Anda di halaman 1dari 12

"Keberadaan naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tetap menjadi misteri.

Tiga naskah Supersemar yang disimpan di Arsip Negara Republik Indonesia, semuanya
adalah

palsu.

Lantas

di

mana

yang

asli?

Kepala ANRI, M Asichin menjelaskan, naskah Supersemar yang disimpan di etalase arsip
negara itu kini ada tiga versi versi. Pertama, yakni surat yang berasal dari Sekretariat Negara.
Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya tertera
tanda

tangan

beserta

nama

Sukarno.

Sementara surat kedua berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat ini terdiri dari satu
lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi
pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua
tertulis

nama

Soekarno.

Untuk versi ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu
lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini
juga

tampak

berbeda

dari

versi

pertama

dan

kedua.

Asichin memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. Sebab, lazimnya surat
kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang bintang, padi dan kapas.
urat Perintah 11 Maret 1966 atau yang sangat populer dikenal melalui akronim "Supersemar"
adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno pada tanggal 11 Maret
1966. Isinya adalah perintah Presiden Sukarno kepada Letnan Jenderal Suharto selaku
Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) agar mengambil
segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan stabilitas situasi keamanan yang
sangat buruk pada masa itu, terutama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September
1965. Hingga saat ini, naskah Supersemar yang menyebar di kalangan masyarakat secara luas
melalui buku-buku teks pelajaran sejarah nasional adalah keluaran versi Markas Besar TNI
Angkatan Darat (TNI AD) yang telah dipublikasikan sejak tahun 1966 dan semakin diperkuat
setelah Orde Baru mulai berkuasa di tahun 1968. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia
meyakini bahwa ada beberapa versi naskah Supersemar, sehingga masih perlu adanya
penelusuran dan penelitian terhadap naskah Supersemar yang asli yang ditandatangani oleh
Presiden Sukarno di Istana Bogor. Sampai saat ini pun, naskah Supersemar yang asli masih
misterius dan belum ditemukan, karena para pelaku sejarah lahirnya Supersemar semuanya
telah meninggal dunia.

Presiden Sukarno Melantik Letnan Jenderal Suharto Sebagai Menteri/Panglima TNI


Angkatan Darat
Sejarah Lahirnya Supersemar
Menurut versi resmi yang disetujui oleh pemerintahan rezim Orde Baru pimpinan Presiden
Suharto, sejarah awal lahirnya Supersemar terjadi pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu,
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno mengadakan sidang pelantikan "Kabinet
Dwikora yang Disempurnakan", yang juga dikenal dengan istilah "Kabinet Seratus Menteri",
karena jumlah menterinya mencapai lebih dari 100 orang. Pada saat sidang kabinet dimulai,
Brigadir Jenderal Sabur sebagai Panglima Tjakrabirawa (pasukan khusus pengawal Presiden
Sukarno) melaporkan bahwa banyak 'pasukan liar' atau 'pasukan tak dikenal' yang belakangan
diketahui adalah pasukan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di bawah
pimpinan Mayor Jenderal Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang di kabinet yang
diduga terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Salah satu anggota kabinet tersebut
adalah Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio.

Pelantikan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Oleh Presiden Sukarno


Setelah mendengarkan laporan tersebut, Presiden Sukarno bersama Wakil Perdana Menteri I
Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh langsung berangkat menuju
Bogor menggunakan helikopter yang telah disiapkan. Sidang kabinet itu sendiri akhirnya

ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang juga kemudian ikut menyusul ke
Bogor.
Situasi tersebut dilaporkan kepada Letnan Jenderal Suharto yang pada saat itu menjabat
sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang
gugur akibat peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Konon, Letnan Jenderal
Suharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. Sebagian kalangan menilai
ketidakhadiran Suharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai skenario Pak Harto untuk
'menunggu
situasi',
karena
cukup
janggal.
Malam harinya, Letnan Jenderal Suharto mengutus tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat
ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno, yaitu Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf,
Brigandir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat. Setibanya di
Istana Bogor, terjadi dialog antara tiga perwira tinggi AD tersebut dengan Presiden Sukarno
mengenai situasi yang terjadi. Ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Letnan Jenderal
Suharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan stabilitas keamanan nasional apabila
diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan wewenang kepadanya untuk
mengambil tindakan.

Brigjen. Muhammad Jusuf, Brigjen. Basuki Rachmat, dan Brigjen. Amir Machmud
Menurut Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Sukarno
berlangsung hingga pukul 20.30 WIB malam. Akhirnya, Presiden Sukarno setuju terhadap
usulan tersebut sehingga dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima TNI
Angkatan Darat agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban.

Ilustrasi Presiden Sukarno Menandatangani Supersemar Versi Rezim Orde Baru


Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 dini hari pukul 01.00 WIB
yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI AD Brigadir Jenderal Budiono. Hal tersebut
berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telepon dari Mayor
Jenderal Sutjipto selaku Ketua G-5 KOTI pada tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00
WIB malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia
(PKI) disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib Letnan Jenderal Suharto. Bahkan, Sudharmono sempat berdebat dengan
Murdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar tiba.

Presiden Sukarno dan Letnan Jenderal Suharto Sedang Bergurau


Berbagai

Kontroversi

Sejarah

Lahirnya

Supersemar

Lahirnya Supersemar ternyata diiringi oleh berbagai kontroversi yang menyebabkan sejarah
pasti terbitnya surat perintah tersebut masih 'gelap' hingga saat ini.

Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi TNI AD yang akhirnya
menerima surat itu, ada seorang perwira tinggi yang membaca naskah Supersemar,
kemudian kaget dan berkomentar, "Lho, ini 'kan perpindahan kekuasaan?". Naskah
asli Supersemar semakin tidak jelas, karena beberapa tahun kemudian dinyatakan
hilang. Hilangnya naskah asli Supersemar pun tidak jelas oleh siapa dan di mana,
karena pelaku sejarah peristiwa Supersemar tersebut saat ini sudah meninggal dunia
semua. Belakangan, keluarga Muhammad Jusuf mengatakan bahwa naskah
Supersemar itu ada dalam dokumen pribadi sang jenderal yang disimpan di sebuah
bank.

Menurut kesaksian salah satu pasukan pengawal Presiden Sukarno (Tjakrabirawa) di


Istana Bogor, Letnan Dua Sukardjo Wilardjito, perwira tinggi militer yang hadir ke
Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 bukan hanya tiga orang,
melainkan empat orang, karena Brigadir Jenderal Maraden Panggabean juga ikut
serta. Berdasarkan kesaksiannya, Sukardjo Wilardjito menerangkan bahwa Brigadir
Jenderal Muhammad Jusuf membawa stopmap berwarna merah jambu berlogo
Markas Besar Angkatan Darat, kemudian mengeluarkan secarik kertas berisi naskah
Supersemar untuk ditandatangani Bung Karno. Setelah membaca naskah Supersemar,
Bung Karno sempat heran dan bertanya, "Lho, kok ini diktumnya diktum militer,
bukan diktum kepresidenan?". Brigadir Jenderal Amir Machmud lantas menjawab,
"Untuk mengubah waktunya sudah sempit. Tandatangani sajalah, Paduka.
Bismillah." Kemudian, Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal
Maraden Panggabean mencabut pistol dari pinggangnya, lalu menodongkannya ke
arah Presiden Sukarno. Melihat keselamatan Presiden Sukarno sedang terancam
dalam bahaya, Sukardjo pun segera mengeluarkan pistolnya juga dan
menodongkannya ke arah Basuki Rachmat dan Maraden Panggabean. Segera setelah
itu, Presiden Sukarno langsung mengatakan, "Jangan, jangan! Sudah, sudah! Baiklah
kalau memang surat ini harus aku tandatangani dan harus aku serahkan kepada
Harto. Tetapi, kalau situasi sudah kembali pulih, mandat ini agar dikembalikan lagi
kepadaku." Presiden Sukarno pun menandatangani Supersemar di bawah todongan
pistol Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Maraden Panggabean.
Setelah Supersemar ditandatangani oleh Presiden Sukarno, pertemuan pun bubar.
Setelah memberikan salam kepada Presiden Sukarno, para jenderal utusan Suharto
kemudian kembali menuju ke Jakarta. Saat itu, Sukardjo langsung merasakan firasat
buruk, terlebih seusai Bung Karno berpesan, "Mungkin aku harus meninggalkan
istana. Berhati-hatilah kamu." Itulah kata-kata terakhir Presiden Sukarno kepada
Sukardjo, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala untuk memberikan hormat
sekaligus bentuk kekagumannya kepada Bung Karno. Sukardjo langsung yakin bahwa
peristiwa penandatanganan Supersemar yang diawali dengan penodongan pistol ke
arah Presiden Sukarno tersebut pasti akan diselewengkan oleh Suharto. Benar saja,
tidak lama kemudian (sekitar 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki oleh pasukan
RPKAD dan Kostrad. Letnan Dua Sukardjo Wilardjito beserta rekan-rekan
pengawalnya sesama anggota pasukan Tjakrabirawa dilucuti senjatanya, kemudian
ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer. Mereka semua lantas
diberhentikan dari dinas militer. Hingga saat ini, kesaksian Sukardjo Wilardjito adalah
referensi sejarah yang paling sering dirujuk dan paling dipercaya oleh banyak orang

terkait kontroversi lahirnya Supersemar, meskipun beberapa kalangan menyatakan


keraguannya terhadap penuturannya tersebut. Bahkan, dua di antara para pelaku
sejarah Supersemar, yakni Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf dan Jenderal (Purn.)
Maraden Panggabean dengan tegas membantah peristiwa tersebut. Mereka
menyatakan bahwa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar dalam 'kondisi
baik dan hangat', bukan di bawah todongan senjata.

Menurut kesaksian Anak Marhaen Hanafi (A. M. Hanafi), seorang mantan Duta Besar
Republik Indonesia untuk Kuba yang dipecat secara inkonstitusional oleh Presiden
Suharto, Brigadir Jenderal Maraden Panggabean tidak ikut ke Istana Bogor bersama
tiga jenderal lainnya (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan Muhammad Jusuf).
Hanafi pun membantah kesaksian Letnan Dua Sukardjo Wilardjito yang menyatakan
bahwa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar di bawah todongan pistol pada
malam hari tanggal 11 Maret 1966. Menurut A. M. Hanafi, pada saat itu Presiden
Sukarno sedang menginap di Istana Merdeka, Jakarta, untuk keperluan sidang kabinet
esok pagi harinya. Sebagian besar menteri juga sudah menginap di istana untuk
menghindari hadangan berbagai demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta jika
berangkat keesokan harinya. Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut kesaksiannya, hanya ada tiga
jenderal yang pergi ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno yang telah
berangkat terlebih dahulu, yakni Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan Muhammad
Jusuf. Sebelum bertolak dari Istana Merdeka, Amir Machmud dikatakannya
menelepon Komisaris Besar Sumirat, pengawal pribadi Presiden Sukarno, untuk
meminta izin datang ke Istana Bogor menghadap Bung Karno. "Semua itu ada saksisaksinya," ujar Hanafi. Ketiga jenderal tersebut rupanya sudah membawa naskah
Supersemar. Di Istana Bogor yang ternyata sudah dikelilingi berbagai demonstrasi
dan tank militer, Bung Karno pun menandatangani Supersemar, tetapi tidak ditodong
pistol oleh para jenderal, karena mereka dikatakannya datang secara baik-baik. Hanafi
menyatakan bahwa atas sepengetahuannya, Brigadir Jenderal Maraden Panggabean
selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan tetap berada di Istana Merdeka bersama
menteri-menteri yang lain, sehingga tidak mungkin Panggabean ikut hadir ke Istana
Bogor.

Tentang pengetik naskah asli Supersemar pun masih 'gelap' hingga saat ini. Masih
tidak jelas siapa sebenarnya yang mengetik naskah asli Supersemar. Ada beberapa
orang yang mengaku mengetik naskah asli Supersemar. Dari beberapa pengakuan
tersebut, yang paling dipercaya adalah Letnan Kolonel Ali Ebram, yang pada saat
peristiwa Supersemar menjabat sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.

Sejarawan asing bernama Ben Anderson mengungkapkan bahwa ada salah satu
tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor bersaksi tentang kop surat yang dipakai
dalam naskah asli Supersemar. Menurut tentara yang tidak diketahui namanya
tersebut, teks naskah asli Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas Besar
Angkatan Darat, bukan di atas surat yang berkop Presiden Republik Indonesia. Hal
inilah yang menurut Ben dapat menjadi jawaban mengapa Supersemar hilang atau
sengaja dihilangkan.

Letda. (Inf.) Sukardjo Wilardjito dan Buku Kesaksiannya Tentang Supersemar


Dikutip dari Wikipedia, pasca-tumbangnya rezim Orde Baru pimpinan Presiden Suharto, ada
beberapa versi tentang isi naskah Supersemar. Akan tetapi, dari beberapa versi yang
bermunculan tersebut, setidaknya ada tiga versi yang paling dipercaya sebagai 'representasi'
atau gambaran dari isi naskah Supersemar yang asli, dimana salah satunya tentu saja adalah
versi rezim Orde Baru yang telah 'dilestarikan' selama 32 tahun. Tiga versi naskah
Supersemar dapat disimak melalui gambar-gambar di bawah ini.

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Rezim Orde Baru

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Sumber Lain

Perbedaan Dua Klausa Dalam Dua Versi Supersemar (Versi Rezim Orde Baru dan Versi
Sumber Lain)

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Nasional
Indonesia (TNI)
Berbagai usaha pernah dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk
mendapatkan kejelasan mengenai naskah asli Supersemar. Bahkan, Arsip Nasional telah
berkali-kali meminta kepada Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf yang merupakan saksi
terakhir hingga akhir hayatnya pada tanggal 8 September 2004 silam agar bersedia
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Arsip Nasional juga sempat
meminta bantuan Muladi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, Wakil
Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dan Maulwi Saelan, bahkan DPR untuk memanggil
Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf. Akhirnya, usaha Arsip Nasional tersebut tidak pernah
terwujud. Saksi kunci lainnya adalah mantan Presiden Suharto. Akan tetapi, dengan wafatnya
Pak Harto pada tanggal 27 Januari 2008 membuat misteri sejarah Supersemar semakin sulit
untuk diungkap. Atas kesimpangsiuran Supersemar tersebut, kalangan sejarawan dan hukum
Indonesia sepakat mengatakan bahwa peristiwa G-30-S 1965 dan Supersemar 1966 adalah
salah satu dari sekian sejarah nasional Indonesia yang masih 'gelap'

Anda mungkin juga menyukai