Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN
Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih
merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup
tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP)
termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis. Meningitis sinonim dengan leptomeningitis
yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak yang melibatkan arachnoid dan piamater
sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak.
Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika
seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari lumpuh hingga
koma.
Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling terlindungi atau yang paling
terakhir kena, jadi kalau otak sudah terkena infeksi akan sangat mungkin mempengaruhi organ
lainnya di tubuh dan fungsinya menjadi terganggu.
Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam dan
sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala lanjutan seperti kejang dan
sakit kepala yang semakin parah segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostic dini
memang tidak mudah, karenanya proses pencarian penyebabnya harus progresif agar bisa
ditangani dengan baik.
Untuk diagnosis pastinya dilakukan pemeriksaan cairan otak agar bisa diketahui
penyebab pastinya apakah akibat infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing pita. Jika
prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa mengurangi kecacatan yang timbul.

1 | Page

BAB 2
ISI
2.1 Definisi
Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam jaringan tubuh. Jadi
infeksi susunan saraf pusat ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam
susunan saraf.
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi susunan saraf menurut organ yang terkena peradangan, tidak memberikan
pegangan klinis yang berarti. Radang pada saraf tepi dinamakan neuritis, pada meningen disebut
meningitis, pada jaringan medulla spinalis dinamakan mielitis dan pada otak dikenal sebagai
ensefalitis. Sebaliknya pembagian menurut jenis kumkan mencakup sekaligus diagnosis kausal.
Maka dari itu, pembahasan mekanisme infeksi susunan saraf akan dilakukan menurut klasifikasi:
1) Infeksi viral
2) Infeksi bakteri
CAIRAN SEREBRO SPINAL
Cairan Serebro Spinal (CSS) ditemukan di ventrikel otak dan sisterna dan ruang
subarachnoid yang mengelilingi otak dan medula spinalis. Seluruh ruangan berhubungan satu
sama lain, dan tekanan cairan diatur pada suatu tingkat yang konstan.
Fungsi Bantalan Cairan Serebrospinal
Fungsi utamanya adalah untuk melindungi sistem saraf pusat (SSP) terhadap trauma.
Otak dan cairan serebrospinal memiliki gaya berat spesifik yang kurang lebih sama (hanya
berbeda sekitar 4%), sehingga otak terapung dalam cairan ini. Oleh karena itu, benturan pada
kepala akan menggerakkan seluruh otak dan tengkorak secara serentak, menyebabkan tidak satu
bagian pun dari otak yang berubah bentuk akibat adanya benturan tadi.
Pembentukan, Aliran dan Absorpsi Cairan Serebrospinal

2 | Page

Sebagian besar CSS (dua pertiga atau lebih) diproduksi di pleksus choroideus ventrikel
serebri (utamanya ventrikel lateralis). Sejumlah kecil dibentuk oleh sel ependim yang membatasi
ventrikel dan membran arakhnoid dan sejumlah kecil terbentuk dari cairan yang bocor ke
ruangan perivaskuler disekitar pembuluh darah otak (kebocoran sawar darah otak).
Pada orang dewasa, produksi total CSS yang normal adalah sekitar 21 mL/jam (500 mL/
hari), volume CSS total hanya sekitar 150 mL. CSS mengalir dari ventrikel lateralis melalui
foramen intraventrikular (foramen Monroe) ke venrikel ketiga, lalu melewati cerebral
aquaductus (aquaductus sylvii) ke venrikel keempat, dan melalui apertura medialis (foramen
Magendi) dan apertura lateral (foramen Luschka) menuju ke sisterna cerebelomedular (sisterna
magna). Dari sisterna cerebelomedular, CSS memasuki ruang subarakhnoid, bersirkulasi
disekitar otak dan medula spinalis sebelum diabsorpsi pada granulasi arachnoid yang terdapat
pada hemisfer serebral.
Sekresi Pleksus Koroideus
Pleksus koroideus adalah pertumbuhan pembuluh darah seperti kembang kol yang
dilapisi oleh selapis tipis sel. Pleksus ini menjorok ke dalam kornu temporal dari setiap ventrikel
lateral, bagian posteror ventrikel ketiga dan atap ventrikel keempat.
Sekresi cairan oleh pleksus koroideus terutama bergantung pada transpor aktif dari ion
natrium melewati sel epitel yang membatasi bagian luar pleksus. Ion- ion natrium pada waktu
kembali akan menarik sejumlah besar ion-ion klorida, karena ion natrium yang bermuatan positif
akan menarik ion klorida yang bermuatan negatif. Keduanya bersama sama meningkatkan
kuantitas osmotis substansi aktif dalam cairan serebrospinal, yang kemudian segera
menyebabkan osmosis air melalui membran, jadi menyertai sekresi cairan tersebut. Transpor
yang kurang begitu penting memindahkan sejumlah kecil glukosa ke dalam cairan serebrospinal
dan ion kalium dan bikarbonat keluar dari cairan serebrospinal ke dalam kapiler. Oleh karena itu,
sifat khas dari cairan serebrospinal adalah sebagai berikut: tekanan osmotik kira-kira sama
dengan plasma; konsentrasi ion natrium kira-kira sama dengan plasma; klorida kurang lebih 15%
lebih besar dari plasma; kalium kira-kira 40% lebih kecil; dan glukosa kira-kira 30% lebih
sedikit. Inhibitor carbonic anhidrase (acetazolamide), kortikosteroid, spironolactone, furosemide,
isoflurane dan agen vasokonstriksi untuk mengurangi produksi CSS.
3 | Page

Absorpsi Cairan Serebrospinal Melalui Vili Arakhnoidalis


Absorpsi CSS melibatkan translokasi cairan dari granulasi arachnoid ke dalam sinus
venosus otak. Vili arakhnoidalis, secara mikroskopis adalah penonjolan seperti jari dari membran
arakhnoid ke dalam dinding sinus venosus. Kumpulan besar vili-vili ini biasanya ditemukan
bersama-sama, dan membentuk suatu struktur makroskopis yang disebut granulasi arakhnoid
yang terlihat menonjol ke dalam sinus. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat bahwa
vili ditutupi oleh sel endotel yang memiliki lubang-lubang vesikular besar yang langsung
menembus badan sel. Telah dikemukakan bahwa lubang ini cukup besar untuk menyebabkan
aliran yang relatif bebas dari cairan serebrospinal, molekul protein, dan bahkan partikelpartikel
sebesar eritrosit dan leukosit ke dalam darah vena. Sebagian kecil diabsorpsi di nerve root
sleeves dan limfatik meningen. Walaupun mekanismenya belum jelas diketahui, absorpsi CSS ini
tampaknya berbanding lurus terhadap tekanan intra kranial (TIK) dan berbanding terbalik
dengan tekanan vena serebral (Cerebral Venous Pressure = CVP). Karena otak dan medula
spinalis sedikit disuplai oleh sistem limfatik, absorpsi melalui CSS merupakan mekanisme utama
untuk mengembalikan protein perivaskuler dan interstitiil ke dalam aliran darah.

Ruang Perivaskuler dan Cairan Serebrospinal


Pembuluh darah yang mensuplai otak pertama-tama berjalan melalui sepanjang
permukaan otak dan kemudian menembus ke dalam, membewa selapis pia mater, yaitu membran
yang menutupi otak. Pia mater hanya melekat longgar pada pembuluh darah, sehingga terdapat
sebuah ruangan, yaitu ruang perivaskuler, yang ada di antara pia mater dan setiap pembuluh
darah. Oleh karena itu, ruang perivaskuler mengikuti arteri dan vena ke dalam otak sampai
arteriol dan venula, tapi tidak sampa ke kapiler.
Fungsi Limfatik Ruang Perivaskuler
Sama halnya dengan di tempat lain dalam tubuh, sejumlah kecil protein keluar dari
parenkim kapiler ke dalam ruang interstitiil otak, karena tidak ada pembuluh limfe dalam
jaringan otak, protein ini meninggalkan jaringan terutama dengan mengalir bersama cairan yang
melalui ruang perivaskuler ke dalam ruang subarakhnoid. Untuk mencapai ruang subarakhnoid,
4 | Page

protein akan mengalir bersama cairan serebrospinal untuk diabsorpsi melalui vili arakhnoidalis
ke dlam vena-vena serebral. Ruang perivaskuler, sebenarnya, merupakan sistem limfatik yang
khusus untuk otak.
Selain menyalurkan cairan dan protein, ruang perivaskuler juga menyalurkan partikel asing dari
otak ke dalam ruang subarakhnoid. Misalnya, ketika terjadi infeksi di otak, sel darah putih dan
jaringan mati infeksius lainnya dibawa keluar melalui ruang perivaskuler.
Tekanan Cairan Serebrospinal
Tekanan normal dari sistem cairan serebrospinal ketika seseorang berbaring pada posisi
horizontal, rata-rata 130 mm air (10 mmHg), meskipun dapat juga serendah 65 mm air atau
setinggai 195 mm air pada orang normal.
Pengaturan Tekanan Cairan Serebsrospinal oleh Vili Arakhnoidalis
Normalnya, tekanan cairan serebrospinal hampir seluruhnya diatur oleh absorpsi cairan
melalui vili arakhnoidalis. Alasannya adalah bahwa kecepatan normal pembentukan cairan
serebrospinal bersifat konstan, sehingga dalam pengaturan tekanan jarang terjadi faktor
perubahan dalam pembentukan cairan. Sebaliknya, vili berfungsi seperti katup yang
memungkinkan cairan dan isinya mengalir ke dalam darah dalam sinus venosus dan tidak
memungkinkan aliran sebaliknya. Secara normal, kerja katup vili tersebut memungkinkan cairan
serebrospinal mulai mengalir ke dalam darah ketika tekanan sekitar 1,5 mmHg lebih besar dari
tekanan darah dalam sinus venosus. Kemudian, jika tekanan cairan serebrospinal masih
meningkat terus, katup akan terbuka lebar, sehingga dalam keadaan normal, tekanan tersebut
tidak pernah meningkat lebih dari beberapa mmHg dibanding dengan tekanan dalam sinus.
Sebaliknya, dalam keadaan sakit vili tersebut kadang-kadang menjadi tersumbat oleh
partikel-partikel besar, oleh fibrosis, atau bahkan oleh molekul protein plasma yang berlebihan
yang bocor ke dalam cairan serebrospinal pada penyakit otak. Penghambatan seperti ini dapat
menyebabkan tekanan cairan serebrospinal menjadi sangat tinggi.
Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal

5 | Page

Prosedur yang biasa digunakan untuk mengukur tekanan cairan serebrospinal adalah
sebagai berikut : Pertama, orang tersebut berbaring horizontal pada sisi tubuhnya, sehingga
tekanan cairan spinal sama dengan tekanan dalam ruang tengkorak. Sebuah jarum spinal
kemudian dimasukkan ke dalam kanalis spinalis lumbalis di bawah ujung terendah medula
spinalisdan dihubungkan dengan sebiuah pipa kaca. Cairan spinal tersebut dibiarkan naik pada
pipa kaca sampai setinggi-tingginya. Jika nilainya naik sampai setinggi 136 mm di atas tingkat
jarum tersebut, tekanannya dikatakan 136 mm air atau, dibagi dengan 13,6 yang merupakan berat
jenis air raksa, kira-kira 10 mmHg.

2.3 Infeksi Virus


2.3.1 Meningitis Viral
Anatomi meningea
Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh homeostasis
seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh. Otak juga
bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi. ingatan, pembelajaran motorik dan
segala bentuk pembelajaran lainnya. Otak dilindungi oleh kranium, meningea/selaput otak dan
LCS (Liquor CerebroSpinal). Meningea terdiri atas 3 lapisan, yaitu:
1) Duramater
Luar

: melapisi tengkorak

Dalam : membentuk falk serebri, falk serebelli, tentorium serebellin. Membentuk sinus
sagitalis/longitudinalis superior dan inferior.
2) Arakhnoid : Terdapat granulasi arackhnoid, dilalui LCS
3) Piamater : Melekat pada otak / sumsum tulang.
LCS (Liquor Cerebro Spinal) berada pada rongga-rongga otak (ventrikel) di dalam
ruang subarakhnoid, diproduksi oleh plexus khoroid. Pada sumsum tulang berada di kanalis
sentralis & ruang subarakhnoid. Sifat bening, alkali, tekanan 60 140 mm air. Berfungsi sebagai
buffer, bantalan fisik, nutrisi jaringan syaraf. Pemeriksaan LCS dilakukan dengan punksi Lumbal
(VL 1-2) dan punksi fontanel(4).
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah
leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat
6 | Page

dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang
jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi bermingguminggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang
tindih karena etiologinya sangat bervariasi(5).
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya
menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan penyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus dan Herpes Simplex Virus (HSV).
Meningitis viral merupakan inflamasi dari leptomeningen sebagai manifestasi dari
infeksi SSP. Istilah viral digunakan karena merupakan agen penyebab, dan penggunaan
meningitis saja mengimplikasikan tidak terlibatnya parenkim otak dan medula spinalis. Namun,
patogen virus dapat menyebabkan kombinasi dari infeksi yaitu meningoencephalitis atau
meningomielitis.
Pada meningitis viral, perjalanan klinis biasanya terbatas, dengan pemulihan komplit
pada 7-10 hari. Lebih dari 85% kasus disebabkan oleh enterovirus non polio; maka, karakteristik
penyakit, manifestasi klinis, dan epidemiologi menunjukkan infeksi enteroviral.
Etiologi:
Enteroviruses menyebabkan lebih dari 85% semua kasus meningitis virus. Mereka
merupakan keluarga dari Picornaviridae (pico untuk kecil, rna untuk asam
ribonukleat), dan termasuk echovirus, coxsackie virus A dan B, poliovirus, dan
sejumlah enterovirus. Nonpolio enterovirus merupakan virus yang sering, sama dekat

ya dengan prevalensi rhinoviruses (flu


Arboviruses menyebabkan hanya 5% kasus di Amerika Utara
Cacar: sejumlah keluarga dari Paramyxovirus, virus cacar merupakan agen pertama

dari meningitis dan meningoensefalitis.


Virus keluarga herpes: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, dan herpes virus manusia 6
secara kolektif menyebabkan sekitar 4% kasus meningitis viral, dengan HSV-2

menjadi penyerang terbanyak.


Lymphocytic choriomeningitis virus: LCMV masuk k edalam keluarga arenaviruses.
Saat ini adalah jarang penyebab meningitis, virus ditransmisikan ke manusia melalui
kontak dengan tikus atau ekskeresi mereka. Mereka berada pada resiko tinggi pada
7 | Page

pekerja laboratorium, pemilik binatang peliharaan, atau orang yang hidup dia area non

higienis.
Adenovirus: Adenovirus merupakan penyebab jarang dari meningitis pada individu
immunocompeten tetapi merupakan penyebab utama pada pasien AIDS, Infeksi dapat

timbul secara simultan dengan infeksi saluran nafas atas.


Campak: Morbili virus ini merupakan penyebab yang paling jarang saat ini.
Karakteristik ruam makulopapular membantu dalam diagnosis. Kebanyakan kasus
timbul pada orang usia muda di sekolah dan perkuliahan. Campak tetap merupakan
ancaman kesehatan dunia dengan angka penyerangan tertinggi dari infeksi yang ada;
eradikasi dari campak merupakan tujuan kesehatan masyarakat yang penting dari
WHO.

Patofisiologi Meningitis Viral(6)


Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari viral patogen yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada herpes viruses (HSV-1,
HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa enterovirus.
Pertahanan tubuh multiple mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi signifikan
secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan local, barier mukosa dan kulit, dan
blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada system organ awal (ie, respiratory atau
gastrointestinal mucosa) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer
memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan nodus lymph) jika
replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana
dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam CNS. Replikasi viral cepat tampaknya memainkan
peranan dalam melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam CNS tidak sepenuhnya dimengerti.
Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek natural
(area posttrauma dan tempat lainyang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat dalam bentuk
pleocytosis; polymorphonuclear leukocytes (PMNs) menyebabkan perbedaan jumlah sel pada
24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit
CSF telag dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam
melawan beberapa virus.
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke CNS dengan
transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah melalui
8 | Page

akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal frontal dan
lobus temporal anterior.
Manifestasi Klinis(6)
Riwayat Penyakit
Kebanyakan pasien melaporkan demam, sakit kepala, iritabilitasm nausea, muntah,

kaku leher, atau kelelahan dalam 18-36 jam sebelumnya.


Nyeri kepala hampir selalu ada dan seringkali dilaporkan dengan intensitas yang berat.
Bagaimanapun, deskripsi klasik dari sakit kepala terburuk dari hidup saya, ditujukan

kepada perdarahan sub arachnoid aneurisma, adalah tidak biasa


Gejala konstitusional lain adalah muntah, diare, batuk dan mialgia yang timbul pada

lebih 50% pasien.


Riwayat kenaikan temperature timbul pada 76-100% pasien yang datang untuk
mendapatkan perjatian medis. Pola yang sering adalah demam dengan derajat rendah
pada tahap prodromal dan kenaikan temperature yang lebih tinggi pada saat terdapat

tanda neurologis.
Beberapa virus menyebabkan onset cepat dari gejala diatas, sementara lainnya
bermanifest sebagai prodromal viral nonspesifik, seperti mialgia, gejala seperti flu, dan
demam derajat rendah yang timbul selama gejala neurologis sekitar 48 jam. Dengan

onset kaku kuduk dan nyeri kepala, demam biasanya kembali.


Pengambilan riwayat yang hati-hati dan harus termasuk evaluasi paparan kontak
kesakitan, gigitan nyamuk, debu, aktivitas outdoor pada daerah endemis penyakit lyme,
riwayat bepergian dengan kemungkinan terpapar terhadap tuberculosis, sama halnya
dengan penggunaan medikasi, penggunaan obat intravena, dan resiko penyebaran

penyakit menular seksual.


Bagian yang penting dari riwayat adalah penggunaan antibiotic sebelumnya, dimana
dapat mempengaruhi gambaran klinis meningitis bakterial.

Fisik
Penemuan fisik umum pada meningitis viral adalah sering untuk semua agen penyebab,
tetapi beberapa virus mempinyai manifestasi klinis unik yang dapat membantu
pendekatan diagnostic yang terfokus. Pembelajaran klasik mengajarkan bahwa trias
meningitis meliputi demam, rigiditas nuchal, dan perubahan status mental,
9 | Page

meskipun tidak semua pasien mempunyai gejala ini, dan nyeri kepala hampir selalu
timbul. Pemeriksaan menunjukkan tidak ada defiist neurologis fokal pada kebanyakan
kasus.
Demam lebih sering (80-100% cases) dan biasanya bervariasi antara 38C and 40C.
Rigiditas nuchal atau tanda lain dari iritasi meningea (tanda Brudzinski atau Kernig)
dapat terlihat lebih pada setengah pasien tetapi secara umum kurang berat dibandingkan
dengan meningitis bakterial.
Iritabilitas, disorientasi, dan perubahan status mental dapat terlihat.
Nyeri kepala lebih sering dan berat.
Photophobia secara ralatif adalah sering namun dapat ringan, Fonofobia juga dapat
timbul.
Kejang timbul pada keadaaan biasanya dari demam, meskipun keterlibatan dari
parenkim otak (encephalitis) juga dipertimbangkan, Encephalopathy global dan deficit
neurologis fokal adalah jarang tetapi dapat timbul. Refleks tendon dalam biasanya
normal tetapi dapat berat.
Tanda lain dari infeksi viral spesifik dapat membantu dalam diagnosis. Hal ini meliputi
faringitis dan pleurodynia pada infeksi enteroviral, manifestasi kulit seperti erupsi zoster
pada VZV, ruam maculopapular dari campak dan enterovirus, erupsi vesicular oleh
herpes simpleks, dan herpangina pada infeksi coxsackie virus. Infeksi Epstein Bar virus
didukung oleh faringitis, limfadenopati, cytomegalovirus, atau HLV sebagai agent
penyebab. Parotitis dan orchitis dapat timbul dengan campak, sementara kebanyakan
infeksi enteroviral dikaitkan dengan gastroenteritis dan ruam.
Pemeriksaan Penunjang(6)
Studi Laboratorium
Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda
neurologis abnormal untuk menyingkirkan lesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif
sebelum pungsi lumbal (LP). Kultur CSF tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri
atau piogen dari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari
meningitis bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul
aseptic. Hal berikut ini merupakan karakteristik CSF yang digunakan untuk mendukung
diagnosis meningitis viral:
10 | P a g e

Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000 x 109/L darah
telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan
aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung
sel biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pole CSF klasik meningitis
viral. Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana
mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan

sel; hal ini merupakan bukan merupakan atran yang absolute bagaimanapun.
Protein: Kadar protein CSF biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.

Tabel 1. Gambaran LCS pasien dengan meningitis(7)

Studi Pencitraan
o Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat termasuk CT
Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan gadolinium.
o CT scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi intrakranial.
Scan contrast harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan sepanjang
mening dan untuk menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural,
ataulesi lain. Secara alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium
dapat dilakukan.
o MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan patologi
intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering mempengaruhi basal frontal
dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.

Diagnosis Banding(6)
Acute Disseminated Encephalomyelitis
11 | P a g e

Aseptic Meningitis
Brucellosis
Cytomegalovirus Encephalitis
Herpes Simplex Encephalitis

Penatalaksanaan(6)
Perawatan Medis
Terapi untuk meningitis viral kebanyakan suportif. Istirahat, hidrasi, antipiretik, dan
medikasi nyeri atau anti inflamasi dapat diberikan jika diperlukan, Keputusan yang paling
penting adalah baik memberikan terapi antimikroba awal untuk meningitis bakteri
sementara menunggu penyebabnya untuk bisa diidentifikasi. Antibiotik intravena harus
diberikan lebih awal jika meningitis bakterial dicurigai. Pasien dengan tanda dan gejala dari
meningoensefalitis harus menerima asiklovir lebih awal untuk mencegah encephalitis HSV.
Terapi dapat dimodifikasi sebagai hasil dari pewarnaan gram, kultur dan uji PCR ketika
telah tersedia. Pasien dalam kondisi yang tidak stabil membutuhkan perawatan di critical
care unit untuk menjaga saluran nafas, pemeriksaan neurologis, dan pencegahan dari
komplikasi sekunder.
Enterovirus dan HSV keduanya mampu menyebabkan septic shock viral pada bayi baru
lahir dan bayi. Pada pasien muda ini, broad spectrum antibiotic dan asikloviar harus
diberikan secepatnya ketika diagnosis dicurigai. Perhatian khusus harus diberikan terhadap
cairan dan keseimbangan elektrolit (terutama natrum(, semenjak SIADH telah dilaporkan.
Restriksi cairan, diuretic, dan secara jarang infuse salin dapat digunakan untuk mengatasi
hiponatremia. Pencegahan terhadap infeksi sekunder dari traktus urinarius dan system
pulmoner juga penting untuk dilaksanakan
Perawatan Pembedahan
Tidak ada terapi pembedahan yang biasanya diindikasikan. Pada pasien yang jarang dimana
viral meningitis berkomplikasi pada hidrosefalus, prosedur pemisahan CSF, seperti
ventriculoperitoneal (VP) atau LP shunting, dapat dilakukan. Ventriculostomy dengan
system pengumpulan eksternal diindikasikan pada kasus jarang dari hidrosefalus akut.
Kadangkala biopsy mening atau parenkim untuk diagnosis definitif dari infeksi viral
dibutuhkan. Monitoring tekanan intrakranial, dibutuhkan untuk beberapa kasus ensefalitis,
biasanya dilakukan di tempat tidur.
Medikasi

12 | P a g e

Kontrol simptomatik dengan antipiretik, analgetik dan anti emetic biasanya itu semua yang
dibutuhkan dalam management dari meningitis viral yang tidak komplikasi.
Keputusan untuk memulai terapi antibakterial untuk kemungkinan meningitis bakteri adalah
penting; terapi antebakterial empiris untuk kemungkinan patogen harus dipertimbangkan
dalam konteks keadaan klinis. Asiklovir harus digunakan pada kasus dengan kecurigaan
HSV (pasien dengan lesi herpetic), dan biasanya digunakan secara empiris pada kasus yang
lebih berat yang komplikasinya encephalitis atau sepsis.
Agen Antiemetik: Agen ini digunakan dengan luas untuk mencegah mual dan muntah.
- Ondansetron (Zofran) Antagonis selektif 5-HT3-receptor yang menghentikan
serotonin di perifer dan sentral, Mempunyai efikasi pada pasien yang tidak
berespon baikterhadap anti emetik lain. Dewasa: 4-8 mg IV q8h/q12h. Pediatrik:
-

0.1 mg/kg IV lambat maximum 4 mg/dosis; dapat diulang q12h


Droperidol (Inapsine): Agen neuroleptik yang mengurangi muntah dengan
menghentikan stimulasi dopamine dari zona pemicu kemoreseptor. Juga
mempunyai kandungan antipsikotik dan sedative. Dewasa: 2.5-5 mg IV/IM q4-6

prn. Pediatrik: 6 bulan: 0.05-0.06 mg/kg/dose IV/IM q4-6 prn


Agen Antiviral: Terapi anti enteroviral masih dibawah investigasi untuk meningitis viral
dan dapat segera tersedia. Regimen anti HIV dan anti tuberculosis tidak dibicarakan
disini, tetapi sebaiknya digunakan jika infeksi ini dengan kuat mendukung secara klinis
atau telah dikonfirmasi dengan pengujian. Terapi empiris dapat dihentikan ketika
penyebab meningitis viral telah tegak dan meningitis bakterial telah disingkirkan
- Acyclovir (Zovirax): Untuk diberikan secepatnya ketika diagnosis herpetic
meningoencephalitis dicurigai. Menghambat aktivitas untuk kedua HSV-1 and
HSV-2. Dewasa: 30 mg/kg/d IV dibagi q8h for 10-14 hari. Pediatrik: 30 mg/kg/d IV
dibagi q8h untuk 10 hari.

Prognosis(6)
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuele
atau risiko kematian. Adanya kejang dalam suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuele neurologis atau mortalitas.
2.3.2 Ensefalitis Viral
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikro-organisme.
Ensefalitis ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak. Dalam prakteknya di
13 | P a g e

klinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis dan temuantemuan epidemiologis, tanpa bahan histologis.(3)
Adapun etiologi dari ensefalitis ini bermacam-macam, seperti disebutkan sebagai berikut (3,8)
I. Infeksi-infeksi Virus
A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia
1. Gondongan Sering, kadang-kadang bersifat ringan.
2. Campak Dapat memberikan sekuele berat.
3. Kelompok virus entero
Sering pada semua umur, keadaannya lebih berat pada neonatus.
4. Rubela Jarang; sekuele jarang, kecuali pada rubela congenital
5. Kelompok Virus Herpes
a. Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : relatif sering; sekuele sering ditemukan pada
neonatus menimbulkan kematian.
b. Virus varicela-zoster; jarang; sekuele berat sering ditemukan.
c. Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat memberikan sekuele lambat
pada CMV congenital
d. Virus EB (mononukleosis infeksiosa) : jarang
e. Kelompok virus poks
Vaksinia dan variola ; jarang, tetapi dapat terjadi kerusakan SSP berat.
B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda
-Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk
-Caplak : epidemi musiman tergantung pada ekologi vektor serangga.
C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.
-Rabies : saliva mamalia jinak dan liar
-Virus herpes Simiae (virus B) : saliva kera
-Keriomeningitis limfositik : tinja binatang pengerat
II. Parainfeksiosa-pascainfeksiosa, alergi
Penderita-penderita dimana agen-agen infeksi atau salah satu komponennya berperan
sebagai etiologi penyakit, tetapi agen-agen infeksinya tidak dapat diisolasi secara utuh in vitro
dari susunan syaraf. Diduga pada kelompok ini, kompleks antigen-antibodi yang diperantarai
oleh sel dan komplemen, terutama berperan penting dalam menimbulkan kerusakan jaringan.
III. Penyakit-penyakit virus manusia yang lambat.
Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa berbagai virus yang didapatkan pada
awal masa kehidupan, yang tidak harus disertai dengan penyakit akut, sedikit banyak ikut
berperan sebagian pada penyakit neurologis kronis di kemudian hari :
Panensefalitis sklerosis sub akut (PESS); campak; rubella
Penyakit Jakob-Crevtzfeldt (ensefalitis spongiformis)
Leukoensefalopati multifokal progresif

14 | P a g e

IV. Kelompok kompleks yang tidak diketahui


Contoh : Sindrom Reye, Ensefalitis Von Economo, dan lain-lain.
V. Infeksi-infeksi Non virus
Penyebab ensefalitis yang terpenting adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung
menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Sesuai dengan jenis virus, ensefalitis diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: (3)
1. Ensefalitis virus sporadic
Virus yangbersifat sporadik adalah virus rabies, Herpes Simpleks Virus (HSV), Herpes Zoster,
mumps, limfogranuloma dan limphocytic choriomeningitis yang ditularkan melalui gigitan tupai
dan tikus.
2. Ensefalitis virus epidemic
Golongan virus ini adalah virus entero seperti poliomyelitis, virus Coxsacki, virus ECHO, serta
golongan virus ARBO.
3. Ensefalitis pasca infeksi
Pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinasi, dan jenis-jenis virus yang
mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.
Karena terdapat banyak penyebab ensefalitis, maka tidak terdapat pola epidemiologi yang sama.
Tetapi sebagian besar kasus yang terjadi pada musim panas dan musim gugur, mencerminkan
adanya virus arbo dan virus entero sebagai etiologi. Ensefalitis yang disebabkan karena virus
arbo terjadi dalam bentuk epidemik, dengan batas wilayah yang ditentukan oleh batas vektor
nyamuk serta prevalensi binatang reservoar alamiah. Kasus-kasus enesefalitis yang sporadis
dapat terjadi setiap musim, pertimbangan epidemiologis yang harus ditinjau ulang dalam usaha
mencari agen penyebab meliputi wilayah geografis, iklim, pemaparan oleh binatang, air,
manusia, dan bahan makanan, tanah, manusia, dan faktor-faktor hospes.
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Dari penderita yang hidup, 20-40%
mempunyai komplikasi atau gejala sisa.
Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi jaringan otak.
Scara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan informasi epidemiologik.
Hal-hal penting dalam menegakkan diagnosis ensefalitis adalah: (8)

15 | P a g e

1. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejala-gejala
kerusakan SSP.
2. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit peningkatan
protein (normal pada ESL).
3. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah)
4. Identifikasi serum antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3-4 minggu
secara terpisah.
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan : (8)
a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan,
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal serebral/serebelar,
adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir terhadap penyakit melalui kontak,
pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah endemik dan lain-lain (Nelson, 1992)
b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan sebaliknya
anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.
-

Gangguan kesadaran
Hemiparesis
Tonus otot meninggi
Reflek patologis positif
Reflek fiisiologis meningkat
Klonus
Gangguan nervus kranialis
Ataksia

c. Pemeriksaan laboratorium
-

Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan memberikan

respons terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus umumnya cairan serebro spinal
jernih, jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu tiap mili meter kubik, seringkali
sel-sel polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna (Nelson, 1992). Kadar protein meningkat
sedang atau normal, kadar protein mencapai 360 mg% pada ensefalitis yang disebabkan virus
herpes simplek dan 55 mg% yang disebabkan oleh toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan
virus 80% positif.
Penderita

baru

dengan

kemungkinan

ensefalitis

harus

dirawat

inap

sampai

menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan fungsi


organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau

16 | P a g e

parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah.
Tata laksana yang dikerjakan sebagai berikut: (8)
1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya berat.
Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur)
dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri
dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena dengan
dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam. Dapat juga
dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari
jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama.
5. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis bakterial), maka
harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi
virus herpes simplek diberikan Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari
selama 10 hari. Jika terjadi toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga
ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan pengecualian
penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes simplek, maka
pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas
berbagai cara pengobatan yang dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif.
6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk mengantisipasi
kebutuhan pernapasan buatan
Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat
dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem
kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap.
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus
17 | P a g e

maupun gangguan mental sering terjadi Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus,
epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat.(8)
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan.
Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita.(8)
2.3.2.1 Ensefalitis Herpes simpleks (3,9)
Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan
sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas. Neonatus masih
mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat
mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi
pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali.
Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks atau
apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes
genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan sebagian dari
manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di hepar dan glandula
adrenalis.
Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi
reaktivitasi dari infeksi yang latent. Dalam hal tersebut virus herpes simpleks berdiam didalam
jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin digangglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang
bangkit.
Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang pernah disebut
diatas, yaitu penyinaran ultraviolet dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet dapat terjadi
secara iatrogenik atau sewaktu berpergian ke tempat-tempat yang tinggi letaknya.
Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark
iskemik dengan infiltrasi limpositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Didalam nukleus sel
saraf terdapat inclusion body yang khas bagi virus herpes simpleks.
Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan ensefalitis
primer lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks ialah
progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah-muntah.
18 | P a g e

Kemudian timbul acute organic brain syndrome yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum
koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat timbul sejak
permulaan penyakit. Pada fungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer dengan eritrosit.
Ada 2 type dari herpes simplex virus (HSV) infections HSV type 1 (HSV-1) menyebabkan
cold sores ( menyerupai jagung atau gandum semacam tetes) atau fever blisters di sekitar mulut.
HSV type 2 (HSV-2) menyebabkan genital herpes. HSV 1 adalah sangat penting menyebabkan
ensefalitis sporadic yang fatal di united states tetapi ini juga sangat jarang kira-kira 2 kasus
terjadi tiap juta orang setiap tahunnya.
Ensefalitis herpes simpleks (EHS) disebabkan oleh virus herpes simpleks dan merupakan
ensefalitis yang paling sering menimbulkan kematian. Angka kematian 70% bila tidak diobati.
Keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simpleks tergantung pada diagnosis dini dan waktu
memulai pengobatan. Virus herpes simpleks tipe I umumnya ditemukan pada anak, sedangkan
tipe II banyak ditemukan pada neonatus.
Asiklovir harus diberikan sesegera mungkin walaupun hanya secara empirik, bila ada dugaan
ensefalitis herpes simpleks berdasarkan penampilan klinis dan gambaran laboratorium. Asiklovir
memiliki toksisitas minimal.
Manifestasi Klinis
Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut. Fase prodromal menyerupai
influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis. Empat puluh persen kasus datang
dalam keadaan komat atau semi-koma. Manifestasi klinis juga dapat menyerupai meningitis
aseptik
Manifestasi klinis tidak spesifik, karena itu diperlukan ketrampilan klinis yang tinggi.
Umumnya dipertimbangkan EHS bila dijumpai demam, kejang fokal, dan tanda neurologis
seperti hemiparesis dengan penurunan kesadaran yang progresif.
Pemeriksaan laboratorium

Gambaran daerah tepi tidak spesifik

Pemeriksaan cairan likuor memperlihatkan jumlah sel meningklat (90%) yang berkisar
antara 10-1000 sel/mm3. awalnya sel polimorfonuklear dominan, tetapi kemudian

19 | P a g e

berubah menjadi limfositosis. Protein dapat meningkat sampai 50-2000 mg/l dan
glukosa dapat normal atau menurun

EEG memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu periodic lateralizing epileptiform


discharge atau perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal

Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik,
mirip gambaran disfungsi umum otak

CT kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah timbulnya gejala neurologis,
kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal

T2-weight MRI dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling cepat dua
hari setelah munculnya gejala

PCR likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat.
PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap
positif selama dua minggu atau lebih.

2.3.2.2 Ensefalitis Arbo-virus (3)


Arbovirus atau lengkapnya arthropod-borne virus merupakan penyebab penyakit demam
dan adakalanya ensefalitis primer. Virus tersebut tersebar diseluruh dunia. Kutu dan nyamuk
dimana virus itu berbiak menjadi penyebarannya.
Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus ialah perjalanan penyakit yang bifasik. Pada
gelombang pertama gambaran penyakitnya menyerupai influensa yang dapat berlangsung 4-5
hari. Sesudahnya penderita mereka sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul
kembali. Dan demam ini merupakan gejala pendahulu bangkitnya manifestasi neurologik, seperti
sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi dan acute organic brain syndrome.
2.4 Infeksi Bakteri pada Susunan Saraf
2.4.1 Meningitis Bakterial Akut (3,8)
Meningitis bakterial adalah infeksi purulen

ruang subarakhnoid. Biasanya akut,

fulminan, khas dengan demam, nyeri kepala, mual, muntah, dan kaku nukhal. Koma terjadi
pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 20 % kasus,
dan palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang tidak ditindak hampir selalu fatal.
CSS secara

klasik memperlihatkan leukositosis polimorfonuklir, peninggian protein, dan


20 | P a g e

penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS memperlihatkan organisme penyebab pada 75
% kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu untuk melakukan tes
sensitifitas antibiotika

terhadap mikroba. Penurunan kesadaran, terutama bila berhubungan

dengan edema papil atau defisit neurologis fokal, mengharuskan dilakukannya CT scan
sebelum melakukan pungsi lumbar untuk menyingkirkan lesi massa atau hidrosefalus.
Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi
pungsi

lumbar, tentunya dengan pengetahuan

yang

baik tentang

herniasi serta

penanggulangannya. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan teliti daerah inflamasi


berdekatan seperti otitis dan sinusitis dan mencari etiologi bakteremia seperti endokarditis.
Kultur darah mungkin positif.
Penelitian binatang memperlihatkan etiologi primer meningitis
leptomeningeal bakteri

malalui

darah yang berkoloni

bakterial adalah invasi

dimukosa naso-faring.

Patogen

meningeal tersering adalah bakteria yang berkapsul. Setelah membentuk koloni dinasofaring,
bakteri berkapsul melintas epitel dan membuat jalan kealiran darah. Kapsul menghambat
fagositosis oleh neutrofil,

jadi

patogen

meningeal memperlihatkan kemampuan

mempertahankan bakteremia transien. Mekanisme selanjutnya dimana bakteri dalam darah


mencapai lepto-mening dan ruang subarakhnoid belum begitu diketahui.
Sumber lain meningitis bakterial adalah perluasan langsung dari infeksi otorinologis, walau
kejadiannya jelas dikurangi oleh terapi dini antibiotic yang efektif

terhadap otitis atau

sinusitis. Jarang, meningitis disebabkan inokulasi langsung pada cedera penetrating.


Tindakan terhadap meningitis akut, tergantung sumber primer, usia pasien, organisma
penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus diarahkan pada infeksi CSS maupun
sumber primer. Meningitis yang terjadi sekunder terhadap bakteremia dan perluasan langsung
otorinal

cenderung disebabkan organisme yang biasa berkembang dinasofaring. Terdapat

pengaruh usia yang jelas pada meningitis oleh organism tersebut.

Meningitis setelah cedera

otak traumatika serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS, paling sering
diakibatkan

oleh

S.pneumoniae. Meningitis yang terjadi setelah luka penetrasi biasanya

disebabkan stafolikokal, streptokokal, atau organism gram negatif.


Terapi empiris harus diperbaiki bila organism penyebab sudah dikenal. Penisilin G dan
ampisilin diketahui mempunyai manfaat yang sama pada kebanyakan infeksi S.pneumoniae dan
N.meningitidis. Dengan meningkatnya H.influenzae yang membentuk beta-laktamase, saat ini
21 | P a g e

sekitar 25 %, menyebabkan pemakaian ampisilin dan kloramfenikol sebagai terapi empiris.


Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan manfaat

dan sekarang dipakai sebagai terapi

terpilih pada neonatus dan anak-anak. Walau sefuroksim, sefalo-sporin generasi kedua, pernah
umum digunakan untuk

H.influenzae,

tidak

lagi dianjurkan untuk

infeksi SSP karena

lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi
sistemik. L. monocytogenes tidak sensitive sefalosporin dan terapi yang dianjurkan adalah
ampisilin atau penisilin G. Pilihan lain adalah trimetoprim sulfa-metoksazol. Pasien dengan
meningitis S. aureus harus ditindak

dengan nafsilin atau

oksasilin, dengan vankomisin

dicadangkan untuk strain resisten metisilin dan S. epidermidis. Lamanya terapi meningitis,
umumnya berdasar empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk patogen meningeal utama, dan
21 hari untuk infeksi basil gram negatif. Tindakan terhadap meningitis basiler gram negative
mengalami revolusi dengan adanya sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan
seftriakson dapat menembus CSS dan mencapai konsentrasi terapeutik hingga memungkinkan
terapi terhadap meningitis yang sebelumnya memerlukan terapi secara intratekal; 78-94 %
tingkat kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim, dan

seftazidim

terbukti

bermanfaat. Sefalosporin generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan sefoperazon, belum dinilai
dengan

baik.

Dianjurkan seftazidim dicadangkan untuk

pengobatan P.aeruginosa dalam

kombinasi dengan aminoglikosida. Kegagalan regimen ini mengharuskan

pemberian

aminoglikosida intratekal atau intraventrikuler untuk memperkuat terapi.


Modifikasi inflamasi ruang subarachnoid dengan agen

anti inflamatori mungkin

memperkecil akibat meningitis bakterial. Penelitian mutakhir terapi tambahan deksametason


pada bayi dan

anak-anak dengan meningitis

bakterial

memperlihatkan

bahwa sekuele

neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan pendengaran, menurun
pada pemberian deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari pertama terapi, dan
tidak memperberat efek eradikasi infeksi. Saat ini penggunaan deksametason dianjurkan pada
pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan.

2.4.2 Meningitis Tuberkulosa (8)


22 | P a g e

Penyakit ini merupakan meningitis yang sifatnya subakut atau kronis dengan angka kematian
dan kecacadan yang cukup tinggi. Menurut pengamatan, meningitis tuberkulosis merupakan
38,5% dari seluruh penderita dengan infeksi susunan saraf pusat yang dirawat di bagian Saraf RS
Dr Soetomo.
Manifestasi klinis :
Penulis menemukan adanya panas (94%), nyeri kepala (92%), muntah muntah, kejang dan
pemeriksaan neurologik menunjukkan adanya kaku tengkuk, kelumpuhan saraf kranial (terutama
N III, IV, VI, VII) (30%), edema papil dan kelumpuhan ekstremitas (20%) serta gangguan
kesadaran.
Diagnosis :
Diagnosis Meningitis tuberkulosis ditegakkan atas dasar :
1. Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti kaku tengkuk, tanda Kernig dan Brudzinski.
2. Pemeriksaan CSS menunjukkan :
-- peningkatan sel darah putih terutama limfosit
-- peningkatan kadar protein
-- penurunan kadar glukosa
3. Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :
-- ditemukannya kuman tuberkulosis pada pengecatan dan pembiakan CSS
-- kelainan foto toraks yang sesuai dengan tuberculosis
-- pada anamnesis kontak dengan penderita tuberkulosis aktif
Stadium : Pembagian klinis ke dalam 3 stadium :
-- Stadium I : kesadaran penderita baik disertai rangsangan selaput otak tanpa tanda neurologik
fokal atau tanda hidrosefalus.
-- Stadium II : didapatkan kebingungan dengan atau tanpa disertai tanda neurologis fokal
misalnya kelumpuhan otot mata bagian luar atau adanya hemiparesis.
-- Stadium III : penderita dengan stupor atau delirium dengan hemiparesis/ paraparesis.
Pengobatan :
Sediaan OAT:
Rifampisin : 10 mg/kgBB/hari po.
Isoniazid

: 5 mg/kgBB/hari po.

Pirazinamid : 25 mg/kgBB/hari po; max 2 g/hari.


Etambutol : 20 mg/kgBB/hari po; max 1,2 g/hari
Streptomisin : 20 mg/kgBB/hari im.

23 | P a g e

OAT Kombo
Rimstar

; Rifampisin 150 mg, INH 75 mg, Pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg.

Combipack : Rifampisin 150 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg.
Lama pemberian : 2 R-H-Z-E/S + 7-10 R-H-Z
:kshlkshlSJHLsjh;LSJLK;AKAK
2.4.3 Abses Serebri (8)
Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas tegas didalam parenkhima otak.
Perjalanan

waktu dan perubahan

yang terjadi selama pembentukan

abses

pada anjing

dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak pada pusat meterial yang nekrotik,
dikelilingi zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskularisasi
laun terbentuk

periferal dan lambat

cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir sebagai

kapsul berbentuk tegas. Apakah

serebritis menjadi abses yang berkapsul tergantung pada

interaksi pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitema imun baik,
proses sejak infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2 minggu. Daerah
terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah yang kurang vaskuler yang menghadap
ventrikel; karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan ruptur ventrikuler dan
kematian merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala.
Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan dengan efek massa. Nyeri kepala,
defisit neurologis fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam terjadi pada 50 %
dari waktu, namun mungkin tidak ada atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang terjadi pada
25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan pergeseran garis tengah umum terjadi;
karenanya pungsi lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang 10 % kasus.
Abses
bakteriologi

otak

umumnya

terjadi

sering menunjukkan

sekunder

terhadap infeksi

ditempat

sumber primer. Seperti empiema

lain,

dan

subdural, perluasan

intrakranial langsung dari sinus paranasal atau infeksi telinga adalah etiologi tersering. Lesi
ini adalah khas soliter dan ditemukan dilobus frontal pada sinusitis frontoetmoid, dilobus
temporal pada sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal pada infeksi otologis.
Abses otak multipel menunjukkan penyebaran hematogen dari sumber jauh dan infeksi
sistemik yang umum seperti endokarditis bakterial, kelainan jantung kongenital sianotik,
24 | P a g e

pneumonia,

dan divertikulitis

harus

dicari.

Penyebaran

hematogen, terutama dari

endokarditis, mungkin berhubungan dengan aneurisma intrakranial piogenik.


Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak penetrating adalah penyebab lain dari
abses. Fragmen tulang yang belum dibuang serta debris lainnya umum dijumpai pada pasien
dengan infeksi otak traumatika.
Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan meningitis
merupakan faktor

bakterial,

namun

predisposisi pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya berkaitan

dengan meningitis Sitrobakter atau Proteus neonatal. Sebaliknya abses otak sering dijumpai
pada pasien dengan immunitas yang terganggu sekunder atas penggunaan steroid, kelainan
limfoproliferatif, dan transplantasi organ, dan absesnya cenderung multipel.
Organisme yang paling sering dijumpai pada abses otak adalah Streptokokus, Stafilokokus,
dan Bakteroides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus. Terapi antibiotik empiris
berdasar lokasi lesi dan sumber infeksi yang sudah dikenal, namun beratnya penyakit serta
sering terjadinya infeksi yang tidak terduga menyebabkan dianjurkannya antibiotik jangkauan
luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob sebagai terapi empiris pada semua kasus.
CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak abses otak. Karena memberikan
deteksi yang dini dan memberikan lokalisasi yang akurat, CT scan paling bertanggungjawab
atas penurunan angka kematian dari 30-50 % kasus menjadi kurang dari 15 % dalam dua
decade terakhir.
Tujuan

terapi

adalah memastikan

segera

mikroba yang

bertanggung-jawab serta

sensitifitas antibiotik, pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan efek massa segera,
dan mengurangi edema otak. Pemberian kortikosteroid kontroversial. Selama serebritis dan
tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko bedah tinggi dengan abses kecil dan
organisme penyebab diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral mungkin cukup.
Diluar itu harus dilakukan drainasi bedah terhadap material purulen baik dengan aspirasi
maupun eksisi disertai antibiotika paling tidak 4 minggu. Operasi akan mengurangi efek
massa dan karenanya mengurangi aspek paling kritis dan berbahaya jenis infeksi ini. Operasi
juga akan

menunjukan organisme penyebab pada 60-80 % kasus, memungkinkan biakan

dapat dilakukan dengan teliti baik untuk organisme aerob maupun anaerob. Dianjurkan
tidak memberikan antibiotik prabedah bila operasi

dapat dilakukan segera karena kultur

steril bisa terjadi. Walau eksisi bedah memperlihatkan penurunan angka rekurensi, sekarang
25 | P a g e

banyak yang menganjurkan aspirasi abses otak stereotaktik yang dituntun ultrasonografi atau
CT scan, dan mencadangkan eksisi untuk lesi soliter dan superfisial, lesi yang mengandung
benda asing, atau gagal dengan aspirasi.
2.4.5 Abses Epidural Kranial (8)
Infeksi intrakranial terbatas diruang epidural

adalah komplikasi

yang jarang dari

kontaminasi jaringan epidural baik traumatika atau operatif. Lebih sering diakibatkan oleh
perluasan osteomielitis berdekatan. Bila dura intak, infeksi jarang meluas secara transdural.
Tindakannya adalah drainasi, debridemen dan antibiotik sistemik.
Abses epidural tulang belakang lebih sering dan biasanya memerlukan bedah gawat
darurat. Khas dengan demam, nyeri tulang belakang lokal, dan progresi yang cepat dari defisit
neurologis. Nyeri radikuler serta mielopati sering terjadi dalam beberapa hari sejak gejala
awal. Kebanyakan abses epidural

disebabkan perluasan lokal dari osteomielitis tulang

belakang dan jarang melalui penyebaran hematogen dari infeksi jauh. CSS memperlihatkan
peninggian kadar protein yang jelas dan pleositosis ringan. Mielogram atau MRI menampilkan
perluasan massa epidural. Organisme penyebab
Streptococcus sp.

tersering adalah S. aureus dan terkadang

Basil gram negatif sering diisolasi dari pecandu obat

intravena.

Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab berupa laminektomi segera serta drainasi


abses diikuti terapi antibiotika spesifik jangka panjang. Pemulihan fungsi neurologi langsung
berhubungan dengan lama dan beratnya gangguan sebelum operasi.
2.4.6 Abses Subdural Kranial (8)
Empiema subdural, infeksi purulen ruang subdural, terjadi karena perluasan langsung
melalui mening saat meningitis pada neonatus dan bayi, atau sebagai komplikasi sinusitis
paranasal atau otitis pada anak dan dewasa muda. Jarang secara hematogen dari infeksi jauh,
dan kontaminasi langsung dari trauma pernah dilaporkan. Diagnosis didasarkan pada temuan
klinis dan radiografis. Nyeri kepala, demam, dan

meningismus merupakan keluhan yang

umum dan dapat timbul sejak 1-8 minggu sebelumnya. Kejang dan defisit fokal juga biasa
terjadi. CT scan dan MRI memperlihatkan koleksi subdural; namun massa mungkin isodens
pada CT scan, hingga memerlukan penguatan zat kontras agar jelas terlihat. Pencitraan juga
berguna dalam mendiagnosis infeksi sinus atau mastoid penyebab. Risiko pungsi lumbar pada
26 | P a g e

penderita

yang

diduga

memiliki

massa

intracranial mengharuskan

dibatalkankannya

tindakan ini hingga CT scan memastikan tidak adanya efek massa intrakranial. Analisis CSS
jarang sebagai diagnostik, namun bisa menampakkan perubahan inflamatori nonspesifik.
Sumber otorinologis empiema subdural biasanya disebabkan streptokoki, stafilokoki dan
koki anaerob. Kelainan sinus paranasal adalah faktor etiologi yang paling sering pada literatur
barat. Sekali ruang

subdural terkena, infeksi akan menyebar diatas konveksitas otak serta

kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian. Penyebaran infratentorial terjadi pada 3-10 %
infeksi, selalu

sekunder dari perluasan otitis.

Akumulasi

pus sering

cukup

untuk

menimbulkan massa intrakranial. Reaksi inflamasi hebat memacu pembengkakan dan edema
otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis cepat, sering dengan defisit fokal, koma
dan mati.
Empiema subdural sekunder terhadap meningitis umumnya bilateral dan kurang fulminan
dibanding yang sekunder terhadap infeksi otorinologis. H.influenza adalah organisme utama;
namun empiema S.pneumonia juga sering dilaporkan. Hidrosefalus komunikating bisa terjadi
karena resorpsi diatas konveksitas otak terganggu oleh infeksi.
Sebelum ditemukan penisilin, empiema subdural selalu fatal. Dengan antibiotika sistemik
dan drainasi bedah, tingkat mortalitas 25 %, dengan outcome buruk sangat tergantung pada
tingkat kesadaran sebelum tindakan dan ketidakmampuan mengetahui organism patogenik.
Bannister menganjurkan kraniotomi primer dengan bukaan luas, eksplorasi subdural agresif,
dan debridemen yang baik dari material purulen material dari permukaan otak. Laporan
mutakhir memperlihatkan pengurangan outcome yang buruk dan mortalitas secara bermakna
pada tindakan kraniotomi dibanding dengan drainasi bur hole.
Sumber infeksi harus ditindak agresif, drainasi sinus dan mastoid sering diperlukan.
Antikonvulsan profilaktik dianjurkan karena insidens yang tinggi dari kejang.
tindakan

nonbedah

Keberhasilan

pernah dilaporkan dengan mencoba terapi antibiotik saja pada pasien

dengan status neurologis utuh; pemeriksaan neurologis normal; dan lesi tunggal dan terbatas
pada CT scan.
Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya timbul dari ekstensi transdural lokal
dari osteomielitis tulang belakang, atau melalui arakhnoid pada meningitis. Kompresi kord
tulang belakang dan mielitis transversa mungkin terjadi. Tindakan berupa drainasi emergensi
melalui laminektomi serta pemberian antibiotik jangka lama.
27 | P a g e

2.4.7 Efusi Subdural (3)


Transudat yang tertimbun dibawah dura dinamakan efusi subdural. Transudat ini merupakan
komplikasi dari meningitis, terutama meningitis H.Influenza. keadaan tersebut harus dicurigai
apabila demam dan kaku kuduk sudah mereda tetapi penderita tetap memperlihatkan kesadaran
dan keadaan umum yang belum membaik. Karena lokalisasinya, korteks serebri dapat terangsang
oleh efusi itu dan menimbulkan epilepsy fokal. Disamping itu tentunya gejala-gejala tekanan
intracranial yang mininggi dapat ditemukan juga.
2.4.9 Abses Epidural Spinal (3)
Duramater tulang belakang terpisah dari arkus vertebra oleh jaringan pengikat yang longggar.
Jaringan tersebut seolah-olah menyediakan ruang untuk kuman yang dapat membentuk abses.
Karena itu, manifestasi abses epidural spinalis yang mencerminkan efek proses desak ruang dari
sisi posterior.
Factor etiologi dan presipitasi yang penting bagi abses epidural yang akut ialah diabetes
mellitus dan infeksi Staphylococcus aureus yang berupa bisul di kulit atau osteomyelitis pada
korpus, lamina atau pedikel tulang belakang. Yang paling sering terkena adalah bagian torakal.
Bagi jenis yang kronik, spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit primernya.
Tergantung pada lokasi abses epidural, maka paraplegi dengan deficit sensorik akan
berkembang secara berangsur-angsur. Kompresi medula spinalis mulai dengan nyeri tulang
belakang, kemudian nyeri radikuler, dan paraplegia akan tibul sedikit demi sedikit dengan
gangguan perasaan getar, gerak, dan posisi sebagai gejala dininya. Pemeriksaan penunjang untuk
menentukan diagnosis yang penting meliputi kultur darah dan MRI medulla spinalis. Bila MRI
tidak memungkinkan maka bisa dilakukan CT myelography. Lumbal punksi dikontraindikasikan
pada pasien dengan kecurigaan abses epidiral spinal ini karena dikhawatirkan dapat
menyebarkan materi purulen kedalam ruang subarachnoid.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi pengobatan medis dan pengobatan bedah. Terapi
medis meliputi pemberian antibiotic yang adekuat dan harus diberikan sedini mungkin. Durasi
dari pengobatan ini biasanya mencapai 3-4 minggu. Karena agen yang biasa menginfeksi ialah
S.aureus, maka terapi yang diberikan ialah dari golongan penicillin, cephalosporin, atau
vancomycin. Contoh-contoh preparat yang digunakan ialah Ceftriaxone (Rocephin), Nafcillin
(Unipen), Cefazolin (Ancef, Kefzol, Zolicef), Vancomycin (Vancocin).
28 | P a g e

Terapi bedah yang biasa digunakan ialah dekompresi pada tulang belakang dan drainase
abses, indikasi terapi pembedahan ini ialah adanya peningkatan deficit neurologik, rasa sakit
menjadi-jadi dan demam yang menetap, serta leukositosis. Keberhasilan terapi dilaporkan
dengan menggunakan kombinasi antara aspirasi abses dan terapi antibiotic yang adekuat.
Komplikasi yang biasa terjadi pada cedera spinal meliputi disfungsi kandung kemih,
decubiti, supine hypertension, sepsis berulang, dan lain sebagainya. Prognosis pada pasien
dengan penyakit ini bervariasi, bergantung pada onset dan derajat penyakit pada saat pertama
kali ditemukan.
2.4.10 Abses Subdural Spinal (3)
Abses ini jarang dijumpai. Bila ada, gejala-gejalanya juga sukar dibedakan dari abses
epidural spinal. Orang-orang yang mendapatkannya biasanya juga penderita diabetes mellitus
yang mempunyai bisul atau infeksi fokal lainnya.

2.7.3 Toksoplasmosis (3)


Toxoplasmosis gondii merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi
asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada ODHA. Toxoplasmosis
pada ODHA terbanyak disebabkan oleh reaktivasi laten. Siklus hidup T. gondii sangat kompleks.
Inang definitifnya adalah kucing. Sedangkan inang perantaranya adalah tikus, kambing, sapi,
babi, unggas, dan hewan ternak lainnya. Pada manusia infeksi T. gondii melalui makanan dapat
terjadi melalui dua mekanisme, yaitu makanan yang tercemar ookista yang berasal dari tinja
kucing dan melalui daging yang mengandung kista jaringan akibat kurang matang dimasak.
Serangga seperti kecoa dan lalat juga dapat mencemari makanan dengan ookista. Siklus hidup
toksoplasma ada 5 tingkat: Fase proliferative, stadium kista, fase schizogoni dan gametogoni dan
fase ookista. Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista.
Gejala Toksoplasmosis
Perjalanan penyakit ET biasanya berlangsung subakut. Keluhan dan gejala klinis
berkembang secara progresif dalam kurun waktu 1-4 minggu. Pada sepertiga kasus ditemukan
awitan akut. Seringkali secara klinis dapat diduga diagnosis ET. Sakit kepala, penurunan
kesadaran, dan gangguan perilaku dijumpai pada 50-75% kasus. Demam dijumpai pada 40-50%
kasus. Defisit neurologis fokal dijumpai sebanyak 80%. Hemiparese merupakan deficit lokal
yang paling sering dijumpai, ditemukan sebanyak 40-50%. Kejang sebagai gejala utama
29 | P a g e

dijumpai pada 15-30% kasus. Gejala lain adalah ataksia, parese saraf cranial, afasia,
parkinsonism, korea-atetosis, dan gangguan lapang pandang
Diagnosis Toksoplasmosis
Diagnosis presumtif berdasarkan gejala klinis neurologi yang progresif pada ODHA dengan nilai
CD 4 < 200 sel per mikroliter dan disertai gambaran neuroimaging (CT/MRI) yang sesuai.
Diagnosis definitive ET hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis jaringan
otak. Pemeriksaan MRI lebih sensitif daripada CT-Scan dalam menemukan lesi ET. Pada ET
biasanya dijumpai IgG yang positif, sedangkan IgM negatif. Beberapa pedoman yang dapat
digunakan dalam menilai hasil serologi:
1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila:
a. Terdapat serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4 kali lipat dengan interval 2-3
minggu.
b. Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi 1-3 minggu yang lalu.
c. IgG avidity yang rendah.
d. Hasil Sabin-Feldman/IFA > 300 IU/ml atau 1 : 1000
e. IgM-IFA 1: 80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml
2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan merupakan infeksi lampau.
Terapi Empirik Toksoplasmosis Otak
Indikasi:
Pasien HIV positif.
Ada symptom neurologi yang progresif
Ada lesi fokal di gambaran neuroimaging.
Tidak disarankan untuk memberikan terapi empiric anti toksoplasma bila:

CD4 > 200 sel/mm3

IgG antitoksoplasma (-)

Telah menerima terapi profilaksis adekuat dengan kotrimoksazol.


Dosis Anti Toksoplasma:
Pengobatan fase akut (3-6 minggu)
Pirimetamin
Klindamisin

BB < 50 kg: 2x25 mg per hari po.


BB > 50 kg: 3x25 mg per hari po
4 x 600 mg per hari po

Pengobatan fase rumatan


Pirimetamin dan klindamisin dengan dosis dari dosis fase akut atau menggunakan

kotrimoksazol 2x1.
Fase rumatan diteruskan hingga pasien mencapai nilai CD4 > 200.

30 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjiono, Prof.dr. Mahar dan Sidharta, Prof.dr. Priguna, 2008, mekanisme infeksi
susunan saraf, hal 303-331, Dian Rakyat, Jakarta.
2. Sugiri B. Sistem saraf. Kumpulan Materi Kuliah [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27];
Available from: URL: http://hmkuliah.wordpress.com/2010/12/03/sistem-saraf/
3. Anonym. Meningitis Bakterial. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available from:
URL: http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/meningitis-bakterial.html
4. Satria. Meningitis viral. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available from: URL:
http://satriaperwira.wordpress.com/2010/07/06/meningitis-viral/
5. Anonym. Meningitis Bakterial. Medan. Universitas Sumatera Utara. 2010.
6. www.fk.uwks.ac.id/.../IlmuPenyakitSaraf/iNFEKSICEREBRA.pdf
7. http://www.kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/encephalitis.html
8. http://t1.gstatic.com/images?
q=tbn:ANd9GcSSKX55FlJ3HRfS9ybFK5mXxU_iPUZ05f4pszSV5f100NJilW_R

31 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai