Asma
Asma
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara
maju. Sejak dua decade terakhir, dilaporka bahwa prevalensi asma meningkat pada
anak maupun dewasa. Namun, akhir-akhir ini di Amerika dilaporkan tidak terjadi
peningkatan lagi di beberapa negara bagian. Asma memberikan dampak negatif bagi
kehidupan pengidapnya, seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan
membatasi kegiatan olahraga serta aktifitas seluruh keluarga. Prevales total asma di
dunia diperkirakan 7,2 % (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalens tersebut
sangat bervariasi. Terdapat perbedaan prevalens antar negara dan bahkan perbedaan
juga didapat antar daerah di dalam suatu negara.
Terdapat variasi prevalens, angka perawatan dan mortalitas asma, baik
regional maupun local. Angka kejadian asma di berbagai negara sulit dibandingkan,
tidak jelas apakah perbedaan angka tersebut timbul karena adanya perbedaan kriteria
diagnosis atau karena benar-benar terdapat perbedaan . berbagai penelitian yang ada
saat ini menggunakan definisi penyakit asma
membandingkan antara penelitian satu dan lainnya perlu diketahui kriteria yang
digunakan oleh peneliti. untuk mengatasi hal tersebut, penelitian multisenter tela
dilakasanakan di beberapa negara dengan menggunakan definisi asma yang sama dan
kuesioner standar. Salah satu penelitian multitester yang dilaksanakan adalah
international study of astma and allergy in children (ISAAC). Dengan menggunakan
kuesioner standar, prevalens dan berbagai factor resiko dapat dibandingkan.
Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah morbiditas dan mortalitas
asma yang relative tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat
asma. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang
berarti. Namun, belakangan ini berbagai negara melaporkan bahwa terjadi
peningkatan kematian akibat penyakit asma, termasuk pada anak.
Serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan mengancam
kehidupan. Berbagai factor dapan menjadi pencetus timbulnya serangan asma, antara
lain adalah olahraga, allergen, infeksi, perubahan suhu u;dara yang mendadak atau
pajanan terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok dan lain-lain. Selain berbgai
yang
berperan.
Inflamasi
kronik
ini
berhubungan
dengan
airway
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi asma meningkat. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa
sekitar 7 % orang dewasa dan 15 % anak-anak menderita asma. Peningkatan ini
terjadi karena adanya perubahan pada lingkungan termasuk paparan dini pada alergen
udara dan rokok, sedikitnya infeksi pada masa anak-anak dan perubahan pada diet.
Terdapat banyak variasi tentang prevalensi secara geografis. Jumlah terbesar
ditemukan di Selandia Baru, Australia dan Inggris sedangkan di Cina dan Malaysia
ditemukan sedikit.
Penelitian ISAAC fase I telah dilaksanakan di 56 negara meliputi 155 senter pada
anak usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Penelitian ini menggunakan kuesioner standar
dengan pertanyaan have you (your child) had wheezing or whistling in chest in last
12 months? Untuk mengelompokkan dalam diagnosis asma bila jawabannya Ya.
Pada anak usia 13-14 tahun selain diminta mengisi kuesioner juga diperlihatkan video
asma. Ternyta hasilnya bervariasi. Untuk usia 13-14 tahun yang terendah di Indonesia
(1,6%) dan yang tertinggi di Inggris sebanyak 36,8%.
Survey mengenai prevalensi asma di Eropa telah dilakukan di 7 negara (Asma
insights and Reality in Europe = AIRE) meliputi 73.880 rumah tangga yang
berjumlah 213.158 orang. Hasil survey mendapatkan prevalensi populasi current
asma sebesar 2,7%.
Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan beberapa
pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner standar.1
Peneliti (Kota)
Dajajanto B (Jakarta)
Rosmayudi O
Dahlan (Jakarta)
Arifin (Palembang)
Rosalina I (Bandung)
Yunus F (Jakarta)
Kartasasmita CB (Bandung)
Tahun
Jumlah
Umur
Prevalensi
1991
1993
1996
1996
1997
2001
2002
Sampel
1200
4865
1296
3118
2234
2678
(tahun)
6-12
6-12
6-12
13-15
13-15
13-14
6-7
(%)
16,4
6,6
17,4
5,7
2,6
11,5
3,0
2836
13-14
5,2
Rahajoe NN (Jakarta)
2002
1296
13-14
6,7
FAKTOR RESIKO
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejaidan asma berat,
berat ringannya penyakit, serta kematian akibat asma. Beberapa faktor tersebut sudah
disepakati oleh para ahli sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktorfaktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, alergen, infeksi,
atopi, lingkungan dan lain-lain.
Genetik
Asma memiliki komponen genetik. Data menunjukkan bahwa banyak gen
yang terlibat di dalam patogenesis asma, dan gen yang berbeda bisa terdapat
pada group ethnic yang berbeda. Penelitian terhadap gen yang berhubungan
dengan perkembangan asma difokuskan pada 4 mayor area: produksi allergen
spesifik IgE antibodi (atopy), airway hyperresponsiveness expression,
produksi mediator inflamasi, dan penentuan rasio antara Th1 dan Th2 immune
response.
Obesitas
Obesitas juga dapat dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko untuk asma.
Mediator tertentu, seperti leptin, dapat mempengaruhi fungsi respiratorik dan
meningkatkan kemungkinan perkembangan asma.
Sex
Laki-laki merupakan salah satu faktor risiko berkembangnya asma pada anakanak. Sebelum berumur 14 tahun, prevalensi asma 2 kali lebih besar pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Dengan bertambahnya
usia anak, perbedaan risiko antar sex makin sempit, dan di saat usia dewasa
risiko terjadinya asma pada wanita lebih besar daripada pria. Alasan yang
pasti untuk perbedaan ini belum pasti, bagaimanapun, ukuran paru-paru pada
pria lebih kecil daripada wanita pada saat lahir, dan lebih besar pada usia
dewasa.2
Faktor Lingkungan
Dua faktor lingkungan yang mayor dapat dikatakan sebagai faktor yang
sangat penting dalam perkembangan, persistence, dan tingkat keparahan asma, yaitu
airborne allergen dan infeksi virus respiratorik. 3 Dibawah ini akan dibahas kedua
faktor tersebut dan faktor-faktor lain yang berperan.
early childhood juga sangat erat hubungannya dengan common respiratory virus,
antara lain RSV, rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus, dan human
metapneumovirus.4
Beberapa penelitian prospective jangka panjang terhadap anak-anak yang
masuk ke rumah sakit dengan infeksi RSV menunjukkan bahwa sekitar 40% anakanak akan tetap memiliki gejala wheezing atau memiliki asma di akhir masa anakanaknya.2,3 Infeksi rhinovirus yang simtomatis pada awal kehidupan juga merupakan
salah satu faktor risiko terhadap terjadinya wheezing yang berulang.3
Hygiene Hypothesis asma menyatakan bahwa paparan terhadap infeksi
pada awal kehidupan sangat mempengaruhi perkembangan system imun pada anakanak melalui nonallergic pathway, yang menyebabkan menurunnya risiko
terjadinya asma dan penyakit allergic lain. Walaupun teori ini masih dalam penelitian
yang lebih lanjut, hubungan tersebut dapat menjelaskan hubungan antara jumlah
keluarga yang besar, later birth order, daycare attendance dengan menurunnya risiko
terjadinya asma.3
Interaksi antara atopi dan infeksi virus mempunyai hubungan yang kompleks,
dimana keadaan atopi dapat mempengaruhi lower airway response terhadap infeksi
virus, infeksi virus dapat mempengaruhi perkembangan allergic sensitization, dan
interaksinya tersebut dapat terjadi ketika individu terpapar allergen dan virus secara
bersamaan.2
Occupational sensitizers
Lebih dari 300 substansi berhubungan dengan occupational asma,
diantaranya:2
ibu
yang
merokok
selama
masa
kehamilan
mempengaruhi
perkembangan paru-paru dari bayi. Bayi dengan ibu yang merokok selama masa
kehamilan mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan wheezing illness
pada setahun pertama kehidupannya.2
Polusi
Peranan outdoor pollution dalam menyebabkan asma masih menjadi
kontroversi. Anak-anak yang dibesarkan pada lingkungan yang penuh dengan
mempunyai fungsi paru yang menurun, tetapi menurunnya fungsi paru dan
berkembangnya asma belum diketahui hubungannya.2
Diet
Peranan diet, terutama ASI, dalam perkembangan asma masih dalam
penelitian. Secara umum, terdapat data yang menunjukkan bahwa anak yang
meminum formula dari intact cows milk atau soy protein mempunyai tingkat
insidensi yang tinggi terjadinya wheezing illnesses pada early childhood
dibandingkan dengan anak yang meminum ASI.2
PATOGENESIS
Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratorik
Pada banyak kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE dependent. Pada populasi
diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan
dewasa.
Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal
profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3
dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama
memproduksi IL-2, IF-g dan TNF-b. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin
yang etrlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat maupun yang cell mediated.
Langkah terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul MHC/ major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+
dan MHC kelas I pada sel CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cell
yang utam dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam
sumsum tulang dan membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan
pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan
sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi
sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel
dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di sana,
dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai
antigen presenting cell yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T
Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada
klaster kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster).
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien
asma atopik dan non-atopik wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T
eosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh
ditemukannya sel yang mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma
atopik. IL-5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat
keberadaanya pada mukosa saluran respiratosik pasien asma berkorelasi dengan
aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.
Inflamasi akut dan kronik.
Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi
fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. Reaksi
cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik
terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang
kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE
mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator
seperti histamin, proteolitik dan enzim glikolitik dan heparin serta mediator newly
generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif . Bersamasama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediatormediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratorik da menstimulasi
saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskular. Reaksi
fase lambat dipikirkan sebagai model sistem model untuk mempelajari mekanisme
inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selamaberlangsung paparan
alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratorik menghasilkan sitokin-sitokin ke
dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya sel leukosit pro inflamasi terutam eosinofil
dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke sirkulasi.
Remodelling saluran respiratorik
Remodelling saluran respiratorik merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi stuktur
sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan sel epitel yang berlanjut, produksi
berlebihan faktor pertumbuhan profibrotik/ transforming growth factors (TGF- b) dan
proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi myofibroblas diyakini merupakan
proses yang penting dalam remodeling. Myofibroblas yang teraktivasi akan
memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan
proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratorik dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding
saluran respiratorik dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal
ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien terutama pada yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratorik pada asma memperlihatkan perubahan struktur
saluran respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran respiratorik. Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran
respiratorik yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang
dapat menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi
dengan inhalasi kortikosteroid. Namun beberapa penderita asma mengalami obstruksi
saluran respiratorik residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan
gejala, hal ini mencerminkan adanya remodelling saluran napas.
10
11
yang
memperburuk
penyempitan
saluran
nafas
karena
MANIFESTASI KLINIS
Gejala kronik asma yang paling sering muncul antara lain batuk kering yang
intermittent, dan atau expiratory wheezing.
Pada older children dan dewasa didapatkan adanya keluhan sesak nafas dan
chest tightness, sementara pada younger children, lebih mengeluhkan
intermittent, nonfocal chest pain
Gejala yang muncul pada siang hari, sering berhubungan dengan kegiatan
fisik, sangat sering terjadi pada anak-anak. Gejala-gejala yang lain pada anak
kadangkala bias tidak terlihat atau tidak spesifik seperti membatasi diri untuk
melakukan aktivitas fisik, kelelahan yang menyeluruh (mungkin disebabkan
adanya gangguan tidur), dan kesulitan untuk bermain dengan anak-anak yang
seumuran.
12
KLASIFIKASI
GINA membagi asma berdasarkan asma severity didasari atas tingkat gejala,
airflow limitation, dan lung function kedalam 4 kategori: intermittent, mild persistent,
moderate persistent dan severe persistent.2
Asma episodik
jarang
Asma episodik
sering
< 1x / bulan
< 1 minggu
> 1x / bulan
> 1 minggu
Asma persisten
Sering
Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi
Intensitas serangan Biasanya
ringan Biasanya sedang Biasanya
berat
di antara serangan
tanpa gejala
sering ada gejala
gejala siang dan
13
malam
Tidur dan aktivitas Tidak terganggu
Sering terganggu
Sangat terganggu
Pemeriksaan fisik Normal
Mungkin terganggu Tidak
pernah
di luar serangan
normal
Obat pengendali
Tidak perlu
Perlu
Perlu
Uji faal paru
>80%
60-80%
<60%
Variabilitas
>15%0
>30%
>50%
1
Klasifikasi derajat serangan asma
Parameter
Ringan\
Sedang
Berat
Ancaman henti
klinis faal paru
nafas
laboratorium
Sesak
Berjalan, bisa Berbicara
Istirahat
tidur
lebih enak
membungkuk
duduk
ke depan
Posisi
Bisa
Lebih suka
Duduk
berbaring
duduk
bertopang
lengan
Bicara
Kalimat
Penggal
Kata-kata
kalimat
Kesadaran /
Mungkin
Biasanya
Biasanya
kebingungan
irritable
irritable
irritable
Sianosis
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Nyata
Wheezing
Sedang, akhir Nyaring,
Sangat
Tidak terdengar
ekspirasi
sepanjang
nyaring, tanpa
ekspirasi dan
stetoskop
inspirasi
Penggunaan
Biasanya
Biasanya ya
Ya
Paradoks
otot bantu
tidak
torakoabdominal
respiratorik
Retraksi
Dangkal
Sedang
Dalam nafas
Dangkal/hilang
interkostal
suprasternal
cuping hidung
Frekuensi
Takipnea
Takipnea
Takipnea
Bradipnea
nafas
Frekuensi nadi Normal
Takikardia
Takikardia
Bradikardia
PEFR/FEV1
Pre
>60%
40-60%
<40%
bronkodilator
Post
>80%
60-80%
<60%
bronkodilator
Sat O2
>95%
91-95%
<91%
PaO2
Normal
>60mmHg
<60mmHg
PaCO2
<45mmHg
<45mmHg
>45mmHg
14
DIAGNOSIS
Hingga saat ini, asma tetap sulit didiagnosis sehingga sering undertreated. Hal
ini disebabkan oleh berbagai hal antara lain perjalanan gejala respiratorik asma yang
dianggap sudah biasa oleh orang tua / anak atau gambaran klinis yang tidak khas
sehingga sering didiagnosis sebagai penyakit lain. Tidak jarang asma didiagnosis
sebagai bronchitis sehingga klinisi memberikan antibiotik dan obat batuk. Diagnosis
asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Wheezing berulang dan / atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Meskipun tidak semua wheezing disebabkan oleh
asma, tetapi gejala wheezing harus dianggap asma sampai terbukti bukan asma.
Alur Diagnosis Asma Anak
Batuk dan/atau wheezing
Riwayat Penyakit, Pemeriksaan Fisik, Uji tuberkulin
Patut diduga asma:
- Episodik dan/atau kronik
- Nokturnal / morning dip
- Musiman
- Pajanan terhadap pencetus
- Riwayat
atopi
pasien/keluarga
Tidak jelas:
- Timbul masa neonatus
- Gagal tumbuh
- Infeksi kronis
- Muntah/tersedak
- Kelainan fokal paru
- Kelainan sistem
kardiovaskular
Pertimbangkan:
Foto toraks dan sinus
Uji faal paru
Uji
respon
terhadap
bronkodilator selama 5 hari
Uji provokasi bronkus
Uji keringat
Uji imunologis
Pemeriksaan motilitas silia
Pemeriksaan refliks GE
Tidak berhasil
Berikan bronkodilator
15
Tidak
mendukung
diagnosis lain
Diagnosis
dan
penyakit lain
Mendukung
diagnosis lain
pengobatan
Riwayat sesak nafas yang episodic, seringkali reversible dengan atau tanpa
pengobatan.
Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu, misalnya allergen udara /
polutan.
Menderita common cold sampai dada terasa tertekan atau perlu waktu >10
hari untuk sembuh.
16
Uji provokasi bronkus, dengan histamin, metakolin, exercise, udara kering atau
dingin, NaCL hipertonis. Penurunan > 20% pada FEV1 setelah provokasi maka
didiagnosa asma. Uji provakasi bronkus membantu menegakan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan
uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat
17
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain
seperti rhinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan nafas
seperti PPOK, bronkoektasis dan fibrosis kistik.
Exercise Challanges
Misalnya dengan melakukan latihan aerobik atau lari selama 6-8 menit. Tes ini
dapat mengidentifikasi exercise-induced bronchospasm. Pada asma, didapatkan
FEV1 turun sebanyak > 15% pada saat atau setelah latihan. Onset biasanya
terjadi 15 menit setelah latihan dan dapat hilang dengan spontan setelah 60
menit. Tapi tes ini dapat mencetuskan serangan eksaserbasi asma berat pada
pasien yang beresiko tinggi.
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) dilakukan dengan maneuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio
VEP1, KVP < 75% atau VEP1 < 80 % nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
1. Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau
VEP1 < 80 % nilai prediksi.
2. Reversibiltas, yang perbaikan VEP1 15 % secara spontan , atau setelah
inhalasi bronkodilator ( uji bronkodilator ), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibilitas ini dapat membantu diagnosis asma
3. Menilai derajat berat asma
Uji faal paru pada anak > 6 tahun. Ada dua metode pemeriksaan, yaitu
pengukuran FEV1 dan Forced Vital Capacity (FVC) memakai spirometer dan
18
Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) memakai peak flow meter. Pemeriksaan ini
berguna mendukung diagnosis asma, bila didapatkan:
1. Variabilitas pada PEFR atau FEV1 > 15%
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan.penurunan) PEFR
dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas
mingguan yang pemeriksaan berlangsung > 2 minggu.
2. Reversibilitas pada PEFR atau FEV1 > 15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PEFR atau FEV1
setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan > 15% pada PEFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus
X 100 %
Uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang diduga asma maupun
bukan. Di Indonesia tuberculosis (TB) masih merupakan penyakit yang
banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik. Oleh karena
itu uji tuberculin dapat dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma
maupun yang bukan asma. Dengan cara tersebut, maka penyakit TB yang
mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi.
Diagnosa Banding
Asma merupakan salah satu penyebab gejala saluran pernafasan tersering dan
hanya salah satu penyebab penyakit paru. Langkah penting dalam menegakkan
diagnosisnya adalah adanya keterbatasan aliran udara yang reversibel dan bervariasi
yang ditunjukkan dengan spirometer.
Meskipun pada asma dan infeksi saluran nafas akut menghasilkan wheezing
sebagai akibat obstruksi yang tersebar, gejala saluran nafas juga bisa diakibatkan oleh
obstruksi lokal dan adanya benda asing sehingga hal ini juga harus dipertimbangkan
dalam diagnosis banding. Diagnosis lain yang harus dipertimbangkan adalah pseudoasma yang disebabkan oleh disfungsi pita suara.
Diagnosa banding asma pada anak antara lain sbb :
1. Rinitis alergi
2. Rinitis kronik
3. Sinusitis
Pada sinusitis kronik tidak didapatkan gejala spesifik seperti nyeri
tekan pada tempat tertentu (terderness) Rinosinusitis komorbid dengan
asma.
4. Adenoidal atau hipertrofi tonsiler
5. Nasal foreign body
Bisa
syndrome)
5. Bronchiolitis Obliterans
6. Interstitial Lung disease
7. Hypersensitivity pneumonitis
8. Pulmonary Eosinofilia
9. Pulmonary hemosiderosis
10. Tuberculosis
11. Pneumonia
12. Gulmonary edema (CHF)
13. Medication associated with cough cronic
Acetylcolinesterase Inhibitor
-adrenergic antagonist
KOMPLIKASI
1. Emfisema
2. Ateletaksis
3. Bronkiektasis
23
4. Pneumothoraks
5. Pneumomediastinum
6. Gagal nafas
7. Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM)
8. Permanent hypoxic brain damage
PENATALAKSANAAN ASMA
Pengobatan asma menurut GINA ( Global initiative for Asma). Program
penatalaksanaan asma diantaranya melalui 6 komponen dalam dibawah ini :
1. Edukasi pada anak / keluarganya
Dengan bantuan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, anak dan keluarganya
akan secara aktif turut serta dalam penatalaksanaan penyakit asmanya untuk
mencegah timbulnya masalah dan dapat hidup secara produktif. Sehingga
dapat menjauhi faktor resiko, berobat dengan benar, mengetahui perbedaan
obat controller dan reliever, monitoring, mengenali gejala serangan asma
dan mencari pertolongan medis secara apropriate.
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
penilaian dan monitor berat asma baik melalui pengukuran gejala,
pemeriksaan uji faal paru, dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk
menilai hasil pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak
penderita asma yang tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan faal parunya
menunjukkan adanya obstruksi saluran nafas.
3. Mengidentifikasi dan menghindari factor pencetus
Mengidentifikasi dan menghindari factor pencetus yang dapat menimbulkan
proses inflamasi saluran nafas merupakan tahap pertama pada penatalaksaan
penyakit asma. Menghindari factor pencetus dapat mengurangi gejala dan
dalam
jangka
panjang
dapat
menekan
proses
inflamasi
maupun
antara lain
24
mengurangi hipoksemia
25
Serangan sedang:
(nebulisasi 2x, respon
parsial)
Berikan oksigen
Nilai kembali derajat
serangan, jika sesuai
dengan
serangan
sedang, observasi di
Ruang Rawat Sehari
Steroid oral
Pasang jalur parenteral
Serangan berat:
(nebulisasi 3x, respon
buruk)
Sejak awal berikan O2
saat/di luar nebulisasi
Pasang jalur parenteral
Steriod intravena
Nilai ulang klinisnya,
jika sesuai dengan
serangan berat, rawat
di Ruang Rawat Inap
Foto rontgen toraks
Boleh pulang:
Bekali obat-obat bagonis (hirupan/oral)
Jika sudah ada obat
pengendali, teruskan
Jika infeksi
virus
sebagai pencetus, beri
steroid oral (3-5 hari)
Dalam 24-48 jam
kontrol ke klinik R.
Jalan, untuk reevaluasi
boleh pulang
Jika dengan steroid
dan
aminofilin
parenteral
tidak
membaik,
bahkan
timbul ancaman henti
nafas, alih rawat ke
Ruang Rawat Intensif
Catatan:
Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01
ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali
kemudian dinilai hasil nebulisasi yang diberikan. Pertimbangan obat untuk nebulisasi
adalah sebagai berikut:
Serangan asma derajat ringan dan sedang.
Untuk serangan asma derajat ringan dan sedang, nebulisasi dilakukan dengan
menggunakan obat tunggal yaitu - agonis. Nebulisasi dapat dilakukan 2 kali
berturut-turut, tergantung respon terapi. Jarak antara nebulisasi I dan kedua adalah 20
menit, setelah nebulisasi ke dua juga dinilai selama 20 menit. Nilai perbaikan klini
setiap selesai nelisasi. Tindakan berikutnya adalah sebagai berikut :
Jika dengan nebulisasi I dan atau II, serangan mereda, penderita diobservasi selama 1
jam di Unit Gawat Darurat (UGD). Jika selama observasi tersebut, tetap membaik,
pasien dipulangkan. Jika selama observasi 1 jam di UGD, serangan kambuh ulang,
maka penderita dipindahkan ke ruang Rawat sehari untuk tatalaksana berikutnya
(Lihat tatalaksana di RRS).
27
Jika setelah 2 kali nebulisasi, hanya terjadi perbaikan parsial, maka penderita dialih
rawat ke RRS untuk tatalaksanan lebih lanjut (Lihat tatalaksana di ruang rawat
Sehari).
Serangan asma berat .
Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat, maka nebulisasi pertama kali langsung
dengan - agonis. yang langsung dikombinasi antikolonergik. Oksigen 2-4 L/menit
diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan
foto thoraks. Penderita langsung dialih rawat ke ruang rawat inap (Lihat tatalaksana
di ruang rawat inap).
Serangan asma dengan ancaman henti nafas.
Bila
pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti nafas, pasien harus
Nebulisasi .
Di RSS, nebulisasi yang dilakukan adalah nebulisasi tahap ke tiga, yaitu
setelah 2 kali nebulisasi UGD yang hanya dengan - agonis. Pada tahap ketiga
ini, nebulisasi dilakukan dengan kombinasi - agonis. dengan antikolinergik.
Nebulisasi dengan kombinasi 2 obat ini dilakukan tiap 2 jam, hingga
pemantauan 12 jam.
Steroid
Kepada penderita juga diberikan steroid sistemik atau oral berupa metil
prednisolon atau prednison.
Oksigen.
Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan.
Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, pasien dipulangkan dan dibekali obat untuk rawat
jalan. Bila dalam 12 jam responnya tetap tidak baik, maka pasien alih rawat ke Ruang
Rawat Inap dengan tatalaksanan asma berat (Lihat tatalaksana di RRI)
28
Oksigen
Pemberian oksigen diteruskan.
Steroid
Pemberian streoid dilakukan secara intravena dengan cara bolus tiap 6-8 jam.
Dosis steroid intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari.
Nebulisasi
Di RRI, nebulisasi dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi antara agonis. dengan antikolonergik. Jarak nebulisasi adalah tiap 1 2 jam. Jika
dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak nebulisasi dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
Aminofilin
Pemberian aminofilin sesuai dengan dosis inisial dan dosis rumatan.
Inisial : Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin yang
lah sebesar 6-8 mg/kgBB yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam
fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien telah
mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan separuhnya.
Rumatan : Untuk rumatan aminofilin diberikan dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/jam.
Selama perawatan di RRI, penderita diobservasi apakah terjadi perbaikan atau tidak.
Bila terjadiperbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam.
Pemberian steroid dan aminofilin diganti dari pemberian intravena menjadi peroral..
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dipulangkan. Jika tidak ada pernbaikan
29
selama tatalaksana di ruang rawat inap, maka penderita dialih rawat ke ruang Intensif
(PICU).1
Tatalaksana di ruang rawat Intensiv (ICU = Intensive Care Unit) .
Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman
henti nafas, langsung dirawat di Ruang Rawat Intensiv (PICU). Kriteria pasien yang
memerlukan PICU ialah :
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti nafas, atau
hilang kesadaran.
Untuk penderita yang mengalami serangan ringan atau sedang yang dengan
satu atau dua kali nebulisasi terjadi respon baik/perbaikan yang sempurna
(complete respons) dan setelah observasi 1 jam di UGD tidak timbul
serangan ulang.
Penderita yang
Obat yang digunakan pada waktu dipulangkan sama untuk semua penderita, baik
yang tidak mengalami perawatan maupun yang sempat dirawat di RRS atau di RRI.
Obat tersebut adalah :
30
Steroid oral diberikan jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, namun
hanya diberikan untuk jangka waktu pendek (3-5 hari).
Pasien dianjurkan untuk kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk
evaluasi tatalaksananya.1
< 3x
Asma persisten
> 3x
(-)
(+)
(-)
(+)
(-)
(+)
Tatalaksana asma jangka panjang bergantung pada derajat penyakit yang diderita oleh
seorang pasien, yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, atau asma
persisten. Tatalaksana tersebut adalah sebagai berikut:
minggu. Jika penggunaan -agonis sudah lebih dari 3 kali per minggu atau
serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka
tatalaksana disesuaikan/diperlakukan sebagai asma episodik sering.
rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan adalah budesonid,
sehingga digunakan sebagai standar.
Dosis steroid yang digunakan adalah dosis rendah
- Usia < 12 th : 100-200 mcg/hr budesonid (50-100 mcg/hr flutikason)
- Usia > 12 th : 200-400 mcg/hr budesonid (100-200 mcg/hr flutikason)
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali
berupa anti inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi.
Karena itu, penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu
yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika tidak ada respon,
maka tatalaksana disesuaikan/diperlakukan sebagai asma persisten.
Dilakukan pemantauan selama 6-8 minggu untuk melihat muncul tidaknya gejala
asma dengan salah satu alternatif terapi diatas. Jika selama waktu tersebut masih
terdapat gejala asma, maka dilanjutkan dengan memilih salah satu dari 2 alternatif
berikut, yaitu :
Steroid hirupan tetap dalam dosis medium dengan menambahkan salah satu obat :
LABA, atau TSR, atau ALTR.
Meningkatkan dosis hirupan menjadi dosis dosis tinggi.
- Usia < 12 th : > 400 mcg/hari budesonid (>200 mcg/hr flutikason)
33
atau alternatif di ats dijalankan. Langkah ini diambil bila bahaya dari
dipertimbangkan. Lebih dari 50 % anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa
(metered dose inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dann berulang kali.
Tabel berikut memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan dengan
usianya.
Jenis Alat Inhalasi Disesuaikan Dengan Umur1
< 2 tahun
2 4 tahun
5 8 tahun
> 8 tahun
34
efek sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru akan lebih baik sehingga didapat efek
terapetik yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler,
Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini
dianjurkan untuk anak sekolah.
Sebagian alat bantu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman,
atau menggunakan obat dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Obat
Pereda
(reliever)
Nama Generik
Nama Dagang
Ipradol
Berotec
Inolin
Bronsolvan,
Kalbron, Amilex,
Bronchophylin
Obat
Golongan anti inflamasi non steroid
Pengendali Kromoglikat
Intal 5
(controller) Nedokromil
Tilade
Sediaan
Sirup, tablet,
MDI Turbuhaler
Keterangan
0,05
mg/kgBB/x
tablet 2,5 mg
Sirup, tablet,
MDI, Rotahaler,
Diskhaler
Sirup, tablet,
MDI
Tablet
MDI
Peed.drop, tablet
Sirup, tablet
MDI
MDI
Izin di
Indonesia
untuk >12
tahun
MDI, Turbuhaler
MDI, Diskhaler
35
Beklometason
Becotide
MDI, Rotahaler,
Diskhaler
Sirup,
tablet,
MDI
Bambuterol
Bambec
Tablet
Salmeterol
Serevent
MDI, Disk haler
Klenbuterol
Spiropent
Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin
Asthmoprotect
Kapsul
Retard
Salbutamol
Volmax
Tablet
Teofilin
Quibron SR,
Tablet salut
Euphyllin Retard,
Phyllocontin
continus
Golongan antihistamin baru
Ketotifen
Zaditen, Profilas,
Sirup, tablet
<3 th: 2 x
Astifen, Infiten, dll
0,5mg
3
th
:
2x1,0mg
Golongan antileukotrin
Zafirlukas
Accolate
Tablet
PROGNOSA
Beberapa penelitian mengatakan bahwa prognosa asma buruk pada anak yang
menderita asma lebih muda dari 3 tahun. Induvidu dengan asma sejak kecil memiliki
FEV1 yang rendah secara signifikan, reaktivitas saluran nafas dan gejala
bronkospasme yang persisten dibandingkan dengan wheezing yang berhubungan
dengan infeksi virus. Anak dengan asma ringan yang tidak bergejala diantara
serangan dapat bebas dari gejala asma setelah dewasa. Anak yang memasuki usia
remaja akan memiliki gejala yang lebih ringan dibandingkan pada saat sebelumnya,
namun setengah dari mereka tetap memiliki asma. Asma memiliki tendensi untuk
mengalami remisi saat pubertas, lebih besar kemungkinannya pada anak perempuan
dibanding laki-laki.
PENCEGAHAN
Pencegahan meliputi :
Pencegahan primer
36
Pencegahan sekunder
Yaitu mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
asma.
Contohnya adalah pemberian anti histamin H-1 dalam menurunkan onset
mengi pada penderita anak dermatitis atopik.
Pencegahan tersier
Yaitu untuk mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi klinis
pada penderita yang sudah menderita asma. Contohnya menghindari allergen
yang menyebabkan tercetusnya serangan asma.1
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe. Noenoeng.dkk. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK
Pulmonologi PP IDAI. Jakarta : 2004
2. Global Initiative for Asthma. 2011. Global Strategy for Asthma
38