Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH VEKTOR

FILARIASIS

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 5
SITI IKROMAH
SITI MUHAJIRAH
SITI RAHMA YANTI
SITI SETIAWATI
SYAIFUL SYAFRIADI
TARI PANSELLA
TINI AMELIA
VANY MEIDY SYAFITRI
WINI KARTIKA

(PO.71.33.0.13.3392)
(PO.71.33.0.13.3393)
(PO.71.33.0.13.3394)
(PO.71.33.0.13.3395)
(PO.71.33.0.13.3397)
(PO.71.33.0.13.3398)
(PO.71.33.0.13.3399)
(PO.71.33.0.13.3400)
(PO.71.33.0.13.3401)

DOSEN PEMBIMBING
SUHERMANTO, SKM. MSC.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN JAMBI
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
TAHUN AKEDEMIK 2015

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filariasis merupakan salah satu penyakit yang termasuk endemis di Indonesia. Seiring
dengan terjadinya perubahan pola penyebaran penyakit di negara-negara sedang berkembang,
penyakit menular masih berperan sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian. Salah satu
penyakit menular adalah penyakit kaki gajah (Filariasis). Penyakit ini merupakan penyakit
menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Di dalam tubuh manusia cacing filaria
hidup di saluran dan kelenjar getah bening(limfe), dapat menyebabkan gejala klinis akut dan
gejala kronis. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada
stadium lanjut (kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran
kaki (seperti kaki gajah) dan pembesaran bagian bagian tubuh yang lain seperti lengan, kantong
buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita.
Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada tahun 1889.
Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000 wilayah Indonesia yang
menempati ranking tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Nusa
Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-masing 1908 dan 1706 kasus kronis. Menurut
Barodji dkk (1990 1995) Wilayah Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis penyakit
kaki gajah yangdisebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan Brugia timori. Selanjutnya oleh
Partono dkk (1972) penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi. Di Kalimantan oleh Soedomo
dkk (1980) Menyusul di Sumatra oleh Suzuki dkk (1981) Sedangkan penyebab penyakit kaki
gajah yang ditemukan di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra tersebut adalah dari spesies Brugia
malayi.
Sampai saat ini DEC merupakan satu satunya obat penyakit kaki gajah yang efekitf,
aman dan relaitf murah. Pada pengobatan perorangan bertujuan untuk menghancurkan parasit
dan mengeleminasi, guna mengurangi atau mencegah rasa sakit. Aturan dosis yang di anjukran
untuk 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari diminum sesudah makan, dalam sehari 3
kali. Pada pengobatan massal, di gunakan pemberian DEC dosis rendah dengan jangka waktu
2

pemberian yang lebih lama, misalnya dalam bentuk garam DEC 0,2%-0,4% selama 9-12 bulan.
Untuk orang dewasa digunakan 100mg/minggu selama 40 hari.
Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata. Masyarakat
juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan mengetahui mekanisme
penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasinya.

1.2 Tujuan Makalah


Adapun dalam pembuatan makalah ini, yaitu :

Menjelaskan pengertian penyakit Kaki Gajah (Filariasis / Elephantiasis)


Menjelaskan Klasifikasi Filaria
Menjelaskan Morfologi dan daur hidup filaria
Menjelaskan Vektor Filariasis
Menjelaskan Hospes Filariasis
Menjelaskan Lingkungan / tempat hidup filariasis
Menjelaskan Mekanisme terjadinya FIlariasis
Menjelaskan rantai penularan filariasis
Menjelaskan Upaya Pencegahan, Pengobatan, dan Rehabilitasi Filariasis

BAB II
PEMBAHASAN
3

2.1 Filariasis
Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan
saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat
menimbulkan

gejala

akut

berupa

peradangan

kelenjar

dan

saluran

getah

bening

(adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain.
Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang
dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut (Depkes RI, 2009c). Cacing filaria berasal dari
kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia
adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (Elmer R. Noble & Glenn A.
Noble, 1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk, memiliki
stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa disebut mikrofilaria
(Gambar 1.).

Gambar 1. Mikrofilaria Wuchereria bancrofti (A), Brugia malayi (B), dan Brugia timori (C).
(Sumber : Juni Prianto L.A. dkk., 1999)
Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya berukuran 250, cacing betina dewasa berukuran
panjang 65 100mm dan cacing jantan dewasa berukuran panjang 40mm (Juni Prianto L.A.
dkk., 1999). Di ujung daerah kepala membesar, mulutnya berupa lubang sederhana tanpa bibir
(Oral stylet) seperti terlihat pada Gambar 2. Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori,
mikrofilarianya berukuran 280. Cacing jantan dewasa panjangnya 23mm dan cacing betina
dewasa panjangnya 39mm (Juni Prianto L.A. dkk., 1999). Mikrofilaria dilindungi oleh suatu
selubung transparan yang mengelilingi tubuhnya. Aktifitas mikrofilaria lebih banyak terjadi pada
malam hari dibandingkan siang hari. Pada malam hari mikrofilaria dapat ditemukan beredar di
dalam sistem pembuluh darah tepi. Hal ini terjadi karena mikrofilaria memiliki granula-granula
flouresen yang peka terhadap sinar matahari. Bila terdapat sinar matahari maka mikrofilaria akan
4

bermigrasi ke dalam kapiler-kapiler paru-paru. Ketika tidak ada sinar matahari, mikrofilaria akan
bermigrasi ke dalam sistem pembuluh darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah
pada waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah terjadinya infeksi dan dapat bertahan hidup hingga 5
10 tahun.

Gambar 2. Struktur tubuh mikrofilaria Wuchereria bancrofti.


(Sumber : Elmer R. Noble dan Glenn A. Noble, 1989)
Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang mengandung
parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki-laki lebih dmudah
terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat infeksi (exposure). Hospes
reservoar adalah hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi
yang

dapat

hidup

pada

kucing,

kera,

kuda,

dan

sapi.

Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing
filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah
perkotaan ditularkan oleh Culex quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai
tempat perindukannya. Wuchereria bancrofti yang ada di daerah pedesaan dapat ditularkan oleh
berbagai macam spesies nyamuk. Di Irian Jaya, Wuchereria bancrofti terutama ditularkan oleh
Anopheles farauti yang menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Di
daerah pantai di NTT, Wuchereria bancrofti ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia malayi
yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti
Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, dan Mansonia dives yang berkembang biak di daerah
rawa di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Di daerah Sulawesi, Brugia malayi ditularkan oleh
5

Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya. Brugia timori
ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat
pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor
Timur.
Gejala klinis filariais antara lain adalah berupa :
1. Demam berulang-ulang selama 3 5 hari, demam dapat hilang bila beristirahat dan muncul
kembali setelah bekerja berat.
2. pembengkakan kelenjar darah limfe (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak
(lymphadenitis) yang tampak kemerahan. diikuti dengan radang saluran kelenjar limfe yang
terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung
(retrograde lymphangitis) yang dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
3. pembesaran tungkai, buah dada, dan buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas
(early lymphodema). gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap pada tungkai,
lengan, buah dada, dan buah zakar tersebut.
Seseorang yang menderita filariasis dapat didiagnosis secara klinis dengan cara sebagai berikut.
1. deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah pada pemeriksaan sediaan darah
tebal. pengambilan darah dilakukan pada malam hari karena mikrofilaria aktif pada malam hari
dan banyak beredar dalam sistem pembuluh darah. setelah membuat sedian darah maka
dilakukan pemeriksaan sedian tersebut. jika pada sediaan ditemukan mikrofilaria, maka orang
tersebut telah terinfeksi cacing filaria.
2. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum.

2.2 Klasifikasi Filaria


6

Philum : Nemathelminthes
Class : Nemathoda
Ordo : Spirurida
Super Family : filarioidea
Genus : - Wuchereria
- Brugia
- Onchocerca
- Loa-loa
- Dipetanolema
- Mansonela
- Dilofilaria (Spielman,2001)

2.3 Morfologi dan Daur Hidup


Ada tiga spesies yang menjadi penyebab filariasis diantaranya Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, dan Brugia timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia
terutama dalam kalenjar getah bening manusia selama 4-6 tahun. Dalam tubuh manusia cacing
dewasa menghasilkan jutaan anak cacing (mikroflaria) yang beredar dalam darah terutama pada
malam hari. Di Indonesia jenis cacing filarial yang menginfeksi adalah Wuchereria bancrofti
a. Wuchereria bancrofti. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran kalenjar limfe,
7

bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 65 100 mm
x 0,25 mm dan cacing jantan 40 mm x 0,1 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang
bersarung dengan ukuran 250 300 mikron x 7 - 8 mikron. Mikrofilaria ini hidup didalam darah
dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada
umumnya, mikrofilaria W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya
terdapat di dalam tepi pada waktu malam. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat
dalam (paru-paru, jantung, ginjal). (Gandahusada,2001).

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit nyamuk yang
sudah terinfeksi, yaitu yang didalam tubuhnya mengandung larva (L3). Nyamuk sendiri
mendapat mikrofilarial karena menghisap darah penderitanya atau dari hewan yang mengandung
mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor menghisap darah penderita (mikrofilaremia),
Mikrofilaremia masuk kedalam lambung nyamuk lalu berkembang dalam otot nyamuk selama 3
minggu. Dalam tubuh nyamuk mikrofilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk
dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3. Pada stadium 3 larva mulai bergerak
aktif dan bergerak ke alat tusuk nyamuk.
Nyamuk pembawa mikrofilaria menggigit manusia dan memindahkan larva infektif tersebut.
Bersama aliran darah larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing
dewasa jantan atau betina serta berkembang biak. (http//harun yahya.com) Cacing filarial dalam
tubuh manusia terdeteksi pada malam hari, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh
manusia. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi. Mikrofilaria dapat
ditemukan dalam darah pada malam hari dan siang hari, tetapi ditemukan dalam jumlah besar
pada malam hari dan banyak ditemukan dalam kapiler dan pembuluh darah paru-paru.
(Onggowaluyo,2001)

2.4 Vektor
Beberapa hewan dapat berperan sebagai hospes reservoar atau sumber penularan
penyakit ini. Dari semua spesies cacing filarial yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya
8

brugia malayi tipe sub periodik nokturna yang ditemukan di hewan. Kera (Macaca sp.) dan
lutung (Presbytis sp.) merupakan reservoar dari strain tertentu brugmalayi, yang juga dapat
menular ke kucing (John & Petri, 2006). Pengendalian filariasis pada hewan reservoar ini tidak
mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia.
Brugia malayi kebanyakan di daerah tertentu vektor utamanya nyamuk genus Mansonia
dan Anopheles. brugia timori vektornya adalah nyamuk Anopheles barbirotris dan sejauh
diketahui, manusia adalah satu-satunya hospes definitif. Brugia malayi yang hidup pada manusia
ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirotris dan yang hidup pada manusia dan hewan
ditularkan oleh nyamuk Mansonia.
Beberapa sifat vektor nyamuk adalah menyukai darah manusia (antropofilik), menyukai
darah hewan (zoofilik), menyukai darah hewan dan manusia (zooantropofilik), menggigit di luar
rumah (eksofagik) dan menggigit di dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk sebagai vektor
penyakit kaki gajah menentukan distribusi penyakit kaki gajah.
Sedangkan secara intrinsik, stadium mikrofilaria ditemukan di dalam darah tepi terutama
pada malam hari dan mencapai puncaknya pada pukul 22.00 01.00 (sifat periodisitas
mikrofilaria yang bersifat nocturnal). Sedangkan mikrofilaria yang mempunyai sifat subperiodik
nokturnal, berada dalam darah tepi selama 24 jam tetapi mencapai puncaknya pada pukul 18.00
22.00. Pada mikrofilaria yang sifatnya nonperiodik, stadium mikrofilaria dapat ditemukan di
dalam darah tepi setiap saat dan tidak pernah mencapai puncak.
Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies nyamuk
Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex
quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia
merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles
barbirostris merupakan vector filariasis yang paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat
menjadi vector Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris
merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan
Maluku Selatan.

2.5 Hospes
a. Manusia. Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila
digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit
selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya
pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih
menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih
banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada lakilaki karena pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada, 1998).
b. Hewan. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan
reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodic yang ditemukan
pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus) (Depkes
RI, 2005).

2.6 Lingkungan
a. Lingkungan Fisik. Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, stuktur
geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga
berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat
menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh
terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air
di rawa-rawa dan adanya hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap
penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik.
b. Lingkungan Biologi. Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya,
adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis Brugia
malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi
tanaman air.

10

c. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya. Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah
lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat
istiadat, budaya, kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam
hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak vektor.
Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki
sering kontak dengan vektor pada saat bekerja (Depkes RI, 2005).

2.7 Mekanisme Terjadinya Filariasis


Seseorang bisa tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit nyamuk
yang infektif yaitu nyamuk yg mengandung larva stadium III (L3), nyamuk mendapat
mikrofilaria karena menggigit/menghisap darah dari penderita filariasis (manusia atau hewan)
yang mengandung mikrofilaria.
SIKLUS PENULARAN FILARIASIS:
1. Tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vektor ).:
a. Saat nyamuk (vektor) menghisap darah penderita (mikrofilaremia) beberapa
mikrofilaria ikut terhisap bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk.
b. Setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria melepas selubung, kemudian
menerobos dinding lambung menuju ke rongga badan dan selanjutnya ke jaringan
otot thoraks.
c. Dalam jaringan otot thoraks, larva stadium I (LI) berkembang menjadi bentuk
larva stadium II (L2) dan selanjutnya berkembang menjadi stadium III (L3) yang
efektif.
d. Waktu perkembangan dari L1 menjadi L3 disebut masa inkubasi ektrinsik, untuk
spesies Wuchereria bancrofti antara 10-14 hr, Brugia malayi dan Brugia timori 710 hr. 5. St. LIII bergerak ke proboscis ( alat tusuk) nyamuk dan akan
dipindahkan ke manusia pada saat nyamuk menggit.
11

e. Mikrofilaria didalam tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan bentuk dan


tidak berkembang biak (cyclicodevelopmental) sehingga diperlukan gigitan
berulang kali utk terjadinya infeksi.
2. Tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan hewan perantara ( hospes
reservoir ) :
a. Didalam tubuh manusia St. L3 akan menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh
menjadi cacing dewasa jantan atau betina.
b. Melalui kopulasi, cacing betina menghasilkan mikrofilaria yg beredar dalam darah.
Secara periodik seekor cacing betina akan mengeluarkan sekitar 50.000 larva setiap hari.
c. Perkembangan L3 menjadi cacing dewasa dan menghasilkan mikrofilaria W.bancrofti
selama 9 bln dan B.malayi, B.timori selama 3 bulan di tubuh manusia.
d. Perkembangan seperti ini terjadi juga dalam tubuh hewan reservoar ( lutung dan kucing).

Gambar 3. Siklus penularan filariasis Wuchereria bancrofti.


(Sumber : http://www.filariasis.org)

12

2.8 Rantai Penularan Filariasis


Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :
1. Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.
3. Manusia yang rentan terhadap filariasis.

2.9 Upaya Pencegahan, Pengobatan, dan Rehabilitasi Filariasis


2.9.1 Upaya Pencegahan Filariasis
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi
kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan
kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk,
menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna gelap
karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara
berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis. Dari semua cara diatas,
pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara
3M.
2.9.2 Upaya Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan
menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh mikrofilaria dan
cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satu-satunya obat
yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang
dianjurkan 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk filariasis akibat Brugia
malayi dan Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek
samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada
pengobatan filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori, efek samping yang
ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi
13

pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan
dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun.
Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari
golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini
hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC.
Terapi suportif berupa pemijatan juga dapat dilakukan di samping pemberian DEC dan
antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan
pembedahan.
2.9.3 Upaya Rehabilitasi Filariasis
Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total. Namun, kondisi mereka
tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya, beberapa bagian tubuh yang membesar tidak bisa
kembali normal seperti sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan
dengan jalan operasi.

14

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam sistem
limfe dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan menimbulkan cacat menetap.

Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yang menginfeksi Manusia yaitu :

1. Wuchereria Bancrofti
2. Brugia Timori
3. Brugia Malayi

Cara penularannya yaitu Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah
seseorang yang telah tertular sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva
dan akan ditularkan ke orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi menggigit atau
menghipas darah orang tersebut.

Siklus Penularan Filariasis yaitu:

1. Tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vektor )


2. Tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan hewan perantara ( hospes reservoir )

Gejala klinis berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe,
pembesaran tungkai, buah dada, dan skrotum.

Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi


kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi
dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti
nyamuk, menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian
15

berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC
dan Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah
endemis.

3.2 Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan berdasarkan hasil penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:

Menjaga kebersihan diri dan lingkungan merupakan syarat utama untuk menghindari
infeksi filariasis.

Pemberantasan nyamuk dewasa dan larva perlu dilakukan sesuai aturan dan indikasi.

Meningkatkan surveilans epidemiologi di tingkat Puskesmas untuk penemuan dini kasus


Filariasis, sehingga

dapat

meningkatkan kesembuhan. Evaluasi pemberantasan

dilaksanakan setelah 5 tahun

Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus filariasis karena
penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi
beban keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan penanganan kasus filariasis ini pula,
diharapkan Indonesia mampu mewujudkan program Indonesia Sehat Tahun 2010.

16

17

DAFTAR PUSTAKA
Sawalu. 2012. Makalah filariasis. http://sawalubasodewide.blogspot.com/2012/12/makalah
filariasis.html. diakses pada 13 juni 2015

Anonim. 2012. Makalah filariasis (penyakit kaki gajah).http://makalahlaporanterbaru1.


blogspot.com/2012/09/makalah-filariasis-peyakit-kaki-gajah.html. diakses pada 13 juni
2015

Pratiwi, Dita Anugrah. 2014. Makalah Lengkap Filariasis (Kaki Gajah) : Aspek
Epidemiologi

dan

Penanggulangannya.

http://ditaanugrah.blogspot.com/2014/01/makalah-lengkap-filariasiskaki-gajah.html. diakses pada 13 juni 2015

Anonim. 2014. Hospes dan Vektor

utama penyakit kaki gajah. http://www.indonesian

publichealth.com/2014/11/epidemiolodi-filariasis.html. diakses pada 13 juni 2015

Soehardi. 2011. Cara penularan kaki gajah. http://kiathidupsehat.com/cara-penularan-penyakit


kaki-gajahfilariasis/ diakses pada 13 juni 2015

18

Anda mungkin juga menyukai