MYASTHENIA GRAVIS
Moderator
Disusun oleh
BAB I
: Ny. EI / 59 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
Agama
: Islam
Status pernikahan
: Menikah
Suku bangsa
: Jawa
Tgl masuk
: 24 Juli 2015
Dirawat yang ke
: -
Tgl pemeriksaan
: 24 Juli 2015
I.2 ANAMNESA
Autoanamnesa pada 24 Juli 2015 di Poliklinik Saraf RSPAD Gatot Soebroto pukul
09.45 WIB.
KELUHAN UTAMA
Penurunan kedua kelopak mata
KELUHAN TAMBAHAN
Sesak saat aktifitas, lemah
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke Poliklinik Saraf RSPAD Gatot Soebroto untuk kontrol.
9 tahun pasien merasa lemas seluruh tubuh secara perlahan. Rasa lemas
diawali dari telapak kaki, menjalar ke pungung kaki, lalu menjalar ke tungkai kaki
kanan dan kiri, tubuh, jari-jari tangan kanan dan kiri, lengan dan sampai tangan kanan
dan kiri. Rasa lemas diawali rasa dingin yang lama kelamaan pasien merasakan
kesumutan dan akhirmya pasien merasakan lemas selurh tubuh. Keluhan ini dirasakan
saat pasien beraktifitas dan membaik setalah pasien istirahat.
Keluhan lemas disertai dengan sesak napas. Sesak napas dirasakan hilang
timbul dan dirasakan semakin bertambah berat, terasa berat pada dadanya seperti
tertindih. Sesak napas timbul pada saat pasien berktifitas dan dirasakan pasien sesak
napasnya semakin lama semakin memberat. Sesak napas membaik setelah pasien
istirahat.
Pasien juga merasakan kedua kelopak matanya kelamaan menjadi turun
sehingga pasien tidak bisa menatap lama pada suatu objek. Bahkan pasien merasakan
matanya seperti orang mengantuk. Keluhan seperti mual, muntah, sakit kepala, bicara
pelo, diare, demam dan kejang disangkal. Pasien dapat tidur, makan dan minum
seperti biasa, buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan, penglihatan ganda
tidak ada, Riwayat trauma, pingsan, batu lama, keganasan, di bantah oleh pasien dan
keluarganya.
Pasien mengaku sering merasakan keluhan seperti ini. Keluhan seperti ini
sudah dialami pasien sejak 9 tahun lalu. Keluhan muncul saat pasien beraktifitas dan
membaik saat istirahat. Pasien didiagnosis oleh dokter menderita Myasthenia Gravis
di RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 2006. Pasien sudah diberikan obat berupa
Neostigmin diminum secara rutin 3 kali dalam satu hari. Pasien pernah menderita
TBC pada tahun 1996 dan sudah rutin minum OAT selama 9 bulan serta operasi
pengangkatan kelenjar TB. Tahun 2011 pasien pernah dirawat karena pusing berputar
dan didiagnosis vertigo oleh dokter yang merawat. Tahun 2013 pasien kembali
dirawat karena menderita stroke dan saat ini sudah tidak ada keluhan.
Pasien alergi terhadap Amoxilin dan asam mefenamat, tidak ada alergi
terhadap makanan.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat penyakit jantung
Riwayat stroke
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: pasien menderita stroke dan dirawat pada tahun 2013
Riwayat Trauma
: disangkal
: disangkal
Kegemukan
: disangkal
RIWAYAT KELAHIRAN/PERTUMBUHAN/PERKEMBANGAN
Tidak ada kelainan
Gizi
Tanda vital
TD. Kanan
: 130/70 mmHg
TD. Kiri
: 130/70 mmHg
Nadi kanan
Nadi kiri
Pernafasan
: 20 x/menit teratur,
Suhu
: 36.6 C axilla.
Kepala
Limfonodi
Thoraks
- Jantung
- Paru
Abdomen
- Hepar
- Lien
Ekstremitas
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tingkah laku
Perasaan hati
Orientasi
Jalan fikiran
Daya ingat
:
:
:
:
:
baik
baik
baik
baik
baik
Bentuk
: Normocephal
Simetris
: Simetris
Pulsasi
Nyeri tekan
: Tidak ada
Leher
Sikap
: Normal
Gerakan
: Bebas
Vertebra
: Normal
Nyeri tekan
: Tidak ada
:
:
:
:
:
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Kiri
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
NERVUS CRANIALIS
N.I (Olfactorius)
Daya penghidung
Normosmia
Normosmia
N.II (Optikus)
Ketajaman penglihatan :
Baik
Baik
Pengenalan warna
:
Baik
Baik
Lapang pandang
:
Sama dengan pemeriksa
Fundus
:
Tidak dilakukan
N.III (Occulomotorius) / N.IV (Trochlearis) / N.VI (Abducens)
Kanan
Ptosis
:
Strabismus
:
Nistagmus
:
Exoptalmus
:
Enoptalmus
:
Gerakan bola mata ke segala arah:
o Lateral
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
Baik
Kiri
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
(+)
o Medial
(+)
(+)
o Atas lateral
(+)
(+)
o Atas medial
(+)
(+)
o Bawah lateral
(+)
(+)
o Bawah medial
(+)
(+)
o Atas
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
o Bawah
o Gaze
Pupil
o Ukuran pupil
:
3mm
o Bentuk pupil
:
Bulat
o Isokor/ anisokor
:
Isokor
o Posisi
:
di tengah
o Refleks cahaya langsung
: (+)
o Refleks cahaya tidak langsung : (+)
N.V (Trigeminus)
Menggigit
Membuka mulut
Sensibilitas atas
o Tengah
o Bawah
Refleks masseter
Refleks zigomatikus
Refleks cornea
Refleks bersin
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Baik
Simetris
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Tidak didapatkan kelainan
(+)
(+)
(+)
(+)
Tidak dilakukan
N.VII (Fascialis)
Pasif :
:
:
:
:
Simetris
Simetris ptosis kanan kiri
Simetris
Simetris
Aktif :
Mengerutkan dahi
Mengerutkan alis
Menutup mata
Meringis
Menggembungkan pipi
Gerakan bersiul
3mm
Bulat
Isokor
di tengah
(+)
(+)
: Simetris
: Simetris
: Simetris ptosis kanan kiri
: Simetris
: Simetris
: Baik
N.VIII ( Vestibulocochlearis )
:
:
:
:
:
(+)
(+)
(+)
(+)
Tidak dilakukan
(+)
(+)
Tidak ada lateralisasi
:
:
:
:
Simetris
Di tengah
Tidak dilakukan pemeriksaan
Tidak dilakukan pemeriksaan
N.IX (Glossopharyngeus)
N.X
Arcus pharynx
Posisi uvula
Daya pengecapan lidah 1/3 belakang
Refleks muntah
(Vagus)
Denyut nadi
ekstremites
Arcus pharynx
Bersuara
Menelan
: Simetris
: Baik
: Tidak ada gangguan
N.XI (Accesorius)
Memalingkan kepala
Sikap bahu
Mengangkat bahu
: Normal
: Simetris
: Simetris
N.XII (Hipoglossus)
Menjulurkan lidah
Kekuatan lidah
Atrofi lidah
Artikulasi
Tremor lidah
MOTORIK :
:
:
:
:
:
Gerakan
Kekuatan
5
5
5
5
5
5
5
5
: Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
5
5
5
5
Tonus
Trofi
5
5
5
5
: Normotonus
Normotonus
Normotonus
Normotonus
: Eutrofi
Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
REFLEKS FISIOLOGIS :
Refleks Tendon
Refleks biceps
Refleks triceps
Refleks patella
Refleks achilles
:
:
:
:
+
+
+
+
+
+
+
+
Refleks Permukaan
Dinding perut
Cremaster
Spincter anii
: +
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
REFLEKS PATOLOGIS :
Hoffman Trommer
Babinski
Chaddock
Openheim
Gordon
Schaefer
Klonus paha
Klonus kaki
Kanan
:
:
:
:
:
:
:
:
Kiri
-
SENSIBILITAS :
Eksteroseptif
Nyeri
Suhu
:
:
+
+
+
+
Taktil
:
:
:
+
+
+
+
+
+
Propioseptif
Vibrasi
Posisi
Tekan dalam
Test Romberg
Test Tandem
Test Fukuda
Disdiadokokenesis
Rebound phenomen
Dismetri
Test Telunjuk hidung
Test Telunjuk telunjuk
Test Tumit lutut
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Normal
Normal
Tidak dilakukan
FUNGSI OTONOM :
Miksi (menggunakan kateter)
Inkontinentia
Retensi
Anuria
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
Defekasi
Inkontinentia
Retensi
: Tidak ada
: Tidak ada
FUNGSI LUHUR :
Fungsi bahasa
Fungsi orientasi
Fungsi memori
Fungsi emosi
Fungsi kognisi
:
:
:
:
:
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
PEMERIKSAAN KHUSUS :
Tes Wartenberg
(+)
Tes Tensilon
tidak dilakukan
Tes Prostigmin
Tidak dilakukan
I.7 RESUME :
Anamnesa :
Ny. EI, 59 tahun datang ke Poliklinik Saraf RSPAD dengan keluhan
penurunan kedua kelopak mata dan sesak napas. Kadang keluhan disertai lemah pada
hampir seluruh tubuh. Keluhan-keluhan tersebut timbul setelah pasien beraktivitas
dan membaik ketika pasien istirahat. Keluahan ini sudah tejadi sejak 9 tahun lalu.
pasien didiaognosis menderita Myasthenia Gravis pada tahun 2006, sampai saat ini
pasien rutin minum obat neostigmin diminum 3 kali dalam sehari. Keluhan terjadi
hilang timbul, saat beraktifitas dan membaik setelah istirahat. Keluhan seperti mual,
muntah, sakit kepala, bicara pelo, diare, demam dan kejang disangkal. Pasien dapat
tidur, makan dan minum seperti biasa, buang air kecil dan buang air besar tidak ada
keluhan, penglihatan ganda tidak ada, Riwayat trauma, pingsan, batu lama,
keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya. Pasien alergi obat Amoxilin dan
Asam mefenamat.
Pemeriksaan :
Status Internis
Keadaan umum
Gizi
Tanda vital
TD Kanan
: 130/70 mmHg
TD. Kiri
: 130/70 mmHg
Nadi kanan
Nadi kiri
Pernafasan
: 20 x/menit teratur,
Suhu
: 36.6 C axilla.
Status Interna
Status psikiatris
Status Neurologis
-
Kesadaran
: Compos mentis
Gejala Rangsang Meningeal : (-)
Nervus Cranialis : Parese nervus III
Motorik :
Gerakan
Kekuatan :
Bebas
Bebas
Bebas
5
5
Tonus
-
Bebas
5
5
5
5
5
5
5
5
GCS : 15 (E4M6V5)
5
5
normotonus
normotonus
Normotonus
normotonus
5
5
5
5
Refleks fisiologis :
Refleks Tendon
-
Refleks biceps
: +/+
Refleks triceps
: +/+
Refleks patella
: +/+
Refleks achilles
: +/+
Refleks patologis : Dalam batas normal
Sensorik : Tidak ditemukan kelainan
Pemeriksaan Khusus :
Tes Wartenberg
: (+)
Pemeriksaan Penunjang
I.8 DIAGNOSIS :
-
Diagnosa Klinis
- Parase N III
Diagnosa Topik
Neuromuscular junction
-
Diagnosa Etiologi
Myasthenia Gravis
I.9 TERAPI :
-
Medikamentosa :
Non medikamentosa :
Tirah baring
Konsul ke rehabilitasi medik untuk Fisioterapi
I.11 PROGNOSA :
-
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanam
Ad cosmeticum
:
:
:
:
dubia ad bonam
dubia ad bonam
dubia ad malam
dubia ad bonam
BAB II
ANALISA KASUS
Diagnosis pada pasien ini adalah :
-
Diagnosa Klinis
:
- Parese nervus III
Diagnosa Topik
:
Neuromuscular junction
Diagnosa Etiologi
Myasthenia Gravis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neurologi dan ditunjang oleh pemeriksaan penunjang.
II.1. S (Subjective)
Anamnesis :
Pada kasus diatas, berdasarkan
mengalami gejala klinis yang berupa pasien merasa kelopak mata menjadi turun.
Keluhan-keluhan tersebut timbul setelah pasien beraktivitas dan membaik ketika pasien
istirahat.
Adanya kesulitan kelopak mata turun hal ini dapat disebabkan kelemahan saraf
kranialis III dapat disebabkan oleh penyakit stroke, myasthenia gravis, botulisme,
guillain barre syndrome.
Pasien sudah merasakan keluahan ini sejak 9 tahun lalu. pasien mengeluh
penurunan kedua kelopak mata. Keluhan ini terjadi saat aktifitas merasa membaik jika
pasien istirahat. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Keluhan
seperti mual, muntah, sakit kepala, bicara pelo,demam dan kejang disangkal. Riwayat
trauma, pingsan, keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya.
Berdasarkan hasil anamnesa di atas, semakin mendukung penyakit myasthenia
gravis, dimana karakteristik Myasthenia gravis terutama ditunjukkan dengan
adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini
cenderung meningkat apabila penderita sedang melakukan aktivitas dan berkurang
apabila penderita beristirahat. Gangguan autoimun pada myasthenia gravis
menyebabkan rusaknya reseptor asetilkolin pada neuromuscularjunction. Hal ini
menyebabkan menurunnya kadar reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.
Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel-sel otot ini mengakibatkan
penurunan
depolarisasi
pada
neuromuscular
junction. Akibat
penurunan
depolarisasi ini, maka terjadi kelemahan pada otot-otot tubuh. Manifestasi klinis
yang timbul tergantung pada neuromuscular junction otot yang terkena. Umumnya
pada myasthenia gravis, kelemahan otot ini dimulai dari cranio-caudal. Saat
mengenai otot okular, gangguan ini dapat menyebabkan terjadinya ptosis dan
diplopia, pada otot wajah laring dan faring akan mengakibatkan disfagia dan
disartria, pada otot volunter akan mengakibatkan parese ekstremitas tanpa di sertai
gangguan sensorik yang terdapat pada pasien.pada saat istirahat, tidak ada
rangsangan yang timbul sehingga produksi asetilkolin banyak tersimpan daam
vesikel sehingga pada saat memulai aktivitas asetilkolin yang berikatan dengan
reseptornya masih dalam kadar yang cukup banyak, namun lama-lama keadaan ini
tidak daat dikompensasi karena jumlah reseptor asetilkolin yang semakin sedikit
dan asetilkolin banyak yang di hidrolisis sehingga pasien cepat lelah.
Pasien juga mengeluh adanya sesak napas, hal ini menunjukkan bahwa gangguan
yang di alami pasien sudah mengenai otot pernapasan yang dapat terjadi pada
tahap krisis miastenik.
Pasien menyangkal adanya keluhan kesemutan, baal, mulut kering, dan nyeri pada
lengan atas dan kaki, hal ini dapat melemahkan keluhan yang disebabkan oleh
lambert eaton syndrome yang dapat ditemukan mulut kering dan nyeri pada lengan
atas dan kaki.
Keluhan seperti mual, muntah, sakit kepala, bicara pelo, diare, demam dan kejang
disangkal. Pasien dapat tidur, makan dan minum seperti biasa, buang air kecil dan
buang air besar tidak ada keluhan, penglihatan ganda tidak ada, Riwayat trauma,
pingsan, batu lama, keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa keluhan yang di alami pasien bukan di sebabkan
oleh infeksi, botulisme, trauma, keganasan, atau pun stroke
Pasien mengakui kejadian seperti ini sudah terjadi selama 9 tahun. Keluhan ini
terjadi hilang timbul, keluhan tersebut muncul ketika pasien beraktivitas dan membaik
ketika istirahat, oleh dokter yang merawat di RS Cipto Mangunkusumo pasien di
diagnosa Myasthenia Gravis.
Pada 9 tahun yang lalu pasien mengalami ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
myasthenia gravis. Selain itu, pasien merasa kelopak mata menjadi turun, lemah
pada kedua tungkai. Hal ini menerangkan bahwa kelemahannya terjadi secara
cranio-caudal yang merupakan ciri dari myasthenia gravis dan sebelumnya pasien
mempunyai riwayat myasthenia gravis, hal ini dapat melemahkan kecurigaan
guillainlan barre syndrome yang kelemahanya bersifat descenden.
II.2. O (Objective)
Dari pemeriksaan kesadaran pasien membuka mata secara spontan (E4), dapat
melakukan gerakan yang diperintahkan oleh pemeriksa (M6) dan berorientasi penuh
saat diajak berbicara (V5). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pasien masih dalam
tingkat compos mentis dengan GCS = 15 sehingga tidak terdapat gangguan kesadaran.
Pemeriksaan fisik neurologis ditemukan refleks fisiologis dalam batas
normal dan tidak ditemukan adanya refleks fisiologis, hal ini memperkuat diagnosis
myasthenia gravis, dan bukan disebabkan oleh adanya gangguan vaskularisasi otak.
Pada pemeriksaan ditemukan adanya kelemahan pada kelopak mata, hal
ini sesuai dengan kepustakaan dimana dikatakan bahwa pada penderita myasthenia
gravis bisa didapatkan gangguan motorik berupa kelemahan otot, tanpa gangguan
sensibilitas. Kekuatan motorik pada ekstremitas superior inferior dekstra sinistra
berskala 5 menandakan pasien ini ada gerakan otot dan kuat melawan gravitasi.
Pada pemeriksaan khusus didapatkan
Tes Wartenberg
: (+)
Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas
bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada myasthenia gravis kelopak
mata yang terkena menunjukkan ptosis.
Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan
II.3. A (Assessment)
-
Diagnosa Klinis
:
- Parese nervus III
Diagnosa Topik
:
Neuromuscular junction
Diagnosa Etiologi
Myasthenia Gravis
II.4. P (Planning)
-
Medikamentosa
Neostigmin 2x60 mg, PO
Dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tak segera dihancurkan. Akibatnya, aktivitas otot dapat
dipulihkan mendekati normal. Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg
per oral tiap 3 jam
Aspilet 1x80 mg, PO
Aspirin merupakan antiplatelet yang menghambat agregasi trombus
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang
terutama sering ditemukan pada sistem arteri yang bekerja mencegah
pelekatan ( adhesi ) platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera
atau dengan platelet lainnya, yang merupakan awal terbentuknya tombus.
Neurobion
Neurobion memiliki komposisi beberapa vitamin B, antara lain vitamin
B1, vitamin B6, dan vitamin B12. Vitamin B1 juga dikenal sebagai
tiamin, sementara B6 sebagai piridoksin, dan vitamin B12 memiliki nama
Non medikamentosa :
Tirah baring
Fisioterapi
BAB III
LANDASAN TEORI
MYASTHENIA GRAVIS
III.1
DEFINISI
Istilah myasthenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Myasthenia gravis
EPIDEMIOLOGI
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20
dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umurdiatas 50
tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28
tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.
III.3
PATOFISIOLOGI 3,4,5
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak
dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada myasthenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada
kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita
hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terusmenerus3.
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar
timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita myasthenia didapati kelenjar timus
yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada
penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus
tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.5
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, myasthenia gravis diduga merupakan
gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi
hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang
berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok
otot tertentu saja.
III.4
GEJALA KLINIS
Gambaran klinis myasthenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang
ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat
gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa
disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita
didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan
ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa
minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular).
Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi
hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan
bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit
tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral
atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis
dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun
otot levator palpebra jelas lumpuh pada myasthenia gravis, namun adakalanya masih bisa
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis myasthenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja,
maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Myasthenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN,
kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan
lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba
menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu
menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang
pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.
Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat
ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan
akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan
dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau
mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama
siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan
infeksi yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu
obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.
III.5
KLASIFIKASI
Klasifikasi klinis myasthenia gravis dapat dibagi menjadi3:
1. Kelompok I: Myasthenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak
ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Myasthenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka
kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Myasthenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan
sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan myasthenia gravis umum ringan.
Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan
dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Myasthenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai
mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal
dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik,
kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Myasthenia berat lanjut
Myasthenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejalagejala kelompok I atau II. Myasthenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau
secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
1) Klas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
2) Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
3) Klas IIa, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
4) Klas IIb, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
5) Klas III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
6) Klas IIIa, mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
7) Klas IIIb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dalam derajat ringan.
8) Klas IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai
derajat.
9) Klas Iva, secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otototot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
10) Klas Ivb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
11) Klas V, penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejalagejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu
pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak
lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun3.
1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih
banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara
cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah
minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena
terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas
terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit
sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial.
III.6 DIAGNOSA
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu myasthenia gravis.Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian
proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam
berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal.
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan
adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan myasthenia gravis biasanya selalu disertai
dengan adanya kelemahan pada otot wajah.7.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan
terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita myasthenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi
aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan myasthenia gravis.Ditandai dengan
kelemahan otot-otot rahang pada myasthenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk
menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot
leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher2,7.
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat
menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan
prolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai
timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik
sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk myasthenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang
30% penderita myasthenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini
dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma
adalah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila
pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil
pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya myasthenia
gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan
lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang
jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan
dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan
berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat
diagnosis banding antara myasthenia gravis yang sesungguhnya dengan syndrome
miastenik. Penderita syndrome miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan
myasthenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti
diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit
ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita myasthenia sejati biasanya muda,
sedangkan syndrome miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala syndrome miastenik
biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat
dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
beberapa lamanya. Pada myasthenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan
ptosis.
6. Tes prostigmin (neostigmin)
Prostigmin 1,25 mg dicampur dengan 0,6 mg sulfas atropin disuntikkan intramuskular
atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.
7. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular
melalui 2 teknik:
a
Miller Fisher Syndrome kelumpuhan dari bagian tubuh atas kemudian ke arah
bawah. Mula-mula menyerang mata sehingga didapatkan ophtalmoplegia,
ataksia, dan arefleksia, dapat di jumpai anti-GQ1b
dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang
mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar
diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal
yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
3. Azathioprin
Azathioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan
saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 1-3
mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan
sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azathioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari
pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan
tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan
antibiotik.
5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari
IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon
imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada
sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan
IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada
pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang
cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG
dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor
yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping
dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual
selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome
seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24
jam pertama.
6. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 5 kali per 2 minggu dengan
dosis 200-250 ml/kg BB/hari. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam
waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan
akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang
jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu
hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena
kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak
bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
III.9 PROGNOSIS
Dengan terapi yang adekuat, penderita dengan tipe general dapat membaik
keadaannya
DAFTAR PUSTAKA
1
Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press,
Yogyakarta
Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf,
dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta
Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat,
Jakarta
Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174,
421, Dian Rakyat, Jakarta
Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366,
390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta
Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels,
(eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company,
London