BABII
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam dengue ( DD ) dan Demam berdarah dengue ( DBD ) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh arthropodborne viruses ( virus dengue )
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan / atau nyeri sendi yang disertai dengan leukopenia,
ruam kulit, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Dengue hemorrhagic
fever adalah demam dengue dengan kondisi hemoragik seperti trombositopenia,
hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit ) dan dalam beberapa kasus kasus yang parah,
protein-losing shock syndrome (dengue shock syndrome). Kondisi ini dipercaya memiliki
hubungan basis imunopatologis (Halstead, 2011;Dorland, 2012)
B. Epidemiologi
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Kasus DBD di Indonesia pertama kali terjadi di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologi baru diperoleh pada tahun 1970. Sampai saat ini,
infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan
dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001
yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,
khususnya pada anak. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006
(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan
yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007)
Gambar 1. Provinsi tertinggi angka insidensi DBD per 100.000 penduduk di Indonesia
tahun 2005 - 2009
18
Gambar 2. Persentase kasus DBD berdasarkan kelompok umur tahun 1993 - 2009
C. Etiologi
DD dan DBD disebabkan oleh infeksi virus dengue yang termasuk group B arthropod borne
virus ( arbovirus ) yang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Genus ini
mempunyai 4 serotipe yaitu DEN - 1, DEN - 2, DEN - 3, dan DEN - 4. Virus dengue serotipe
19
DEN - 3 merupakan serotipe yang dominan di Indonesia dan paling banyak berhubungan
dengan kasus berat. Infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan antibody seumur
hidup terhadap serotype yang bersangkutan tetapi tidak pada serotype yang lainnya. ( IDAI,
2010 )
20
21
22
Selain hal tersebut dapat pula terjadi penurunan kadar C3C3 proaktivvator, C4, dan C5 baik
pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa
pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.
Aktivasi komplemen ini menghasilkan anafilaktosin C3a dan C3b yang mempunyai
kemampuan untuk menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok
hipovolemik.
E. Patogenesis
Gigitan nyamuk Aedes menyebabkan infeksi di sel langerhans di epidermis dan keratinosit.
Kemudian menginfeksi sel - sel lainnya seperti monosit, sel dendritik, makrofrag, sel
endotelial dan hepatosit. Monosit dan sel dendritik yang terinfeksi memproduksi banyak
sitokin proinflammatori dan kemokin yang selanjutnya mengaktivasi sel T yang diperkirakan
menyebabkan disfungsi endotelial. Disfungsi endotelial menyebabkan peningkatkan
permeabilitas pembuluh yang kemudian menyebabkan perembesan cairan di pleura, rongga
peritonium, dan syok. Sel endotelial juga dirangsang untuk menimbulkan respons imun yang
mengakibatkan permeabilitas vaskular meningkat (Malavige & Ogg, 2012). Menurut IDAI
(2012), patogenesis DHF belum jelas namun terdapat hipotesis yang mendukung seperti
heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan
bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali
mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan
sampai 5 tahun (IDAI, 2012).
23
24
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah
terinfeksi
d. Sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan
sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan
terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah yang terkena infeksi.
e. Sel monosit yang telah teraktivasi mengadakan interaksi dengan system humoral dan
system komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi
permeabilitas kapiler dan mengaktivasi system koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor.
Selain hal tersebut, limfosit T juga memegang peranan penting dalam pathogenesis DBD.
Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit
dapat mengeluarkan interferon ( IFN dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue
( serotype berbeda dengan infeksi pertama ), limfosit T CD 4+ berproliferasi dan
menghasilkan IFN- yang selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi dan mengakibatkan
monosit memproduksi mediator. Oleh karena T CD 4+ dan CD8+ spesifik virus dengue,
monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran
plasma dan perdarahan. Dengan konsep dasar dari hipotesis ini adalah keempat serotype
virus mempunyai potensi pathogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat serotype
virus dengue yang paling virulen.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi
asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated
fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan;
sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded
dengue syndrome atau isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma
leakage merupakan tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta
manifestasi yang tidak lazim dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau
isolated organopathy. Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak;
sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak (Gambar 1).
25
26
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang,
nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau
makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik
Manifestasi perdarahan
27
Menorrhagia
Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati
(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan
syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang
mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal
terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari
saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai
dengan,
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan
28
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan
jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau
komplikasi dari syok yang berkepanjangan.
G. Diagnosa
Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO, 2011).
Kriteria klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7
hari
Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis,
Kriteria laboratorium
Trombositopenia (100.000/mikroliter)
Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar / menurut
standar umur dan jenis kelamin
Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis.
29
Gambar 7. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011 Sumber:World
Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011dengan modifikasi.
30
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-14.
dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder
31
Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus
dilakukan atas indikasi,
I. Komplikasi
1. Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan
trauma.
2. Demam Berdarah Dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.
Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian
hiponatremia,
hipokalsemia
akibat
syok
32
Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau anemia
aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap disertai
K. Tatalaksana
Gambar 8. Jalur triase kasus tersangka infeksi dengue (WHO 2011) Sumber:World
Health Organization South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011dengan modifikasi.
Tanda kegawatan
33
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue,
seperti berikiut.
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta mudah
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah
34
jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk
mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer
laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi
kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,
aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki
efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa
efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis
laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan
yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB)
akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun
demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma,
mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada
jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang
lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan
ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga
lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid
yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis
koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue
(DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama
renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang
menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD
derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
35
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang
terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD
derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk
mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien
dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan
pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah
jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain
yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.
Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara
bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil
secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol
pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat,
namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada
36
Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak
masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
37
o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti
emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan saluran
cerna kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai
keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit
Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit,
disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
Sumbe
r : World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011dengan modifikasi.
1. Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan
38
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum masih baik.
Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat panas
paracetamol 10 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas masih nyata
diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya
penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini
adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua
tanpa menunjukkan penyulit lainnya.
Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi
sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap.
2. Kasus DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai
resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita
disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3.
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang biasa
dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20% dari harga
normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan ssebaiknya penderita dirawat
di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut
dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan
tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk
segera memperoleh cairan pengganti.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang
digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi
tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 2-3
jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat
kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit ecara seri ditentukan setiap 4-6 jam
dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar
memperoleh jumlah cairan pengganti yang cuykup dan cegah pemberian transfusi
berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut :
39
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup
untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam),
pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi
pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan
edema.
Jenis Cairan
(1) Kristaloid
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali), dan
5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
(2) Koloidal
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
Plasma
Kebutuhan Cairan
Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang
Berat waktu masuk (kg)
<7
7 11
12 18
40
> 18
88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang
terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal
anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg)
10
10 20
> 20
Dengue Shock Syndrome (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan yang
membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat.
Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu
dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah mendorong
terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang
sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik (Ringer
Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam larutan Ringer
Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus
yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan
berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan
dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan
plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital
41
yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan cetral venous pressure dan
kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar
diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak
sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam faali (5%
dekstrose NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di
dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar
natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40%
dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam
ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang
cukup merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan
cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2
hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan
faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi
jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan
nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat cairan
42
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila pasien
sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua
kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui
oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit
Perdarahan hebat
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah segera
adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila darah yang
hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah segar atau 5
ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat
digunakan.
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan.
43
44
45
46
DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.
47
hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.
Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap 12
24 jam.
48