Anda di halaman 1dari 14

Cacingan yang disebabkan

Ascaris Lumbricoides

Angelyn Christabella
10.2010.342
C3
Email: angelyn.christabella@gmail.com
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Telp : (021) 5694-2061
begin_of_the_skype_highlighting

PENDAHULUAN

Pada makalah ini akan dibahas mengenai penyakit cacingan yang menuju pada
kasus : seorang ibu membawa anak yang berusia 5 tahun ke Puskesmas dengan
keluhan 1 hari yang lalu saat buang air besar disertai keluar cacing berbentuk
bulat dan panjang dengan ukuran 25cm. Nafsu makan anak juga berkurang. Pada
pemeriksaan anak tampak sakit ringan, berat badan 12 kg. Penyakit ini merupakan
penyakit yang disebabkan parasit yaitu nematoda usus yang merupakan cacing
Ascaris lumbricoides.
Makalah ini akan membahas mengenai habitat, morfologi, siklus hidup dari
cacing tersebut serta akan dibahas juga mengenai pemeriksaan yang dibutuhkan
serta gejala klinis, pengobatan, komplikasi, dan prognosis.

ISI

Pemeriksaan Anamnesis
Anamnesis yang akurat sangat vital dalam menegakkan diagnosis bersama-sama
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. pada kasusu ini,
hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain:
Untuk menentukan kelainan/ penyakit yang diderita seseorang akibat gangguan
saluran pencernaan perlu dilakukan anamnesis, baik auto maupun allo anamnesis
yang teliti dan sistematis, sesuai dengan kronologis kejadian.
Anamnesis dimulai dengan keluhan utama, yakni keluhan yang diderita
seseorang, membawa dia untuk meminta pertolongan/ pengobatan kepada dokter.
Gejala klinis gangguan sistem pencernaan dapat berupa nyeri epigastrium, mual
muntah, kembung, diare, dll.
Anamnesis untuk kelainan sistem pencernaan secara garis besar dapat dibagi atas
3bagian, yaitu:
A. Gangguan asupan (intake)
B. Gangguan penyerapan (absorpsi)
C. Gangguan struktur lainnya pada sistem pencernaan, baik pada sistem
pencernaan bagian atas maupun sistem pencernaan bagian bawah.

A. Gangguan asupan dapat disebabkan oleh kelainan pada sistem pencernaan itu
sendiri ataupun yang berasal dari luar sistem pencernaan. Gangguan pada
sistem pencernaan misalnya:

Adanya gangguan menelan. Gangguan menelan, dapat akibat adanya


kelainan pada orofaring, seperti: adanya faringitis akut, tonsilitis,
tumor
Gangguan pada esofagus meliputi esofagitis, striktur esofagus, atresia
esofagus, akhalasia, tumor dan lain-lain.
Kelainan pada lambung juga akan mengakibatkan makanan yang
sudah ditelan kembali dikeluarkan akibat mual dan muntah. Hal ini
misalnya dapat ditemukan pada: ulkus ventrikuli, gastritis, penyakit
refluk gastroesofageal, gangguan pada spinkter gastro-duodenum,
penyakit hepatobilier, gangguan pada pankreas.
Gangguan diluar sistem pencernaan yang dapat mengganggua asupan/
intake dimana hal tersebut mengakibatkan mual dan muntah. misalnya
hiperemesis gravidarum, penyakit ginjal kronik, diabetes melitus
dengan ketoasidosis, gangguan pada susunan saraf pusat
B. Gangguan penyerapan dapat terjadi, baik disebabkan oleh kelainan pada
sistem pencernaan bagian atas, maupun kelainan pada sistem pencernaan
bagian bawah.
Gangguan pada sistem pencernaan bagian atas misalnya: gastritis
kronik, gangguan sekresi enzim pankreas, gangguan sekresi
bilirubin ke usus halus, infeksi pada usus halus, penyakit celiac.
Gangguan pada sistem pencernaan bagian, bawah meliputi infeksi
pada colon, toksin bakteri, penyakit otoimun pada sistem
pencernaan, tumor dan lain-lain.
Gangguan penyerapan akibat kelainan diluar sistem pencernaan,
misalnya penderita dengan hipertiroid, gangguan elektrolit,dll.

C. Gangguan lainnya yang ditemukan pada sistem pencernaan meliputi


perdarahan pada sistem pencernaan, baik yang bersumber dari sistem
pencernaan bagian atas, maupun dari sistem pencernaan bagian bawah,
tumor sistem pencernaan, primer ataupun sekunder, hemorhoid, kelainan
kongenital, misalnya atresia ani dan lain-lain.1

Pemeriksaan Fisik
Untuk melakukan pemeriksaan abdomen yang baik, diperlukan penerangan yang
baik, pasien yang rileks, dan pejanan abdomen yang penuh dari daerah di atas
prosesus sifoideus hingga simphisis pubis, daerah inguinal harus dapat terlihat
oleh pemeriksa. Genitalia harus tetap ditutupi. Otot-otot abdomen harus lemas
untuk memudahkan pelaksanaan semua aspek pemeriksaan.2
Langkah-langkah yang mempermudah pemeriksaan abdomen:

Pasien harus sudah mengosongkan kandung kemihnya.

Buat pasien merasa nyaman dalam posisi berbaring terlentang dengan


sebuah bantal di bawah kepalanya dan mungkin sebuah lagi di bawah
lutut. Sisipkan tangan pemeriksa ke bawah punggungnya untuk
mengetahui apakah pasien sudah merasa rileks atau belum.

Meminta

pasien

untuk

meletakkan

tangan

di

sisi

tubuh

atau

menyilangkannya di depan dada.

Sebelum memulai palpasi, pemeriksa meminta pasien untuk menujuk


setiap daerah yang nyeri sehingga pemeriksa memeriksa daerah tersebut
paling akhir.

Hangatkan tangan dan stetoskop serta hindai kuku jari tangna yang
panjang.

Melakukan pendekatan secara perlahan dan hindari gerakan cepat yang


tidak terduga. Ketika melakkukan palpasi, pemeriksa uga harus mengamati
wajah pasien untuk menemukan setiap tanda yang menunjukka rasa nyeri
atau ketidaknyamanan.

Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan dengan urutan inspeksi, auskultasi,


perkusim dan palpasi.2

INSPEKSI
Memperhatikan:
Kulit: jaringan parut, striae, vena yang berdilatasi, ruam dan lesi.
Umbilicus: kontur, setiap tanda inflamasi atau hernia.
Kontur abdomen: rata atau bulat atau buncit atau skafoid (sangat cekung).
Terdapat benjolan atau tidak. Kesimetrisan abdomen, terdapat organ yang
membesar atau tidak.
Peristaltis: mengamati gerakan peristalsis selama beberapa menit.
Peristaltis normal terlihat pada orang yang sangat kurus.
Pulsasi: pulsasi aorta yang normal sering terlihat di daerah epigastrium. 2

AUSKULTASI

Auskultasi memberikan informasi yang penting mengenai motilitas usus.


Dengarkan abdomen sebelum melakukan perkusi atau palpasi karena dapat
mengubah frekuensi bunyi usus. Auskultasi dapat dilakukan untuk mengetahui
bising usus normal atau mengacu ke arah inflamasi atau obstruksi. Auskultasi
dapat pula mengungkapkan bruits yaitu bunyi vascular yang menyerupai bising
jantung di daerah aorta atau pembuluh arteri lainnya pada abdomen; terdengarnya
bunyi bruits ini menunjukkan kemungkinan penyumbatan dalam pembuluh
darah.2
Pada auskultasi frekuensi dan sifat bising usus harus diperhatikan. Bunyi normal
terdiri atas bunyi dentingan (klik) dan gemericik yang terdengar dengan frekuensi
sekitar 5-34 kali per menit. Kadang-kadang dapat terdengar borborigmi (bunyi
gemericik yang panjang dan lama karena hiperperistaltik) yang sering disebut
dengan bunyi perut yang kosong. Karena bunyi usus menjalar secara meluas ke
seluruh abdomen, biasanya auskultasi dengan mendengarkan bunyi tersebut pada
satu titik saja seperti pada kuadran kanan bawah, sudah cukup. Jika ada gangguan
seperti tumor hepar atau infark pada lien maka dapat terdengar bunyi gesekan atau
friction rubs.2

PERKUSI
Perkusi dapat membantu untuk menilai jumlah distribusi gas dan mengenali
kemungkinan adanya massa padat ataupun berisi cairan. Penggunaannnya dalam
memeperkirakan besar organ (hepar dan lien).2
Perkusi secara ringan dilakukan pada keempat kuadran abdomen untuk menilai
distribusi bunyi timpani atau redup. Biasanya bunyi timpani lebih dominan karena
keberadaan gas di dalam traktus gastrointestinal, namun daerah-darerah bunyi
redup yang terpencar-pencar karena keberadaan cairan dan feses juga merupakan
gambaran yang khas.2

Pekak hati dapat ditemukan pada daerah antara paru di sebelah atas arkus kosta
pada sisi sebelah kanan. Setiap daerah dengan bunyi redup yang luas yang
mungkin menunjukkan adanya massa atau pembesaran organ. Abdomen yang
buncit dan mengeluarkan suara timpanik paa perkusi keseluruhan kuadrannya
menunjukkan obstruksi intestinal.2

PALPASI
Palpasi ringan. Meraba abdomen secara lembut untuk mengidentifikasi adanya
nyeri tekan pada abdomen, resistensi otot, dan beberapa organ serta massa yagn
letaknya superfisisal. Posisikan tangan dan lengan bawah pada bidang horizontal,
dengan jari-jari tangan dirapatkan serta rata pada permukaan abdomen pasien.
Palpasi

dilakukan

dengan

gerakan

yang

ringan,

lembut,

dan

sedikit

menekan.ketika menggerakkkan tangan dari satu tempat ke tempat yang lain,


tangan harus sedikit terangkat tanpa terlepas daei permukaan kulit. Palpasi
dilakukan pada seluruh kuadran abdomen. Palpasi juga dapat menilai defens otot
yang terjadi di bawah kendali kemauan dengan spasme otot di luar kemauan.2
Palpasi dalam. Digunakan untuk menentukan batas-batas massa abdominal.
Palpasi dalam menggunakan permukaan ventral jari-jari tangan pada setiap
kuadran abdomen. Pada palpasi dalam, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
massaorgan, ukuran, besar, konsistensi, nyeri tekan, pulsasi, dan setiap mobilitas
yang berhubungan dengan tangan pemeriksa.2
Dari seluruh hasil pemeriksaan fisik, maka akan ditemukan korelasi yang dapat
mengacu pada suatu diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang
Selama fase pulmonal akan ditemukan eosinofiia. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan telur cacing pada tinja atau karena cacing dewasa keluar tubuh dan
ditemukan pada tinja.3
Tes serologi terkadang diperlukan. Yang paling bermanfaat adalah tes flokkulasi
bentonit, hemaglutinasi indirek, dan ELISA. Semua tes ini harus positif untuk
menyokong diagnosis. Peningkatan jumlah eosinofil di dalam darah juga
merupakan suatu indicator terhadap penyakit cacingan.4

Diagnosis utama
Askariasis

Etiologi
Ascaris lumbricoides adalah cacing gelang usus kecil yang terbesar yang umum
menginfeksi manusia ; ukuran cacing betina 20-40 cm dan yang jantan berukuran
15-30 cm. cacing betina mengandung sebanyak 27 juta telur pada satu saat dan
bisa menelurkan kira-kira 200.000 telur sehari. Telur-telur yang berbentuk ovoid
lebar ini mempunyai panjang 45-75 mikrometer dan lebar 35-50 mikrometer.
Telur yang dibuahi terdiri dari lapisan dalam yang tipis dan bersifat kedap air,
lapisan tengah yang tebal dan transparan, dan yang khas adalah lapisan luar yang
mempunyai tonjolan seperti putting susu, sering diwarnai empedu. Telur yang
tidak dibuahi lebih lebar dan lebih panjang dan biasanya tidak mengandung
mantel luar dengan tonjolan seperti putting susu yang mengandung albumin.4
Telur dikeluarkan ke dalam tinja, meneruskan perkembangannya dan bersifat
menular setelah pergantian kulit larva stadium pertama dalam telur. Telur tahan
pengeringan, temperature rendah dan banyak bahan kimia. Perkembangan terjadi
cepat selama beberapa minggu tetapi pada keadaan yang tidak memungkinkan

dpaat tertunda selama beberapa periode tertentu, hanya untuk menunggu saat
keadaan kembali seperti semula.4
Telur yang mengandung larva stadium kedua yang infektif tidak pernah menetas
di tanah. Namun, saat tertelan dan dirangsang oleh enzim dalam duodenum, larva
keluar, menerobos mukosa usus dan masuk ke sistem limfe dan vena
mesenterium. Kemudian larva memasuki peredaran darah porta dan tiba di
anyaman kapiler pilmonum, di sini biasanya larva ini menembus endotel dan
epitel alveoli untuk memasuki ruang alveoli. Larva berganti kulit dua kali, dan
pada hari ke-20 larva stadium keempat naik ke saluran pernapasan sampai di
epiglottis dan tertelan. Kebanyakan askarid akhirnya menetap dalam jejunum.
Setelah pergantian kulit keempat dan yang terakhir, terjadi kopulasi dan betina
mulai bertelur.4

Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan kosmopolit tertama di daerah tropik dengan udara yang
lembap serta sangat erat hubungannya dengan keadaan hygiene dan sanitasi. 5
Survey yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa
prevalensi cacing ini masih cukup tinggi, sekitar 60-90%.6
Cacing ini terutama menyerang anak-anak usia 5-9 tahun, sedangkan menurut
jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan nyata, artinya laku-laku dan
perempuan memiliki kemungkinan terinfeksi yang sama.5

Manifestasi Klinik
Selama periode invasi dan perpindahan larva bisa terjadi batuk, sesak napas,
demam (39,5 sampai 40,5 derajat Celcius), ronki, dan pekak pada perkusi dada.
Hemoptisis bisa juga terjadi dan larva dapat dijumpai dalam sputum. Bisa terluhat
konsolidasi radiografi dan pelebaran hilus paru dan hitung eosinofil sering kali

sangat tinggi (sindrom Loffler). Selama fase ini manifestasi hipersensitivitas lain,
seperti urtikaria sering ditemukan pada individu yang berulang kali terinfeksi.
Pada anak kecil, yang mengandung beratus-ratus larva migrans, askariasis paru
bisa berakibat fatal. Manifestasi alergi seperti asma bronchial dan urtikatia bisa
menetap sampai infeksi terbasmi.4
Kecuali kali jumlah cacing sangat banyak, cacing dewasa yang ada dalam usus
umumnya hanya menyebabkan sedikit gejala. Beberapa gejala yang menonjol
pada anak adalah nyeri epigastrium yang tidak jelas, mual, muntah, dan anoreksia.
Kadang-kadang nyeri abdomen, seperti kolik intermiten yang berat, dapat
disebabkan oleh obstruksi usus parsial.4
Penatalaksanaan
Pada umumnya sindrom Loeffler perngobatannya hanya dilakukan secara
simptomatik saja. Untuk batuk dan sesak nafas diberikan obat antitusif atau
ekspektoran, sedangkan untuk sesak nafas dapat diberikan efedrin.
Pada waktu askariasis intestinal sangat mudah diobati dengan antihelminthes yang
efektif dan mempuyai efek samping yang minim. Mulai dari pirantel pamoat,
albendazol, dan mebendazol. Dosis tunggal pirantel pamoat 10 mg basa/ kg berat
badan mengasilkan angka penyembuhan 85-100%. Efek samping ringan dan
jarang, seperti mual, muntah, diare, sakit kepala. Albendazol (400mg) diberikan
sebagai dosis tunggal dan berhasil menyembuhkan 95% kasus atau lebih. Pada
infeksi berat dosis tunggal perlu diberikan selama 2-3 hari. Migrasi askaris yang
kemudian keluar lewat hidung atau mulut jarang terjadi. Obat ini tidak boleh
diberikan pada ibu hamil. Seperti albendazol, mebendazol juga dapat
mengakibatkan sebelum cacing mati mungkin bermigrasi terlebih dahulu. Dosis
piperazin adalah 75mg/kg berat badan (maksimum 3,5gram) selama 2 hari,
sebelum atau sesudah makan pagi. Diteuskan sampai 4 hari atau diulang lagi
selama 2 hari setelah 1 minggu jika pada kasus berat.7

Pencegahan
Melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, misalnya
membuat kakus yang baik untuk menghindari pencemaran tanah dengan tinja
penderita, mencegah masuknya telur cacing yang mencemari makan atau
minuman dengan selalu memasak makanan dan minuman sebelum dimakan atau
diminum, serta menjaga kebersihan perorangan.8 Tidak menggunakan tinja
sebagai pupuk juga bisa menurunkan insiden infeksi ini.4
Mengobati penderita serta pengobatan masal dengan obat cacing berspektrum luas
di daerah endemic dapat memutuskan rantai siklus hidup cacing ini dan cacing
lainnya. Pendidikan kesehatan pada penduduk perlu dilakukan untuk menunjang
upaya pencegahan penyebaran dan pemberantasan askariasis.8

Komplikasi
Masalah lebih berat ditemukan bersama infeksi Ascaris disebabkan oleh
perpindahan cacing dewasa ke saluran empedu dan pankreas, perforasi usus halus
dan sumbatan usus total akibat intususepsi. Komplikasi ini bisa terjadi pada
penyakit yang melemahkan tubuh ketika keadaan menjadi tidak nyaman bagi
cacing. Cacing kadang-kadang berpindah ke arah bawah dan melewati rectum.
Peristiwa yang dramatis ini sering mengejutkan pasien, orang tua, dan staf raung
gawat darurat anak.4

Prognosis
Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis baik. Tanpa pengobatan,
penyakit dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatanm
amgka kesembuhan 70-99%.6

KESIMPULAN
Askariasis merupakan pernyakit yang diderita oleh seseorang yang menelan telur
dari cacing Ascari lumbricoides yang kemudian aka berkembang menjadi bentuk
infektif berupa larva dan cacing dewasa di dalam tubuh. Cacing dewasa kemudian
akan menghasilkan telur dan akan dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa juga
dapat turut keluar dari tubuh manusia bersama telurnya dan tinja. Penyakit ini
dapat dicegah tetapi jika sudah terkena penyembuhannya pun dapat menghasilkan
hasil yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Pelaksana Skill Lab FK Andalas. Penuntun skill lab 2.6. gangguan sistem
pencernaan. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2012. Hal. 67.
2. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Edisi 8.
Jakarta: EGC, 2009. Hal. 339-44.
3. Herdiman TP. Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. Dalam: editor.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. Hal. 1764.
4. Alpers A. buku ajar pediatric Rudolph. Edisi 20. Jakarta: EGC, 2006. Hal.
797-9.
5. Natadisastra D. parasitologi kedokteran: ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta: EGC, 2009. Hal. 73-8.
6. FKUI. Parasitologi kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009. Hal. 6-9.
7. Hadidjaja P, Margono SS, editor. Edisi 1. Dasar parasitologi klinik. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI, 2011. Hal. 127.
8. Soedarto. Penyakit menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto, 2009. Hal. 20-

5.

Anda mungkin juga menyukai