Anda di halaman 1dari 17

STATUS PASIEN

IDENTITAS/BIODATA

Nama: Nn. I. S

Jenis kelamin: perempuan

Usia: 34 tahun

Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga

Diagnosis: Apendisitis akut

ANAMNESIS
Keluhan Utama

: Nyeri perut kanan bawah sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang : Os datang ke RS Islam Cempaka Putih dengan keluhan nyeri
perut kanan bawah yang dirasakan 1 minggu SMRS. Nyeri berawal di atas pusar, lalu
berpindah ke perut kanan bawah. Saat ini paling sakit di kanan bawah. Nyeri hilang timbul
terasa seperti diremas. Mual (+) sejak 1 minggu. Muntah (+) 1 kali. Demam (+) sejak 3 hari,
hilang timbul. Os belum BAB sejak 1 minggu SMRS. BAK lancar, tidak sakit, warna kuning
jernih. Nafsu makan baik.

Riwayat Penyakit Dahulu

: OS belum pernah menalami keluhan seperti ini. Riwayat


hipertensi (-), ASMA (-), DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat yang sama
Riwayat Pengobatan

: OS belum pernah minum obat SMRS.

Riwayat Alergi

: Alergi obat, makanan, dan cuaca disangkal

Riwayat Psikososial

: Pola makan teratur.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang


1

Kesadaran

: Composmentis

Tanda- tanda Vital

Tekanan darah : 140/90 mmHg

Suhu

: 37.6 O C

Nadi

: 80 x/menit

Pernapasan

Antropometri

: 22x/menit
:

BB: 80 kg

TB: 165 cm

IMT:29,4

BB Ideal: (TB-100)-10% : 58,5 kg

STATUS GENERALIS
1. Kepala

Bentuk

: Normochepal

Rambut

: Hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut

Mata

: kunjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

Hidung

: septum deviasi -, sekret -/-

Mulut

: bibir kering -, lidah kotor -, gusi berdarah

Telinga
Leher

: normotia
: pembesaran KGB -, pembesaran kel tiroid

2. Torax

: Paru :

I : simetris pada saat statis dan dinamis, retraksi iga


P : Vocal premitus kanan kiri sama
P : sonor di kedua lapang paru
A : vesikuler +/+, wheezing -, ronkhi -/-, BJ I dan II normal,

tidak

ada bunyi tambahan


2

Jantung :
I : Ictus Cordis terlihat (-)
P : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
P : Batas kanan jantung di linea para sternal dextra
Batas kiri jantung di interkostalis 5 midclavicularis sinistra
A : Bunyi jantung I dan II murni reguler, murmur (-), gallop (-)

3. Abdomen

: Bising usus (+), NTE (-),

Timpani (+)nyeri tekan abdomen kuadran kanan bawah (+),


nyeri tekan epigastrium (+), defense muscular (-)
4. Punggung

: Deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-)

5. Ekstremitas

: atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, bintik-bintik


merah -/: bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, bintik-bintik
merah -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu

Hasil
14,1
41,7
5,06
12,4
396
82,4
27,9
33,8
Hasil
64

Nilai Rujukan
12-15
37-478
4.2-5,4
4.8-10.8
150-450
80-94
27-31
33-37
Nilai Rujukan
70-110

Satuan
g/dL
%
10^6 L
10^3/L
10^3/L
fL
pg
%
Satuan
mg/dL

DIAGNOSIS

Diagnosis Pra-operasi: Appendisitis Akut + Hipertensi

OPERASI
Keadaan Pra-Operasi
Perempuan usia 45 tahun dengan diagnosis HIL Sinistra Refondable + Obesitas pasien
dijadwalkan untuk dilakukan operasi Herniorraphy
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran
: Composmentis
Tanda-tanda vital preoperatif
- Tekanana darah : 170/110 mmHg
- Nadi
: 110 x/menit
- Pernafasan
: 22 x/menit
- Suhu
: 36,7 0C
- Saturasi O2
: 97 %
Status fisik
: ASA II
Keadaan Intraoperatif
Operasi dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2015 pukul 14.45 s/d 15.30 WIB.
Penatalaksanaan anestesi pukul 14.45 WIB
Anestesi Umum :

Posisi
: Supine
Teknis anestesi
: Spinal
Lokasi Tusukan
: L3-L4
Anestesi Lokal
: Bupivacaine + Fentanyl 0,5 cc konsentrasi 0,5% jumlah 3 cc
Rencana Medikasi dan pelaksanaan pada kasus
- Ondancentron 4mg
- Propofol (Dosis 1-2,5 mg)
Dosis Pemberian : 75- 187 mg
Dosis yang diberikan : 20 mg

Pemberian Cairan Perioperatif : RL 1000 ml


Perhitungan cairan

Kebutuhan maintenance/ rumatan : (BB= 75 kg)


4

10 kg pertama

: 10 x 4 cc/kg/jam = 40 cc

10 kg kedua

: 10 x 2 cc/kg/jam = 20 cc

55 kg sisanya

: 55 x 1cc/kg/jam = 55 cc

Pasien puasa 3 jam preoperative : 8 x 100 cc/jam = 800 cc

Kebutuhan resusitasi intraoperatif

Pembedahan sedang : 6 cc/kgBB


6x75

= 450 cc

I jam pertama

= 50% (800) + 115 + 450 = 965

II jam selanjutnya = 25% (800) + 115 + 450 = 765

Tanda-tanda vital Intraoperatif


Jam
14.45 WIB

Tek. darah
180/110mmH

Nadi
90x/mnt

RR
22x/mnt

SpO2
98%

15.00 WIB
15.15 WIB
15.30 WIB

g
130/60mmHg
120/80mmHg
130/70mmHg

100x/mnt
90x/mnt
90x/mnt

18x/mnt
20x/mnt
20x/mnt

96%
97%
98%

Keadaan Pasien Pasca Operasi

Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Respirasi

: Tampak sakit sedang


: Sadar
: 120/80 mmHg
: 100x/menit
: 22x/menit

Aldrette Score
Jam
15.50

WK
Merah

Aldrette score
RR
C
KS
Nafas
120/90
Sadar

muda

dalam

mmHg

penuh

(2)

(2)

(2)

(2)

Score
ACT
Gerak 4
ext (2)

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. OBESITAS
1. DEFINISI
Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam
jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi perluasan ke
dalam jaringan organnya (Misnadierly, 2007).
Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara
tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan
berat badan yang melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009).
2. PERMASALAHAN OBESITAS
Orang dengan obesitas akan lebih mudah terserang penyakit degeneratif.
Penyakit penyakit tersebut antara lain :
a. Jantung
6

Peningkatan volume sirkulasi darah, peningkatan curah jantung, hipertensi,


penyakit arteri coroner, gagal jantung kongestif. Curah jantung meningkat
sebesar 0,1L/menit/kg.
b. Paru
Penurunan volume paru- paru, hipoksemia arteri
c. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus dapat disebut penyakit keturunan, tetapi kondisi tersebut


tidak selalu timbul jika seseorang tidak kelebihan berat badan. Lebih dari 90
% penderita diabetes mellitus tipe serangan dewasa adalah penderita
kegemukan. Pada umumnya penderita diabetes mempunyai kadar lemak yang
abnormal dalam darah. Maka, dianjurkan bagi penderita diabetes yang ingin
menurunkan berat badan sebaiknya dilakukan dengan mengurangi konsumsi
bahan makanan sumber lemak dan lebih banyak mengkonsumsi makanan
tinggi serat.
d. Gout
Penderita obesitas mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit radang sendi
yang lebih serius jika dibandingkan dengan orang yang berat badannya ideal.
Penderita obesitas yang juga menderita gout harus menurunkan berat
badannya secara perlahan-lahan.
e. Batu Empedu
Penderita obesitas mempunyai resiko terserang batu empedu lebih tinggi
karena ketika tubuh mengubah kelebihan lemak makanan menjadi lemak
tubuh, cairan empedu lebih banyak diproduksi didalam hati dan disimpan
dalam kantong empedu. Penyakit batu empedu lebih sering terjadi pada
penderita obesitas tipe buah apel. Penurunan berat badan tidak akan mengobati
penyakit batu empedu, tetapi hanya membantu dalam pencegahannya.
Sedangkan untuk mengobati batu empedu harus menggunakan sinar ultrasonic
maupun melalui pembedahan.
f. Kanker
Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa laki-laki dengan obesitas akan
beresiko terkena kanker usus besar, rectum, dan kelenjar prostate. Sedangkan
pada wanita akan beresiko terkena kanker rahim dan kanker payudara.Untuk
mengurangi resiko tersebut konsumsi lemak total harus dikurangi.
7

Pengurangan lemak dalam makanan sebanyak 20 25 % perkilo kalori


merupakan pencegahan terhadap resiko penyakit kanker payudara

g. Hipertensi
Orang dengan obesitas akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap Penyakit
hipertensi. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 20 39
tahun orang obesitas mempunyai resiko dua kali lebih besar terserang
hipertensi dibandingkan dengan orang yang mempunyai berat badan normal.

3. PENYEBAB OBESITAS
Secara spesifik, yang dikatakan obesitas adalah merupakan suatu keadaan
kelebihan jumlah lemak dalam tubuh, sedangkan overweight adalah kelebihan berat
badan bukan hanya dari jumlah lemaknya namun juga termasuk otot, tulang, dan total
air dalam tubuh. Para ahli sepakat bahwa laki-laki dengan jumlah lemak tubuh lebih
dari 25 persen dan wanita lebih dari 30 persen masuk dalam golongan kelebihan berat
badan atau obesitas. Body Mass Index (BMI) menjadi indikator awal yang membantu
professional untuk mencari tahu perkiraan kelebihan berat badan seseorang yang
nantinya dihubungkan dengan resiko terjangkit suatu penyakit. Pada obesitas,
seseorang mengkonsumsi kalori lebih dari yang dapat dibakar secara normal, dalam
arti kata mereka makan banyak namun tidak diseimbangkan dengan aktivitas atau
olahraga. Namun ada faktor lain yang juga menjadi predisposisi seseorang menjadi
obesitas. Faktor-faktor tersebut diantaranya :

a. Genetik

Genetik memainkan peran sangat besar terhadap kejadian obesitas.


Pada suatu studi didapatkan kesimpulan umum yaitu ketika ibu biologis
mengalami obesitas, maka kira-kira 75 persen anak-anaknya akan mengalami
obesitas. Sedangkan jika ibu biologis memang kurus atau tidak mengalami
obesitas, kira-kira 75 persen anak-anaknya juga berbadan kurus. Maka mereka
yang memang memiliki bakat genetik seperti ini sudah seharusnya lebih bisa
menerima keadaan yang sulit untuk diubah namun dapat dilakukan
manajemen yang baik.

b. Usia
Ketika seseorang menginjak usia tua, tubuh mengalami penurunan
kemampuan untuk metabolisme makanan atau kalori. Makanan lebih lama
diolah, diubah menjadi energi dan pada akhirnya walaupun jumlah makanan
yang dikonsumsi sejak orang tersebut usia 20 hingga usia tua tidak berubah
namun sebenarnya ia tidak memerlukan jumlah kalori yang sama. Hal ini
terlihat jelas ketika mereka yang berusia 20-an mengkonsumsi banyak kalori
namun seimbang dengan aktivitas, pada mereka yang berusia diatas 40-an
dengan jumlah konsumsi kalori yang sama malah bertambah bobotnya karena
aktivitas dan metabolisme tubuh yang sudah menurun secara alamiah.

c. Gender.
Wanita dikatakan mengalami tendensi lebih sering menjadi overweight
dibanding laki-laki. Laki-laki memiliki kemampuan untuk metabolisme saat
istirahat yang berarti energi juga digunakan saat itu. Sehingga laki-laki
membutuhkan jauh lebih banyak kalori untuk menjaga keseimbangan
metabolisme yang menghasilkan energi itu. Pada wanita, terutama yang sudah
mengalami menopause, rasio metabolisme mereka justru akan menurun,
sehingga jelas mereka akan mengalami penambahan berat badan setelah
menopause.
d. Lingkungan
Walaupun genetik merupakan faktor utama pada obesitas, namun pada
beberapa kasus, lingkungan juga merupakan faktor signifikan. Yang termasuk
faktor lingkungan adalah gaya hidup seperti apa yang dimakan dan seberapa
aktif seseorang.
e. Aktivitas fisik.
9

Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi membutuhkan kalori untuk


dibakar jauh lebih besar untuk menyeimbangkan kebutuhan tubuhnya. Sebagai
tambahan, aktivitas fisik rupanya membantu seseorang dengan obesitas untuk
menggunakan lemak sebagai sumber energinya. Sehingga ketika lemak
tersebut dibakar, berkurang pula bobot tubuhnya. Dalam 20 tahun terakhir
diketahui bahwa mereka yang obesitas memang mengurangi aktivitas fisiknya
dan berlebihan dalam urusan konsumsi kalori atau makanan berlemak.
f. Penyakit
Ada beberapa penyakit yang juga berhubungan dengan kejadian
obesitas. Diantaranya hipotiroidisme (kerja hormon tiroid yang menurun
sehingga metabolisme tubuh ikut menurun), suatu penyakit pada otak yang
meningkatkan nafsu makan (agak jarang terjadi), dan depresi.
g. Psikologis
Kebiasaan makan terkait dengan faktor psikis pada seseorang. Banyak
orang melarikan diri dari rasa sedih, bosan, depresi atau marah dengan makan
berlebihan. Rasa bersalah, diskriminasi, malu, atau ditolak dari lingkungan
sosial juga banyak berpengaruh pada kondisi psikis seseorang yang
berhubungan dengan perubahan pola makan. Binge eating adalah sebagai
contoh dimana orang tersebut makan berlebihan tanpa ia sadari dan pada
akhirnya ia akan mencari pengobatan serius karena masalah ini. Hampir 30
persen orang dengan binge eating terkait faktor psikis menyerah dengan pergi
ke dokter untuk mencari bantuan akan masalah ini.
h. Obat-obatan.
Beberapa obat seperti steroid dan anti-depresan memiliki efek samping
penambahan berat badan.

4. PERHITUNGAN BMI
Pengukuran berat badan seseorang secara tepat agak sulit. Cara yang paling
mendekati akurat adalah mengukur orang tersebut dibawah air atau di dalam chamber
atau ruangan dengan isi air sehingga dapat diukur jumlah air yang terbuang dan air
sebelumnya untuk mengukur berat badan pasti. Dapat juga digunakan alat X-ray
untuk tes yang disebut Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA) namun di
Indonesia sendiri belum dilakukan karena membutuhkan alat, tenaga dan tempat
10

khusus.Secara sederhana, metode untuk estimasi jumlah lemak atau body fat adalah
dengan mengukur ketebalan lapisan lemak yang berada dibawah lapisan kulit pada
beberapa bagian tubuh. Karena dalam mengukur body fat dan berat badan pasti
seseorang itu sulit, maka selama beberapa dekade, para ahli hanya bergantung pada
tabel berat badan dan tinggi yang merupakan ukuran rata-rata pada semua orang. Yang
menjadi kendala selain tabel ini tidak menggunakan ukuran pasti adalah
dikeluarkannya berbagai macam versi dengan rentang berat badan dan tinggi yang
juga berbeda-beda. Maka BMI saat ini masih menjadi patokan universal untuk
mengetahui status gizi seseorang (normal, obesitas, atau overweight). Body Mass
Index (BMI) sangat sederhana dan digunakan untuk estimasi massa lemak pada
seseorang. Pada abad ke-19, seorang ahli statistik dan antropometris Adolphe Quetelet
mengembangkan pengukuran dengan cara ini. BMI merupakan refleksi dari
persentase body fat mayoritas orang dewasa pada populasi besar dan universal.
Walaupun begitu, tingkat akurasi BMI menurun jika digunakan pada pengukuran ibu
hamil atau orang dengan body builder yang massa atau bobot tubuhnya terpengaruh
dari komposisi tambahan.
BMI = [berat badan (kg)] / [tinggi (dalam meter)]2

BMI

Classification

Less than 18.5


18.524.9
25.029.9
30.034.9
35.039.9
Over 40.0

underweight
normal weight
overweight
class I obesity
class II obesity
class III obesity

11

BAB III
ANESTESI PADA OBESITAS

A. ANESTESI PADA OBESITAS


Dalam berbagai macam literatur, anestesi pada pasien obesitas tidak menjadi
bahasan khusus. Akan tetapi, tata laksana anestesi pada pasien obesitas rupanya
memiliki kendala yang patut diperhatikan. Secara umum, ketika datang pasien
obesitas kedalam ruang operasi, dokter anestesi sudah memikirkan kemungkinankemungkinan yang akan dihadapi sebelum, selama dan sesudah tindakan anestesi.
Diantaranya adalah prediksi kesulitan intubasi, prevensi tromboemboli, prevensi
komplikasi pasca operasi seperti atelektasis, penggunaan obat anestesi seperti
analgesik yang dapat diberikan atau obat-obat yang harus dihindari pemberiannya,
manajemen pasien dengan obstructive sleep apnea, kriteria pemindahan ke ICU dan
penanganan mekanisme ventilasi yang harus dilakukan, juga terapi cairan, eletrolit
dan nutrisi.Masalah utama pasien obesitas masih seputar gangguan pada sistem
kardiovaskular, respirasi, dan gastrointestinal. Masalah lain adalah pada ibu hamil

12

dengan atau tanpa obesitas dan anak-anak yang sedari kecil sudah mengalami
obesitas.
B. PANDANGAN ANESTESI PADA OBESITAS
American Society of Anesthesiology (ASA) mulai gencar dalam memberikan
informasi yang jelas kepada masyarakat tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan
sebelum mereka menghadapi pisau bedah atau operasi. Masyarakat dahulu tidak
terlalu peduli akan bahaya yang dapat menjadi kesulitan tersendiri untuk anestesi,
terkait akan masalah kelebihan berat badan atau obesitas ini. Begitu banyak
komplikasi dari obesitas seperti contoh : diabetes tipe dua, obstructive sleep apnea,
hipertensi atau penyakit kardiovaskular yang dapat memberikan implikasi signifikan
pada pasien yang akan menghadapi operasi dan tindakan anestesi. Hambatan jalan
napas akibat obstructive sleep apnea dapat menurunkan aliran udara masuk saat
inspirasi bahkan terjadi reduksi pada inhalasi O2 ketika seseorang diberikan sedasi
anestesi. Dokter Martin Nitsun, asisten professor sekolah kedokteran Pritzker
universitas Chicago menerangkan bahwa faktor-faktor diatas memang timbul ketika
seseorang mengalami kelebihan berat badan. Pada obesitas terjadi perubahan anatomi
yang membuat manajemen jalan napas akan berbeda dengan mereka tanpa keadaan
obesitas. Tindakan intubasi akan lebih sulit dan dibutuhkan peralatan dan teknik
khusus. Dokter anestesi harus siap dan antisipatif terhadap kesulitan-kesulitan yang
mungkin terjadi. Maka sebelum pasien masuk ruang operasi, ASA merekomendasikan
dilakukannya preoperative assesment yang meliputi anamnesis lengkap tentang
riwayat pasien, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang yang bermakna pada
pasien tersebut. Sehingga pada saat pelaksanaan operasi, dokter anestesi dapat
meminimalisir resiko yang mungkin terjadi dan menurunkan tingkat terjadinya
komplikasi. Motivasi akan pentingnya mengubah gaya hidup hingga menurunkan
berat badan secara bertahap juga menjadi tugas dokter yang menangani atau dokter
anestesi sehingga diharapkan dengan penurunan berat badan, komorbiditas dapat
ditekan semaksimal mungkin.
C. IMPLIKASI ANESTESI
Pada keadaan dimana terjadi gangguan napas, masalah pada ventrikel
mungkin tertutupi atau lolos dari pengamatan melalui pemeriksaan secara klinis.
Namun adanya penambahan berat badan secara cepat yang ditemukan pada
premedikasi dapat mengindikasikan adanya kegagalan jantung walaupun orang

13

tersebut memang sudah memiliki bobot yang berat. Durante operasi, kegagalan
ventrikel untuk memenuhi kebutuhan(disfungsi dari diastolik ventrikel) dapat terjadi
karena berbagai macam alasan, seperti pengaruh dari agen anestesi yang sebelumnya
diberikan atau hipertensi pulmonal yang dipresipitasi keadaan hipoksia atau
hiperkapnia. Maka seorang dokter anestesi harus bersikap preventif terhadap hal
tersebut dengan mempersiapkan inotropik dan vasodilator untuk mengembalikan
keadaan menjadi normal kembali.Ketika induksi anestesi atau intubasi dilakukan pada
penderita obesitas, performa jantung akan mulai menurun. Dalam suatu penelitian,
ditemukan pada penderita obesitas yang menjalani operasi abdomen, performa
jantung menurun 17 -33 persen setelah induksi dan intubasi dilakukan, keadaan ini
menetap pasca operasi dengan index jantung 13 -23 persen menurun dibandingkan
preoperatif. Hal ini tidak terjadi pada orang normal dimana performa jantung setelah
diberikan induksi anestesi atau intubasi sempat menurun namun kembali normal
pascaoperasi. Pengamatan terhadap tekanan arteri, gas darah dan tekanan vena sentral
dapat dilakukan sebagai acuan terhadap keadaan jantung selama obat anestesi bekerja.

1) Premedikasi
Pemeriksaan preoperatif pada penderita obesitas diantaranya memeriksa
kemampuan pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas.
Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas
darah, fungsi paru dan oximetri. Mereka yang dicurigai OSA disarankan
melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan resiko spesifik dari
anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian
ventilasi pascaoperasi bahkan trakeostomi.
2) Intraoperatif
Induksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien obesitas. Resiko
kesulitan atau gagal intubasi karena adanya obstruksi saluran napas bagian atas
dan menurunnya compliance pulmonal menjadi kekhususan tersendiri. Insuflasi
gaster selama anestesi juga meningkatkan resiko regurgitasi atau aspirasi isi
gaster.Pendekatan awal adalah pemilihan intubasi dalam kesadaran penuh atau
tidur dalam yang merupakan pilihan sulit. Hal itu banyak dipengaruhi pengalaman
dokter anestesi yang akan melakukannya. Beberapa penulis menyarankan intubasi
dengan kesadaran penuh terutama jika berat badan sesungguhnya > 175 persen
berat badan ideal. Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi
jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian ballow
dan sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih
14

disarankan. Pendekatan lain adalah penggunaan laringoskop setelah pemberian


lokal anestesi pada faring. Intubasi sadar dengan fiberoptic dapat dipilih ketika
struktur laring tidak terlihat jelas. Tidak disarankan melakukan intubasi blind
melalui hidung mengingat kemungkinan epistaksis atau efek samping lainnya.
Teknik teraman dan cepat untuk induksi anestesi menggunakan succinylcholine
dengan diikuti pemberian oksigen yang adekuat sebelumnya. Pasien obesitas tidak
dibolehkan untuk bernapas spontan selama anestesi berlangsung, mencegah
terjadinya hipoventilasi, hipoksia dan hiperkapnia. Posisi litotomi atau
Tredelenburg dihindari mengingat pada posisi ini terjadi reduksi volume paru.
Ventilasi kontrol dengan fraksi oksigen tinggi dibutuhkan untuk mencapai tekanan
oksigen arterial yang adekuat, yang nantinya pemeriksaan serial gas darah
diperiksa untuk mengontrol hal ini.
3) Post Anestesi
Komplikasi pulmonal sering terjadi pada penderita obesitas. Pemeriksaan
fungsi paru preoperatif tidak dapat memprediksi keadaan yang sama
pascaoperatif. Hal ini karena pada pasien obesitas sensitivitas terhadap obat
sedatif, analgesik opioid dan anestesi meningkat. Pemberian ventilasi pascaoperasi
bermanfaat untuk eliminasi efek obat-obat tersebut, selain dapat diberikan pada
mereka dengan penyakit kardio-respiratori yang telah diketahui sebelumnya,
retensi karbondioksida, dan mereka yang baru menjalani operasi dalam waktu
lama atau mengalami pyrexia pasca operasi.Ekstubasi hanya boleh dilakukan
ketika pasien sadar penuh dan dipindahkan ke Recovery Room dengan posisi
duduk 45 derajat. Oksigen tambahan segera diberikan dan dilatih untuk bernapas
seperti biasa.
D. ANESTESI REGIONAL
Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memungkinkan tidak
perlunya dilakukan intubasi dan menurunkan resiko aspirasi asam. Pada operasi
thorakal dan abdominal, biasanya dipilih anestesi epidural dengan kombinasi anestesi
umum. Hal ini lebih bermanfaat dibandingkan hanya digunakan anestesi umum,
termasuk mengurangi penggunaan opioid dan obat anestesi inhalasi, komplikasi
pulmonal pascaoperasi, peningkatan efek obat analgesik pascaoperasi, dan manfaat
lainnya. Secara teknik, anestesi regional pada pasien obesitas menantang karena
sulitnya menentukan batasan pasti tulang, kulit dan lemak. Blok saraf perifer lebih

15

mudah dan aman dilakukan dengan bantuan stimulator saraf dan jarum insulasi.
Anestesi spinal dan epidural lebih mudah dilakukan pada posisi berdiri dan
menggunakan jarum yang panjang. Dengan bantuan ultrasound dapat diidentifikasi
ruang epidural dan menuntun jarum Tuohy dalam posisi yang benar. Ada beberapa
dokter anestesi yang lebih menyukai kateter epidural telah terpasang sehari sebelum
operasi untuk menghemat waktu esok harinya dan memudahkan pemberian
profilaksis heparin pada pagi hari waktu operasi. Anestesi lokal yang dibutuhkan pada
saat melakukan anestesi spinal atau epidural diturunkan hingga 80 persen mengingat
terdapatnya infiltrasi lemak dan meningkatnya volume darah yang disebabkan
tekanan intraabdomen menyempitkan ruang epidural. Hal ini perlu diwaspadai karena
dapat menyebabkan blokade yang lebih tinggi atau menyebarnya anestesi lokal
tersebut. Blokade diatas thorakal V akan menyebabkan gangguan respirasi dan
blokade otonom pada sistem kardiovaskular. Dalam keadaan ini, dibutuhkan
penggantian anestesi menjadi anestesi umum dengan peralatan yang cukup dan
bantuan orang lain untuk penanganan adekuat.

16

DAFTAR PUSTAKA
1

Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia 2009.

Increase Anesthetic Risk For Patients With Obesity and Obstructive Sleep Apnea.
Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2007481/pdf/anesthprog000030005.pdf.

Morgan G Edward, Mikhail, Maged S.Clinical Anesthesiologi. Edisi ke4. 2007.

R. Mark, MD Ezekiel MS. Handbook of Anesthesiologi Edisi 2008

17

Anda mungkin juga menyukai