseorang


menjadi berwarna kuning akibat pigmen empedu. Tetapi, bila fungsi hati normal,
maka ikterus biasanya tidak timbul kecuali jika lebih dari 400 mililiter darah
dihemolisis dalam waktu kurang dari sehari.
28

Penghentian fungsi ginjal akut setelah reaksi transfusi.

Salah satu efek

reaksi transfusi yang paling mematikan adalah penghentian fungsi ginjal, yang dapat
mulai terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam dan terus berlangsung
sampai orang itu meninggal karena gagal ginjal.

Penghentian fungsi ginjal

sepertinya disebabkan oleh tiga hal; Pertama, reaksi antigen-antibodi dari reaksi
transfusi akan mengeluarkan zat toksik yang berasal dari darah yang mengalami
hemolisis, yang kemudian menimbulkan vasokonstriksi ginjal yang kuat. Kedua,
hilangnya sel-sel darah merah dari sirkulasi disertai produksi zat toksik dari sel yang
mengalami hemolisis dan dari reaksi imun seringkali menyebabkan syok sirkulasi.
Tekanan darah arteri turun sangat rendah dan aliran darah ginjal serta pengeluaran
urin menurun. Ketiga, bila jumlah total hemoglobin bebas dalam darah sirkulasi lebih
besar dari jumlah hemoglobin yang berikatan dengan haptoglobin (suatu protein
plasma yang dapat mengikat sedikit hemoglobin), maka hemoglobin yang berlebihan
tersebut akan menerobos membran glomerulus masuk kedalam tubulus ginjal. Bila
jumlahnya sedikit, hemoglobin tersebut dapat direabsorbsi

melalui epitel tubuli

masuk ke dalam darahdan tidak akan menimbulkan kerusakan; tetapi bila jumlahnya
besar, hanya sedikit yang direabsorbsi. Karena air di dalam tubulus terus-menerus di
reabsorbsi, maka konsentrasi hemoglobin di dalam tubulus dapat meningkat
sedemikian tinggi sehingga mengendap dan menyumbat banyak tubulus; hal ini
terutama terjadi bila urin bersifat asam. Jadi, vasokonstriksi ginjal, syok sirkulasi, dan
penyumbatan tubulus, bersama-sama akan menyebabkan penghentian fungsi ginjal
akut. Jika fungsi ginjal ini bersifat sempurna dan tubulus gagal untuk membuka, maka
penderita akan meninggal dalam waktu satu minggu sampai 12 hari, kecuali jika
penderita ini diobati dengan ginjal buatan.

Komplikasi Transfusi Darah :


Reaksi hemolitik
- pada pasien sadar : demam, mengigil, nyeri dada panggul, dan mual.
- pd pasien dalam anestesia : demam, takikardi tak jelas asalnya, hipotensi,
perdarahan merembes ke daerah operasi, syok, spasme bronkus Hb uria, ikterus,
dan Renal shut down

29

Infeksi
- Virus (Hepatitis, HIV-AIDS, CMV)
- Bakteri (stafilokok, yesteria, citrobakter)
- Parasit (malaria)
Lain-lain : urtikaria, anafilaksis, edema paru non-kardial, purpura, intoksikasi sitrat,
hiperkalemia, asidosis

Penanggulangan Transfusi darah :

Stop transfuse

Naikkan tekanan darah dengan koloid, kristaloid, jika perlu tambah


vasokonstriksor, inotropik

Berikan O2 100 %

Diuretika manitol 50 mg atau furosemid (lasix) 10-20 mg

Antihistamin

Steroid dosis tinggi

Jika perlu exchanged transfusion

Periksa analisis gas darah dan pH darah.

Cairan Pasca bedah

Terapi

cairan

paska

bedah

ditujukan

untuk

a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.


b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan

lambung,

febris).
c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori, protein dan
lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace element.

30

Pemberian kalori sampai 40 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 0,24 N/kg. Nutrisi
parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah yang tidak mendapat
nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 125 gr/hari.

Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka


operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan yang menyulitkan proses
realimentasi.

BAB III
KESIMPULAN
1. Walaupun waktu-paruh cairan kristaloid didalam intravascular adalah 20-30 menit,
kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh antara 3-6 jam
2. Pasien dengan hematocrit normal bisanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah
lebih dari 10-20% dari volume darahnya. Ini berdasarkan kondisi medis pasien dan
prosedur pembedahan.
3. Reaksi transfusi yang paling berat yaitu yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO,
antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dalam transfusi
(asing), mengaktifkan komplemen,dan mengakibatkan hemolysis intravascular.
4.

Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari reaksi hemolytic akut adalah kenaikan
temperatur, tachycardia yang tak dapat dijelaskan,hypotensi, hemoglobinuria dan oozing
difus dari lapangan operasi

5. Transfusi leukocit termasuk produk darah dapat menjadi immunosuppressive.


6. Pasien immunosupresi dan Immunocompromised (misalnya,bayi premature dan
penerima transplantasi organ ) terutama peka terhadap infeksi cytomegalovirus (CMV)
yang berat

melalui/sampai

transfusi. Seperti pasien yang hanya menerima CMV-

NEGATIVE unit.
7. Penyebab tersering pendarahan dari transfusi darah yang massif adalah dilutional
thrombocytopenia.
8. Secara klinis hypocalcemia, menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien
normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap 5 menit
31

9. Ketidakseimbangan asam basa yang paling sering setelah transfusi darah masif adalah
alkalosis metabolic post operative
Semua pasien kecuali mereka yang mengalami prosedur pembedahan minor sebaiknya
dipasang infus dan terapi cairan intravena.. Beberapa pasien dapat memerlukan transfusi
darah atau komponen darah. Pemeliharaan volume intravascular normal adalah sangat
penting pada perioperative..Kesalahan di dalam penggantian cairan atau transfusi dapat
mengakibatkan kematian.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Collins, VI., 1996, Fluids and Electrolytes, in Physicologic and Pharmachologic Bases of
Anesthesia, Williams & Wilkins, USA, p : 165-187.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 2005. Buku ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Penerbit buku
Kedokteran,EGC. Jakarta, p: 125-129
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson,1995 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. p; 283-295
Sunatrio, S.

Resusitasi Cairan.

Penerbit Media Aesculapius.

Fakultas Kedokteran

Indonesia. Jakarta, 2000


Latief, A. Said. Dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2001
Guyton & Hall, Buku ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Jakarta, 1997.
The SAFE study Investigators, The NEW ENGLAND JOURNAL of MEDICINE,

Comparison of Albumin and Saline for Fluid Resucitation in the Intensive Care Unit,
2004.
GE, Morgan, Terapi Cairan dan Transfusi, Bab 26. 2006.

32

33

Anda mungkin juga menyukai