Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.

Glaukoma Sudut Terbuka Primer

1.

Definisi Glaukoma
Glaukoma didefinisikan sebagai suatu kumpulan penyakit dengan

karakteristik neuropati optik yang berhubungan dengan penurunan lapang


pandangan dan peningkatan tekanan intraokuli sebagai satu faktor resiko
utama (Skuta, et al., 2010; Kansky, 2002).
Di dalam dunia kedokteran, glaukoma dibagi atas glaukoma sudut
terbuka, glaukoma sudut tertutup dan glaukoma pada anak (Lisegang, et
al., 2009). Klasifikasi glaukoma secara lengkap dan terperinci tertera pada
klasifikasi glaukoma berdasarkan American Academy of Ophthalmology.
Dari ketiga glaukoma ini, glaukoma sudut terbuka yang paling sering
dijumpai. Sekitar 75% penderita glaukoma menderita glaukoma sudut
terbuka (Skuta, et al., 2010). Glaukoma sudut terbuka primer merupakan
neuropati optik kronis dengan progresifitas yang perlahan-lahan dengan
karakteristik adanya ekskavatio dari syaraf optik, gangguan lapang
pandangan, hilangnya sel dan akson ganglion retina dan memiliki sudut
iridocorneal yang terbuka. Glaukoma sudut terbuka primer ini lebih sering
dijumpai pada usia dewasa (Lisegang, et al., 2005).
Pada glaukoma sudut terbuka penyebab yang paling sering terjadi
adalah peningkatan tekanan intraokuli walaupun pada beberapa kasus
tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuli (Chung & Harris, 2000).
Peningkatan tekanan intraokuli dapat merusak sel-sel ganglion retina dan

12
Universitas Sumatera Utara

menyebabkan kerusakan syaraf optik sehingga progresifitas glaukoma


berlanjut.

2.

Klasifikasi Glaukoma

Klasifikasi

glaukoma

berdasarkan

American

Academy

of

Ophthalmology adalah:

I. Glaukoma Sudut Terbuka (glaukoma yang paling sering terjadi)


1.Glaukoma Sudut Terbuka Primer
2.Glaukoma Bertekanan Normal
3.Glaukoma Juvenile
4.Suspek Glaukoma
5.Glaukoma Sudut Terbuka Sekunder
II. Glaukoma Sudut Tertutup
1.Glaukoma Sudut Tertutup Primer
i.Akut
ii.Subakut
iii.Kronik
2.Glaukoma Sudut Tertutup Sekunder dengan Blok Pupil
3.Glaukoma Sudut Tertutup Sekunder Tanpa Blok Pupil
4.Sindroma Iris Plateau
III. Childhood Glaukoma
1.Glaukoma Kongenital Primer
2.Glaukoma yang berhubungan dengan kelainan bawaan
3.Glaukoma sekunder pada anak-anak dan bayi

Universitas Sumatera Utara

3.

Prevalensi
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua di dunia, sekitar

lebih dari 5 juta atau 13,5% dari total kebutaan di dunia. Berdasarkan
klasifikasi glaukoma, glaukoma sudut terbuka merupakan glaukoma yang
paling sering dijumpai. Di negara barat, prevalensi glaukoma sudut
terbuka sekitar 1,1-3% dari populasi. Pada studi di Jepang, prevalensi
glaukoma sudut terbuka primer sekitar 2,62%. Prevalensi glaukoma sudut
terbuka ini meningkat dengan bertambahnya usia. Biasanya penderita
glaukoma sudut terbuka terjadi pada usia antara 40 sampai 70 tahun
(Distelhorst & Hughes, 2003).

4.

Faktor Risiko
Ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan neuropati

optik glaukoma pada glaukoma sudut terbuka primer yaitu peningkatan


tekanan bola mata (TIO), usia dewasa, riwayat keluarga dengan
glaukoma, ras (Skuta, et al., 2010)

a.

Tekanan Intra Okuli


Sejumlah faktor yang dapat berhubungan dengan timbulnya

glaukoma sudut terbuka primer adalah tekanan bola mata. Hal ini
disebabkan karena tekanan bola mata merupakan salah satu faktor yang
paling mudah dan paling penting untuk meramalkan timbulnya glaukoma
di masa mendatang. Secara umum dinyatakan bahwa tekanan bola mata

Universitas Sumatera Utara

yang lebih tinggi akan lebih memungkinkan terhadap peningkatan


progresifitas kerusakan diskus optikus, walaupun

hubungan antara

tingginya tekanan bola mata dan besarnya kerusakan sampai saat ini
masih diperdebatkan. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa adanya
tekanan bola mata di atas nilai normal akan diikuti dengan kerusakan
diskus optikus dan gangguan lapang pandangan dalam beberapa tahun.
Sebaliknya pada beberapa kasus, pada tekanan bola mata yang normal
dapat juga terjadi kerusakan pada diskus optikus dan lapang pandangan.
Oleh karena itu, definisi tekanan bola mata yang normal sangat sukar
untuk ditentukan dengan pasti (Lisegang, et al., 2005).
Secara umum dinyatakan bahwa hanya sekitar 0.5%-2% per tahun
terjadi kerusakan diskus optikus dan lapang pandangan selama
pengamatan. Ironisnya, sebagian besar penderita glaukoma sudut terbuka
primer hampir tidak pernah menyadari bahwa tekanan bola matanya
mengalami peningkatan. Seringkali mereka baru menyadari setelah
merasakan ada gangguan yang jelas terhadap tajam penglihatan atau
penyempitan lapang pandangan. Liesegang juga menyatakan bahwa
kenaikan tekanan bola mata, merupakan salah satu faktor resiko utama
terjadinya glaukoma. Sementara hubungan antara TIO dengan kerusakan
neuropati optik glaukoma merupakan hal yang fundamental untuk terapi
glaukoma sudut terbuka primer, walaupun terdapat beberapa faktor
lainnya (contohnya suplai darah pada nervus optikus, substansi toksis
pada nervus optikus dan retina, metabolisme aksonal atau ganglion sel
retina, dan matriks ekstraselular lamina cribosa) yang dapat memainkan

Universitas Sumatera Utara

peranan dalam progresifitas neuropati optik pada glaukoma sudut terbuka


primer. Sementara itu, nilai batas normal tekanan bola mata dalam
populasi berkisar antara 1021 mmHg. Menurut Sommer, nilai rerata
tekanan bola mata yang normal adalah 16 mmHg (Soeroso, 2009).

b.

Umur
Faktor bertambahnya umur memunyai peluang lebih besar untuk

menderita glaukoma sudut terbuka primer. Vaughan (1995), menyatakan


bahwa frekuensi pada umur sekitar 40 tahun adalah 0,4%0,7% jumlah
penduduk, sedangkan pada umur sekitar 70 tahun frekuensinya
meningkat menjadi 2%3% dari jumlah penduduk. Framingham Study
dalam laporannya pada tahun 1994 menyatakan bahwa populasi
glaukoma adalah sekitar 0,7% pada penduduk yang berusia 5264 tahun,
meningkat menjadi 1,6% pada penduduk yang berusia 6574 tahun, dan
4,2% pada penduduk yang berusia 7585 tahun. Keadaan tersebut
didukung juga oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh Ferndale Glaucoma
Study pada tahun yang sama (Lisegang, et al, 2005).

c.

Riwayat Keluarga
Glaukoma sudut terbuka primer juga dipengaruhi faktor keluarga.

Hal ini ditunjukkan oleh beberapa survei yang pernah dilakukan. Pada
Baltimore Eye Survey, resiko relatif glaukoma sudut terbuka primer
meningkat sekitar 3,7 kali pada seseorang yang memiliki kerabat
menderita glaukoma sudut terbuka primer. Pada Rotterdam Eye Study,
prevalensi glaukoma sudut terbuka primer sekitar 10,4% pada pasien

Universitas Sumatera Utara

yang memunyai riwayat keluarga yang pernah menderita penyakit yang


sama. Peneliti yang sama mengestimasikan bahwa resiko relatif untuk
menderita glaukoma sudut terbuka primer sebesar 9,2 kali pada
seseorang yang memiliki kerabat dekat yang menderita glaukoma sudut
terbuka primer (Lisegang, et al., 2005).

d.

Ras
Hipotesa yang menyatakan bahwa ras merupakan faktor resiko

terjadinya glaukoma sudut terbuka primer berdasarkan data pada orang


berkulit hitam memunyai prevalensi tiga kali lebih besar untuk menderita
glaukoma sudut terbuka primer dibandingkan yang berkulit putih. Tetapi
penelitian terbaru menyatakan bahwa glaukoma sudut terbuka primer ini
banyak ditemukan pada populasi China dan Eskimo (Ritch, 1996).

2. 2.

Patogenesis Neuropati Optik Glaukoma


Patogenesis glaukoma sampai saat ini masih belum jelas. Dada,et

al (2006), menyatakan bahwa kerusakan syaraf optik tidak hanya oleh


karena peningkatan tekanan intra okuli , tetapi penurunan aliran/perfusi
darah dapat menyebabkan kerusakan syaraf optik. Selain itu faktor
genetik, faktor metabolik dan faktor-faktor yang bersifat toksik seperti
glutamat, NMDA, eksitotoksin, radikal bebas dan nitrix oxide juga
berpengaruh

terhadap

kerusakan

syaraf

optik

(Schwartz,

2003).

Kerusakan syaraf optik pada glaukoma dapat dibagi atas 2 tipe yakni
kerusakan neuron primer (primary neuronal damage) dan kerusakan

Universitas Sumatera Utara

neuron sekunder (secondary neuronal damage) (Dada, et al., 2006;


Schwartz, 2003)

1.

Kerusakan Neuron Primer


Kerusakan neuron primer ini disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain faktor mekanik dan faktor iskemik.


a. Faktor Mekanik
Menurut teori mekanis, TIO yang tinggi berperan menyebabkan
kerusakan langsung pada nervus optikus dan akan mengubah struktur
jaringan. Kenaikan TIO akan menghasilkan dorongan dari dalam ke luar
(inside-outside push) yang akan menekan lapisan laminar ke arah luar
dan meningkatkan regangan laminar serta meningkatkan regangan
dinding sklera (Lewis, et al., 1993). Selain itu dengan meningkatnya TIO
akan menyebabkan remodelling dan irregularitas matriks ekstraselular
syaraf optik yang akan menurunkan mechanical support bagi serabutserabut syaraf (Sihota, et al., 2006).
Peningkatan TIO juga dapat memblok aliran aksoplasma sehingga
pengiriman growth factor esensial yang dihasilkan oleh sel target dari
kollikulus superior dan korpus genikulatum lateralis ke papil syaraf optik
akan turun (Dada, et al., 2006)
Selain itu, peningkatan TIO juga disebabkan oleh karena
meningkatnya tahanan/ resistensi pada

humor akuous. Ada beberapa

faktor yang diduga dapat menyebabkan bertambahnya resistensi pada


outflow

humor akuous, antara lain penyempitan ruang intertrabekular,

penebalan lamella trabekular, collaps kanalis sklemmi, dan hilangnya sel-

Universitas Sumatera Utara

sel endotel trabekula. Keadaan tersebut secara fisiologis terjadi pada


proses penuaan, tetapi pada glaukoma proses tersebut terjadi lebih
progresif (Dada, et al., 2006)
b. Faktor Iskemik
Menurut teori iskemik, turunnya aliran darah di dalam lamina
kribrosa akan menyebabkan iskemia dan tidak tercukupinya energi yang
diperlukan untuk transport aksonal. Iskemik dan transport aksonal akan
memacu terjadinya apoptosis (Lewis et al., 1993).
Pada hakekatnya kematian sel (apoptosis) dapat terjadi karena
rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar ataupun dari dalam sel
itu sendiri (bersifat aktif ataupun pasif). Kematian sel yang berasal dari
dalam sel itu sendiri dapat terjadi melalui mekanisme genetik, yang
merupakan suatu proses fisiologis

dalam keadaan mempertahankan

keseimbangan fungsinya. Proses kematian yang berasal dari luar sel dan
bersifat pasif dapat tejadi karena jejas ataupun injury yang letal akibat
faktor fisik, kimia, iskhemik maupun biologis (Chen, 2003). Pada proses
iskemik, terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak
dapat mengkompensasi perfusi yang kurang dan terjadi resistensi
(hambatan) aliran humor akuous pada trabekular meshwork yang akhirnya
menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis, 1993).
Hipotesis lain yang mendasari teori ini adalah turunya perfusi aliran
darah yang dapat menyebabkan akumulasi eksitotoksin seperti glutamat
yang berakhir dengan kematian sel lebih lanjut. Fase iskemia yang diikuti
dengan perbaikan pasokan darah juga dapat menyebabkan reperfusion

Universitas Sumatera Utara

injury pada sel ganglion retina oleh karena adanya radikal bebas (Dada, et
al., 2006).

c. Reperfusion Injury
Reperfusion injury atau cedera reperfusi adalah kerusakan jaringan
yang disebabkan oleh kekurangan aliran darah ke jaringan setelah
kurangnya pasokan oksigen (iskemia). Proses restorasi aliran darah ini
secara paradoks akan menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut
(Flammer, et al., 2002).
Saat terjadi proses reperfusi sel-sel endotel trabekular meshwork
yang terpapar iskemia akan terjadi adhesi leukosit dan platelet yang akan
menyebabkan permeabilitas sel endotel akan meningkat. Leukosit
adherent tersebut juga akan melepas spesies oksigen reaktif (radikal
bebas) dan bermacam sitokin yang mengakibatkan kaskade inflamatorik.
Pathway inflamatorik dan produksi radikal bebas saling bertumpang tindih
yang akan menimbulkan kerusakan yang lebih berat pada cedera
reperfusi (Izzoti, et al., 2006).
Pada glaukoma sudut terbuka primer, tekanan oksigen pada
jaringan selalu rendah. Turunnya tekanan ini biasanya ringan, tetapi
selalu rekuren selama beberapa tahun. Reperfusi pada glaukoma sudut
terbuka dapat terjadi pada penderita dengan tekanan intra okuli yang
tinggi maupun tekanan darah yang rendah yang melebihi kapasitas dari
autoregulasi, begitu juga pada penderita dengan tekanan intraokuli
normal ataupun sedikit meningkat dan pada penderita dengan tekanan

Universitas Sumatera Utara

darah normal ataupun rendah jika terjadi gangguan autoregulasi


(Flammer. et al., 2002)
Reperfusi rekuren akan dapat menyebabkan stress oksidatif kronis
terutama di mitokondria. Mitokondria sangat banyak pada syaraf optik
yang disebabkan tingginya asupan energi pada area serabut-serabut
mielin. Apabila terjadi reperfusi, maka mitokondria akan mendapat lebih
banyak kerusakan dan supplai energi akan semakin berkurang. (Izzoti, et
al., 2006)

2.

Kerusakan Neuron Sekunder


Kerusakan neuron primer telah memicu pelepasan sejumlah faktor

dari sel

ganglion retina yang dapat menyebabkan kerusakan sekunder

sel-sel sekitarnya. Istilah degenerasi neuron sekunder digunakan untuk


neuropati progresif yang meluas di sekitar area neuron yang telah
mengalami kerusakan sebelumnya. Kerusakan neuron sekunder ini
merupakan akibat sejumlah proses yang dipicu oleh trauma dan juga oleh
faktor-faktor yang bersifat toksis yang berasal dari kerusakan primer
sebelumnya seperti glutamat eksitotoksin, radikal bebas dan nitrit oksida.
Faktor-faktor

toksik

tersebut

memicu

serangkaian

peristiwa

yang

menyebabkan apoptosis. Akibatnya kerusakan fungsional jaringan neuron


berlanjut dan semakin berat sehingga hal inilah yang menyebabkan
mengapa pada pasien glaukoma progresifitas pernyakit tersebut terus
berlangsung meskipun TIO sudah terkontrol (Dada, et al., 2006). Menurut
Advance Glaucoma Intervention Study dalam menilai progresifitas

Universitas Sumatera Utara

glaukoma ada 3 parameter yang harus dinilai yaitu syaraf optik dan
lapisan serabut syaraf retina, lapang pandangan dan tekanan intraokuli
(Shaban & Demirel, 2009). Berdasarkan hal-hal tersebut maka diperlukan
suatu neuroprotektif untuk meminimalkan dan mencegah degenerasi
neuron sekunder (Schwartz, 2003).
2.3.

Mekanisme Kerusakan Sel Ganglion Retina


Berdasarkan

beberapa

mekanisme

sebelumnya maka dapat diasumsikan

yang

telah

dijelaskan

bahwa kerusakan sel ganglion

retina akibat:
1. Hambatan dari outflow axoplasmic
Dinamika humor akuous sangat penting pada glaukoma karena
ketidaksesuaian antara produksi humor akuous dan outflow aquous akan
menyebabkan

peningkatan

tekanan

intraokuli

dan

akhirnya

akan

mengakibatkan terjadinya glaukoma.


Humor akuous ini adalah cairan yang mengisi sudut bilik mata.
Humor akuous ini diproduksi di nonpigmented epitel badan siliar. Badan
siliar merupakan suatu struktur multifungsional yang terlibat langsung
dalam proses produksi dan pengeluaran (outflow) humor akuous. Badan
siliar

juga

bertanggung

jawab

untuk

akomodasi,

sekresi

dan

mempertahankan blood aquous barrier (Lisegang, et al., 2009).


Aliran humor akuous yang utama terletak pada trabekular
meshwork. Apabila terjadi perubahan struktural dari trabekular meshwork
akan mengakibatkan terjadi penebalan dari membran basal dan trabekular
beam, hilangnya sel-sel endotel trabekular dan material trabekular seperti

Universitas Sumatera Utara

pigmen granul yang akibatnya akan terjadi hambatan aliran humor akuous
di trabekular meshwork sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokuli
dan mengakibatkan terjadi glaukoma (Caprioli, 1992).
Selain itu, peningkatan kerusakan DNA oksidatif pada komponen
selular di trabekular meshwork dapat melibatkan regulasi dari struktur
matriks ekstraselular dan regulasi dari tekanan intraokuli sehingga dapat
mencetuskan terjadinya glaukoma (Brubaker, 1994).

2. Eksitotoksisiti glutamat
Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik yang melimpah dalam
sistem syaraf dan diaktivasi oleh bermacam reseptor spesifik. Pembagian
reseptor glutamat berdasarkan atas dua tipe dasar yaitu jenis saluran ion
N-methyl

D-

Aspartate

NMDA),

Kainate

dan

Aminohidroksi

Metillisoksazole Propionic Acid (AMPA) dan jenis ligan yaitu G proteincoupled metabotropic glutamat reseptor (mGluR) (Greenstein, 2000;
Wasman, 2007).
Fungsi reseptor NMDA adalah berkaitan dengan jenis saluran ion
kation dimana kation chanel memiliki permeabilitas terhadap Na+, K+, dan
Ca2+. Saluran terbuka saat Glu berikatan pada reseptor dan aksi
neurotransmitter

dimodulasi

oleh

beberapa

molekul

lain.

Glu

membutuhkan glisin untuk berikatan dengan reseptornya. Aksi Glu


dipotensiasi oleh poliamino dan modulasi blokade oleh Mg2+ ekstraseluler.
Ketika membran sel mengalami depolarisasi, Mg2+ bergerak keluar dari
saluran dan Glu terikat pada reseptornya dan saluran terbuka untuk dilalui

Universitas Sumatera Utara

oleh Na+ dan Ca+. Jika konsentrasi glisin terlalu rendah kemampuan Glu
membuka saluran akan berkurang ( Squire, 2008; Kahle & Frotscher,
2003).
Secara fisiologis, reseptor NMDA bertanggung jawab terhadap
signal neuron, ekspresi gen, plastisitas sinaptik, pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel. Eksitasi masif reseptor Glu khususnya pada
reseptor

NMDA

menyebabkan

kematian

sel

yang

kemungkinan

disebabkan oleh konsentrasi Ca intraseluler yang meningkat berlebihan di


dalam intrasel (Squire, 2008; Kahle & Frotsher, 2003).
Demikian juga halnya pada mata, eksitoksisitas sel-sel ganglion
retina disebabkan oleh overstimulasi reseptor glutamat yang disebut Nmethyl-D-aspartat (NMDA). Eksitotoksin ini bekerja pada channel
NMDAR, terjadi perubahan permeabilitas dinding sel dengan meningginya
kalsium dan sodium intrasel dan aktivasi kalsineurin. Akibat adanya
pelepasan glutamat pada trauma, ion Na akan masuk ke dalam sel dan
diikuti oleh ion Cl dan air, akibatnya sel membengkak. Hal ini merupakan
fase akut pada trauma neuron. Selanjutnya pada fase kedua akan terjadi
influx ion Ca2+ yang dapat mengganggu homeostasis ion Ca sendiri yang
menyebabkan reaksi biokimia yang abnormal. Akibatnya terjadi pelepasan
enzim cytotoksis seperti protease, endonuklease, dan lipase yang dapat
merusak membran sel serta terjadi akumulasi radikal bebas yang akan
mengganggu fungsi metabolik sel sehingga akan mengakibatkan
gangguan berat fungsi normal sel (Kuehn, et al., 2005). Peningkatan
jumlah glutamat

dijumpai di korpus vitreous pada penderita glaukoma

Universitas Sumatera Utara

yang jumlahnya cukup tinggi. Pada studi hewan coba, dilakukan


pemeriksaan jumlah glutamat pada tikus yang menderita glaukoma dan
didapati peningkatan jumlah glutamat 7 kali melebihi normal pada vitreous
posterior. Sampai saat ini belum pasti apakah jumlah glutamat yang
berlebihan pada vitreous ini menyebabkan kerusakan dari jaringan dan
apakah jumlah glutamat yang berlebihan ini

dapat menyebabkan

progresifitas dari kerusakan sel-sel ganglion retina pada studi hewan coba
tikus yang terpapar glaukoma (Kuehn, et al., 2005).

3. Radikal Bebas
Eksitotoksisitas dan stress oksidatif adalah dua proses yang
berhubungan satu sama. Berdasarkan penelitian Gomberg dan ilmuwan
lainnya, istilah radikal bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak
stabil, memunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit
luarnya. Molekul tesebut bersifat reaktif dalam mencari pasangan
elektronnya. Jika sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi
berantai dan menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya
terus bertambah (Boveris, et al., 2000).
Oksigen yang kita hirup akan diubah oleh sel tubuh secara konstan
menjadi senyawa yang sangat reaktif, dikenal sebagai senyawa reaktif
oksigen yang diterjemahkan dari Reactive Oxygen Species (ROS) atau
Spesis Oksigen Reaktif (SOR), satu bentuk radikal bebas. Peristiwa ini
berlangsung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau proses
detoksifikasi yang melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati. Produksi SOR
secara fisiologis ini merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan

Universitas Sumatera Utara

aerobik. Sistem defensif dianugerahkan terhadap setiap sel berupa


perangkat antioksidan enzimatis. Antioksidan enzimatis endogen pertama
kali dikenal dengan nama superoksida dismutase (SOD). Hanya dalam
waktu singkat setelah teori tersebut disampaikan, ditemukan enzim-enzim
antioksidan endogen lainnya seperti glutation peroksidase dan katalase
yang mengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan oksigen (Boveris,
et al., 2000).
Stres oksidatif (oxidative stress) adalah ketidakseimbangan antara
radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi
umum:

Kekurangan antioksidan

Kelebihan produksi radikal bebas

Keadaan stress oksidatif membawa pada kerusakan oksidatif mulai dari


tingkat sel, jaringan hingga ke organ tubuh, menyebabkan terjadinya
percepatan proses penuaan dan munculnya penyakit.
Saat oksigen hilang dalam lingkungan mikro, sel akan mengalami
kerusakan karena hipoksia, fosforilasi oksidatif mitokondria dan spesies
oksigen reaktif (SOR) yang banyak terakumulasi. Akibatnya pertahanan
dan jumlah oksidan akan berkurang sehingga terbentuk radikal bebas
yang akan merusak membran sel yang akan bereaksi dengan low-density
lipoprotein (LDL)-cholesterol menjadi bentuk yang reaktif. Kerusakan
membran

akan

merubah

potensial

membran,

aktivasi

mediator

proapoptotik dan terjadi kerusakan langsung pada DNA dan protein

Universitas Sumatera Utara

(Scholp, et al., 2004). Endotelial retina merupakan sumber kedua terbesar


xanthine oxidase (XOD) dan cyclooksigenase (COX).
Pemahaman ilmiah tentang hubungan radikal bebas dengan
antioksidan baru muncul pada tiga hingga empat dekade terakhir ini.
Hingga kini, berbagai uji kimiawi, biokimia, klinis dan epidemiologi banyak
mendukung efek protektif antioksidan terhadap penyakit akibat stress
oksidatif (Boveris, et al., 2000).
Pada glaukoma, terjadinya kerusakan oksidasi DNA di trabekular
meshwork akan menyebabkan terjadinya perubahan regulasi dari matriks
ekstrasellular dan regulasi tekanan intra okuli sehingga menyebabkan
terjadinya glaukoma. Sel endotelial trabekular meshwork ini akan
menyebabkan terjadinya perubahan pada sitokin dan terjadi hambatan
humor akuous ke

kanalis sklemmi yang akhirnya mengakibatkan

terjadinya peningkatan tekanan intra okuli (Haefiger, et al., 2001).


Dalam satu penelitian, kerusakan DNA pada sel-sel trabekular
meshwork pada penderita glaukoma lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan grup kontrol. Penelitian lebih lanjut meneliti bahwa
nilai oxidative nucleotida modification (8-OH-dG) pada sel trabekular
meshwork manusia berkorelasi dengan adanya peningkatan tekanan
intraokuli dan kerusakan lapangan pandang (Flammer, 2002).

4. Toksisitas Nitrit Oksida


Nitrit oksida atau nitrogen oksida adalah suatu gas tak berwarna,
tanpa oksigen dan larut dalam air. Gas nitrogen oksida dihasilkan dari
asam amino L arginin oleh enzim nitric oxide synthesa dalam sel-sel

Universitas Sumatera Utara

mammalia termasuk manusia dan berfungsi sebagai mediator biologis


yang memungkinkan sel-sel berhubungan satu sama lainnya. Nitrogen
oksida diproduksi oleh sel-sel endotelium yang berperan mengendalikan
tonus pembuluh darah, aliran darah, tekanan darah, fungsi platelet,
gerakan saluran pernafasan dan pencernaan. Nitrogen oksida dalam
jumlah

banyak

terbentuk

karena

mempertahankan diri, tetapi

respon

sistem

imunitas

untuk

dapat juga menimbulkan perubahan

patofisiologis (Valiance & Coller, 1998).


Nitrit oksida juga berfungsi sebagai mediator pada proses fisiologis
dan

patofisiologis pada mata, contohnya pada pembentukan humor

akuous, vascular tone, neurotransmisi retina, kematian sel-sel ganglion


retina oleh karena apoptosis (Haefliger, 2002).
Pada mata, nitrit oksida dapat dijumpai di berbagai jaringan.
Endotelial nitrit oksida sintesa dapat ditemukan pada endotel vaskular dan
otot halus dari segmen anterior, koroid dan retina (Osborne, et al., 1993).
Pada segmen anterior, nitrit oksida mengatur respon selular pada
konjungtiva, trabekular meshwork dan muskulus siliaris. Nitrit oksida juga
berperan pada regulasi dinamika humor akuous dan pathway aliran humor
akuous (Nathanson & Mc Kee, 1995).
Nitrit oksida memunyai efek terhadap progresifitas glaukoma.
Pengurangan aktifitas dari nitrit oksida sintesa (NOS) di muskulus siliaris
dan pathway dari outflow humor akuous dijumpai pada penderita
glaukoma primer sudut terbuka. Keadaan abnormal ini dapat berhubungan
dengan terjadinya glaukoma (Nathanson & Mc Kee, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Pada suatu studi, nitrit oksida sintesa (NOS2) dijumpai pada syaraf
optik astrosit pada manusia dan pada syaraf optik tikus coba yang
menderita glaukoma sedangkan pada yang normal tidak dijumpai.
(Haefliger, 1999).

5. Apoptosis
Apoptosis pertama diidentifikasikan sebagai bentuk kematian sel
berdasarkan

kepada

morfologinya.

biokomiawi dan genetik merupakan

Penelitian

mengenai

prediksi dari peranannya

insiden
dalam

mengontrol sel yang ditentukan secara genetik dan alamiah sehingga


kontrol genetik dan mekanisme biokimia dari apoptosis menjadi lebih
dimengerti dalam perkembangan dan strategi terapi

yang mengatur

kejadian dalam proses penyakit (Carson & Riberto, 1993)


Tiga dekade terakhir ini, dua bentuk sel mati berbeda secara
mendasar yaitu apoptosis dan nekrosis dan telah didefinisikan dalam
istilah morfologi, biokimia dan insidennya. Dalam keadaan normal, sel-sel
tubuh dapat memberikan respon atau adaptasi terhadap lingkungannya.
Bila aktivitas yang dilakukan sel tersebut meningkat, atau stimulus yang
diterimanya meningkat, maka untuk mencapai keseimbangan dalam
merespon hal tersebut, sel akan mengalami hipertropi. Sebaliknya bila
stimulus berkurang atau terjadi penurunan aktivitas sel, maka sel tersebut
akan mengalami atropi (Cotran, 1999).
Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram,
diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi

Universitas Sumatera Utara

chromatin, fragmentasi sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel


tetangganya (Cotran, 1999).
Ada berbagai bukti yang menyatakan kontrol apoptosis dikaitkan
dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus sel, diantaranya gen
p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl-2. Gangguan regulasi dan proliferasi
sel baik akibat aktivitas onkogen dominan maupun inaktivasi tumor
suppressor genes berhubungan dengan kontrol apoptosis. Dalam literatur
lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel yang
didesain untuk menghilangkan sel-sel host yang tidak diinginkan melalui
aktivasi serangkaian peristiwa yang terprogram secara internal melalui
serangkaian produk gen (Goepel, 1996).
Pada hakekatnya kematian sel (apoptosis) dapat terjadi karena
rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar ataupun dari dalam sel
itu sendiri (bersifat aktif ataupun pasif). Proses kematian yang berasal dari
luar sel dan bersifat pasif dapat tejadi karena jejas atau injury yang letal
akibat faktor fisik, kimia, iskemik maupun biologis (Chen, 2003). Faktorfaktor toksik ini yang akan memicu terjadinya apoptosis. Pada proses
iskemik, terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak
dapat mengkompensasi perfusi yang kurang sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis, 1993).
Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa kematian/kerusakan sel-sel ganglion retina pada glaukoma adalah
apoptosis. Apoptosis ini dapat dipicu oleh kombinasi faktor biokimia yang
diproduksi sebagai hasil akhir peningkatan TIO dan penurunan perfusi.

Universitas Sumatera Utara

Maka idealnya secara terapeutik pada glaukoma, kita menginginkan untuk


menurunkan kematian/kerusakan syaraf optik akibat peningkatan TIO dan
penurunan perfusi lebih lanjut dan menurunkan tekanan intraokuli.

2.4.

Progresifitas glaukoma
Kejadian

penyakit

neurologis

termasuk

glaukoma

dapat

menyebabkan kerusakan neuron primer maupun kerusakan neuron


sekunder. Kerusakan ini dapat berlanjut terus atau merupakan hasil
sekunder akibat kejadian iskemik, eksitotoksisiti glutamat, radikal bebas
dan nitrik oksida sehingga progresifitas glaukoma terus berlanjut yang
akhirnya mengakibatkan apoptosis.
Menurut Shaban & Demirel, et al, 2009, dalam menilai progresifitas
glaukoma sudut terbuka primer ada 3 penilaian klinis (parameter) yang
harus dilakukan yaitu:
1.

Pemeriksaan syaraf optik dan lapisan serabut syaraf retina


Pada glaukoma sudut terbuka primer dijumpai asimetris dari

neuroretinal rim atau cupping, ekskavatio neuroretinal rim, perdarahan


syaraf optik. Saat ini dengan kemajuan tekhnologi digunakan satu alat
yang dinamakan OCT (Optical Coherence Tomography) yang dapat
menilai sel-sel ganglion retina dan syaraf optik.
Optical Coherence Tomography (OCT) adalah alat bantu diagnostik
non kontak, non invasif dan tidak memerlukan imersi, menampilkan irisan
jaringan hidup, yang beroperasi dengan prinsip inferometri menggunakan
sinar inframerah koherensi rendah sekitar 40Um dengan panjang

Universitas Sumatera Utara

gelombang antara 800-830 nm, yang diserap oleh jaringan tertentu,


dilengkapi dengan kamera khusus untuk menangkap refleksi sinar dan
menghasilkan image atau bayangan dari jaringan histologis dengan
resolusi tinggi (Bancato & Lumbroso, 2004). Kehadiran OCT telah terbukti
sangat berguna dalam membantu menegakkan diagnosa, evaluasi,
penatalaksanaan berbagai kelainan mata dan juga penelitian.
Di

bidang

ilmu

kesehatan

mata,

OCT

banyak

membantu

menegakkan diagnosa, pemantauan terapi, pemantauan perjalanan


penyakit, dokumentasi serta penjelasan kepada pasien di bidang
glaukoma, retina dan kornea (Hong&Sun, 2010). OCT ini dapat
menguraikan lapisan demi lapisan serabut syaraf tanpa efek samping
yang merugikan. Stratus OCT memiliki resolusi aksial yang lebih tinggi
sekitar 9 sampai 10 mikron pada jaringan.Sistem Stratus dapat
menghasilkan gambar OCT yang sangat mendetail dari retina. Stratus
OCT ini memliki sensitivitas lebih dari 80% dan spesifisitas lebih dari 95%.
(Christoph&Hitzenberger, 2003). Di bidang glaukoma, OCT sangat
membantu dalam menegakkan diagnosa, mengetahui derajat keparahan
kerusakan papil syaraf optik dan kerusakan lapisan serabut syaraf retina
akibat glaukoma dan menjadi alat screening yang andal dan sahih untuk
glaukoma pra perimetrik yang mampu mendeteksi kerusakan 5 tahun
lebih awal ( Dexter & Barton, 2011).
Dewasa ini OCT adalah teknik pilihan untuk memeriksa dan
mengukur lapisan serabut syaraf retina yang dapat dijadikan marker
terhadap degenerasi aksonal dan untuk pemantauan pengobatan

Universitas Sumatera Utara

neuroprotektif (Zaveri, et al., 2008). Analisis diskus optikus pada Stratus


OCT yang dilakukan berdasarkan Fast Optic Disc Scan dan Fast Macular
Thickness ( Fast Macular Map dan Fast Retinal Nerve Fiber Layer 3,4
Thickness) .
Pemeriksaan tersebut menggunakan 6 garis berukuran 4 mm
untuk mendapatkan data cross sectional dari diskus optikus. Analisis ONH
berguna untuk memeriksa dan mengukur syaraf optik dari masing-masing
6 scan tersebut secara tunggal maupun berbarengan.Hasil analisis terdiri
dari gambaran tunggal atau gambaran gabungan dari hasil semua scan.
Algoritme mendeteksi dan memperlihatkan lokasi bagian atas dan dalam
RPE pada setiap sisi diskus optikus. Titik referensi diskus diindikasikan
dengan gambaran silang di dalam lingkaran yang berwarna biru, dimana
sebuah garis yang menghubungkan titik-titik referensi tersebut merupakan
diameter diskus. Reference plane (garis offset cawan) ditentukan oleh
sebuah garis yang paralel terhadap garis diameter diskus dengan offset
150 Um ke anterior (garis putih). Luas rima neuroretina (daerah merah)
pada potongan melintang diestimasikan oleh luas yang dibatasi reference
plane sebagai batas posterior dan garis yang tegak lurus terhadap ujung
diameter diskus sebagai batas lateral. Lebar syaraf optik pada diskus
(garis kuning) di masing-masing sisi ditandai dengan garis lurus dari
setiap titik referensi ke titik yang paling dekat pada permukaan anterior.
Analisis data dilakukan terhadap masing-masing scan dan disatukan
manjadi hasil pengukuran ONH gabungan termasuk volume lebar rim
keseluruhan (integrasi dari luas rim vertikal pada potongan melintang),

Universitas Sumatera Utara

lebar rim keseluruhan (dikalkulasikan berdasarkan integrasi dari rata-rata


lebar syaraf pada diskus), luas diskus, luas cawan, luar rima (luas rim-luas
cawan), rasio cawan diskus vertikal, horisontal dan rasio luas, dan volume
cawan (Bowd, et al., 2000).
Analisis selular OCT juga mampu menampilkan lapisan demi
lapisan potongan melintang area sekitar papil 360 derajat dengan resolusi
tinggi. Analisis numerik ketebalan LSSR mengacu kepada ISNT rule
atau inferior, superior, nasal dan temporal rule yang merupakan acuan
standar yang digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda awal dari
neuropati

optik. Struktur seluler LSSR kuadran superior dan inferior

adalah yang paling sensitif terhadap perubahan tekanan bola mata dan
cenderung menjadi indikasi awal terjadinya glaukoma dan menjadi tanda
glaukoma pre perimetrik yang belum terdeteksi oleh pemeriksaan
lapangan pandang. Namun ketebalan kuadran lainnya juga memberikan
arti penting dalam fungsi penglihatan yang juga perlu dicermati (Kaushik &
Pandav, 2010). Dalam melakukan pemeriksaan OCT, salah satu yang
harus diperhatikan adalah kejernihan optik. Wong, et al., (2010),
melaporkan bahwa kekeruhan media optik dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan OCT. Kekeruhan media yang ada dapat menurunkan
kekuatan sinyal optik sinar OCT. Kekuatan sinyal berkisar 0 hingga 10.
Sinyal dibawah 6 menandakan hasil pengukuran yang kurang sahih dan
kurang terpercaya. Maka kekuatan sinyal adalah hal yang penting yang
harus diperhatikan dalam interprestasi hasil pemeriksaan (Lumbroso &
Rispoli, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Gambar Stratus OCT

2.

Pemeriksaan lapang pandangan


Pada glaukoma sudut terbuka primer dijumpai adanya kerusakan

lapang pandangan. Lapang pandangan monokular berbentuk ellips,


meliputi 60 derajat di superior, 75 derajat di inferior, 60-65 derajat di nasal
dan 100-110 derajat di temporal. Luas lapang pandangan binokular
meliputi 180 derajat melewati garis horizontal, 120 derajat bagian tengah
dapat dilihat secara simultan oleh kedua mata, sedangkan 30 derajat di
bagian perifer hanya dilihat oleh satu mata. Hilangnya lapang pandangan
tidak bersifat spesifik karena ada kelainan lain yang dapat menyebabkan
hilangnya lapang pandangan, namun pola hilangnya lapang pandangan,
progresifitas dan korelasinya dengan perubahan optik disk merupakan
karakteristik dari glaukoma. Hilangnya lapang pandangan pada glaukoma
terutama melibatkan 30 derajat sentral dari lapang pandangan.
3.

Pengukuran tekanan intraokuli


Tekanan intraokuli normal berkisar 10-21 mmHg. Berdasarkan

American Academy of Ophthalmology, tekanan intraokuli pada glaukoma


sudut terbuka primer > 21 mmHg.

Universitas Sumatera Utara

Pada glaukoma sudut terbuka primer untuk menentukan sudut bilik


mata maka dilakukan pemeriksaan sudut bilik mata dengan menggunakan
gonioskopi, dijumpai sudut bilik mata terbuka (Lisegang, et al., 2010).
Dewasa ini para peneliti tertarik kepada petanda spesifik kerusakan
syaraf optik untuk mengetahui patogenese, diagnosa dan kejadian
neurologis. Sampai saat ini ada beberapa petanda biokemis pada
glaukoma, antara lain:
a. Glutamat eksitotoksisiti
b. Petanda stress oksidatif: Malonildialdehyde (MDA)
c. Redox Enzyme: Catalase, Gluthathion Peoxidase (GPx),
Superoxide Dismutase (SOD)
d. Nitrix Oxide (NO)
e. Petanda kematian sel : TNF
f. Petanda inflamator : Interleukin 6
g. Petanda stress protein selular : Heat Shock Protein (HSP 70)
2. 5.

Stress Oksidatif Marker Malonildialdehyde (MDA)

1.

Sumber-sumber penghasil radikal bebas

Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologis normal, namun


pelepasannya meningkat pada saat iskemia, reperfusi, reaksi inflamasi
dan penyakit neurodegeneratif. Sumber-sumber endogen terbentuknya
radikal bebas meliputi sistem NADPH oksidase, reaksi fosforilasi oksidatif,
enzim oksidasi dan metabolisme arakhidonat, sedangkan sumber

Universitas Sumatera Utara

eksogen terbentuknya radikal bebas adalah radiasi ionisasi, merokok,


paparan polutan dan sinar ultraviolet (Droge, 2002, Young, 2001).

Stress oksidatif adalah ketidakseimbangan antara prooksidan


dengan antioksidan, dimana produksi radikal bebas melebihi kemampuan
penghambat radikal alamiah atau mekanisme scavenging (pembersih).
Mekanisme penghambat radikal bebas terdiri dari antioksidan endogen
dan eksogen. Antioksidan endogen terdiri dari superoksid dismutase
(SOD), glutation peroksidase (GPx), katalase, sedangkan antioksidan
eksogen terdiri dari vitamin C, betakaroten dan vitamin E (Block, et al.,
2002).

Gambar 2. 2: Sumber eksogen dan endogen radikal bebas (Droge, 2002;


Young, 2001).

Faktor lain yang sangat berbahaya pada stress oksidatif adalah


kandungan PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi hampir 50% dari

Universitas Sumatera Utara

struktur jaringan otak. Jaringan otak mengandung asam askorbat 100 kali
lipat dibandingkan dengan pembuluh darah perifer, tetapi memunyai
enzim katalase, gluthation peroxidase yang lebih rendah daripada jaringan
lainnya, yang dapat meningkatkan terjadinya resiko stress oksidatif.
Radikal bebas merusak sel dengan bereaksi dengan makromolekuler sel
melalui proses peroksidase lipid, oksidase DNA dan protein (Block, et al.,
2002).
Kerusakan pada DNA baik disebabkan radikal bebas maupun
peroksinitrit mengakibatkan terbentuknya single strand break DNA dan
struktur ini akan mengaktifasi poli ADP ribose polimerase (PARP). Aktifasi
PARP mengakibatkan berkurangnya

adenin nukleotida yang akan

menghambat fungsi mitokondria, sehingga terjadi penurunan ATP sel dan


mengakibatkan kematian sel. PARP juga dapat mengaktivasi apoptotic
inducing factor (AIF) di mitokondria. Mekanisme ini juga didukung dengan
berkurangnya infark pada otak tikus yang diterapi dengan PARP inhibitor.
Oksidasi protein oleh radikal bebas membentuk karbonil grup atau disulfid,
dan juga sebagai reduktan, menyebabkan formasi S-H dari ikatan S-S.
Kerusakan pada protein terutama bentuk enzim akan mengganggu
fungsinya (Lipton, et al., 1999).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. 3: Metabolisme asam arakhidonat dan peroksidase lipid


(Lipton, et al., 1999)

2.

MDA sebagai hasil utama peroksidasi lipid akibat stress oksidatif


PUFA yang banyak terdapat pada membran sel menjadi target

utama oksidan, karena sangat rentan terhadap terjadinya autokatalisis


peroksidasi. Pada kondisi suhu fisiologis abstraksi ion H selama fase
propagasi jauh lebih siap pada bentuk PUFA daripada monosaturated
lipids. Hal ini terjadi akibat terlepasnya ikatan dengan menggunakan
energi yang rendah sebesar ~ 10 kcal/mol dibanding bentuk yang
monosaturated. Adanya ikatan ganda pada jembatan metilen (-CH2-) grup
pada PUFA membuat lemah ikatan C-H pada atom karbon dan
memfasilitasi lepasnya atom hidrogen. Peroksidasi lipid merupakan
rangkaian reaksi yang terjadi dalam 3 fase (Favier, et al., 1995).

Universitas Sumatera Utara

Diawali dengan fase inisiasi, terjadi abstraksi ion H dari ikatan C-H
lipid dengan paparan oksidan dan terbentuk carbon centred lipid radical.
Kemudian diikuti dengan fase propagasi yang merupakan bagian yang
kompleks dimana radikal lipid dengan cepat mengalami penggabungan
dengan O2 dan terbentuk radikal peroksid. Reaksi kedua pada fase ini
membuat peningkatan jumlah yang dramatis sehubungan dengan adanya
abstraksi ion H dari lipid oleh radikal peroksid membentuk lipid
hidroperoksidase. Penggabungan O2 dengan lipid radikal yang baru
terbentuk menambah jumlah peroksidasi membran lipid. Akhirnya
rangkaian peroksidase berakhir dengan satu atau lebih reaksi terminasi
(Burcham, 1998). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut
ini.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. 4: Tiga fase reaksi berantai peroksidase lipid (Burcham,


1998)

Alternatif lain, propagasi radikal akan bereaksi dengan pembasmi


radikal dan terbentuk non propagasi radikal yang terjadi akibat adanya
transfer dari elektron yang tidak berpasangan pada antioksidan.
Tergantung struktur kimia prekusor lipid, berbagai produk terbentuk

Universitas Sumatera Utara

selama fase propagasi dan teminasi. Hasil dari radikal asam lemak lebih
stabil

dengan

terbentuknya

diene

terkonjugasi,

kemudian

diikuti

terbentuknya produk yang lebih stabil seperti hidroperoksida, alkohol,


aldehid dan alkane. Banyak dari produk ini ditemukan dalam cairan tubuh.
Kelompok karbonil yang terbentuk pada proses peroksid lipid berupa n
alkenals (propanal, butanal, pentanal, heksanal dll), 2-alkenal (acrolein,
pentenal,

heksenal

dll),

2-4

alkadienals

(heptadienal,

oktadienal,

dekadienal), 4-hidroksi- 2,5-undekadienal, 5- hidroksi oktanal, 4-hidroksi-2


alkenals, dan malondialdehid. Komponen utama yang ditemukan dalam
sampel biologis pada berbagai kompartemen cairan tubuh adalah MDA,
heksanal, dan HNE (Favier, et al., 1995).
Produk peroksidasi lipid diinduksi oleh oksidan dan stres oksidatif
menghasilkan produk dengan variasi yang luas, termasuk RCCs (
Reactivecarbonyl compounds) dan produk yang lebih stabil seperti keton
dan alkane. RCCs seperti aldehid dan dikarbonil, termasuk hidroksialkane,
akrolein, MDA, glyoxal dan methylglyoxal, sebagai komponen biologis
yang banyak dibahas. Aldehid bereaksi dengan protein pada sel dan
jaringan dan terbentuk adducts protein termasuk dalam kelompok ALEs
(advanced peroxidation end products) yang akan menyebabkan disfungsi
protein dan perubahan respon seluler. Kadar oksidasi dan bentuk adduct
protein dalam kondisi fisiologis menjadi rendah dan meningkat dengan
bertambahnya umur (Salvayre, et al., 2008), seperti yang dapat dilihat
pada Gambar 2.5.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5: Tahapan skematis peroksidase lipid yang menghasilkan


bentuk produk sekunder dan adducts formations (Salvayre
et al., 2008).
MDA merupakan hasil utama peroksidasi asam arakhidonat,
eicosapentaenoic dan docosahexaenoic. HNE juga merupakan produk
yang dihasilkan oleh proses peroksidasi pada 2 PUFA yang banyak
didapatkan (asam arakidonat dan linoleat), namun jumlah yang dihasilkan
lebih sedikit dibanding MDA. Dimana produksi HNE 80 kali lebih rendah
dibanding MDA pada beberapa sistem. MDA juga terbentuk selama
biosintesis eicosanoid biosintesis, seperti pada metabolisme prostaglandin
H2

oleh

tromboksan

atau

prostasiklin

(Burcham,

1998).

Lipid

Universitas Sumatera Utara

hidroperoksida dan aldehid juga dapat diabsorbsi dari makanan, dimana


beberapa makanan yang mengandung MDA amino acid adduct dapat
diabsorbsi melalui usus dan diekskresi lewat urin (Halliwel, 2004)
Efek sitotoksik pada kultur sel (pada sel fibroblas dan endotelial)
berturut-turut berkurang 2,4-decadinal> hidroperoksida asam linoleat> 2,4non adienal> HNE> 2 alkena(C6 C9) > alkanals(C5,C6). Formaldehid,
asetaldehid dan MDA memunyai toksisitas lemah. Sebagai contoh
fibroblas kulit yang diberi paparan 120 100mmol MDA tidak mengalami
lisis, tetapi mereka menunjukkan perubahan morfologi, mikro dan
multinuklear, pengurangan DNA, RNA dan sintesis protein (Esterbauer,
1993).

Gambar 2. 6: Rumus bangun MDA


Kadar MDA diukur dengan menggunakan spektrofotometri. Kadar
MDA dapat diperiksa baik di dalam plasma, jaringan maupun urin. Kadar
MDA pada orang normal kurang dari 1,03 nmol/ml dan 2 kali nilai tersebut
adalah patologis

3.

MDA sebagai petanda biologis stres oksidatif


Menurut NIH Biomarker Working Group (1998), definisi penanda

biologis adalah suatu karakteristik yang bisa diukur dan dievalusi sebagai
indikator

proses

biologis

normal,

proses

patologis

dan

respon

farmakologis terhadap intervensi terapi (Donne, et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

WHO International Programme on Chemical Safety (ICPS)


memberikan definisi sebagai suatu substansi, struktur atau proses yang
dapat diukur pada tubuh dan produk-produk tersebut dapat berpengaruh
atau memprediksi insiden keluaran atau penyakit. Sebagai prediktor suatu
penyakit harus memunyai validitas berupa sensitifitas, spesifisitas dan
pengetahuan

mengenai

faktor-faktor

yang

mempengaruhi.

Faktor

tambahan lainnya seperti tidak invasif dan reproducible (Donne, et al.,


2006).
Validasi petanda biologis membutuhkan beberapa tahapan yang
berbeda. Satu tahapan yang meliputi pengembangan prosedur, analisis
referensi material, dan kontrol kualitas. Tahapan yang lain dengan melihat
adanya

perubahan

konsentrasi

petanda

biologis

menyebabkan

perkembangan penyakit. Perkembangan terakhir mengenai petanda


biologis, belum didapatkan yang memenuhi semua persyaratan yang
ideal, hanya didapatkan yang satu lebih baik dari yang lainnya. Banyak
petanda biologis stress oksidatif dan status antioksidan telah dievaluasi,
tetapi hanya sedikit dilakukan validasi untuk mengetahui sensitifitas dan
spesifisitas secara sistematis dengan menggunakan model hewan coba
(Donne, et al, 2006).
BOSS (Biomarker oxidative Stress study) tahun 2002, merupakan
penelitian terakhir yang secara lengkap dilakukan, yang disponsori dan
diorganisir oleh National Institute of Environmental Health Sciences
(NIEHS) di Amerika Serikat, yang merupakan penelitian komprehensif
pertama untuk menilai beberapa marker stress oksidatif dengan model

Universitas Sumatera Utara

yang sama untuk menentukan petanda biologis yang tidak invasif,


memunyai spesifisitas, sensitifitas dan selektifitas terbaik. Dengan model
pada hewan coba tikus yang diberikan CCl4 yang dapat menginduksi
terbentuknya kerusakan jaringan akibat radikal bebas. Efek kerusakan
yang dilihat dari produk hasil peroksidasi lipid, protein dan DNA diukur dari
sampel plasma darah dan urin, dan dinilai hubungan dengan dosis dan
waktu. Berbagai substansi yang diteliti meliputi lipid hidroperoksida,
thiobarbituric acid reactive substancector (TBARS), MDA, isoprostan,
protein karbonil, 8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OhdG), leukocyte DNAMDA adduct dan DNA strand break. Peneliti menyimpulkan kadar plasma
MDA, kadar isoprostan dalam plasma dan urin, sebagai petanda biologis
stress oksidatif yang reliabel (Kadiska, et al., 2005).
MDA dan 4 hydroxynonenal (HNE) merupakan produk utama hasil
oksidasi PUFA dan MDA merupakan salah satu yang paling sering
digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid. MDA juga digunakan secara
luas sebagai petanda biologik stress oksidatif, sensitif, dan bisa digunakan
pada penelitian dalam jumlah besar. MDA merupakan produk peroksidasi
lipid yang relatif konstan terhadap proporsi peroksidasi lipid, oleh karena
itu merupakan indikator yang tepat untuk mengetahui kecepatan (rate)
proses peroksidasi lipid in vivo (Block, at al., 2002).
TBARS (thiobarbituric acid reactive substancector) pada tubuh
manusia bukan produk yang spesifik. TBARS dapat bereaksi dengan
aldehid

yang

lain

termasuk

MDA.

Dengan

metode

HPLC/mass

spektrofotometri yang dapat memisahkan ikatan MDA - TBA dengan

Universitas Sumatera Utara

kromogen pengganggu lainnya, sehingga akan meningkatkan sensitifitas,


spesifitas dan reproducibility. Derivat ketiga spektrofotometri akan
mengeliminasi interferensi substansi lain (alkana, 4-hidroksinonenal dan
komponen biologis lain) (Donne, et al., 2006).

4.

MDA dan glaukoma


Mekanisme oxidation-reduction memunyai peranan yang penting

pada mata. Radikal bebas dapat menyebabkan perubahan molekuler


yang besar pada mata terutama pada glaukoma, katarak, age related
macular degeneration (Moteno, et al., 2004).
Pada glaukoma, terjadinya peningkatan tekanan intraokuli dan
kerusakan lapang pandangan dikatakan berhubungan dengan terjadinya
kerusakan oksidatif DNA pada trabekular meshwork. Penemuan ini dapat
dijadikan sebagai dasar bahwa

stress oksidatif berhubungan dengan

patogenese terjadinya glaukoma (Sacca, et al., 2007).


Salah satu radikal bebas yang dapat dijadikan sebagai biomarker
pada glaukoma adalah MDA. Menurut penelitian Ate, et al, (2005), terjadi
peningkatan nilai plasma MDA pada penderita glaukoma dibandingkan
grup kontrol dimana pada grup studi nilai MDA 6,88 0,96 nmol/ml dan
pada grup kontrol 2,94 0,26 nmol/ml (p=0,001), sedangkan nilai plasma
katalase dan myeloperoksidase tidak dijumpai perbedaan yang bermakna
dengan grup kontrol (p=0,919) (Ate, et al., 2005).
Penelitian Ghanem, et al, (2010), yang menilai hubungan stress
oksidatif marker dengan severity dari glaukoma ternyata pada humor

Universitas Sumatera Utara

akuous penderita glaukoma dijumpai nilai MDA yang lebih tinggi


dibandingkan dengan kontrol dan terjadi korelasi positif antara nilai MDA
yang tinggi dengan rusaknya lapang pandangan (Ghanem, et al, 2010).
Berdasarkan penelitian Faschinger, et al, (2006), terdapat korelasi
positif nilai MDA pada serum dengan humor akuous pada penderita
glaukoma sudut terbuka dimana tidak terjadi perbedaan bermakna antara
nilai MDA humor akuous dengan serum dan plasma.

2.6.

Redox Enzyme Gluthathion Peroxidase

1.

Gluthathion
Gluthathion (glutamilcysteinglisin) adalah tripeptida yang terdiri atas

asam glutamat, sistein dan glisin. Senyawa ini dalam bentuk tereduksi
ditulis sebagai GSH. Dalam keadaan teroksidasi, 2 molekul glutation
terikat melalui ikatan S-S- dan ditulis GSSG (Meister, 1995).
Gluthathion disintesis di sitosol oleh enzim y-glutamilsistein
sintetase dan GSH sintetase. Mekanisme transport glutation ke dalam
matriks mitokondria terjadi melalui sistem transport yang berafinitas tinggi
dan dirangsang oleh ADP dan ATP. Mitokondria hati dan ginjal
mengandung 15% dari glutation total dalam sel. Konsentrasi glutation
lebih tinggi di mitokondria dibandingkan di dalam sitosol (10mM vs 7 mM)
(Meister, 1995).
Oksidasi GSH menjadi bentuk GSSG terjadi secara nonenzimatik
dan secara enzimatik melalui kerja enzim glutation peroksidase.
Konsentrasi GSSG

dipertahankan agar tetap rendah di dalam sel (5-

Universitas Sumatera Utara

50uM). Reduksi GSSG terjadi melalui kerja enzim glutation reduktase


yang memerlukan NADPH. Peristiwa ini dapat terjadi di sitosol dan
mitokondria. Dibawah kondisi stress oksidatif, GSSG keluar dari
mitokondria dan melewati membran sel mitokondria (Reed, 1995).
Pada keadaan normal, mitokondria menghasilkan ROS, 2-5% dari
ROS tersebut yang digunakan oleh mitokondria akan mengalami konversi
melalui kerja superoksida dismutase menjadi hidrogen peroksida (H2O2).
Pada kondisi fisiologis, ROS yang terbentuk akan dinetralkan melalui kerja
enzim glutation peroksidase. Akan tetapi apabila terjadi deplesi glutation,
ROS yang terbentuk akan berakumulasi dan dapat menyebabkan
kerusakan pada mitokondria. Kerusakan mitokondria diperlihatkan dengan
terjadinya penurunan sitrat sintesa sampai 80% dan menyebabkan
disintegrasi membran mitokondria. Deplesi glutation pada mitokondria
dapat menyebabkan hilangnya viabilitas sel yang dilihat dengan adanya
peningkatan pelepasan laktat dehidrogenase atau peroksidase lipid
(Richter, et al., 1995).

2.

Gluthathion peroxidase
Gluthathion peroxidase ini merupakan suatu enzim yang memiliki

selenosistein pada tempat aktifnya dan tergantung selenium untuk


aktifitasnya. Gluthathion peroxidase ditemukan di sitosol dan mitokondria
pada sejumlah jaringan. Enzim ini mereduksi hidrogen peroksida (H2O2).
Tappel melaporkan bahwa enzim glutation peroksidase hanya spesifik

Universitas Sumatera Utara

terhadap hidroperoksida dengan struktur ROOH dan aktivitasnya rendah


terhadap ROOR (Awasthi & Beutler, 1995)
2 GSH + ROOH

H20 + GSSG + ROH

Gluthathion peroxidase pertama kali dideteksi oleh Mills pada tahun


1957

dalam

eritrosit

dan

berfungsi

melindungi

hemoglobin

dari

pemecahan oksidatif. Sel darah merah diketahui menghasilkan hidrogen


peroksida melalui reaksi antara asam askorbat dan oksihemoglobin dan
dekompensasi anion oksigen oleh superoksida dismutase (Kayatama, et
al., 1997).
Gluthathion peroxidase terdiri atas 4 subunit protein, tiap unit
mengandung satu atom selenium (Se) pada tempat aktif (active site).
Selenosistein adalah asam amino sistein yang sulfurnya diganti oleh
selenium (R-Se-H menggantikan RSH). Selanjutnya selenol (ikatan antara
protein-Se) bereaksi dengan peroksida menghasilkan asam selenonat
(protein-SeOH) (Halliwel, 1998).

Protein-Se+ROOH+H

ROH+Protein-SeOH

Kemudian diikuti dengan ikatan GSH


Protein-SeOH-GSH

H2O+Protein-Se-SG

Diikuti ikatan kedua dengan GSH


Protein-Se-SG-GSH

Protein-Se-GSSG

Protein-Se+H+GSSG

Gambar 2.7 : Reaksi gluthathion peroxidase dengan oksidan

Universitas Sumatera Utara

2. 7.

Penatalaksanaan
Tujuan utama pada pengobatan glaukoma adalah untuk melindungi

fungsi penglihatan dengan cara mencegah kerusakan dari syaraf optik


lebih lanjut dan menurunkan tekanan intraokuli. Pengobatan glaukoma
biasanya dimulai dengan pemberian obat tunggal yang tergantung pada
tekanan intraokuli awal. Bila pemberian obat tunggal tidak berhasil maka
digunakan kombinasi beberapa obat. Bila dengan kombinasi obat juga
tidak berhasil dilakukan bedah laser dan terapi pembedahan ataupun
gabungannya. Mengingat setiap obat memunyai efek samping lokal
maupun sistemik dan kemampuan penderita yang berbeda-beda maka
diperlukan acuan yang rasional agar tercapai kepuasan dalam kualitas
hidup. Acuan yang rasional adalah suatu target pressure dimana
diharapkan penurunan tekanan intraokuli > 20% dari garis batas tekanan
intra okuli yang dianggap normal. Obat-obatan ini dalam menurunkan
tekanan intraokuli harus memunyai aksi pada dinamika akuous humor.
Mekanisme kerja obat-obat ini dapat melalui salah satu dari ketiga jalur
yakni (Skuta, et al., 2010, Ritch, 1996).

Menurunkan produksi humor akuous

Menaikkan aliran humor akuous melalui jalur trabekula

Menaikkan aliran humor akuous melalui jalur uveosklera

Selain untuk menurunkan tekanan intraokuli, sehubungan dengan


patogenese glaukoma saat ini yang berhubungan dengan

kerusakan

syaraf optik, maka dicoba penggunaan neuroprotektif yang dikatakan


dapat bermanfaat untuk memperbaiki kerusakan dari syaraf optik dan

Universitas Sumatera Utara

sekaligus

sebagai

antioksidan

(Schwartz,

2003).

Pendekatan

neuroprotektif melalui beberapa teori yakni :1) mencegah apoptosis


dengan cara menghambat TNF dan aktivitas caspase, 2) menghambat
Ca yang berlebihan, dan 3) menghambat toksisitas nitric oxide dan
menghambat radikal bebas (Ritch, 1996). Dalam penelitian ini yang
digunakan adalah ginkgo biloba

2.8.

GINKGO BILOBA
Ginkgo biloba adalah satu dari spesies tanaman yang tertua dan

daunnya sering digunakan sebagai studi percobaan sampai saat ini. Tidak
seperti tanaman herbal lainnya, ginkgo biloba dibuat dalam bentuk ekstrak
ginkgo biloba yang dipersiapkan dari daun-daun hijau yang sudah
mengering. Di Amerika dan Eropa, suplemen ginkgo ini merupakan jenis
obat herbal yang paling laku (Ernst, 2001)
Di dataran China, ekstrak ginkgo biloba telah dikenal terlebih
dahulu dan digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk mengobati
penyakit sirkuler dan menambah ingatan. Dikatakan bahwa ekstrak ginkgo
biloba efektif untuk mengobati penyakit dengan penurunan aliran darah ke
otak terutama pada usia tua. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
bahwa ekstrak ginkgo biloba dapat meningkatkan sirkulasi aliran darah
dengan adanya dilatasi pembuluh darah (Diamond, 2000).
Lebih dari 40 komponen yang terdapat dari pohon ginkgo biloba,
tetapi hanya 2 komponen yang bermanfaat sebagai herbal yaitu flavonoids
dan terpenoid. Komposisi flavonoid yang utama adalah quercetin,

Universitas Sumatera Utara

khaemferol dan isorhamnetin (Jutetzek, 1997). Struktur komponen ginkgo


biloba diperlihatkan pada hal berikut.

Struktur akan diperlihatkan pada Gambar 8, 9, 10 dibawah ini

Gambar 2.8 : Structure of ginkgolides

Gambar 2.9: Structure of bilobalide

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.10: Structure of Quercetin, Kaempferol & Isorhamnetin


Ekstrak daun ginkgo biloba ini kaya akan air-aseton atau air-ekstrak
etanol. Standartnya, ginkgo biloba terdiri 22-27% flavon-glikosida, 5-7%
terpene lakton (2,8-3,4% terdiri atas ginkgolide A, B, C dan 2,6-3,2%
terdiri atas bilobalide) dan kurang dari 5 mg/kg terdiri atas asam ginkgolik
(Juretzek, 1997).
Dikatakan bahwa ginkgo biloba dapat melewati sawar darah otak.
Sawar darah otak terbentuk dari sel-sel endotel kapiler. Sistem syaraf
pusat dipisahkan dari sirkulasi sistemik oleh sel endotel kapiler, sel epitel
pleksus koroid dan lapisan araknoid. Permukaan area yang luas di kapiler
otak menyebabkan hubungan yang lebih ekstensif antara darah dan otak.
Kapiler memiliki lapisan tunggal sel endotel yang dikelilingi lamina basalis
dengan tonjolan prosesus astrosit pada dindingnya. Diantara sel-sel epitel

Universitas Sumatera Utara

terdapat tight junction yang berfungsi mempertahankan integritas sawar


darah otak (SDO) dan sawar otak liquor serebrospinalis (Milburry, 2009).
Tatap muka SDO menyediakan satu sawar untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik dan elektrolit. Kemampuan molekul untuk
menyeberang SDO tergantung dari kelarutan molekul dalam lemak,
ukuran molekuler, bentuk dan karakter ikatan protein. SDO juga berperan
pada mekanisme efflux aktif yang mengatur kelarutan substrat melalui
kemampuan pelarutan di lemak dan berdasarkan berat molekul suatu zat.
Dikatakan bahwa flavonoids dan substratnya dapat mengubah sawar
darah otak dan masuk ke sistem syaraf pusat yang tergantung dari sifat
lipofiliknya dan polaritasnya (Greenstein, 2000).
Pada satu studi invitro terdapat dua aspek interaksi antara molekul
flavonoid dan sawar darah otak yaitu masukan/uptake dari flavonoids dan
glukoronid pada sel endotelial otak (END5 dan RBE 4) dan kemampuan
permeabilitas melewati sawar darah otak secara invitro (ECV 304 cells cocultured dengan C6 sel-sel glioma). Kedua sel endotelial otak ini diterapi
dengan campuran hesperetin, naringetin, epicatechin dan

glukoronid.

Hasilnya menunjukkan bahwa flavonoid dapat menurunkan uptake dari


END5 dan RBE4 (de Boer, 2007).

1.

Ketersediaaan Hayati Oral Flavonoids


Kebanyakan flavonoids berasal dari cathecins

berasal

dari

diabsorbsi

ke

tanaman
sirkulasi

yang

mengandung

sistemik,

glikosida

yang biasanya

B-glycosides.
ini

harus

Sebelum

membentuk

Universitas Sumatera Utara

deglikosilasi (Nemeth, et al, 2003). Proses ini kebanyakan terjadi di lumen


intestinal yang melalui kerja 2 enzim yakni lactase phloridzin hydrolase
(LPH) dan cytosolic B-glucocidase (CBG). Transport aktif dari hydropilic
glikosida ini masuk ke dalam sel melalui sugar transporter SGLT-1
(Nemeth, et al., 2003). Glikoside yang tidak mengandung LPH atau SGLT1 akan ditransport ke dalam kolon dimana bakteri akan mampu
menghidrolisa glikosida flavonoid (Holmann, 2004).
Beberapa literatur, kadar quercetin dan isorhamnetin dalam plasma
yang merupakan komposisi dari flavonoids sekitar 12 nmol/l dan 4,3 nmol/
l dengan waktu paruh 5-7 jam (Mullen, et al., 2006).

2.

Peran Ginkgo Biloba pada sistem syaraf


Dilaporkan bahwa ekstrak ginkgo biloba dapat menambah

memori/ingatan. dengan dosis 120 mg/hari dikatakan efektif pada


penderita dementia Alzeimer. Dikatakan bahwa ekstrak ginkgo biloba
dapat menurunkan produksi kortikosteroid, meningkatkan aliran darah
serebral, meningkatkan produksi ATP dan metabolisme mitokondria
(Juretzek, 1997). Menurut Winter, pemberian ginkgo biloba 100mg/kg
pada tikus coba selama 4-8 minggu dapat meningkatkan memori (Winter,
1991). Cohen-Salmon juga menyatakan bahwa pemberian ginkgo biloba
40 mg/ kgBB pada hewan coba tikus muda (6 bln) dan tikus tua (22 bulan)
selama 1-3 minggu dapat meningkatkan memori (Cohen-Salmon, et al.,
1997). Krieglestein dan Cowokers yang meneliti pada hewan coba rodent,
pemberian bilobalide dan ginkgolide A, B dapat menurunkan area infark

Universitas Sumatera Utara

pada brain surface tikus sebelum terjadinya oklusi dan pemberian injeksi
ginkgo biloba setelah global forebrain ischemia dapat meningkatkan aliran
darah serebral (Krieglestein, et al., 1995).
Kim, et al., (1997), juga menyatakan bahwa flavonoids (quercetin,
kaemferol,

sciadopitysin, ginkgetin, isoginkgetin) dapat meningkatkan

produksi kollagen dan fibrovaskular ekstraselular dari jaringan fibroblast


kulit secara invitro dan bilobalide dapat melindungi kematian neuron akibat
iskemia dan glutamat eksitoksisiti (Kim, et al., 1997).
Berdasarkan DeFeudis FV, dikatakan juga bahwa ekstrak ginkgo
biloba memunyai reaksi spasmolitik pada dinding arteri sehingga terjadi
dilatasi pembuluh darah. Efek dilatasi pembuluh darah ini terjadi akibat
pelepasan dari nitrix oxide. Selain itu dinyatakan juga bahwa ekstrak
ginkgo biloba dapat meningkatkan perfusi kapiler dan membantu aliran
balik pembuluh darah vena dan membersihkan toksin metabolik yang
terkumpul di dalam jaringan pada saat jumlah oksigen tidak tercukupi
(DeFeudis, 1999).
Flavonoid juga memunyai efek sebagai antioksidan. Flavonoids ini
dapat menurunkan jumlah radikal bebas yaitu dengan cara menurunkan
sel-sel membran lipid peroksidase sehingga dapat melindungi sel. Lipid
peroksidase

ini

apabila

berikatan

dengan

radikal

bebas

dapat

menyebabkan kerusakan sel membran dan menambah produksi radikal


bebas. Terpenoids terdiri atas bilobalide dan ginkgolides. Bilobalides ini
berhubungan erat dengan ginkgolides. Bilobalides memunyai efek
perlindungan terhadap sel-sel syaraf melalui regenerasi sel-sel syaraf

Universitas Sumatera Utara

motorik. Sedangkan ginkgolides dapat menghambat aktivitas dari platelet


activating factor (Nishida & Satoh, 2003).

Gambar 2.11: Diagram manfaat ginkgo biloba (DeFeudis,1999)

Berdasarkan

diagram,

ginkgo

biloba

memunyai

efek

antioksidan,

neuroprotektif dan antiinflamasi.


Pengunaan ginkgo biloba pada mata juga pernah dicoba pada
penderita age related macular degeneration dan hasilnya dijumpai adanya
perbaikan pada ganglion sel retina (Evans, 2000). Begitu juga pada
peneltian hewan coba tikus yang bertekanan bola mata tinggi diterapi
dengan ginkgo biloba selama 5 bulan dan hasilnya terjadi perbaikan pada
sel-sel ganglion retina dibandingkan dengan kontrol (Hiroka, et al., 2004).

Universitas Sumatera Utara

Jadi penggunaan ginkgo biloba berguna untuk:(Wang, et al., 2006):


1. Meningkatkan fungsi otak.
2. Menguatkan

(strengthening)

sistem

serebrovaskular

dan

kardiovaskular dengan menghambat agregasi platelet dan


meningkatkan aliran darah dan suplai oksigen.
3. Menetralkan radikal bebas yang dapat merusak syaraf dan
accelerate aging.
4. Menstabilisasi produksi energi selular (konsentrasi yang tinggi
dari ATP, glukosa, kreatinin fosfat dan menurunkan nilai laktat).

Ginkgo biloba ini tersedia dalam bentuk ekstrak yang berisi 24-32%
flavanoids dan 6-12% terpenoids terdiri dari kapsul, tablet, liquid ekstrak
dan juga teh. Dalam bentuk tablet dosisnya 40 mg. Pemberian ginkgo
biloba umumnya 120 mg/hari. Ginkgo biloba ini kurang efektif apabila
diberikan bagi pasien yang memakan obat antidepresan dan juga bagi
wanita hamil (Ernst, 2001).
Efek

samping

yang

mungkin

dijumpai

adalah

gangguan

gastrointestinal, sakit kepala, dan kelelahan.Tetapi pada satu penelitian


pernah dijumpai perdarahan intrakranial paska pemberian ginkgo biloba
dengan dosis tinggi (Bent, et al., 2000)

3.

Ginkgo Biloba dengan MDA dan GPx


Sun,et al., (2002), mendeskripsikan bahwa flavonoids dapat

menghambat

aktivitas

siklooksigenase,

beberapa

enzim

seperti

monooksigenase,

xantin

oksidase,

lipooksigenase,
glutation

-S-

Universitas Sumatera Utara

transferase, mitokondrial succinil- oksidase, NADH oksidase, lipid


peroksidase, phospolipase dan protein kinase. Flavonoids mampu
mendetoksifikasi phase II enzym
transferase,

glukoronyl

transferase

(NADPH-oxidoreduktase, glutation
dan

lipid

peroksidase).

Pada

flavonoids ini terdapat regulasi ekspresi gen protektif yang dapat


diperantarai oleh EpRE (Electrophylic Respons Element). Kemampuan
flavonoids untuk mengaktivasi EpRE berkorelasi dengan redox properties.
Dikatakan bahwa flavonoids dengan kemampuan potensial intrinsik yang
tinggi dapat menghambat stress oksidatif dan redox cycling (Winkel &
Shirley, 2001). Jadi dapat disimpulkan bahwa bahwa aktifitas flavonoids
dapat menyebabkan detoksifikasi .
Formica, (1995), bahwa efek sitoprotektif dari quercetin ditemukan
dalam menghambat hidrogen peroksida (H2O2) pada kultur hewan coba
yang terdeteksi hepatocyte Bl-9. Sel tersebut kaya akan ekspresi sitosol
GPx. Beberapa peneliti juga mendeskripsikan bahwa aktifitas flavonoids
berhubungan dengan aktifitas GPx dan aktivitas dari survival signaling
protein (protein kinase dan extracelluler regulated

kinases) dengan

adanya peningkatan aktifitas GPx dan GSH pada hepatosit manusia yang
disebabkan oleh flavonoids.

Universitas Sumatera Utara

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS


2.9. Kerangka Teori
Glaukoma

Kerusakan neuron
primer

mekanis

Peningkatan
TIO

Cedera reperfusi

iskemik

Resistensi
Humor akuous
T.Meswork

Penurunan perfusi

pompa Na K
+

2+

Influx Ca2+
Reseptor
mGluR

Ca
intrasel

GB

Respon
inflamasi

GB

ROS
Eksitotoksik
glutamat

Kerusakan neuron
sekunder

(MDA dan
GPx )
collapse

Pelepasan Ca2+

Kerusakan sel
ganglion retina

Trabecular
meshwork

enlargement

NO

Kerusakan
mitokondria

Peroksinitrit

Lipid
peroksidase

Kehilangan selsel endotel


T.meshwork

TIO

apoptosis

Diagram 2.1. Bagan Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara

2.10. Hipotesis Penelitian


1. Hipotesis Mayor
Terjadi hubungan antara perubahan kadar stress oksidatif marker
malonildialdehyde dan redox enzyme gluthathion peroxidase
dengan progresifitas syaraf optik paska pemberian ginkgo biloba
pada penderita glaukoma sudut terbuka primer

2. Hipotesis Minor
a. Pemberian ginkgo biloba akan menurunkan kadar MDA pada
glaukoma sudut terbuka primer
b. Pemberian ginkgo biloba akan meningkatkan kadar GPx pada
glaukoma sudut terbuka primer.
c. Terdapat perbedaan kadar MDA yang mendapat ginkgo biloba
dengan kadar MDA yang tidak mendapat ginkgo biloba pada
glaukoma sudut terbuka primer.
d. Terdapat perbedaan kadar GPx yang mendapat ginkgo biloba
dengan kadar GPx yang tidak mendapat ginkgo biloba pada
glaukoma sudut terbuka primer.
e. Terdapat hubungan antara

perubahan kadar MDA dan GPx

dengan progresifitas syaraf optik.

Universitas Sumatera Utara

2.11. Kerangka Konseptual

GLAUKOMA

Kerusakan sel ganglion


retina

Kehilangan
sel endotel
T.Meshwork

ROS

MDA

GPx

TIO

lapang
pandangan

Kerusakan
syaraf
optik

GB
Terapi
standar

MDA

GPx

TIO

lapang
pandangan
(MD dan PSD)

Kerusakan
syaraf optik

Progresifitas
syaraf optik

Diagram 2.2. Bagan Kerangka Konseptual

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai