Anda di halaman 1dari 7

Khutbah Jumat : 8 Wasiat Nabi Muhammad S.A.

W
Ada 8 (delapan) wasiat Nabi Muhammad Shallallohu Alaihi Wasallam yang
merupakan intisari dari Dialog Rasulullah Muhammad dengan Sahabat Abu Dzar
al-Ghifari. Di suatu waktu Rasulullah saw. berbincang dengan hangat bersama
Abu Dzar al-Ghifari. Hingga pada suatu saat, al-Ghifari berkata kepada Nabi
S.a.w, Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda, Aku wasiatkan
kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan.
Khutbah Jumat : 8 Wasiat Nabi Muhammad S.A.W kali ini menjelaskannya.
Delapan wasiat yang dimaksud antara lain; taqwallah, dzikrullah, membaca Al
Quran, Jangan Banyak Tertawa, Jihad, Mencintai orang miskin dan seterusnya.
.
. . . . .
. .
.

Maasyiral Musilimin Rahimakumullah


Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Indah yang ke-indahannya tak
pernah menyusut walau dibagi kepada seluruh warga jagad raya. Keindahan
inilah yang membuat manusia betah berada di dunia dan enggan
meninggalkannya. Semoga kita semua senantiasa diberi kesadaran bahwa
keindahan di dunia ini hanyalah sementara. Dan tidak menjadikanya sebagai
orientasi dan tujuan dalam hidup ini

Hadirin Jamaaah Jumah yang dirahmati Allah.
Potongan doa di atas nampaknya sangat relevan dalam kehidupan kita sekarang
ini. Doa pengharapan kepada-Nya agar senantiasa memberikan petunjuk
kepada kita, supaya tidak menjadikan dunia se-isinya sebagai cita-cita dalam
kehidupan dan orientasi dalam ilmu pengetahuan. Karena cita-cita dan ilmu
pengetahuan hendaknya digunakan untuk meniti jalan menuju kepada-Nya,
bukan mengabdi kepada dunia.
Namun, realita sungguh berbeda. Kehidupan di sekitar kita akhir-akhir ini
menunjukkan arah yang berlawanan. Lihatlah telah muncul istilah Orang Kaya
Baru di sekitar kita. Manusia-manusia luar biasa yang dengan bersusah payah
dan penuh perjuangan, sampai pada taraf hidup yang menakjubkan. Mereka
telah meninggalkan garis kemiskinan untuk beranjak pada tingkat kehidupan
dengan penuh kemewahan.
Tidak, khutbah ini tidak untuk membincang mereka atau menyirami penyakit
hasud dalam hati, sehingga menjadi lebih subur. Namun, hendak mengingatkan
bagaimanakah sebaiknya kita menyikapi perubahan itu. Karena dunia dan
seisinya adalah cobaan bagi manusia.

Jamaah Jumah Rahimakumullah


Di suatu waktu Rasulullah saw. berbincang dengan hangat bersama Abu Dzar alGhifari. Hingga pada suatu saat, al-Ghifari berkata kepada Nabi S.a.w, Ya
Rasulullah, berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda, Aku wasiatkan kepadamu
untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan.
Memang benar taqwa adalah pangkal segalanya. Namun taqwa itu bagaikan
konsep teoritis yang harus diterjemahkan biar mudah untuk diraih. Bagi kaum
awam, taqwa itu cukup sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan.
Bagaimanakah caranya mengikat hati dalam ketaqwaan kepada Allah swt?
Sedangkan hati kita sering tersangkut dalam kepentingan-kepentingan duniawi?
Bagaimanakah caranya? Rasulullah tidak menerangkan tentang hal ini, dan Abu
Dzarpun tidak menanyakannya. Mungkin bagi dia taqwa adalah perkara yang
jelas. Namun marilah kita ikuti percakapan beliau selanjutnya.
Lalu Abu Dzar pun kembali bertanya kepada Rasulullah Ya Rasulallah,
tambahkanlah wasiat apalagi yang penting setelah taqwa.. Rasulullah saw
menjawab Hendaklah engkau senantiasa membaca Al Qur`an dan berdzikir
kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu dibumi dan
simpananmu dilangit. Ingatlah kita pada doa khatmil Quran yang sangat
masyhur
, , , ,

,
Keduanya bagaikan deposito bagi diri kita, bunganya dapat dipergunakan untuk
menerangi perjalanan kita di dunia, sedangkan tabungannya adalah kekayaan
yang dapat mengamankan kehidupan di akhirat nanti.
Abu Dzar merasa masih ada hal lain yang hendak disampaikan Nabi Muhammad
saw. iapun berkata meminta Ya Rasulullah, tambahkanlah. Rasulullah
menjawab Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan
mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah.
Tertawa adalah hal yang kelihatan sangat sepele, tetapi Rasulullah saw melihat
itu sebagai sesuatu yang memiliki dampak psikologis dalam jiwa manusia.
Karena kebanyakan manusia ketika tertawa akan melupakan segala kewajiban
sebagai seorang hamba. Hal ini berbeda dengan model tertawa Rasulullah saw
seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits Abdullah bin al Harits yang
mengatakan, Tertawanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya sekedar
senyum. (HR. Tirmidzi) Dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah. (HR. Tirmidzi)
Kalau demikian, apa maksud stasiun televise berbondong-bondong
menghadirkan acara humor, lawak ataupun dagelan? Bukankah itu sama artinya
sebuah usaha pembodohan? Ataukah hanya sekedar relaksasi dari kejenuhan
hidup ini? Entahlah, yang Jelas Rasulullah telah berwasiat demikian. Saya rasa

kepercayaan kita kepada Nabi Muhammad saw, jauh mengatasi dari pada
berbagai produser acara di televise.
Sebagai muslim yang penuh kehati-hatian dan ingin tahu Abu Dzar pun
melanjutkan pertanyaanya kembali lalu apa lagi ya Rasulullah.? Rasulullah saw
pun menjawab Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah
kependetaan ummatku.
Bagaimanakah maksud jihad sebagai kependetaan? Bukankah jihad itu
kepahlawanan? Inilah yang perlu pemahaman mendalam. Kalimat ini sangat
padu dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa jihad
terbesar adalah melawan hawa nafsu Kita baru saja kembali dari jihad kecil
menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, Apa jihad besar itu?, Nabi SAW
menjawab, Jihaad al-qalbi (jihad hati). Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad
al-nafs. (lihat Kanz al-Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265).
Masih ada lagi selain itu, karena Abu Dzar kembali meminta Lagi ya
Rasulullah? Rasulpun menjawab Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah
dengan mereka.
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Jikalau keempat hal yang telah lalu seolah sangat bersifat pribadi, maka kali ini
mencintai dan menggauli orang miskin membuktikan adanya unsure sosialis
yang tinggi dalam ajaran Rasulullah saw. mencintai dan bergaul dengan orang
miskin merupakan manifestasi dari kemanusiaan seorang manusia. Dari
berbagai ayat dalam al-Quran, kesemuanya menunjukkan bahwa hubungan itu
selalu dihiasi dengan pemberian dan pembagian. Sebagaimana dalam surat AnNisa 36.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh {294}, dan
teman sejawat, ibnu sabil {295} dan hamba sahayamu.
Lalu Abu Dzar meminta lagi kepada Rasulullah saw dengan berkata Tambahilah
lagi. Rasulullah saw menjawab Katakanlah yang benar walaupun pahit
akibatnya.
Qulil haqqa walau kana murran,

karena memang kebenaran bagi sebagian keadaan adalah kepahitan itu sendiri.
Inilah yang sedang terjadi di sekitar kita kali ini. Ketika kebohongan sudah
mengurat-nadi, seolah kebenaran enggan menunjukkan diri. Bukan karena malu
atau terdesak dengan kebohogan, namun karena keduanya tak mungkin ada
berdampingan dengan bersamaan.
Jamaah Jumah Rahimakumullah

Abu Dzar masih saja bertanya dan meminta, tambahlah lagi untukku!.
Rasulullah pun menjawab Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa
yang telah engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau
sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui
apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah
mereka dapati (ketahui).
Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya bersabda,Wahai Abu
Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau
bertadabbur (berfikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan diri
(dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik
akhlaqnya.

Itulah beberapa wasiat emas yang disampaikan Rasulullah S.a.w kepada salah
seorang sahabat terdekatnya. Semoga kita dapat meresapi dan mengamalkan
wasiat beliau.

Khutbah II


.




.

. .

. !

Bagikan
Afan Umm

Hadits Berpegangteguh Pada Kitabullah & Sunnah


Rasul, Ternyata Hadits Dhaif
Oleh redaksi- April 25, 2014
Hadits dhaif ini populer sekali. Isinya, Aku tinggalkan dua perkara padamu yang
jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat
selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
Kita tentu sudah sering membaca hadits ini dari berbagai buku Islam dan juga
khutbah-khutbah di mesjid-mesjid. Sudah begitu lama hadits ini kita dengar,
sehingga memang akhirnya berlaku hukum-repetisi (biasanya dipakai dalam
dunia periklanan), bahwa sesuatu yang sering sekali diulang-ulang, akan jadi
sebuah kebenaran yang melekat kuat dalam pikiran kita.
Kalau kita perhatikan secara seksama buku bacaan yang mengutip hadits ini,
umumnya ternyata dikutip bukan dari sumber pertama munculnya hadits (kitab
hadits), melainkan biasanya dikutip dari buku lain, yang ditulis oleh penulispenulis lain.
Misalnya saat kita membaca buku Ilmu Politik Islam, karangan Abdul Rashid
Moten, di hal. 90, ada tertulis kutipan hadits ini dalam khutbah Rasulullah saat
Haji Wada. Buku ini ternyata mengutipnya dari buku The Life of Muhammad,
karya Muhammad Husein Haykal, terjemahan Ismail Raji al-Faruqi (Kuala lumpur,
Islamic Book Trust, 1993, hal. 486-7). Begitulah umumnya, jadi bukan langsung
dari kitab hadits.
Dari hasil pencarian dan penelitian yang sangat melelahkan dengan memakan
waktu yang sangat lama, akhirnya Syeikh Mutashim Sayyid Ahmad, dalam
bukunya Kebenaran Yang Hilang, menemukan bahwa ternyata hadits ini sama
sekali tidak diriwayatkan bahkan oleh para penulis kitab hadits shahih yang
enam di kalangan ahlus Sunnah (Bukhari, Muslim, dll).
Kenyataan ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menyatakan betapa hadits ini
dhaif.

Umumnya kita memang tidak ahli dengan ilmu Hadits atau mengkaji kitab-kitab
Hadits, sehingga hanya karena saking populernya hadits dhaif ini, lalu kita pun
betul-betul telah begitu yakin seolah-olah hadits dhaif ini memang diriwayatkan
oleh kitab-kitab shahih, terutama sahih Bukhari dan sahih Muslim, padahal
kenyataannya tidak.
Bahkan beberapa penulis dan khatib banyak yang lalu secara latah menyebutkan
hadits dhaif ini sebagai riwayat dari Bukhari-Muslim (tanpa pernah mengeceknya
sama sekali).
Lalu dimana sebenarnya hadits dhaif ini muncul pertama sekali?
Dari hasil penelusurannya secara lebih mendalam, maka ditemukanlah ternyata
sumber hadits dhaif ini ada di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik, Sirah Ibnu
Hisyam dan kitab ash-Shawaiq Ibnu Hajar.
Namun riwayat hadits ini ternyata mursal di dalam kitab ash-Shawaiq, dan
terpotong sanadnya di dalam Sirah Ibu Hisyam. (lihat Sirah Ibnu Hisyam, cetakan
lama jilid 2, hal 603; cetakan ketiga, jilid 4, hal 185; cetakan terakhir, jilid 2, hal
221)
Adapun dalam riwayat Imam Malik, terhadap hadits ini adalah khabar marfu
saja, yang tidak ada sanadnya sama sekali (silakan lihat kitab Al-Muwaththa,
Imam Malik, jilid 2 hal 46).
Pertanyaannya juga adalah, mengapa hanya Imam Malik yang meriwayatkan
hadits ini sementara gurunya Abu Hanifah atau muridnya Syafii dan Ahmad bin
Hanbal tidak meriwayatkannya. Jika hadits ini shahih maka kenapa para Imam
mazhab lain dan para Imam hadits berpaling darinya?
Lalu hadits yang sebenarnya seperti apa?
Hadits yang sebenarnya termaktub dalam banyak kitab hadits shahih lainnya
adalah:
Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya
niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya sepeninggalku, yaitu Kitab Allah
dan ltrah Ahlul Baitku.
Hadits tersebut bisa dilihat pada Kitab Sahih Muslim, juz 4, halaman 123,
terbitan Dar al-Maarif Beirut Lebanon.
Jika ingin langsung buka sekarang, bisa diklik Hadits Online ini, lalu carilah
shahih muslim no. 4425
Dalam kitab itu, Muslim meriwayatkan:
wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh
utusan Tuhanku, maka aku pun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan
padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah Kitab Allah,
yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di

atas petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia berada di atas
kesesatan.
Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah, aku peringatkan kamu akan
Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu
akan Ahlul Baitku.
Jadi Apakah Berpegangteguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul Itu Tidak Benar?
Justru pada dasarnya perintah Rasulullah saaw untuk berpegangteguh pada
Kitabullah (Al-Quran) dan Ahlul Bait atau Keluarga-Nabi inilah yang akan
menyelamatkan umat Islam dari berbagai penyimpangan, dan yang akan
membuat kita berada pada Sunnah Rasul.
Sebab Keluarga Nabi saaw inilah yang akan MENJAGA keaslian dan kemurnian
ajaran Islam, memelihara Sunnah Rasulullah saaw.
Pada hakikatnya, jika kita berpegangteguh pada Ahlul Bait atau keluarga
Rasulullah saaw, maka sesungguhnya kita telah berpegangteguh pada Sunnah
Rasul. Sebab Allah swt sendiri telah menjamin bahwa para Imam as dari keluarga
nabi saaw ini adalah manusia SUCI, sebagaimana firman Allah SWT yang
berbunyi:
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. (QS. Al-Ahzab : 33).
Posts related to Hadits Berpegangteguh Pada Kitabullah & Sunnah Rasul,
Ternyata Hadits Dhaif

Sumber Ajaran Islam Menurut Wasiat Rasulullah


12 Imam Syiah yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahli Sunnah
Kewajiban Setiap Muslim Untuk Mencintai Keluarga Nabi
Syiah Bagian dari Islam
Posted in Artikel Islam | Comments Of
Tagged: contoh hadits dhaif, kitabullah, sunnah rasul, sunnah rasulullah

Anda mungkin juga menyukai