Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tuberkulosis ialah penyakit akibat infeksi mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya lokasi infeksi primer.5
B. Epidemologi
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak
hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di
negara berkembang maupun di negara maju. Ada 3 hal yang mempengaruhi
epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian,
infeksi virus HIV, dan pertumbuhan populasi yang cepat.
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus
TB anak per tahun adalah 5-6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun
1985, dari 1261 kasus TB anak berusia < 15 tahun, 63% diantaranya berusia <5
tahun. Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3
juta kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal karena TB.
Pada tahun 2000, terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 diantaranya
berhubungan dengan HIV.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat saat ini, diduga
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu : (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan
tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak terlaksana dengan tepat, (4)
infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self
treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang
kurang memadai.1
C. Etiologi

Penyebab tuberculosis adalah mycobacterium tuberculosis. Ada 2 macam


mycobacteria yang menyebabkan penyakit tuberculosis yaitu tipe human (berada
dalam bercak ludah dan droplet) dan tipe bovin yang berada dalam susu sapi.
Kuman dapat tahan hidup dan tetap virulent beberapa minggu dalam keadaan
udara kering maupun dalam keadaan dingin, hal ini terjadi karna kuman berada
dalam sifat dormant. Tetapi dalam cairan mati pada suhu 60oc dalam waktu 15-20
menit.
Didalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam
sitoplasma makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenangi
karna banyak mengandung lipid.6
D. Patologi dan patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 m) kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB
dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga
tidak terjadi respon imunologis spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe reginal, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang tekena. Jika fokus
primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limgangitis dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung 4-8 minggu. Selama
masa inkubasi tersebut kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10 3-104,
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).
Setelah imunitas terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara serupa membentuk fibrsis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regiolan juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer
di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-

valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang


mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, sering diseebut sebagai
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkusbasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen kuman
menyebar ke kelenjar limfe reginal membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebarkan secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di
apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya,
kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut juga dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks
paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogen
generalisata akut (acute generalized hematogenik spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya

penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun


pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
terutama dibawah dua tahun.3
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik, dan manifestasi
spesifik organ/lokal.
a. Manifestasi Sistemik (umum/nonspesifik)
Demam lama ( 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas,
yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak
tinggi.
Batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1
bulan dengan penanganan gizi yang adekuat.
Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak
naik dengan adekuat (failure to thrive).
Lesu atau malaise
Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
b. Manifestasi spesifik organ/lokal
Pembesaran kelenjar limfe superfisial
Tuberkulosis pada SSP; nyeri kepala, penurunan kesadaran, muntah
proyektil, dan kejang
TB sistem skeletal; nyeri, bengkak pada sendi yang terkena, dan
gangguan atau keterbatasan gerak, gibbus, pincang, lumpuh, dan sulit
membungkuk
Tuberkulosis kulit/ skrofuloderma.3
F. Langkah Diagnostik
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan : lama batuk, lama demam, apakah
ada kontak dengan penderita batuk lama atau orang berobat 6 bulan,
apakah ada masalah pada nafsu makan yang menurun dan berat badan
yang menurun. Apakah ada diare yang lama dan apakah ada nyeri dada.
2. Pemeriksaan fisik
Perlu diperiksa berat badan untuk menilai status gizi pasien. Selain
itu periksa Apakah ada pembesaran limfe (kolli, aksila, dan inguinal),
pembengkakan tulang/sendi panggul/lutut atau falang. Jika terjadi
meningitis TB bisa ditemukan kaku kuduk. Pada mata dapat dijumpai
5

konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih di limbus kornes yang sangat


nyeri.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Uji tuberculin
b. Foto rontgen thoraks
c. Pemeriksaan mikrobiologik dai bahan bilasan lambung atau
sputum.
d. Pemeriksaan patologi di lakukan dengan biopsi kelenjar, kulit, atau
jaringan lain yang dicurigai terkena infeksi TB.
Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak
usaha membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur
diagnostik, misalnyapetunjuk yang dibuat oleh WHO dan Skoring TB oleh
UKK Respirologi PP IDAI.
Tabel 1. Petujuk WHO untuk diagnosis TB anak
a. Dicurigai tuberkulosis
1. Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberkulosis dengan diagnosis
pasti
2. Anak dengan:
Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk
rejan.
Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan
pengobatan antibiotika untuk penyakit pernapasan.
Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.
b. Mungkin Tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah:
Uji tuberkulin positif (10 mm atau lebih)
Foto rontgen paru sugestif TB
Pemeriksaan histologis biopsi sugestif TB
Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT
c. Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan
Identifikasi M.tuberculosis pada karakteristik biakan.
Tabel 2. Sistem skoring diagnosis TB anak
Parameter
Kontak TB

0
Tidak jelas

1
-

2
Laporan

3
BTA (+)

keluarga

(BTA negatif
atau tidak
Negatif

jelas)
-

atau 5 mm pada

Uji Tuberkulin

keadaan
-

Berat badan/
keadaan gizi

Demam yang

Positif ( 10 mm,

BB/TB <

Klinis gizi

90% atau

buruk atau

BB/U < 80%

BB/TB <

imunosupresi
-

70% atau
-

2 minggu

BB/U < 60%


-

3 minggu
1 cm,

tidak diketahui
penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran
kelenjar limfe

jumlah > 1,

kolli, aksila,

tidak nyeri

inguinal
Pembengkaka

Ada

n tulang/sendi

pembengkaka

panggul, lutut,

falang
Foto toraks

Normal/ke

Gambaran

lainan

sugestif TB

tidak jelas
Keterangan :

Diagnosis dengan system skoring ditegakkan oleh Dokter

Bila dijumpai gambaran milier atau skrofuloderma, langsung didiagnosis


TB

Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)

Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku

Foto thoraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak

Gambaran sugestif TB, berupa : pembesaran kelenjar hilus atau


paratrakeal dengan/tanpa infiltrate; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi
dengan infiltrate; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung
dalam skor karena diperlakukan secara khusus

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,


maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan

Diagnosis kerja TB anak ditegakkan skor 6 (skor maksimal 13)4,5

G. Tatalaksana
a. Medikamentosa
Obat tuberculosis yang digunakan (first line) saat ini adalah Rifampizin
(R), Isoniasid (H), pirazinamid(Z), etambutol (E), dan streptomisin (S)
1. Isoniazid : diberikan secara Oral dengan dosis harian 5-15 mg/kgbb/hari,
maksimal 300 mg/hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.
2. Rifampizin : sebaiknya di berikan 1 jam sebelum makan karna rifampizin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut
kosong. Diberikan oral, dengan dosis 10-20 mg/kgbb/hari, dosis maksimal
600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian.
3. Pirazinamid : diberikan oral dengan dosis 15-30 mg/kgbb/hari dengan
dosis maksimal 2 gram/hari.
4. Etambutol : obat ini jarang diberikan pada anak karna memiliki efek
neuritis optik. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgbb/hari, maksimal 1,25
gram/hari dengan dosis tunggal.
5. Streptomisin : obat ini jarang digunakan dalam pengobatan TB, ettapi
penggunaanya penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan
MDR-TB.

Diberikan

secara

intramuscular

dengan

dosis

15-40

mg/kgbb/hari, maksimal 1 gram/ hari.


Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya sebagai fase lanjutan. Dengan prinsip pengobatan minimal 3
macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase
lanjutan.4
8

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul antara lain TB milier, meningitis TB, Efusi
Pleura, Pneumothorax, bronkiektasis dan atelektasis.
I. Pencegahan
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan, dosis untuk bayi sebesar
0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah
insersio otot deltoid kanan. Bila BCG diberikan pada usia > 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Imunisasi BCG efektif
terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan spondilitis TB pada
anak.
2. Kemoprofilaksis
Terdiri dari :
a. Kemoprofilaksis primer untuk mencegah terjadinya infeksi TB. Diberikan
isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 6 bulan.
3 bulan pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap
negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika tuberkulin positif,
evaluasi status TB pasien, pada akhir bulan keenam dilakukan uji
tuberkulin ulang.
b. Kemoprofilaksis sekunder untuk mencegah berkembangnya infeksi
menjadi sakit TB.
J. Prognosis
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, lamanya mendapat
infeksi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini,
pengobatan adekuat, dan adanya infeksi lain seperti morbili, pertusis, diare
yang berulang dan lain-lain.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Kartasasmitha, C.B., Darfioes, B. Epidemiologi Tuberkulosis. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2008. h162166.
2. Latief A, dkk, Ilmu kesehatan anak 2. Jakarta : bagian ilmu kesehatan anak
FKUI, 1985.
3. Rahajoe, N.N., Setyanto, D.B. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah
Tuberkulosis. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta. Badan
Penerbit IDAI. 2008. h169-176.
4. Setiawati, L., Nastiti, N.R. Tatalaksana Tuberkulosis. Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi Pertama. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2008. h214-226.
5. Standar Pelayanan Medik. 2009. Tuberculosis. Makassar : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit
DR. Wahidin Sudirohusodo
6. Wiza, Choirul. Tuberculosis paru. Diakses tanggal 1 Agustus 2014
http://id.scribd.com/doc/122954207/tuberculosis-paru

10

Anda mungkin juga menyukai