Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sejarahnya dapat
dilacak sampai ribuan tahun sebelum masehi. Sejak zaman purba, penyakit ini
dikenal sebagai penyebab kematian yang menakutkan. Sampai pada saat Robert
Koch menemukan penyebabnya, penyakit ini masih termasuk penyakit yang
mematikan. Istilah saat itu untuk penyakit yang mematikan ini adalah
consumption. Di negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, angka
kesakitan maupun angka kematian TB paru pernah menurun secara tajam. Di
Amerika Utara, saat awal orang Eropa berbondong-bondong bermigrasi ke sana,
kematian akibat TB pada tahun 1800 sebesar 650 per 100.000 penduduk, tahun
1860 turun menjadi 400 per 100.000 penduduk, di tahun 1900 menjadi 210 per
100.000 penduduk, pada tahun 1920 turun lagi menjadi 100 per 100.000
penduduk, dan pada tahun 1969 turun secara drastis menjadi 4 per 100.000
penduduk per tahun. Angka kematian karena tuberkulosis di Amerika Serikat
pada tahun 1976 telah turun menjadi 1,4 per 100.000 penduduk. Penurunan
angka kesakitan maupun angka kematian ini diyakini disebabkan oleh :
membaiknya keadaan sosioekonomik, infeksi pertama yang terjadinya pada usia
muda, penderita yang sangat rentan segera meninggal (tidak terjadi sumber
penularan), serta ditemukannya obat anti TB yang ampuh. Akan tetapi, pada
pertengahan 1980-an angka kesakitan TB paru di Amerika Utara maupun Eropa
Barat meningkat kembali bahkan dengan penyulit, yaitu terapi standar tidak lagi
mempan untuk melawannya. Pada tahun 1992, angka kematian akibat TB
menjadi 6,8 per 100.000 penduduk (naik hampir 5 kali dibandingkan angka
kematian tahun 1976 yang hanya 1,4 per 100.000 penduduk).
Di Indonesia, TB paru menduduki urutan ke-4 untuk angka kesakitan
sedangkan sebagai penyebab kematian menduduki urutan ke-5; menyerang
sebagian besar kelompok usia produktif dari kelompok sosioekonomi lemah.
Walau upaya memberantas TB telah dilakukan, tetapi angka insiden maupun
prevalensi TB paru di Indonesia tidak pernah turun. Dengan bertambahnya
penduduk, bertambah pula jumlah penderita TB paru, dan kini Indonesia adalah

negara peringkat ketiga terbanyak di dunia dalam jumlah penderita tuberkulosis


paru. Dengan meningkatnya infeksi HIV/AIDS di Indonesia, penderita TB akan
meningkat pula. Karena diperkirakan seperempat penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis, pada tahun 1993 WHO merencanakan tuberkulosis sebagai
kedaruratan global. (Djojodibroto, 2009)
Tuberkulosis

adalah

penyakit

yang

disebabkan

oleh

infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah


kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta
kasus baru tuberkulosis pada tahun 2009, lima negara dengan insidens kasus
terbanyak yaitu India, (1.6-2.4 juta). China (1.1-1.5 juta), Afrika Selatan (1.2-1.8
juta) (PDPI,2006). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian
penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
ekstrapulmonar. (Djojodibroto, 2009)
Ada beberapa kriteria pembagian TB, yaitu berdasarkan tempat organ yg
terinfeksi, hasil pemeriksaan dahak (BTA) dan berdasarkan tipe pasien. Berdasar
hasil pemeriksaan dahak (BTA),TB paru dibagi menjadi tuberkulosis paru BTA
positif (+) dan tuberkulosis paru BTA negatif (-).Berdasarkan tipe pasien yang
ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa kriteria
pasien yaitu, pasien Kasus baru,kasus kambuh (relaps),kasus defaulted atau
drop out, kasus gagal, kasus kronik, dan kasus Bekas TB. (PDPI,2006)
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Penegakan diagnosis TB beserta penanggulangannya
menjadi tantangan bagi tenaga medis saat ini. Menurut Menkes dr. Endang
Rahayu

Sedyaningsih,

MPH,

Dr.PH,

tantangan

yang

dihadapi

dalam

penanggulangan TB yaitu, meningkatnya kesenjangan ekonomi, meningkatnya


jumlah penduduk usia lanjut, meningkatnya jumlah penderita HIV dan koinfeksi
TB-HIV, meningkatnya jumlah penderita multi drug resistant (MDR) TB, penderita
Diabetes Mellitus dan orang yang merokok. Oleh karena itu, penting bagi tenaga
medis untuk memahami dan berperan aktif dalam penanggulangan TB sebagai
salah satu pilar usaha menuju Indonesia sehat 2012. (PPTI,2012).

Pneumonia
Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei,nomor 7
di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia
dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per
1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi
pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika
adalah 10 %. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya
ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu
beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal
pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati
urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tuberkulosis

2.1.1

Epidemiologi
Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2009, adalah :
Insidens kasus

: 9.4 juta (8.9 9.9 juta)

Prevalens kasus

: 14 juta (12-16 juta)

Kasus meninggal (HIV negatif)

: 1.3 juta (1.2 1.5 juta)

Kasus meninggal (HIV positif)

: 0.38 juta (0.32-0.45 juta)

Jumlah kasus terbanyak adalah regio Asia Tenggara (35%), Afrika


(30%) dan regio Pasifik Barat (20%). Sebanyak 11-13% kasus TB adalah
HIV positif, dan 80% kasus TB-HIV berasal dari regio Afrika. Pada tahun
2009, diperkirakan kasus TB multidrug-resistant (MDR) sebanyak
250.000 kasus (230.000-270.000 kasus), tetapi hanya 12% atau 30.000
kasus yang sudah terkonfirmasi. Dari hasil data WHO tahun 2009, lima
negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu India (1.6-2.4 juta). China
(1.1-1.5 juta), Afrika Selatan (0.4-0.59 juta),

(0.37-0.55 juta) dan

Indonesia (0.35-0.52 juta). India menyumbangkan kira-kira seperlima dari


seluruh jumlah kasus di dunia (21%).
HIV dan TB merupakan kombinasi penyakit mematikan. HIV akan
melemahkan sistem imun. Apabila seseorang dengan HIV positif
kemudian terinfeksi kuman TB, maka akan berisiko untuk sakit TB lebih
besar dibanding dengan HIV negatif. Tuberkulosis merupakan penyebab
kematian utama pada penderita HIV. Di Afrika, HIV merupakan satusatunya faktor utama yang menyebabkan peningkatan inseiden TB sejak
tahun 1990.
Diharapkan proporsi kasus TB yang terdeteksi dan pengobatan
dengan DOTS meningkat. Di Indonesia, pada tahun 2010 target indikator
case detection rate (CDR) sebesar 73% dengan capaian 73.02% dan
target angka keberhasilan pengobatan atau success rate (SR) 88%
sedangkan pencapaian adalah 89.3%. Untuk tahun 2014, target CDR dan

SR adalah masing-masing sebesar 90% dan 88%. Target stop TB


partnership pada tahun 2015 yaitu mengurangi rerata prevalens dan
kematian dibandingkan pada tahun 1990. Pada tahun 2050 targetnya
adalah mengurangi insiden global kasus TB aktif menjadi kurang dari 1
kasus per satu juta populasi per tahun.
2.1.2

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasi dari spesimen
klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan kultur. Pada negara
dengan keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi M.
Tuberculosis maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan
satu atau lebih dahak BTA positif. Atau seorang pasien yang setelah
dilakuakan pemeriksaan penunjang untuk TB sehingga didiagnosis TB
oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati dengan panduan dan
lama pengobatan yang lengkap.

2.1.3

Klasifikasi
Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan :
1. Letak anatomi penyakit
Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru.
Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya
yang terletak dalam paru.
TB ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru
seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau
hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan
selaput otak.
2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
Tuberkulosis paru BTA positif, apabila :
-

Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan


dahak

menunjukkan

hasil

positif

pada

laboratorium

yang

memenuhi syarat quality external assurance (EQA). Sebaiknya


satu kali pemeriksaan dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari.
Saat ini Indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium yang
memenuhi syarat EQA.

Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium


dengan syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah :

Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau

Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil


pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang
ditetapkan oleh klinisi, atau

Satu hasil pemeriksaan dahak BTA postif ditambah hasil kultur


M. Tuberculosis positif.

Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila :

Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif.


~ Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada
laboratorium yang memenuhi syarat EQA.
~ Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan
dahak BTA negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada
daerah dengan prevalens HIV >1% atau pasien TB dengan
kehamilan 5%.
ATAU

Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah


yang belum memiliki fasilitas kultur M. tuberculosis

Memenuhi kriteria sebagai berikut :


~ Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan
disertai salah satu di bawah ini:
~ Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium
sesuai HIV, atau
~ Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau
prevalens HIV rendah), tidak menunjukkan perbaikan setelah
pemeberian antibiotik spektrum luas (kecuali antibiotik yang
mempunyai

efek

anti

TB

seperti

fluorokuinolon

dan

aminoglikosida).
-

Kasus bekas TB :

Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada)


dan gambaran radiologi paru menjunjukkan lesi TB yang tidak
aktif , atau foto serial (dalam 2 bulan) menunjukkan gambaran

yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih


mendukung.

Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah


mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks
ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

3. Riwayat pengobatan sebelumnya


Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko
resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan
pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT.
Pasien Baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah mendapatkan OAT kurang dari satu
bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan
lokasi anatomi penyakit dimanapun.
Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya : pasien yang sudah
pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama
satu bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi
anatomi penyakit di manapun.
4. Status HIV pasien
Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan
pengobatan. Akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan TB HIV.
2.1.4 Patofisiologi Tuberkulosis
2.1.4.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang
pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini
mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut :
7

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad


integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya, Salah satu contoh
adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga

menimbulkan

obstruksi

pada

saluran

napas

bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan


menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier,

meningitis

tuberkulosis,

typhobacillosis

Landouzy.

Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat


tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan :
-

Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan


terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau

Meninggal.

Semua

kejadian

diatas

adalah

perjalanan

tuberkulosis primer. (PDPI, 2006)

2.1.4.2 Tuberkulosis Postprimer


8

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian


setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun.
Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu
tuberkulosis

bentuk

dewasa,

localized

tuberculosis,

tuberkulosis

menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama


menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang

tersebut

akan

meluas

dan

segera

terjadi

proses

penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya


akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan
keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
-

meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang


pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan di atas.

memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut


tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti
lagi.

bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau


kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus
dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

2.1.5

Gejala Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu


gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru
maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang
terlibat)
1. Gejala respiratorik
-

batuk > 2 minggu

batuk darah

sesak napas

nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala

sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang
pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
-

Demam.

Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia


dan berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu


Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran
yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada
meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara
pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2.1.6

Diagnosis
A. Bahan Pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

10

kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan


jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
B. Cara Pengumpulan dan Pengiriman Bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
-

Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

Pagi ( keesokan harinya )

Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.


Bahan

pemeriksaan/spesimen

yang

berbentuk

cairan

dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6


cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.
Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada
gelas

objek

(difiksasi)

sebelum

dikirim

ke

laboratorium.

Bahan

pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl
0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan
ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus
dipastikan telah tertulis identiti pasien yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium
berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat
dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
-

Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar


terlihat bagian tengahnya

Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian


tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml

Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi


pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak

Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat


yang aman, misal di dalam dus

Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam


kantong plastik kecil

11

Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan


melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan
lidi

Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal


pengambilan dahak

Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke


alamat laboratorium.

C. Cara Pemeriksaan Dahak dan Bahan Lain


Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain
(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk
BJH) dapat dilakukan dengan cara:
- Mikroskopik
- Biakan
C.1 Pemeriksaan Mikroskopik:
Mikroskopik biasa

: pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens

: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya

untuk screening).
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
-

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian

bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif

bila 3 kali negatif BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO).

Skala IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease) :


-

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah


kuman yang ditemukan

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)


12

C.2 Pemeriksaan Biakan Kuman


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional
ialah dengan cara :
-

Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh

Agar base media : Middle brook


Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis

pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga


Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT
dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan,

menggunakan

uji

nikotinamid,

pencampuran dengan cyanogen bromide

uji

niasin

maupun

serta melihat pigmen yang

timbul
C.3 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
-

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior


lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak


berawan atau nodular

Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

Fibrotik

Kalsifikasi

Schwarte atau penebalan pleura


Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan

pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA


negatif) :
-

Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru
yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan

13

dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus


vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
-

Lesi luas, Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pada foto paru pasien nonimmunocompromised selalu dapat ditemukan


abnormalitas, tetapi pada 10-15% pasien penderita HIV dapat saja tidak
ditemukan tanda-tanda abnormal. Kelainan pada foto paru penderita
tuberkulosis primer berbeda dengan tuberkulosis pasca primer.
Gambaran foto paru pada penderita TB paru aktif yang menderita HIV
sering bersifat atipikal, biasanya seperti gambaran infeksi primer, yaitu
terdapat limfadenopati hilar dan mediastinal dengan atau tanpa infiltrat
parenkimal. Dilaporkan bahwa pada tuberkulosis paru, 80% penderita
seropositif HIV menunjukkan foto paru sesuai dengan tuberkulosis primer,
sedangkan untuk penderita seronegatif HIV ditemukan pada 30%.
Laporan juga menunjukkan kavitas ditemukan pada 67% penderita TB
tanpa AIDS, sedangkan pada penderita TB disertai AIDS tidak ditemukan
adanya kavitas. Adenopati ditemukan pada 59% penderita AIDS, dan
hanya pada 3% penderita nonaktif yang didiagnosis sebagai AFB sputum
positif pada preparat apusan maupun kultur. Efusi pleura ditemukan pada
7-12% penderitaTB paru yang positif HIV, tetapi perbedaannya tidak
signifikan dibandingkan dengan yang non-HIV.
C.4 Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih
baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
-

Pemeriksaan BACTEC

Polymerase chain reaction (PCR):

Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:


o

Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

ICT

Mycodot

Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

14

Uji serologi yang baru / IgG TB

C.5 Pemeriksaan Penunjang lain


1. Analisis Cairan Pleura
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis

TB.

Pemeriksaan

yang

dilakukan

ialah

pemeriksaan

histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi,


yaitu :
o

Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening


(KGB)

Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram,


Cope dan Veen Silverman)

Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan


bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru
terbuka).

Otopsi. Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan,


satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke
laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua
difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah
4. Uji tuberculin (PDPI, 2006)
2.1.7

Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3

bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri
dari paduan obat utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
-

INH

Rifampisin

Pirazinamid

Streptomisin

15

Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)


-

Kanamisin

Amikasin

Kuinolon

Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat. Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara
lain :
o

Kapreomisin

Sikloserino

PAS (dulu tersedia)

Derivat rifampisin dan INH

Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Kemasan
-

Obat tunggal, obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,


rifampisin, pirazinamid dan etambutol.

Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC),


kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu
tablet.

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan


rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang
efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada
kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter
spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
2.1.8 Evaluasi
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

a. Evaluasi klinik

16

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan


selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya
efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis
meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
b. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan evaluasi bakteriologik adalah untuk mendeteksi ada tidaknya
konversi dahak. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :
-

Sebelum pengobatan dimulai

Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

Pada akhir pengobatan

Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji


resistensi
c. Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
-

Sebelum pengobatan

Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga


dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan
pengobatan)

Pada akhir pengobatan

d. Evaluasi efek samping secara klinik


Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit
penyerta atau efek samping pengobatan. Asam urat diperiksa bila
menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila
menggunakan etambutol (bila ada keluhan). Pasien yang mendapat
streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada
keluhan). Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis
kemungkinan terjadi efek samping obat.
dicurigai

terdapat

efek

samping,

maka

Bila pada evaluasi klinis


dilakukan

pemeriksaan

laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat


sesuai pedoman

17

e. Evalusi keteraturan berobat


Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat
dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga
dan

lingkungannya.

Ketidakteraturan

berobat

akan

menyebabkan

timbulnya masalah resistensi.


2.1.9 Kriteria Sembuh
Pasien TB dinyatakan sembuh jika:
-

BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan

Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

2.1.10 Evaluasi Pasien yang Telah Sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,
12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).
(Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine, 4th ed, 2005).
2.2 Pneumonia
2.2.1 Epidemilogi
Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga
merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan
adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada
penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus
nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan
28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka
kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat

18

keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat pertahun. (PDPI,


2003)
2.2.2 Definisi
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur,
parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obatobatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
2.2.3 Etiologi
Pneumonia
mikroorganisme,

dapat
yaitu

disebabkan

bakteri,

virus,

oleh
jamur

berbagai
dan

macam

protozoa.

Dari

kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar


negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di
rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan
pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir
ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti
adalah bakteri Gram negatif.
2.2.4 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme
di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru.
Apabila

terjadi

ketidakseimbangan

antara

daya

tahan

tubuh,

mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.


Resiko

infeksi

di

paru

sangat

tergantung

pada

kemampuan

mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran


napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

19

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara


Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5
-2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas
bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat
(drug abuse).Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang
tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1
ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi
pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara
inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran
napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan
tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme
yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul
dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi
permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN
mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit
yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan
tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi seldarah merah
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis
yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.

20

Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan


perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas.
2.2.5 Klasifikasi Pneumonia
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri

mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka,

misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada


penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan

Mycoplasma,

Legionella

dan

Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama

pada

penderita

dengan

daya

tahan

lemah

(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua.Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :
pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi
bronkus
b. Pneumonia interstisial
2.2.6 Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan

21

data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena


beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.maka pada penderita
pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum
pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat
dilihat sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)


Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
Marolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

Aminoglikosid
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
Tikarsilin, Piperasilin
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid

Hemophilus influenzae

TMP-SMZ
Azitromisin
Sefalosporin gen. 2 atau 3
Fluorokuinolon respirasi

Legionella

Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin

22

23

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1

3.2

Identitas Pasien
Nama

: Ny. S H

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 27 tahun

No. Rekam Medis

: 10441514

Alamat

: Jalan Tirto Utomo No. 2 Landungsari

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Status

: Belum Menikah

Jenis Pembayaran

: Umum

Anamnesis
Keluhan Utama

: Sesak nafas

Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Sengkaling, pasien


dating karena merasa sesak sejak 1 minggu yang lalu, memberat 3 hari
ini. Sesak tidak berhubungan dengan aktivitas. Pasien tidak pernah
terbangun malam hari karena sesak. Dia tidur dengan 4 bantal sejak 3
hari yang lalu. Tidak ada riwayat kaki bengkak.
Pasien mengeluh batuk sejak 1 bulan yang lalu. Batuk memberat
sejak satu minggu yang lalu. Pasien mengeluh dahak sulit dikeluarkan.
Tidak ada batuk berdarah. Pasien mengeluh nyeri dada sejak 3 hari yang
lalu, terutama saat batuk. Nyeri dirasakan di bagian tengah dada.
Pasien mengeluh demam sejak 2 minggu yang lalu, dan demam
sumer-sumer sejak 1 bulan yang lalu. Pasien berkeringat saat malam
hari. Pasien merasa nafsu makan menurun dan mnegalami penurunan
berat badan dari 55 kg menjadi 50 kg dalam 1 minggu. Riwayat kontak
dengan pasien TB (+) pada tahun 2013 Ibu pasien didiagnosis TB Paru
dan mendapat pengobatan lengkap dari RS Batu untuk 6 bulan. Tidak
dilakukan pemeriksaan sputum dan X-Ray thoraks lagi pada bulan ke 5
dan akhir bulan ke 6 pengobatan.

24

Riwayat penyakit dahulu : HT(-) Asthma (-), DM (-), TB (-), OAT (-)
Riwayat Pengobatan:
3 hari yang lalu pasien ke Puskesmas Sengkaling karena demam dan
sesak. Dokter tidak melalukan pemeriksaan sputum dan foto thoraks.
Dokter mendiagnosis pasien menderita demam typhoid dan memberi
pasien IVFD RL 20 tpm, Parasetamol 3x500mg dan Kloramfenikol
3x500mg. Keadaan pasien tidak membaik lalu dirujuk ke RSSA.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat anggota keluarga dengan hipertensi (-)
Riwayat anggota keluarga dengan diabetes mellitus (-)
Riwayat anggota keluarga dengan penyakit jantung (-)
Riwayat anggota keluarga dengan asma (-)
Riwayat Sosial:

Pasien bekerja sebagai penjual majalah. Pasien belum menikah


dan tinggal dengan kakaknya.

Pasien tidak merokok aktif, tetapi merupakan perokok pasif. Kakak


pasien merokok sejak 10 tahun yang lalu 1 pak/hari.

Riwayat penggunaan obat suntik (-), Alkohol (-), Tattoo (-),


Berganti pasangan sex (-)

3.3

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum

: Tampak Sakit Berat

Kesadaran

: compos mentis, GCS 456

BP

: 120/70 mmHg

BB

50 Kg

PR

: 135 x/mnt

TB

160 cm

RR

: 44 x/mnt

BMI

17,75 kg/m2

T ax

: 38,4 C

Kepala : an -/-, ict -/ Leher

: JVP (R + 0 cmH2O), Pembesaran lymphnodes (-)

Thorax : COR : ictus invisible ictus palpable at ICS V MCL S


RHM : SL D
LHM : ictus
S1, S2, single,mur-mur (-)

25

Pulmo:

Inspection

Auscultation

St D = S

V/V

Dn D = S

V/V

Palpation, SF

BV/BV
Rh

N/ N

N/ N

-/-

N/ N

+/+
+/ +

Percussion

S/S

D/D

D/D

Wh
-/-/-/-

Abdomen :

Soefl, flat, bowel sound normal, H palpable , /L unpalpable

Extremity :
Edema -/-/-

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratory Findings

Value

January 18th 2015


Leucocyte
Hb
Ht
Plt
MCV
MCH
MCHC
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit

14.120
11,4
37
162.000
71
21,9
30,8
0,0
0,2
65,4
32,9
1,5

/l
gr/dl
%
/L
fL
Pg
g%
%
%
%
%
%

Laboratory Finding
RBS
Ureum

4.700 11,300
11,4 15,1
38 42
142,000 424,000
80-93
27-31
32-36
0-4
0-1
51-67
25-33
2-5

Value
148 mg/dl
28,7 mg/dL

< 200
16,6-48,5
26

Creatinine
SGOT
SGPT
Bil Total
Bil Direct
Bil Indirect
Albumine
Na
K
Cl

0,74
206
64
127
4,52
105

mg/dL
mU/dL
mU/dL
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
g/dl
Mmol / L
Mmol / L
Mmol / L

<1,2
0-32
0-33
<1.10
<0.25
<0.75
3.5 5.5
136 145
3.5 5.0
98 106

Urinalysis
PH
Leukocyte
Nitrite
Prot/Alb
Glucose
Ketones
Urobilinogen
Bilirubin
Erythrocyte
Sediment
Lpf: Epithel
Hpf:
Erythrocyte
Leukocyte
Bactery
Kristal
EKG ( January 18th 2015)

6,3
2+
2+
6,4
1,0
3,2
133,4
-

27

Sinus Rhythm, HR 135x/mnt


Axis frontal

: Right Axis Deviation

Axis horizontal

: Clockwise Rotation

T inverted at V1
Conclusion

: Sinus Tachycardia 135 x/mnt

28

Chest X-Ray (18/01/2015)

Posisi

: Asimetrik, Thorax AP

Inspirasi

: Cukup

Soft tissue

: normal

Tulang

: normal, lesi litik (-), lesi blastik (-), trabekulasi

normal
Trakea

: di tengah

Sinus phrenicostalis : Dextra: tajam


Sinistra: tajam
Hemidiafragma

: dextra dan sinistra dome-shaped

Jantung

: bentuk, ukuran (CTS 54%),dan posisi normal

29

Aorta

: normal, kalsifikasi (-), dilatasi (-), elongasi (-)

Paru

:
Dekstra

: Fibroinfiltrat di semua area, kavitas multiple


dengan diameter 0,1-0,3 cm di semua area,
airbronchogram (+)

Dekstra : Fibroinfiltrat di semua area, kavitas multiple


dengan diameter 0,1-0,3 cm di semua area,
airbronchogram (+)
Kesimpulan

TB Paru Lesi far advance


Pneumonia

BGA I (11.45)

30

Conclusion :
Fi O2 needed = 1,48 15 lpm
NRBM
Hypocarbia
Hypoxemia
Metabolic acidosis with partyal compensated respiratoric Alcalosis
Respiratoric Failure type 1.

31

BGA II (22.30)

Conclusion :
Fi O2 needed = 1,48 15 lpm NRBM
Hypocarbia
Hypoxemia
Metabolic acidosis with partyal compensated respiratoric Alcalosis
Respiratoric Failure type 1.

32

3.5 PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD


TPL
1.Wanita/26 th/RHCU

Sesak, Batuk

RR 44x/mnt

Pulmo :

Aus : BV/BV

Rh +/+
CXR: Pneumonia
Lung TB moderate advance
lession
BGA : PaO2 60,7
PCO2 : 23,2
2.Wanita /26th/ RHCU

Batuk

Demam 2 minggu
BP : 120/70 mmHg
PR : 135 x/mnt
RR : 44 x/mnt
T : 38,4 0C
BMI : 17,75 kg/m2
Pemeriksaan Fisik Pulmo

A : Rh +/+

Leuco : 14.120

CXR : FibroInfiltrate in all


area, airbronchogram (+),
multiple cavities 0,1-0,3 cm
on all area

PPL
1.

Respirato
ry Failure
Type 1

2. Infeksi Paru
Akut

IDX

PDX

1.1 dt. Pneumonia CAP +


Septic condition
1.2 Lung Tb Far advance
lession

2.1 Pneumonia CAP PS


136 RC V + Septic
condition

BGA post
terapi
oksigen

PTX

Sputu
m gram,
culture,

and

sensitivity
test

Oksigen 15
lpm/mnt NRBM
Konsul anastesi

O2 15 L/mnt NRBM
Inj. Levofloxacin
1x750 mg iv
Meropenem 1g iv
PO = NAC 3x200
mg via NGT

PMO
Serial BGA
Clinical
features
VS

Clinical
feature
Blood count
CXR

Blood
Culture

33


3.Wanita/26 th/ RHCU

3. Infeksi Paru
Kronis

Batuk kronis (+)

3.1 Lung TB
Far advance
Lession

Demam (+)

Keringat malam hari (+)

Sputum
pengecatan BTA 3x SP-S
Sputum Kultur di
Media LJ
Uji sensitivitas
sputus
Gen Expert jika
BTA (+)

Recheck
SGOT/PT
HBsAg, anti HCV

2 RHZE/ 4R3H3
(450/300/1000/750)
B6 1x 1 tab

Sput
um BTA,
CXR,
clinical
feature

Penurunan nafsu makan (+)


Penurunan Berat badan
BP : 120/70 mmHg
PR: 135 x/mnt
RR: 44 x/mnt
Rh (+) wh (-)
Thorax = FibroInfiltrates in all
area, multiple cavities 0,1-0,3
cm on all area
4.Wanita/ 26 th/ RHCU
Low intake
Icterus -/ SGOT 206

4. Transaminitis

4.1 Septicemia
4.2 reactive
4.3 Hepatits
Virus

Confirm dx
Curcuma 3x1 tab

Transamin
ase
level
34

SGPT 64

5.Wanita/ 26 th/RHCU
Low intake
Na 127
Hypoosmolar 126

5. Hyponatremia

5.1 SIADH
5.2 Low Intake

SE Ulang/ 3 hari

Infus NaCl 0,9%


20 tpm

Natriun
level

35

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis
Pada kasus ini Ny. S berumur 26 tahun datang dengan keluhan
sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu, memberat sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak berhubungan dengan aktivitas.
Selain itu pasien juga mengeluh batuk yang intermiten sejak 1 bulan
yang lalu dan memburuk sejak 1 minggu yang lalu. Pasien kesulitan
mengeluarkan dahak saat batuk dan tidak ada keluhan batuk darah.
Selain itu, selama 1 bulan belakangan, pasien mengalami demam
rendah dan berkeringat saat malam hari. Terjadi penurunan nafsu
makan dan juga penurunan berat badan yang menurut pasien sekitar
5 kg dalam 1 minggu terakhir.
Menurut ISTC edisi 3 (2014), semua batuk yang lebih dari 2
minggu harus dicurigai adanya kemungkinan tuberkulosis dan segera
dievaluasi. Hal ini cocok dengan diagnosis tuberkulosis sesuai dengan
guideline PDPI Tuberkolosis dan ISTC yang menyatakan bahwa pada
pasien ini terdapat batuk lebih dari dua minggu, sesak nafas, dan
nyeri dada disertai dengan gejala sistemik berupa demam, keringat
malam dan penurunan berat badan (PDPI Tuberkulosis, 2011 dan
ISTC, 2014).
Selama 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh
nyeri dada pada bagian tengah terutama saat batuk. Selama 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, pasien biasanya membutuhkan 4 bantal
untuk tidur. Dari anamnesis pasien tidak mengeluhkan sesak nafas
pada malam hari, tidak ada batuk, tidur dengan satu bantal. Nyeri
dadanya hanya pada dada kanan dan tidak menyebar. Hal ini dapat
menyangkal terjadinya congestive heart failure pada pasien ini
(PAPDI, 2006).

36

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara nafas pada regio basal


paru bronkovesikuler pada kiri dan kanan, ronki pada regio medial dan
basal kiri dan kanan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien ini ditemukan fibroinfiltrate dan multiple cavities pada semua
lapang paru kiri dan kanan dan ditemukan juga airbronchogram pada
lapang paru kiri dan kanan. Hasil BGA pada pasien ini memberikan
hasil severe hypoxemia, hypocarbia, hypoxemia, metabolic acidosis
with partyal compensated respiratoric alcalosis.
Pasien ini jatuh pada kondisi gagal nafas tipe I. Seseorang disebut
mengalami gagal napas tipe 1 (hipoksemik) bila PaO2 < 8 kPa (60
mmHg) dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal nafas tipe I dapat
disebabkan oleh pneumonia, pulmonary edema, dan pulmonary
hemorrhage. Pada pasien ini gagal nafas tipe I disebabkan oleh
adanya infeksi pneumonia CAP. Infeksi pneumonia pada pasien ini
ditunjukkan oleh adanya keluhan batuk berdahak dan demam 2 sejak
2 minggu yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan rhonki pada
region medial basal paru kanan dan kiri, serta didukung oleh foto
thoraks menunjukkan adanya air bronchogram dan infiltral di semua
area paru. Beratnya pneumonia dinilai menggunakan skor PSI
(Pneumonia Severity Index). Pasien ini memiliki skor yakni
wanita (27th-10)

+17,

penyakit hati

+20

Frekuensi nafas >30x/menit

+20,

suhu tubuh >35 C

+15,

Frekuensi >125x/menit

+10,

pH <7,35

+30,

Tekanan O2 darah arteri<60mmHg

+10

Natrium <130

+20,

sehingga didapatkan PSI sebesar 142 menunjukkan derajat risiko berat


dengan Risk Class V dengan angka kematian 29,2% dan indikasi untuk
rawat inap. Selain itu, menurut kriteria IDSA/ATS 2007 pasien ini

37

termasuk kriteria pneumonia berat karena sesuai dengans satu atau


lebih kriteria minor yakni frekuensi nafas >30 kali/menit, PaO2/FiO2
250mmHg, dan foto thoraks menunjukkan infiltrat multilobulus. Oleh
karena itu, pasien ini memerlukan perawatan langsung di Ruang Rawat
Intensif (ICU) karena telah memenuhi syarat 3 gejala minor pneumonia
berat (PDPI Pneumonia Komunitas, 2014) .
4.2 Terapi
Pasien diterapi dengan bed rest dan oksigen dengan NRBM 15 lpm
untuk mengatasi kondisi sesak akibat gagal nafas tipe I, selanjutnya
pasien dikonsulkan pada sejawat anastesi untuk dirawat di ruang ICU.
Infeksi paru kronis pada pasien yakni tuberkulosis paru lesi far
advance diberikan pengobatan regimen 2RHZE/4R3H3 dengan dosis
rifampisin 450 mg, isoniazid 300 mg, pirazinamid 1000 mg, dan
etambutol 750 mg. Selain itu ditambah vitamin B6 1x10mg untuk
profilaksis efek samping isoniazid (PDPI Tuberkulosis, 2011). Pada
pasien ini terjadi peningkatan enzim transaminase (SGOT/SGPT)
sebanyak 7x normal tanpa disertai gejala klinis, sehingga pengobatan
TB ditunda terlebih dahulu menunggu sampai fungsi hepar kembali
normal. Peningkatan transaminase dapat disebabkan oleh adanya
proses reaktif terhadap infeksi tuberkulosis, infeksi hepatitis B, dan
infeksi virus hepatitis B pada sel-sel hepar. Bila terjadi infeksi bakteri
tuberkulosis pada sel-sel hepar atau pada keadaan yang sangat
diperlukan dapat diberikan OAT yang tidak bersifat hepatotoksik
seperti streptomisin dan etambutol maksimal 3 bulan dilanjutkan
dengan 6 RH (PDPI Tuberkulosis, 2011).
Untuk infeksi paru akut yakni pneumonia CAP pada pasien ini
diberikan antibiotik lactam yakni injeksi ceftriakson 2x1 gr iv
ditambah dengan florokuinolon respirasi yakni injeksi levofloksasin
1x750mg iv. Namun, pasien memiliki faktor komorbid infeksi

38

pseudomonas aeruginosa yang ditunjukkan dengan adanya kavitas


multipel dengan diameter 0,1-0,3 mm di seluruh lapangan paru dan
gizi kurang (BMI<18), sehingga perlu diganti antibiotik lactam
antipseudomonas yakni meropenem 1g iv. Lama pengobatan pada
umumnya 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72
jam pertama. Lama pemberian antibiotik dapat diperpanjang bila ada
infeksi

komorbid

pseudomonas

aeruginosa,

sehingga

lama

pengobatan bersifat individual berdasarkan respons pengobatan dan


komorbid. Selain itu, untuk pemeriksaan sputum gram diberikan
mukolitik NAC 3x200 mg via NGT (PDPI Pneumonia Komunitas,
2014)..
Selain itu, pada pasien ini terjadi hyponatremia akibat low intake.
Pasien juga mengalami penununan berat badan dan dalam kondisi
gizi kurang dengan BMI<18. Pasien diberikan infus NaCl 0,9% 20 tpm
serta diberikan diet cair TKTP.
Pasien dan keluarganya sudah di beri edukasi tentang penyakit dan
prognosis pasien. Pasien dirawat di RHCU untuk mendapatkan terapi
yang maksimal. Pasien di anjurkan untuk diet makanan cair yang
tinggi protein dan tinggi kalori untuk mempercepat penyembuhan dan
perbaikan keadaan umum. Pasien dan keluarga dianjurkan memakai
masker untuk mencegah penularan infeksi. Keluarga sebaiknya
mendukung dan mendampingi pasien dalam menjalani pengobatan
karena sifat pengobatan yang dilakukan dalam waktu panjang.

39

BAB V
KESIMPULAN
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. Sedangkan pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan akut parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri,
virus, jamur, parasit). Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Pasien ini didagnosis dengan Gagal Nafas Tipe I karena
adanya infeksi paru akut yakni pneumonia CAP disertai septic condition, infeksi
paru kronis yakni tuberkulosis paru lesi far advance disertai dengan kondisi
transaminitis dan hiponatremia.
Penegakan diagnosis TB, pneumonia, dan penyakit komorbidnya beserta
penanggulangannya menjadi tantangan bagi tenaga medis saat ini. Selain itu,
dibutuhkan dukungan dari semua elemen masyarakat dalam mencegah
penyebaran dari penyakit ini karena sifat penyebaran berasal dari droplet
sehingga proses penyebarannya tidak disadari. Edukasi kepada masyarakat
penting dilakukan terkait masalah etika batuk, etika meludah, pemakaian masker,
dan cuci tangan.

40

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
Kemenkes. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Dirjen PPM
dan PLP Kemenkes RI. Jakarta.
Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia
Press; 2007. p. 56

TB CARE I. 2014. ISTC (International Standards for Tuberculosis Care), Edition


3. TB CARE I: The Hague.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014. Pneumonia Komunitas. Jakarta.
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan

Departemen

Ilmu

Penyakit

Dalam

Fakultas

Kedokteran

Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.

41

Anda mungkin juga menyukai