Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya,
sholawat serta salam atas nabi besar Muhammad SAW. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Mayor CKM dr M Andi Fathurakhman, Sp. THT-KL, Kolonel CKM dr. Rakhmat Haryanto, M.Kes,
Sp.THT-KL dan kolonel (Purn) dr. Tri Damijatno, Sp.THT atas kesediaan, waktu, dan kesempatan
yang diberikan sebagai pembimbing referat ini, kepada teman sesama kepaniteraan Telinga Hidung
Tenggorokan dan perawat yang selalu mundukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan
kerjasama yang baik sehingga dapat terselesaikannya referat ini.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan bagian THT di RS Moh. Ridwan
Meureksa yang merupakan salah satu prasyarat kelulusan. Referat ini membahas dan menganalisa
berbagai hal mengenai Rhinitis akut. Bahasan dalam referat ini diambil dari berbagai sumber.
Penyusun sadar bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan demi memperbaiki referat ini.
Semoga referat ini berguna bagi semua pihak terkait.

Wassalamualaikum wr.wb

Jakarta, Februari 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu
oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan
alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif ringan karena edema, dan akhirnya,
efek lanjut gangguan alergi kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara
hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik
langsung maupun tidak langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu
memiliki indeks kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati
gangguan alergi.(1)
Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik
dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.(1)
Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung, yaitu :
reseptor histamine H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2, kolinoreseptor, reseptor
histamine H2, dan reseptor iritan. Dari semua ini, yang terpenting adalah reseptor histamine
H1, dimana bila terserang oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan nafas hidung,
menyebabkan bersin-bersin, gatal dan rinore.(1)

BAB II
II. 1. ANATOMI HIDUNG
a. Hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

Pangkal hidung (bridge)


Dorsum nasi
Puncak hidung (apeks)
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisin oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. 8 tulang
kerangka terdiri dari:

Sepasang os nasalis (tulang hidung)


Prosesus frontalis os maksila
Prosesus nasalis os frontalis

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
dibagian bawah hidung, yaitu:

Sepasang kartilago nasalis lateralis superior


Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor)
Beberapa pasang ala minor
Tepi anterior kartilago septum nasi

Otot otot ala nasa terdiri dari dua kelompok, yaitu:


1. Kelompok dilator:
- M. Dilator nares (anterior dan posterior)
- M. Proserus
- Kaput angulare m. Quadratus labii superior
2. Kelompok konstriktor:
- M. Nasalis
- M. Depresor septi

Anatomi hidung luar

b. Hidung dalam
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut
nares anterior dan posterior disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.
1. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.
2. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang terdiri dari:
- Lamina perpendikularis os etmoid
- Vomer
- Krista nasalis os maksila
- Krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan terdiri dari:
-

Kartilago septum (lamina kuadrangularis)


Kolumela

3. Kavum nasi
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.
Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis
os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n.olfaktorius yang
berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis
os palatum dan lamina pterigoideus medial.
Konka
4

Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemuadian yang lebih kecil ialah konka media
dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.konka
suprema ini biasanya rudimeter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
ductus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.
Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Anatomi hidung dalam

Sinus paranasalis
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga disepanjang atap dan bagian lateral rongga
udara hidung. Jumlah, bentuk, ukuran dan simetri bervariasi. Sinus-sinus ini
membentuk rongga didalam beberapa tulang wajah dan diberi nama yang sesuai;
sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya
berupa kelompok sel-sel

etmoidalis anterior dan posterior yang saling

berhubungan. Masing-masing kelompok bermuara kedalam hidung. Seluruh sinus


dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu
menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan kedalam rongga hidung. Pada
orang sehat, sinus terutama berisi udara.
5

c. Pendarahan hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:
1. A. Etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan
dinding lateral hidung.
2. A. Etmoidalis posterior (cabang dari a. oftalmika), mendarahi septum bagian
superior posterior.
3. A. Sfenopalatina, terbagi menjadi a.nasales posterolateral yang menuju ke dinding
lateral hidung dan a.septi posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. Maksilaris
interna, santaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a. Sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenoplatina bersama n. Sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.

Sfenopalatina , a. Etmoid anterior, a.labialis superior dan a. Palatina mayor , yang


disebut pleksus kiesselbach (littles area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera
arafoleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika superior yang berhubungan denagn sinus cavernosus.

d. Persarafan hidung
1. Saraf motorik oleh cabang n. Fasialis yang mempersarafi otot-otot hidung bagian
luar.
2. Saraf sensoris
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan snsoris dari n.
Etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmika (N. V-I). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. Maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu:
- Saraf postganglion saraf simpatis (Adrenergik)
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1-3, berjalan ke atas
dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis
berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagian pterosus profundus
dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n.petrosus superfisialis mayor membentuk
n.vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan
sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang
palatine mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara
dominan mempunyai peranan penting terhadp sistem vaskuler hidung dan sangat
sedikit mempengaruhi kelenjar.
-

Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik)


Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nucleus salivatorius

superior di medula oblongata. Sebagai n. Pterosus superfisialis mayor berjalan


menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion
tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung.
7

Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang


menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil.
Pemotongan n. Vidianus akan menghilangkan impuls sekremotorik / parasimpatis
pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung
tidak akan terganggu.
4. Olfaktorius (penciuman)
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
II. 2. FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi udara (air
conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara;
6) proses bicara; 7) refleks nasal.(4)
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara
ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.(4)
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : (4)
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
8

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh : (4)

Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi


Silia
Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks

bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat. (4)
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
(4)

6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.(4)
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.(4)

II. 3. RINITIS ALERGI


II. 3. A. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)

II. 3. B. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5)
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
10

yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(5)

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL


13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi
aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen
yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama hi stamine. Selain histamine juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). (5)
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
11

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.(5)
II. 3. C. GAMBARAN HISTOLOGIK
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.(5)
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.(5)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (5)
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu
rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang
(kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).(5)
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.(5)
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.(5)
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.(5)

12

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial
dan rinitis alergi.(5)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari : (5)
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respons sekunder.(5)
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem
imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.(5)
3. Respons tertier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.(5)
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).(5)
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah
tipe 1 yaitu rinitis alergi.(5)
II. 3. D. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : (5)
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis
alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah
polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).(5)

13

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau
terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.(5)
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi(5):
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu/tahun.(5)
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu/tahun.(5)
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi(5):
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.(5)
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.(5)
II. 3. E. DIAGNOSIS
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1.Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja (5). Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan
gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang
pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya
14

riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anakanak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.(5)

2.Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik
lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu
sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).(5)
3.Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
15

normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio
Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. (5)
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.(5)
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). (5)
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.(5)
II. 3. F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.(5)
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik

16

paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.(5)
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)
dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai
efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical
adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai
efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin
diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada
respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala
obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2
golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi
jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.(5)
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical.
Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rhinitis medikamentosa.(5)
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat,
dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit
pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi
aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat).
Preparat

sodium

kromoglikat

topical

bekerja

menstabilkan

mastosit

(mungkin

menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel

17

netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis. (5)
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
(5)

Pengobatan

baru

lainnya

untuk

rhinitis

alergi

adalah

anti

leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. (5)


3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.(5)
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sub-lingual.(5)
II. 3. G. KOMPLIKASI
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah(5) :
1. Polip hidung(5)
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.(5)
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.(5)
3. Sinusitis paranasal.(5)

18

BAB III
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh
interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan.
Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor
alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini. Pengobatan paling efektif dari rinitis
alergi adalah menghindari faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila
tidak dapat dihindari dapat dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan.
Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan
memiliki prognosis baik.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 th ed.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. P. 210-7.
2. Anatomi
dan
fisiologi
hidung
dan
sinus
from

paranasal.

Available

:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf

Accesed at : November 25, 2011.


3. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/38904487/AnatomiHidung. Accesed at : November 25, 2011.
4. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/52832505/7/AnatomiHidung. Accesed at : November 25, 2011.
5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6 th ed. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2007. p. 128-32.
6. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching and
Sneezing in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University Hospital
Mannheim,Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p 35-40.
7. Rinitis Alergi. Available from : http://www.scribd.com/doc/19986753/Rinitis-Alergi.
Accesed at : December 2, 2011.

20

Anda mungkin juga menyukai