Anda di halaman 1dari 13

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Leukimia
A. Definisi
Leukimia adalah suatu keganasan yang berasal dari
perubahan genetik pada satu atau banyak sel di sumsum
tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan tertekan pada
waktu sel leukimia bertambah banyak sehingga
menimbulkan gejala klinik. Keganasan hematologik ini
adalah akibat dari proses neoplastik yang disertai ganggguan
B. Epidemologi
Leukimia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai
lebih kurang 33% dari keganasan pediatrik. Leukimia
limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira-kira 75% dari semua
kasus, dengan inisidensi tertinggi pada umur 4 tahun.
Leukimia myeloid akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari
leukimia, dengan inisidensi yang tetap dari lahir sampai
umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja.
Leukimia sisanya adalah bentuk kronis; leukimia limfositik
kronis (LLK) jarang ditemukan pada anak. Insidensi tahunan
keseluruhan dari leukimia adalah 42,1 tiap juta anak kulit
putih dan 24,3 tiap juta anak kulit hitam. Perbedaan itu
terutama disebabkan oleh rendahnya kejadian LLA pada kulit
hitam. ( Nelson ilmu kesehatan anak vol.1)
Di Amerika Serikat, insiden tahunan penyakit leukemia
pada anak yang berumur dibawah 15 tahun adalah sekitar 4 per
100.000. Anak-anak dari semua golongan umur terkena. ALL,

pucak usia timbulnya penyakit adalah antara umur 3 dan 4 tahun,


sedangkan pada anak dengan AML tampak tidak ada usia puncak.
Insiden ALL lebih tinggi pada anak kulit putih daripada anak kulit
berwarna (rasio 1,8:1), tetapi prediksi rasial belum diperlihatkan
baik untuk AML dan CML di Amerika Serikat. Rasio laki-laki
terhadap perempuan untuk semua jenis leukemia anak adalah
1,4:1 untuk kulit putih dan 1,1 untuk kulit hitam. ( Rudolph ).
C. Etiologi
Penyebab leukemia pada manusia tetap belum diketahui;
akan tetapi, termasuk faktor lingkungan dan genetic serta
keadaan imunodefisiensi. Dewasa ini, mutasi spontan telah
menjadi hipotesis sebagai penyebab utama ALL pada anak.
Krena sel target untuk ALL, sel progenitor limfoid,
memiliki kecepatan proliferasi yang tinggi dan
kecenderungan yang tinggi untuk pengaturan kembali gen
selama masaa anak-anak awal, mereka lebih rentan untuk
mengalami mutasi. Diperdebatkan bahwa satu, atau lebih
mungkin dua, mutasi sekuensial spontan pada gen pengatur
kunci dalam suatu populasi sel, yang mengalami tekanan
proliferasi dapat terjadi pada frekuensi yang cukup untu
bertanggung jawab terhadap kebanyakan kasus ALL pada
anak. (Rudolph)
D. Patologi dan patogenesis
Teori umum tentang patofisiologi leukemia adalah
bahwa satu sel induk mutan, mampu meperbaharui diri
secara tidak terhingga, menimbulkan, perkusor hematopoetik
berdiferensiasi buruk maligna yang membelah diri pada
kecepatan yang sama atau lebih lambat daripada

pasangannya yang normal. Pada studi glukosa 6-fosfat


dehidrogenase (G6PD), perkembangan uniselular dari
neoplasma telah diperlihatkan dengan menemukan satu jenis
G6PD dalam sel ganas dari pasien heterozigot yang memiliki
pola enzim ganda dalam jaringan normal mereka. Penentuan
pola metilasi dari polimorfisme panjang-fragmen-retriksi
yang terkait-X pada perempuan heterozigot merupakan
metode sensitife lain dalam pada prinsip analisis yang sama.
Akumulasi sel blas menghambat produksi normal granulosit,
eritrosit, dan trombosit, sehingga mengakibatkan infeksi,
anemia, dan perdarahan. Sel leukemia dapat menginfiltrasi
setiap organ dan menyebabkan pembesaran dan gangguan
fungsi organ tersebut.( Rudolph )
E. Klasifikasi Leukimia

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis marasmus-kwashiorkor yaitu :
- Anak kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
- Wajah seperti orang tua (old man face)
- Cengeng, rewel
- Degenerasi hebat jaringan lemak subkutan dan atrofi otot
(Wasting)
- Tulang rusuk tampak terlihat jelas
- Kelainan kulit / rambut ringan dan jarang
- Diare berulang tetapi lebih ringan

Terlihat tulang belakang lebih menonjol dan di temukan


baggy pants.
- Resistensi tubuh rendah
- Perubahan mental sampai apatis
- Sering dijumpai Edema
- Atrofi otot
- Gangguan sistem gastrointestinal
- Perubahan rambut dan kulit
- Pembesaran hati
- Anemia
G. Langkah Diagnostik
1. Gejala klinis
- Anamnesis : (terutama mengenai makanan, tumbuh
kembang serta penyakit yang pernah di derita)
- Pemeriksaan fisis yang memberikan adanya tanda
tanda malnutrisi dan berbagai defisiensi vitamin.
2. Antropometrik
Termasuk didalamnya adalah BB/U (berat badan
menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umurnya),
LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB
(berat badan ideal menurut tinggi badan), LLA/TB
(lingkar lengan atas menurut tinggi badan)
3. Pemeriksaan penunjang
Gula darah, preparat apusan darah, hemoglobin dan
hematokrit, urin rutin/kultur, feses rutin, foto rontgen,
pemeriksaan albumin dan serum feritin.
H. Tatalaksana

Penanganan umum meliputi 10 langkah dan


terbagi dalam 4 fase yaitu: fase stabilisasi, fase transisi,
fase rehabilitasi dan fase tindak lanjut

a. Fase Stabilisasi
Pada fase ini, peningkatan jumlah formula diberikan secara
bertahap dengan tujuan memberikan makanan awal supaya anak
dalam kondisi stabil. Formula hendaknya hipoosmolar rendah
laktosa, porsi kecil, rendah serat dan sering. Setiap 100 ml
mengandung 75 kal dan protein 0,9 gr. Diberikan makanan
formula 75 (F 75). Resomal dapat diberikan apabila anak diare/
muntah/ dehidrasi, 2 jam pertama setiap jam selanjutnya 10
jam berikutnya diselang seling dengan F75. Pada fase ini
diberikan TKTP (80% kebutuhan normal). (5,6)
Tabel 1. Kebutuhan zat gizi fase stabilisasi.(7)
Zat Gizi
Energi
Protein

Stabilisasi (hari ke 1-7)


80-100 kkal/kgBB/hari
1-1,5 gram/kgBB/hari

Cairan

Vitamin A
- Bayi < 6 bulan
- Bayi 6-11 bulan
- Balita 12-60 bulan
Vitamin lain
Zinc
- Kalium
- Natrium
- Magnesium
Mineral lain
- Vitamin C
- Vitamin B kompleks
- Asam folat

cairan 130ml/kgBB/hari
Sulfas ferosus 200mg + 0,25 mg
asam folat, sirup besi 150 ml.
kapsul vitamin A dosis
100.000 SI (warna biru)
1 kapsul vitamin A dosis 100.000
SI (warna biru)
1 kapsul vitamin A dosis 200.000
SI (warna merah)
Pemberiannya dicampur dengan
F75, F100 dan F135

b. Fase Transisi
Pada fase ini anak mulai stabil dan memperbaiki jaringan
tubuh yang rusak (cathup). Diberikan F100, setiap 100 ml F100
mengandung 100 kal dan protein 2,9 gram. Pada masa transisi
diberi makanan TKTP (150% kebutuhan normal).
Tabel 2. Kebutuhan zat gizi fase transisi.(7)
Zat Gizi
Transisi (hari ke 8-14)
Energi
100-150 kkal/kgBB/hari
Protein
2-3 gram/kgBB/hari
Cairan
150ml/kgBB/hari
Fe
Sulfas ferosus 200mg + 0,25 mg
Vitamin A
asam folat, sirup besi 150 ml.
- Bayi < 6 bulan
- Bayi 6-11 bulan
kapsul vitamin A dosis 100.000 SI

- Balita 12-60 bulan


Vitamin lain
- Vitamin C
- Vitamin B kompleks
- Asam folat
Mineral lain
- Zinc
- Kalium
- Natrium
- Magnesium

(warna biru)
1 kapsul vitamin A dosis 100.000 SI
(warna biru)
1 kapsul vitamin A dosis 200.000 SI
(warna merah)
Diberikan sebagai multivitamin
Diawali 5 mg, selanjutnya 1mg/hari.
Pemberiannya dicampur dengan
F75, F100 dan F135

c. Fase Rehabilitasi
Terapi nutrisi fase ini adalah untuk mengejar pertumbuhan
anak. Diberikan setelah anak sudah bisa makan. Makanan padat
diberikan pada fase rehabilitasi berdasarkan BB< 7 kg diberi MP
ASI dan BB 7 kg diberi makanan balita. Diberikan makanan
formula 135 (F 135) dengan nilai gizi setiap 100 ml F135
mengandung energi 135 kal dan protein 3,3 gram. Pada tahap ini
diberi makanan TKTP penuh (150-200% kebutuhan normal) . (6,7)
Tabel 3. Kebutuhan zat gizi fase rehabilitasi.(5)
Zat Gizi

Rehabilitasi (minggu ke 2-6)

Energi
Protein
Cairan
Fe
Vitamin A
- Bayi < 6 bulan
- Bayi 6-11 bulan
- Balita 12-60 bulan
Vitamin lain
- Vitamin C
- Vitamin B kompleks
- Asam folat
Mineral lain
- Zinc
- Kalium
- Natrium
- Magnesium

150-200 kkal/kgBB/hari
3-4 gram/kgBB/hari
150 200 ml/kgBB/hari
Berikan awal selama 4 minggu.
kapsul vitamin A dosis
100.000 SI (warna biru)
1 kapsul vitamin A dosis 100.000
SI (warna biru)
1 kapsul vitamin A dosis 200.000
SI (warna merah)
Diberikan sebagai multivitamin
Pemberiannya dicampur dengan
F75, F100 dan F135

d. Fase tindak lanjut


Dilakukan di rumah setelah anak dinyatakan sembuh, bila
BB/TB atau BB/PB -2 SD, tidak ada gejala klinis dan
memenuhi kriteria selera makan sudah baik, makanan yang
diberikan dapat dihabiskan, ada perbaikan kondisi mental, anak
sudah dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri atau berjalan
sesuai umurnya, suhu tubuh berkisar antara 36,5 37, 7 C, tidak
muntah atau diare, tidak ada edema, terdapat kenaikan BB sekitar
50g/kg BB/minggu selama 2 minggu berturut-turut. Mineral Mix
dapat diberikan sebagai nutrisi gizi buruk yang terbuat dari bahan
yang terdiri dari KCl, tripotasium citrat, MgCl2.6H2O, Zn asetat
2H2O dan CuSO4.5H2O, bahan ini dijadikan larutan. Mineral
mix ini dikembangkan oleh WHO dan telah diadaptasi menjadi

pedoman Tatalaksana Anak Gizi Buruk di Indonesia. Mineral mix


digunakan sebagai bahan tambahan untuk membuat Rehydration
Solution for Malnutrition (ReSoMal) dan Formula WHO. (6,7)
Tabel 4. Komposis Mix Campuran. (6,7)
Zat Gizi
KCl
Tripotasium Citrat
MgCl2.6H2O
Zn asetat 2H2O
CuSO4.5H2O

Kadar

Satuan

1,792
0,648
0,608
0,0656
0,0112

Gram
Gram
Gram
Gram
Gram

Tabel 5. Tiap kemasan dimaksudkan untuk membuat 20ml larutan


(7)

Bahan Makanan
Formula WHO
Susu skim bubuk
Gula pasir
Minyak sayur
Larutan elektrolit
Tambahkan air
s/d
Nilai Gizi
Energi
Protien
Laktosa
Kalium
Natrium
Magnesium
Seng

Per 1000
ml

F75

F100

F135

Mg
Mg
Mg
Ml
Ml

25
100
30
20
1000

85
50
60
20
1000

90
65
75
27
1000

Kkal
G
G
Mmol
Mmol
Mmol
Mg

750
9
13
36
6
4,3
20

1000
29
42
59
19
7,3
23

1350
33
48
63
22
8
30

Tembaga
% Energi Protein
% Energi Lemak Osmolaritas

Mg
Mosml

2,5
5
36
413

2,5
12
63
419

3,4
10
67
508

(1) Mencegah dan mengatasi hipoglikemi.


Hipoglikemi jika kadar gula darah < 54 mg/dl atau ditandai
suhu tubuh sangat rendah, kesadaran menurun, lemah, kejang,
keluar keringat dingin, pucat. Pengelolaan berikan segera cairan
gula: 50 ml dekstrosa 10% atau gula 1 sendok teh dicampurkan ke
air 3,5 sendok makan, penderita diberi makan tiap 2 jam,
antibotik, jika penderita tidak sadar, lewat sonde. Dilakukan
evaluasi setelah 30 menit, jika masih dijumpai tanda-tanda
hipoglikemi maka ulang pemberian cairan gula tersebut. (6,7)
(2) Mencegah dan mengatasi hipotermi.
Hipotermi jika suhu tubuh anak < 35C , aksila 3 menit
atau rectal 1 menit. Pengelolaannya ruang penderita harus hangat,
tidak ada lubang angin dan bersih, sering diberi makan, anak
diberi pakaian, tutup kepala, sarung tangan dan kaos kaki, anak
dihangatkan dalam dekapan ibunya (metode kanguru), cepat ganti
popok basah, antibiotik. Dilakukan pengukuran suhu rectal tiap 2
jam sampai suhu > 36,5C, pastikan anak memakai pakaian, tutup
kepala, kaos kaki. (6,7)
(3) Mencegah dan mengatasi dehidrasi.
Pengelolaannya diberikan cairan Resomal (Rehydration
Solution for Malnutrition) 70-100 ml/kgBB dalam 12 jam atau
mulai dengan 5 ml/kgBB setiap 30 menit secara oral dalam 2 jam
pertama. Selanjutnya 5-10 ml/kgBB untuk 4-10 jam berikutnya,

(4)

(5)

(6)

(7)

jumlahnya disesuaikan seberapa banyak anak mau, feses yang


keluar dan muntah. Penggantian jumlah Resomal pada jam
4,6,8,10 dengan F75 jika rehidrasi masih dilanjutkan pada saat itu.
Monitoring tanda vital, diuresis, frekuensi berak dan muntah,
pemberian cairan dievaluasi jika RR dan nadi menjadi cepat,
tekanan vena jugularis meningkat, jika anak dengan edem,
edemnya bertambah. (6,7)
Koreksi gangguan elektrolit.
Berikan ekstra Kalium 150-300mg/kgBB/hari, ekstra Mg
0,4- 0,6 mmol/kgBB/hari dan rehidrasi cairan rendah garam
(Resomal) . (6,7)
Mencegah dan mengatasi infeksi.
Antibiotik (bila tidak ada komplikasi : kotrimoksazol 5
hari, bila ada komplikasi amoksisilin 15 mg/kgBB tiap 8 jam 5
hari. Monitoring komplikasi infeksi seperti hipoglikemia atau
hipotermi . (6,7)
Mulai pemberian makan
Segera setelah dirawat, untuk mencegah hipoglikemi,
hipotermi dan mencukupi kebutuhan energi dan protein. Prinsip
pemberian makanan fase stabilisasi yaitu porsi kecil, sering,
secara oral atau sonde, energi 100 kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5
g/kgBB/hari, cairan 130 ml/kgBB/hari untuk penderita marasmus,
marasmik kwashiorkor atau kwashiorkor dengan edem derajat
1,2, jika derajat 3 berikan cairan 100 ml/kgBB/hari. (6,7)
Koreksi kekurangan zat gizi mikro
Berikan setiap hari minimal 2 minggu suplemen
multivitamin, asam folat (5mg hari 1, selanjutnya 1 mg), zinc 2
mg/kgBB/hari, cooper 0,3 mg/kgBB/hari, besi 1-3 Fe

elemental/kgBB/hari sesudah 2 minggu perawatan, vitamin A hari


1 (<6 bulan 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >1 tahun 200.000
IU). Jangan memberikan zat besi pada masa stabilisasi karena
dapat memperburuk keadaan infeksi, diberikan pada saat anak
sudah mau makan dan berat badannya sudah mulai naik. (6,7)
(8) Memberikan makanan untuk tumbuh kejar Satu minggu
perawatan fase rehabilitasi, berikan F100 yang mengandung
100 kkal dan 2,9 g protein/100ml, modifikasi makanan keluarga
dengan energi dan protein sebanding, porsi kecil, sering dan padat
gizi, cukup minyak dan protein.
(9) Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang
Mainan digunakan sebagai stimulasi, macamnya tergantung
kondisi, umur dan perkembangan anak sebelumnya. Diharapkan
dapat terjadi stimulasi psikologis, baik mental, motorik dan
kognitif.
(10) Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah.
Setelah BB/PB mencapai -1 SD dikatakan sembuh,
tunjukkan kepada orang tua frekuensi dan jumlah makanan,
berikan terapi bermain anak, pastikan pemberian imunisasi boster
dan vitamin A tiap 6 bulan. (8)
I. KOMPLIKASI
Anak kurang gizi lebih rentan terhadap infeksi, terutama
sepsis, pneumonia, dan gastroenteritis. Hipoglikemi biasa terjadi
sesudah masa puasa berat, tetapi dapat juga merupakan tanda
sepsis, Hipotermia dapat menandai infeksi atau, dengan
bradikardi dapat menandai penurunan kecepatan metabolik untuk
menghemat energi. Bradikardi dan curah jantung yang buruk

memberi kecenderungan pada anak kurang gizi untuk menderita


gagal jantung, yang diperburuk oleh beban cairan atau zat terlarut
akut. Defesiensi vitamin dapat juga mempersulit malnutrisi.
Defesiensi vitamin A biasa terjadi dinegara berkembang dan
merupakan penyebab penting perubahan respons imun dan
peningkatan morbiditas (misalnya, infeksi dan kebutaan) dan
mortalitas (terutama akibat campak). Bergantung pada usia onset
dan durasi malnutrisi, anak kurang gizi dapat menderita
pertumbuhan kerdil permanen (dari malnutrisi dalam rahim, masa
bayi atau remaja). Kehilangan lingkungan (sosial) dapat
berinteraksi dengan pengaruh malnutrisi hingga terjadi gangguan
perkembangan dan fungsi kognitif lebih lanjut.(6,7,9)
J. PROGNOSIS
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang
tinggi, kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering
tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena
malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat
pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun
kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif
kematian tidak dapat dihindari,mungkin disebabkan perubahan
yang irreversibel dari set-sel tubuh.(5,7,8)
1.

2.

DAFTAR PUSTAKA
Gangguan Nutrisi. In:E Richard, K Robert, M Ann, editors.
Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Texbook of Pediatrics). Edisi 15.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996. Hal. 211-214
A Evawany. Kurang Energi Protein (Protein Energy
Malnutrition).
[online].
2004.
Available
from:

3.
4.
5.

6.
7.
8.

9.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3741/1/fkmgizi
-evawany.pdf
U Dyah. Kurang Energi protein. [online].Available
from:URL:www.kurang-energi-protein-pdf.pdf
H Boerhan, I Roedi, N Siti. Kurang Energi protein. [online].
Available from: URL:www.pediatric.com
Tershakovec, AM dan Stallings VA. 2010. Nutrisi Pediatri dan
Gangguan Nutrisi. Dalam Nelson Esensi Pediatri Ed. 4. EGC.
Jakarta.
Almatsier sunita . 2005 . Prinsip Dasar Ilmu Gizi. GM . jakarta
indonesia
Dr. arisman, MB. 2010. Buku ajar ilmu gizi gizi dalam daur
kehidupan. EGC. Jakarta : Indonesia
Razak Adni A, Made I A, G, Budiningsar Dwi.2009. Pola asuh
ibu sebagai faktor risiko kejadian kurang energi protein (KEP)
pada anak balita.UGM;Yogyakarta.[Cited:22mei 2013].
(http://www.ijcn.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=52&Itemid=55).
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Standar pelayanan medik.
Makassar :FK UNHAS/SMF Anak RS DR. Wahidin
sudirohusodo. 2009.

Tuberkulosis
A. Definisi
Tuberkulosis ialah penyakit akibat infeksi mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat
mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di
paru yang biasanya lokasi infeksi primer.5

B. Epidemologi
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang
timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara
maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Ada 3 hal yang
mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu
perubahan strategi pengendalian, infeksi virus HIV, dan
pertumbuhan populasi yang cepat.
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan.
Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6% dari
total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus
TB anak berusia < 15 tahun, 63% diantaranya berusia <5 tahun.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun
terdapat 1,3 juta kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15
tahun meninggal karena TB. Pada tahun 2000, terdapat 1,8 juta
kematian akibat TB, 226.000 diantaranya berhubungan dengan
HIV.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat saat ini,
diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu : (1) diagnosis tidak
tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan
tidak terlaksana dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5)
migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7)
meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang
kurang memadai.1
C. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah mycobacterium tuberculosis.
Ada 2 macam mycobacteria yang menyebabkan penyakit

tuberculosis yaitu tipe human (berada dalam bercak ludah dan


droplet) dan tipe bovin yang berada dalam susu sapi.
Kuman dapat tahan hidup dan tetap virulent beberapa
minggu dalam keadaan udara kering maupun dalam keadaan
dingin, hal ini terjadi karna kuman berada dalam sifat dormant.
Tetapi dalam cairan mati pada suhu 60 oc dalam waktu 15-20
menit.
Didalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intraseluler
yakni dalam sitoplasma makrofag yang semula memfagositasi
malah kemudian disenangi karna banyak mengandung lipid.6
D. Patologi dan patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi
TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 m) kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga
tidak terjadi respon imunologis spesifik. Akan tetapi pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya
kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan
fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran
limfe menuju kelenjar limfe reginal, yaitu kelenjar limfe yang
mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini

menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)


dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang tekena. Jika fokus primer
terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limgangitis dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai
masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu,
biasanya berlangsung 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut
kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10 3-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas
selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih
negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman
TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular
mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara serupa membentuk
fibrsis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan

enkapsulasi. Kelenjar limfe regiolan juga akan mengalami fibrosis


dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi.
Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran
normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut, sehingga dapat terganggu. Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di
segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve
mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Masa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, sering
diseebut sebagai segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkusbasi, sebelum terbentuknya imunitas
selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe reginal
membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebarkan secara

10

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen


langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic
spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik
dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi
baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti
otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian
pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
juga dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogen generalisata akut (acute generalized hematogenik
spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu

(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah


lima tahun terutama dibawah dua tahun.3
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik, dan
manifestasi spesifik organ/lokal.
a. Manifestasi Sistemik (umum/nonspesifik)
Demam lama ( 2 minggu) dan/atau berulang tanpa
sebab yang jelas, yang dapat disertai dengan keringat
malam. Demam umumnya tidak tinggi.
Batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah
disingkirkan.
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak
naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi yang
adekuat.
Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal
tumbuh dan BB tidak naik dengan adekuat (failure to
thrive).
Lesu atau malaise
Diare persisten yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
b. Manifestasi spesifik organ/lokal
Pembesaran kelenjar limfe superfisial
Tuberkulosis pada SSP; nyeri kepala, penurunan
kesadaran, muntah proyektil, dan kejang
TB sistem skeletal; nyeri, bengkak pada sendi yang
terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak,
gibbus, pincang, lumpuh, dan sulit membungkuk
Tuberkulosis kulit/ skrofuloderma.3
F. Langkah Diagnostik

11

4. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan : lama batuk, lama
demam, apakah ada kontak dengan penderita batuk lama
atau orang berobat 6 bulan, apakah ada masalah pada
nafsu makan yang menurun dan berat badan yang
menurun. Apakah ada diare yang lama dan apakah ada
nyeri dada.
5. Pemeriksaan fisik
Perlu diperiksa berat badan untuk menilai status
gizi pasien. Selain itu periksa Apakah ada pembesaran
limfe (kolli, aksila, dan inguinal), pembengkakan
tulang/sendi panggul/lutut atau falang. Jika terjadi
meningitis TB bisa ditemukan kaku kuduk. Pada mata
dapat dijumpai konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik
putih di limbus kornes yang sangat nyeri.
6. Pemeriksaan penunjang
a. Uji tuberculin
b. Foto rontgen thoraks
c. Pemeriksaan mikrobiologik dai bahan bilasan
lambung atau sputum.
d. Pemeriksaan patologi di lakukan dengan biopsi
kelenjar, kulit, atau jaringan lain yang dicurigai
terkena infeksi TB.
Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak
menyebabkan banyak usaha membuat pedoman diagnosis
dengan sistem skoring dan alur diagnostik,
misalnyapetunjuk yang dibuat oleh WHO dan Skoring TB
oleh UKK Respirologi PP IDAI.

Tabel 1. Petujuk WHO untuk diagnosis TB anak


a.

Dicurigai tuberkulosis
1. Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberkulosis dengan diagnosis pasti
2. Anak dengan:
Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan.
Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan pengobatan antibi
untuk penyakit pernapasan.
Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.
b. Mungkin Tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah:
Uji tuberkulin positif (10 mm atau lebih)
Foto rontgen paru sugestif TB
Pemeriksaan histologis biopsi sugestif TB
Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT
c. Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan
Identifikasi M.tuberculosis pada karakteristik biakan.

Tabel 2. Sistem skoring diagnosis TB anak

12

Parameter
Kontak TB

0
Tidak
jelas

1
-

Negatif

BB/TB <
90% atau
BB/U <
80%

2
Laporan
keluarga (BTA
negatif atau
tidak jelas)
-

Uji Tuberkulin

Berat badan/
keadaan gizi
Demam yang
tidak diketahui
penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks

2
minggu

3
minggu
1 cm,
jumlah >
1, tidak
nyeri
Ada
pembengk
akan

Normal/k
elainan
tidak jelas

Klinis gizi
buruk atau
BB/TB < 70%
atau BB/U <
60%
-

3
BTA (+)

Positif
( 10
mm, atau 5 mm
pada keadaan
imunosupresi
-

Gambaran
sugestif
TB

Keterangan :

Diagnosis dengan system skoring ditegakkan oleh Dokter

Bila dijumpai gambaran milier atau skrofuloderma, langsung


didiagnosis TB

Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)

Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku

Foto thoraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak

Gambaran sugestif TB, berupa : pembesaran kelenjar hilus atau


paratrakeal dengan/tanpa infiltrate; konsolidasi segmental/lobar;
kalsifikasi dengan infiltrate; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran
milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus
Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB
anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan
kesehatan
Diagnosis kerja TB anak ditegakkan skor 6 (skor maksimal 13)4,5

G. Tatalaksana
a. Medikamentosa
Obat tuberculosis yang digunakan (first line) saat ini
adalah Rifampizin (R), Isoniasid (H), pirazinamid(Z),
etambutol (E), dan streptomisin (S)
1. Isoniazid : diberikan secara Oral dengan dosis harian 5-15
mg/kgbb/hari, maksimal 300 mg/hari dan diberikan dalam
satu kali pemberian.
2. Rifampizin : sebaiknya di berikan 1 jam sebelum makan
karna rifampizin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong. Diberikan oral,
dengan dosis 10-20 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 600
mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian.
3. Pirazinamid : diberikan oral dengan dosis 15-30
mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari.
4. Etambutol : obat ini jarang diberikan pada anak karna
memiliki efek neuritis optik. Dosis etambutol adalah 1520 mg/kgbb/hari, maksimal 1,25 gram/hari dengan dosis
tunggal.

13

5. Streptomisin : obat ini jarang digunakan dalam


pengobatan TB, ettapi penggunaanya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB.
Diberikan secara intramuscular dengan dosis 15-40
mg/kgbb/hari, maksimal 1 gram/ hari.
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif
(2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Dengan
prinsip pengobatan minimal 3 macam obat pada fase intensif
dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan. 4
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul antara lain TB milier,
meningitis TB, Efusi Pleura, Pneumothorax, bronkiektasis dan
atelektasis.
I. Pencegahan
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan, dosis
untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersio otot deltoid
kanan. Bila BCG diberikan pada usia > 3 bulan, sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Imunisasi BCG
efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB,
dan spondilitis TB pada anak.
2. Kemoprofilaksis
Terdiri dari :
a. Kemoprofilaksis primer untuk mencegah terjadinya
infeksi TB. Diberikan isoniazid dengan dosis 5-10

mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 6 bulan. 3 bulan


pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang.
Jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan.
Jika tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien, pada
akhir bulan keenam dilakukan uji tuberkulin ulang.
b. Kemoprofilaksis
sekunder
untuk
mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.
J. Prognosis
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak,
lamanya mendapat infeksi, keadaan gizi, keadaan sosial
ekonomi keluarga, diagnosis dini, pengobatan adekuat, dan
adanya infeksi lain seperti morbili, pertusis, diare yang
berulang dan lain-lain.2
1.
2.
3.

4.
5.

6.

DAFTAR PUSTAKA
Kartasasmitha, C.B., Darfioes, B. Epidemiologi Tuberkulosis. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2008. h162-166.
Latief A, dkk, Ilmu kesehatan anak 2. Jakarta : bagian ilmu kesehatan anak FKUI,
1985.
Rahajoe, N.N., Setyanto, D.B. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah Tuberkulosis.
Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2008.
h169-176.
Setiawati, L., Nastiti, N.R. Tatalaksana Tuberkulosis. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2008. h214-226.
Standar Pelayanan Medik. 2009. Tuberculosis. Makassar : Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit DR. Wahidin
Sudirohusodo
Wiza, Choirul. Tuberculosis paru. Diakses tanggal 31 Agustus 2014
http://id.scribd.com/doc/122954207/tuberculosis-paru

Anda mungkin juga menyukai