PRESENTASI KASUS
Pembimbing:
Dr. dr. Bambang Hari Wiyanto, Sp.THT-KL (K)
Disusun oleh:
Rosa Amanda Salim (2010-061-122)
Nadya Paramita Winata (2010-061-123)
Ferry Kurniawan (2010-061-126)
Steffi Wulansari (2011-061-124)
STATUS PASIEN
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An.N
Umur
: 10 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Dongkelan RT 09 RW 04, Pucung Kidul Kroya, Cilacap, Jawa
Tengah
Tanggal pemeriksaan : 30 April 2012
II.
Anamnesa
Dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 2 Mei 2012
KELUHAN UTAMA
KELUHAN TAMBAHAN
Riwayat alergi dan polip hidung disangkal oleh orang tua pasien
RIWAYAT PENGOBATAN:
-
1 hari sebelum dioperasi, pasien datang berobat di poli THT RS. Panti Rapih:
Subyektif: hidung buntu post operasi polip di Banyumas tumbuh lagi
Obyektif: hidung: massa polip nasi sinus maksilaris kanan, penebalan mukosa
1
Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital
Suhu
Tekanan darah
Laju nadi
Laju napas
: Tampak tenang
: Compos Mentis
: Afebris
: 120/70 mmHg
: 104 x/menit
: 18 x/menit
Pemeriksaan telinga
-
Pemeriksaan hidung
-
Inspeksi & palpasi hidung luar : Tidak tampak perdarahan, tidak tampak
deformitas, nyeri tekan pipi kanan.
Rinoskopi anterior: hipertrofi konka nasal kanan dan kiri,
Pemeriksaan tenggorok
-
IV.
Resume
Pasien wanita usia 10 tahun datang dengan keluhan hidung sebelah kanan
buntu sejak 6 bulan yang lalu dan dengan sekret kental, tidak berbau yang sudah
dialami sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat polip di hidung sebelah kanan (+) dan sudah
2
dioperasi 1 tahun yang lalu. Keluhan nyeri di pipi kanan (+). Riwayat alergi pada
pasien disangkal. Riwayat alergi dan polip pada keluarga pasien disangkal.
Pemeriksaan rinoskopi anterior: hipertrofi konka nasal kanan dan kiri, sekret
mukopurulen, massa polip nasi kanan.
V.
Diagnosis Kerja
Rinosinusitis maksilaris dekstra kronis dan polip nasi dekstra
VI.
VII.
Rencana Tatalaksana
- Pro operasi polipektomi dan anthral window
- Pasien rawat dalam bangsal
- IVFD RL 1.500 cc/24 jam
- Periksa laboratorium: darah rutin, APTT/PPT
Pemeriksaan Penunjang
- CT-Scan:
Tampak massa soft tissue di sinus maksilaris dekstra meluas ke cavum nasi
dekstra. Mukosa sinus maksilaris dekstra menebal. Sistem tulang intak.
Darah rutin:
Hematologi
Hasil
Hemoglobin
13,6 gr%
Leukosit
9 x 103/l
Eritrosit
5,02 x 106/l
Hematokrit
40 gr%
Trombosit
337 x 103/l
Hitung jenis leukosit
Hasil
Eosinofil
1,5%
Basofil
0,5%
Neutrofil
75,5%
Limfosit
19,6%
Monosit
3,0%
Indeks eritrosit
Hasil
MCV
79,7 fl
MCH
27,1 pg
MCHC
34 g/dl
RDW-CV
14,4%
Koagulasi
Golongan darah
O
Protrombin time
Control
13,6 detik
Hasil
12 detik
APTT
Control
32,4 detik
Hasil
32,5 detik
Kimia
Fungsi hati
SGOT
24,5
SGPT
Diabetes
Glukosa
Glukosa darah sewaktu
14,6
104
4
Elektrolit
Kalium
Natrium
Chlorida
VIII.
4,6
143
107
Laporan Operasi
Tanggal operasi
: 1 Mei 2012
Macam operasi
Diagnosis pre-operatif
Diagnosis pasca-operatif
Polipektomi:
1. Pasien dibaringkan dalam anestesi umum dan posisi kepala ekstensi
2. Melakukan tindakan antisepsis terhadap lapangan operasi dengan Betadine
3. Memasang doek steril di sekitar lapangan operasi
4. Memasang tampon adrenalin di hidung lalu dicabut, terlihat polip di meatus
medius kanan
5. Polip diambil menggunakan polip forceps, jaringan polip sebesar telor puyuh
6. Perdarahan ditampon dengan kasa adrenalin
Anthral window:
7. Perdarahan ditampon dengan kasa adrenalin
8. Konka inferior kanan disubluksasi
9. Dengan trocair, meatus nasi inferior kanan dilubangi dan dilebarkan dan keluar
cairan berupa pus yang dihisap dengan suction
10. Cavum nasi kanan ditampon dengan kasa, vaselin, dan betadine
11. Operasi selesai
IX.
Subjektif
Objektif
Assessment
Planning
30 April
2012
Pasien tampak
Pasien
Pro-operasi
rileks, tenang,
wanita usia
polipektomi dan
10 tahun
anthral window
normal
dengan
rinosinusitis
maksilaris
Infus RL 20 tpm
2 jam sebelum
dekstra
operasi,
pre-medikasi
kronis dan
Sedacum 2 mg
polip nasi
IV preop di OK
dekstra hari
rawat ke-1
1 Mei
Muntah, mual
2012
Pasien tampak
Pasien
Ceftazidime 500
sakit sedang,
wanita usia
mg IV
10 tahun
hangat, tetesan
dengan
rinosinusitis
dalam batas
maksilaris
normal
dekstra
kronis dan
Asering 1.500
mL + adona 1
amp/kolf
Dexiclav syrup 3
x 1 cth
polip nasi
Kalium
dekstra hari
diklofenak 25 mg
rawat ke-2,
3 x tab
post
operative
Kalnex 250 mg 2
x 1 tab
day ke-1
post
Branon IV 1 amp
polipektomi
dan anthral
window
2 Mei
Mual
Pasien tampak
Pasien
Ceftazidime 500
2012
berkurang,
wanita usia
mg IV
tidak pusing,
hangat, tetesan
10 tahun
tidak nyeri
dengan
Asering 1.500
dalam batas
rinosinusitis
mL + adona 1
normal
maksilaris
amp/kolf
dekstra
kronis dan
Dexiclav syrup 3
x 1 cth
polip nasi
dekstra hari
rawat ke-3,
post
Kalium
diklofenak 25 mg
3 x tab
operative
Kalnex 250 mg 2
day ke-2
x 1 tab
post
polipektomi
dan anthral
3 Mei
Tidak mual,
Pasien tampak
window
Pasien
Ceftazidime 500
2012
tidak pusing,
wanita usia
mg IV
tidak nyeri
hangat, tetesan
10 tahun
dengan
dalam batas
rinosinusitis
normal
maksilaris
dekstra
kronis dan
Asering 1.500
mL + adona 1
amp/kolf
Dexiclav syrup 3
x 1 cth
polip nasi
Kalium
dekstra hari
diklofenak 25 mg
rawat ke-4,
3 x tab
post
operative
Kalnex 250 mg 2
day ke-3
x 1 tab
post
polipektomi
Pasien boleh
pulang besok
dan anthral
4 Mei
2012
Pasien tampak
window
Pasien wanita
Pasien boleh
tenang, akral
usia 10 tahun
pulang
7
hangat, tetesan
dengan
rinosinusitis
dalam batas
maksilaris
normal
dekstra kronis
dan polip nasi
dekstra hari
rawat ke-5,
Dexiclav syrup
No. I
S 3 dd I cth
Kalium
diklofenak 25 mg
No. XX
S 3 dd
post operative
day ke-4 post
polipektomi
Kalnex 250 mg
No. XV
S 2 dd I
dan anthral
window
Iliadin No. I
S 2 dd gtt II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Hidung1
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat
pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
-
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
dan kartilago alaris minor. Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi
eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.
Gambar 1: Anatomi hidung luar (Diambil dari: Snow JB, Ballenger JJ, ed. Ballengers
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-16. Spain: BC Decker; 2003)
Gambar 2: Anatomi hidung luar (dilihat dari lateral) (Diambil dari: Snow JB, Ballenger JJ,
ed. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-16. Spain: BC
Decker; 2003)
Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas batas kavum nasi :
Posterior
Atap
Lantai
Medial
Lateral
Gambar 3: Kavum nasi (Diambil dari: Ellis H. Clinical Anatomy Applied anatomy
for students and junior doctors. Edisi ke-11. Australia: Blackwell Publishing; 2006)
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas
dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan
dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi
suprema terletak di bagian ini.
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan
cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa
yang berjalan bersama sama arteri.
11
Gambar 4: Arteri yang memperdarahi septum nasi (Diambil dari: Manning SC. Rhinologic
Surgery: Epistaxis. Dalam: Bluestone CD, Rosenfeld RM, ed. Surgical atlas of pediatric
otolaryngology. Edisi ke-1. Canada: BC Decker; 2002)
Gambar 5: Arteri yang memperdarahi dinding nasi lateral (Diambil dari: Manning SC.
Rhinologic Surgery: Epistaxis. Dalam: Bluestone CD, Rosenfeld RM, ed. Surgical atlas of
pediatric otolaryngology. Edisi ke-1. Canada: BC Decker; 2002)
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor
menjadi N. Sfenopalatinus.
12
Gambar 6: Persarafan kavum nasi (Diambil dari: Hansen JT, Lamber TR. Netters
Clinical Anatomy. Edisi ke-1. USA: Elsvier; 2005)
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel
goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat
obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
13
Fisiologi Hidung1
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu
14
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
Polip Nasi
Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.
Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu abuan, mengkilat, lunak
karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat
berubah menjadi kekuning kuningan atau kemerah merahan, suram dan lebih
kenyal (polip fibrosa).1
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan
dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke
arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.
15
Gambar 7: Polip nasi (Diambil dari: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, ed. Head and neck
surgery otolaryngology. Edisi ke-4. US: Lippincott Williams & Wilkins; 2006)
Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi dalam hidung atau
sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip
seringkali ditemukan pada pasien dengan rhinosinusitis kronik, termasuk
rhinosinusitis alergik dan kondisi sinonasal kronik inflamatorik lainnya.2
Mekanisme
polip
dipercaya
adalah
multifaktorial.2,3
Polip
berasal
dari
2.
Sinusitis kronik.
3.
Iritasi.
4.
Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka.
Patofisiologi
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan polip nasi. Kerusakan epitel
merupakan patogenesa dari polip. Sel-sel epitel teraktivasi oleh alergen, polutan dan
agen infeksius. Sel melepaskan
respon
16
inflamasi dan perbaikan. Epitel polip menunjukan hiperplasia sel goblet dan
hipersekresi mukus yang berperan dalam obstruksi hidung dan rinorea. Polip dapat
timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang
mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang
disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya
membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila,
kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke
kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang
yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia
karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun.
Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa
menyebabkan obstruksi di meatus media.
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat
di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler,
sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut,
mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.
Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan
atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit di ostiomeatal.
Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang
berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena
ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan
gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel
mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.1
Gejala Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang - timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan
17
yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus
paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan
rinore. Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung.
Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan hidung yang meningkat, hiposmia
sampai anosmia, perubahan pengecapan, dan drainase post nasal persisten. Sakit kepala dan nyeri
pada muka jarang ditemukan dan biasanya pada daerah periorbita dan sinus maksila. Pasien polip
dengan sumbatan total rongga hidung atau polip tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep
apnea obstruktif dan pernafasan lewat mulut yang kronik.1,2
Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala obstruktif hidung yang
dapat berubah dengan perubahan posisi. Walaupun satu atau lebih polip yang muncul, pasien
mungkin memperlihatkan gejala akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat ostium
sinus. Beberapa polip dapat timbul berdekatan dengan muara sinus, sehingga aliran udara tidak
terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap dalam sinus.Dalam hal ini dapat timbul perasaan penuh
di kepala, penurunan penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus yang terperangkap tadi
cenderung terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin perdarahan pada
hidung. Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil mungkin tidak
menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan rutin. Polip yang terletak
posterior biasanya tidak teridenfikasi pada waktu pemeriksaan rutin rinoskopi posterior. Polip yang
kecil pada daerah dimana polip biasanya tumbuh dapat menimbulkan gejala dan menghambat
aliran saluran sinus, menyebabkan gejala-gejala sinusitis akut atau rekuren.1,2
Gejala subjektif yang biasa dikeluhkan oleh pasien dapat berupa hidung terasa
tersumbat, hiposmia atau anosmia (gangguan penciuman), nyeri kepala, rhinore, bersin, iritasi di
hidung (terasa gatal), post nasal drip, nyeri muka, suara bindeng, telinga terasa penuh, mendengkur,
gangguan tidur, penurunan kualitas hidup. Gejala objektif yang biasanya dapat ditemukan
berupa edema mukosa hidung, submukosa hipertropi dan tampak sembab, terlihat massa lunak
yang berwarna putih atau kebiruan, bertangkai.1
Diagnosis
Anamnesa
Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung tersumbat. Sumbatan ini
menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada
massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan penciuman.
Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ didekatnya berupa: adanya post
nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur,
18
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu juga harus di tanyakan riwayat rhinitis
alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan.1
Pemeriksaan Fisik
1.
Inspeksi
Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Dapat dijumpai pelebaran
kavum nasi terutama polip yang berasal dari sel-sel etmoid.
2.
Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum membuat pemeriksaan
menjadi lebih sulit. Tampak secret mukus dan polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu
dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan
larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah akan
mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus
etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.
3.
Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya berasal dari daerah
etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang menandakan adanya rinosinusitis.
Pemeriksaan penunjang
1.
Nasoendoskopi
Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus baru. Polip stadium awal
tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
19
nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat terlihat tangkai polip yang berasal dari
ostium assesorius sinus maksila.
2.
Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, lateral, Caldwell dan AP) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi sebenarnya kurang
bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan positif palsu atau negatif palsu
dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi
anatomis di daerah kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat
untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. Terutama pada kasus polip
yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai
potongan koronal,sedangkan polip yang rekuren juga diperlukan potongan aksial.
20
Gambar 10: CT- scan polip (tanda panah putih) (Diambil dari:
http://www.brown.edu/Courses/Digital_Path/systemic_path/hn/nasalpolyp3.html)
Gambar 11: CT-scan polip (Kiri: potongan koronal: penebalan mukosa sinus etmoid dan maksila. Kanan:
potongan parasagital) (Diambil dari: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, ed. Head and neck
surgery otolaryngology. Edisi ke-4. US: Lippincott Williams & Wilkins; 2006)
3.
Tes alergi
Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi lingkungan atau
riwayat alergi pada keluarganya.
4.
Laboratorium
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sinusitis alergi ditemukan eosinofil pada
swab hidung, sedang pada non alergi ditemukannya neutrofil yang menandakan adanya sinusitis
kronis.
Differensial Diagnosis
Ketika mengevaluasi, sebuah polip nasal harus dibedakan dengan massa pada
nasal, dan kemungkinan adanya penyakit sistemik, seperti contohnya polip nasal
pada anak-anak harus disingkirkan terlebih dahulu kemungkinan adanya cystic
fibrosis dan diskinesia ciliary. Polip yang unilateral harus dicurigai juga adanya
reaksi alergi, infeksi jamur, ataupun sinusitis.
Neoplasma sinonasal biasanya memperlihatkan gambaran endoskopi yang
menyerupai polip, maka dalam mendiagnosa suatu polip, harus dipikirkan juga
kemungkinan massa tersebut merupakan suatu karsinoma, sarcoma, angiofibroma,
21
meningioma. Pada beberapa pasien dapat dijumpai sebuah massa seperti polip yang
unilateral pada bagian atas dari rongga nasal dengan tangkai yang tidak jelas terlihat
mungkin merupakan suatu encephalocele atau meningocele. Terlihatnya pulsasi
pada pemeriksaan endoskopi pada massa tersebut dan adanya pembesaran massa
tersebut dengan melakukan penekanan pada vena jugularis interna sisi yang sama
dapat memastikan diagnosis tersebut.
Sebagai pegangan, apabila menjumpai massa pada hidung yang tidak memiliki
karakteristik seperti polip, unilateral, mudah berdarah, atau bertangkai tapi tidak
terlihat dengan jelas, pemeriksaan imaging, seperti CT-scan atau MRI perlu
dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengelolaan lebih lanjut.3
Komplikasi
Polip nasi dapat menyebabkan komplikasi karena blokade aliran udara normal
dan
drainase
cairan,
juga
karena
inflamasi
kronik
yang
mendasari
perkembangannya.
Komplikasi yg mungkin terjadi antara lain:4
kebutaan permanen
Meningitis
Aneurisma atau terjadi gumpalan darah
Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhankeluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi
infeksi berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien
yang disertai asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada
22
pasien,
sehingga
dalam
keadaan
demikian
langsung
diberikan
kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku,
pemberian masih secara empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari
selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu. Menurut van
Camp dan Clement, dikutip dari Mygind dan Lidholdt, untuk polip dapat diberikan
prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam beberapa dosis, yaitu 60
mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan tapering off 5 mg per hari. Menurut
Naclerio pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun.
Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak dianjurkan lagi
mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli. Kalau ada tandatanda infeksi harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus polip
dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid : (1) Oral,
misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian dosis
diturunkan perlahan lahan (tapering off); (2) Suntikan intrapolip, misalnya
triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5 7 hari sekali, sampai
polipnya hilang; (3) Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid,
merupakan obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan
pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga
lebih aman.5
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan pembedahan. Kasus polip
yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah. Terapi bedah yang dipilih tergantung dari
luasnya penyakit (besarnya polip dan adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas
alat yang tersedia dan kemampuan dokter yang menangani. Pembedahan dilakukan
pada kondisi-kondisi seperti:5
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
3. Polip berhubungan dengan tumor
4. Pada anak anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang
gagal pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
23
di
ruang
tindakan
unit
rawat
jalan
dengan
analgesi
lokal.
yang
lebih
baik. Etmoidektomi;
etmoidektomi
intranasal
atau
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo E, Wardani RS. Polip Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.
2. Healy GB, Rosbe KW. Sinusitis and Polyposis. Dalam: Snow JB, Ballenger JJ, ed.
Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-16. Spain: BC
Decker; 2003.
3. Kenna MA. Chronic Hypertrophic Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Dalam: Bailey
BJ, Johnson JT, Newlands SD, ed. Head and neck surgery otolaryngology. Edisi ke4. US: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
4. Mayoclinic. Nasal Polyp. 2011 Feb 19 [Disadur pada 2012 Mei 10]. Dapat diunduh
di: http://www.mayoclinic.com.
5. Adam GL, Boies LR, Hilger PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of
Otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 1997.
6. Manning SC. Rhinologic Surgery: Epistaxis. Dalam: Bluestone CD, Rosenfeld RM,
ed. Surgical atlas of pediatric otolaryngology. Edisi ke-1. Canada: BC Decker; 2002.
7. Hansen JT, Lamber TR. Netters Clinical Anatomy. Edisi ke-1. USA: Elsvier; 2005.
25
26