Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

RUMAH SAKIT UMUM CUT NYAK DHIEN MEULABOH

Disusun oleh:

Pembimbing:
dr. Sari Dewi A, Sp.KJ, MSc

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH
TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur
dan keyakinannya. Transseksual merupakan salah satu problem masyarakat yang
sulit diatasi. Masyrakat banyak yang menganggap transseksual menyimpang dari
keyakinan dan agama. Banyak sekali kasus-kasus yang menolak, mengintimidasi,
melecehkan, bahkan tindak kekerasan pada kaum transseksual.
Seorang transseksual menolak jenis kelamin anatomisnya atau merasa risih
dengannya, tidak peduli ia dibesarkan sebagai pria atau wanita. Idenitas
gendernya berlawanan dengan jenis kelamin biologisnya, ada hasrat untuk hidup
dan diterima sebagai salah satu anggota dalam kelompok lawan jenisnya. Bila
misalnya ia laki-laki secara biologis, tetapi secara psikologis perempuaan maka ia
tertarik pada laki-laki, tetapi ia bukan homoseksual. Dapat dikatakan bahwa jenis
kelamin-nya dan jenis kelamin psikologis-nya bertentangan.
Tidak ada statistik

yang dapat diandalkan mengenai prevalensi

transseksual. DSM-V (1994) mengutip prevalensi sekitar 1 dalam 30.000 laki-laki


transseksual di Amerika Serikat. Perkiraan paling sering dikutip dari prevalensi
dari Amsterdam Gender dyshoria Klinik. Data tersebut, mencakup lebih dari 4
dekade dimana klinik telah diperlakukan secara kasar 95% dari waria Belanda,
memberikan angka 1: 10.000 laki-laki dan 1 : 30.000 perempuan mengalami
transseksual.
Penganut homoseksual di Indonesia pada umumnya, dan di Bali pada
khususnya tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya. Meskipun komunitas
homoseksual yang hidup di Indonesia dan khususnya di Bali belum sebebas di
negara barat mayoritas menganut norma timur dan agamis. Sementara di beberapa
negara di barat, homoseksual baik gay maupun lesbian sudah bisa diterima
sebagai pilihan hidup.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Transeksual
1. Definisi
Definisi kerja dari WHO (2002) bahwa seks mengacu pada sifatsifat biologis yang mendefinisikan manusia sebagai perempuan ataupun
laki-laki. Sementara himpunan sifat biologis ini tidak saling asing, sebab
ada individu yang memiliki kedua-duanya, manusia cenderung dibedakan
sebagai laki-laki dan perempuan olehnya.
Definisi kerja WHO (2002) tentang seksualitas adalah suatu aspek
inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas dan peran
gender, orientasi seksual, erotitisme, kenikmatan, kemesraan dan
reproduksi.
Definisi kesehatan seksual menurut WHO (2002) adalah suatu
keadaan sejahtera secara fisik, emosi, mental dan sosial dalam kaitannya
dengan seksualitas, bukan hanya tidak adanya penyakit, disfungsi atau
kekurangan.
Transeksual adalah bentuk ekstrim dari gangguan identitas jenis
kelamin. Gangguan identitas jenis kelamin, ditandai oleh perasaan
kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin biologisnya
sendiri, termasuk peran jenis kelaminnya (gender). Dalam situasi yang
ideal, identitas jenis kelamin dan identitas gender adalah sejalan.
Seseorang

yang

berjenis

kelamin

perempuan,

tentunya

akan

berpenampilan dan berperilaku layaknya perempuan pada umumnya.


Demikian sebaliknya juga pada seorang laki-laki.
Danandjaja (2005) menyatakan bahwa transeksual adalah kaum
homo yang mengubah bentuk tubuhnya dapat menjadi serupa dengan

lawan jenis. Jika yang jantan mengubah dadanya dengan mengubah


operasi plastik atau menyuntikkan diri dengan hormon seks, dan
membuang penis serta testisnya dan membentuk lubang vagina.
2. Jenis-jenis transeksual
Kemala admojo (2005) menyebutkan jenis-jenis waria sebagai
berikut:
a. Transeksual yang aseksual, yaitu transeksual yang tidak berhasrat atau
tidak mempunyai gairah seksual yang kuat
b. Transeksual homo seksual, yaitu seorang transeksual yang memiliki
kecendrungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai
ketahap transeksual murni.
c. Transeksual yang heteroseksual, yaitu seorang transeksual yang pernah
menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya.
3. Ciri-ciri transeksual
Menurut Maslim (2003), ciri-ciri transeksual adalah:
a. Identitas transseksual harus sudah menetap selama minimal 2 tahun,
dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti
Skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetic atau
kromosom.
b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari
kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak
serasi dengan antomi seksualnya.
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan

terapi

hormonal

dan

pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis


kelamin yang diinginkan.
Tanda-tanda trensjender atau transseksual yang bisa dilacak
melalui DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) - III,
antara lain :

a. Perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomis
seksnya;
b. Berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain
c. Mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama
2 tahun dan bukan hanya ketika datang stress;
d. Adanya penampilan fisik interseks atau genetic yang tidak noramal;
e. Dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal Skizofrenia yaitu
menurut J.P Chaplin dalam Dictionory of Psychology (1981) semacam
reaksi psikotis dicirikan diantaranya dengan gejala pengurungan diri,
gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku
negativisme.
4. Faktor Terjadinya Transseksual
Puspitosari (2005 : 12) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya
transseksual adalah:
a. Disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormone
seksual dan genetic seseorang. Hermaya (Nadia, 2005 : 29)
berpendapat bahwa peta kelainan seksual dari lensa biologi dapat
dibagi kedalam 2 penggolongan besar yaitu:
1) Kelainan seksual akibat kromosom. Dari kelompok ini, seseorang
ada yang berfenotip pria dan berfenotip wanita. Dimana pria dapat
kelebihan X. Bisa XXY atau XXXYY. Diduga, penyebab kelainan
ini karena tidak berpisahnya kromosom seks pada saat meiosis
(pembelahan sel) yang pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan
usia seseorang ibu yang berpengaruh terhadap proses reproduksi.
Artinya bahwa semakin tua seseorang ibu, maka akan semakin
tidak baik proses pembbelahan sel tersebut dan, sebagai akibatnya,
semakin besar kemungkinan menibulkan kelainan seks pada
anaknya.
2) Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Menurut
Moertiko (Nadia, 2005 : 31) mengatakan bahwa dalam tinjauan

medis, secara garis besar kelainan perkembangan seksual telah


dimulai sejak dalam kandungan ibu. Kelompok ini dibagi menjadi
empat jenis:
a) Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai
sel wanita tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya
mengandung sedikit sperma atau sama sekali mandul.
Menginjak dewasa, payudaranya membesar sedangkan kumis
dan jenggotnya berkurang.
b) Pseudofamele atau disebut juga wanita tersamar. Tubuhnya
mengandung sel pria. Tetapi, pada pemeriksaan gonad (alat
yang mengeluarkan hormone dalam embrio) alat seks yang
dimiliki adalah wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan
dan payudaranya tetap kecil dan sering tidak bisa mengalami
haid.
c) Female-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya
memiliki

kromosom

sebagai

wanita

(XX)

namun

perkembangan fisiknya cenderung pria.


d) Male- pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya
memiliki kromosom sebagai pria (XY) namun perkembangan
fisiknya cenderung wanita.
b. Disebabkan oleh faktor psikologis,

sosial

budaya

termasuk

didalamnya pola asuh lingkungan yang membesarkannya. Mempunyai


pengalaman yang sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka
berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin seperti
lawan jenis.
c. Disebabkan oleh faktor sosiologis, Ibis (Nadia, 2005 : 27) mengatakan
bahwa

faktor-faktor

terjadinya

abnormalitas

seksual

dapat

digolongkan kedalam dua bagian yaitu :


1) Faktor internal, abnormalitas seksual yang disebabkan oleh
dorongan seksual yang abnormal dan abnormalitas seksual yang
dilakukan dengan cara-cara abnormal dalam pemuasaan dorongan
seksual.
2) Faktor eksternal (sosial), abnormalitas seksual yang disebabkan
oleh adanya pasangan seks yang abnormal. Kartono 1989

mengatakan bahwa sebab utama tingkah laku relasi seksual yang


abnormal yaitu adanya rasa tidak puas dalam relasi heteroseksual.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
seseorang menjadi transseksual disebabkan karena faktor-faktor:
a. Faktor biologis, yaitu kelainan yang dipengaruhi oleh hormon seksual
dan

genetik

seseorang.

Dimana

secara

garis

besar

kelainan

perkembangan seksual telah dimulai sejak dalam kandungan.


b. Faktor psikologis, merupakan dorongan atau motivasi yang ada dari
dalam diri individu itu sendiri untuk selalu berperilaku dan berpakaian
seperti wanita, bermain dengan mainan serta teman wanita. Selain itu,
keluarga menjadi bagian yang sangat penting dalam sosialisasi primer,
dimana seseorang pada masa kanak-kanak mulai dikenalkan dengan
nilai-nilai tertentu dari sebuah kebudayaan. Di dalam keluarga pula
seseorang dibentuk melalui pola asuh dan akhirnya menciptakan suatu
kepribadian tertentu. Dan tanpa disadari terbentuknya seorang
transeksual dapat lembut dan berpakaian seperti wanita, tidak adanya
figur ayah, adanya hubungan dekat antara anak dengan orang tua yang
berlawanan jenis kelaminnya, tidak adanya kakak lelaki sebagai contoh
dan kurang mendapatkan teman bermain laki-laki.
c. Faktor

sosiologis,

dimana

seseorang

kelainan

seksual

karena

dipengaruhi oleh pasangan seks yang abnormal. Jadi seseorang akan


mengalami kelainan seksual apabila pasangan seksnya memiliki
kelainan seksual dan adanya pengaruh budaya dalam lingkungan
abnormalitas seksual.
5. Kondisi Biologis
Seorang disebut laki-laki atau perempuan yang normal harus
memenuhi sepuluh syarat. Secara biologis harus memenuhi enam syarat
dan secara psikologis harus memenuhi empat syarat. Syarat biologis yaitu:

a. Jenis dan jumlah kromosom. Pada laki-laki, 46 XY dan pada


perempuan, 46 XX.
b. Jenis gonade. Pada laki-laki testis dan pada perempuan indung telur.
c. Alat kelamin dalam. Pada laki-laki epididimis dan saluran sperma.
Sedangkan pada perempuan tuba dan rahim.
d. Alat kelamin luar. Pada laki-laki skrotum dan penis. Sedangkan pada
perempuan klitoris, vagina dan labia mayora.
e. Hormonal. Pada laki-laki yang dominan adlah testosteron, sedangkan
pada perempuan estrogen dan progesteron.
f. Alat kelamin sekunder. Pada laki-laki tumbuh bulu-bulu yang khusus
seperti kumis, jenggot, juga otot-otot yang lebih berkembang, adanya
jakun. Pada perempuan adanya payudara, pintu panggul yang lebih
besar, kulit lebih halus dsb.
6. Kondisi Psikologis
Empat

syarat

psikologis,

merupakan

suatu

jalur

yang

berkesinambungan. Semuanya harus sesuai dengan jenis kelamin


biologisnya. Kondisi psikologis terkait dengan perkembangan perilaku
seksual dari bayi, anak, remaja sampai dewasa. Kondisi psikologis terdidri
dari empat tahap perkembangan perilaku seksual, yang meliputi:
perkembangan identitas jenis, perilaku gender, orientasi seksual dan
perilaku seksual.
a. Perkembangan identitas jenis
Identitas jenis adalah perasaan diri seseorang akan identitas jenis
kelaminnya apakah dirinya seorang laki-laki atau seorang perempuan.
b. Perkembangan identitas gender

Identitas gender adalah penampilan dan atau perilaku nonseksual,


yang ditampilkan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
c. Perkembangan orientasi seksual
Orientasi seksual adalah sasaran obyek keinginan seksual terhadap
jenis kelamin tertentu.
d. Perkembangan perilaku seksual
Perilaku seksual adalah akhir dari perkembangan psikogi perilaku
seksual. Perilaku seksual adalah perilaku yang didasari atas orientasi
seksual.
7. Diagnosis Transeksual
Menurut WHO (1999):
a. Individu tersebut ingin untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari
orang dengan jenis kelamin yang berlawanan, biasanya diikuti dengan
impian untuk memiliki tubuh sebisa mungkin sama dengan jenis
kelamin yang diinginkan melalui operasi dan terapi hormonal.
b. Kondisi ini telah muncul secara persisten sekurang-kurangnya 2 tahun.
c. Gangguan ini bukan disebabkan oleh gangguan mental lainnya dan
bukan oleh karena gangguan yang bersifat biologis.
8. Pengelolaan Konflik
a. Pada anak-anak
Anak laki-laki usia balita dan usia sekolah, lebih sering disebut
proses feminisasi. Semakin dini diketahui dan terdeteksi, bila dibiarkan
berkembang sampai dewasa, berarti semakin berat gangguannya,
sehingga pengelolaan harus lebih serius.

Pada anak-anak dengan feminisasi dapat dilakukan pendekatan


dengan terapi bermain (play therapy) dan pengelolaan lingkungan yang
terarah. Diharapkan orang tua dapat mengendalikan proses feminisasi
dengan secara bertahap dengan menjaga agar emosi anak tetap stabil.
Juga pengarahan dari teman-teman sebaya baik yang sejenis maupun
lawan jenis. Pengelolaan dilanjutkan sampai pasien usia remaja dan
betul-betul bebas dari proses feminisasi tersebut. Demikian sebaliknya
untuk anak perempuan.
Pada usia remaja, pengelolaan lebih sulit. Khususnya mereka
yang telah terjadi gangguan orientasi seksual. Upaya yang mesti
didahulukan

adalah

bagaimana

mencegah

terjadinya

kontak

homoseksual dengan orang lain. Frekuensi dan jumlah pasangan


homoseklsual,

akan

menentukan

prognosis

keberhasilan

dalam

pengelolaan. Pada pasien remaja, harus sudah dipikirkan apakah sudah


mulai tampak adanya sindroma deperesi pada tahap awal. Sering kali
sudah terjadi depresi yang terselubung (tersamar). Pada kondisi ini
sudah haruis dipertimbangkan pemberian obata anti depresan.
Psikoterapi pada remaja juga harus berlangsung secara bertahap
dan berulang-ulang. Bila frekuensi kontak homoseksual sudah bisa
terkendali, dikendalikan juga pergaulan dengan teman-teman senasib.
Hal ini untuk mencegah terjadi kekambuhan (relaps) dari kondisi yang
sudah mengalami perbaikan. Kegiatan olahraga yang disukai juga harus
diprogram dengan baik, untuk memperbaiki penampilan diri.
b. Pengelolaan konflik kasus transeksual dewasa
Pada prisnsipnya, trapi psikiatri ditujukan agar pasien dapat
menyesuaikan diri dengan apa yang ada pada dirinya. Sulitnya
mengelola, oleh karena beberapa sebab.

1) Pada umumnya telah terjadi kontak homoseksual dengan jumlah


dan frekuensi tinggi dengan partner yang cukup banyak. Pada
umumnya homoseksual bersifat egosintonik.
2) Sudah terjadi transvetitisme secara terbuka di depan umum.
3) Pekerjaan yang ditekuni adalah pekerjaan yang sesuai untuk
lawan jenis.
4) Konflik sudah mendalam dan meluas di banyak aspek.
5) Sudah terjadi gangguan depresi yang cukup dalam
6) Pasien tidak ingin ditolong masalahnya, akan tetapi minta
dibantu apa yang diinginkan.
9. Pedoman pengelolaan transeksualisme di Indonesia
a. Evaluasi psikiatrik yang luas dan mendalam, dengan dilakukan
psikoterapi yang teratur lebih dahulu. Bila upaya ini mengalami
kegagalan, maka dapat dipikirkan untuk tindakan operatif, dengan
mengingat beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
b. Pasien harus dibuktikan bermotivasi kuat, dan secara psikopatologik
tidak menunjukkan tanda-tanda ke arah psikosis.
c. Terapi hormonal, terapi menghilangkan bulu yang mengganggu
penampilan, dan pembedahan kosmetik nongenital lainnya, perlu
dijalankan lebih dahulu.
d. Hidup sebagai lawan jenis perlu dilaksanakan sebagai percobaan yang
cukup lama, sedikitnya 2 tahun.
e. Kesediaan pada pascaoperasi untuk dievaluasi secara teratur oleh
psikiater, sebagai lawan jenis, dengan mengingat hal-hal yang terjadi
selama hidup ssebagai lawan jenis.

Apabila syarat-syarat nomor a sampai e memberi motivasi yang tetap


kuat pada diri pasien, maka dapat dirundingkan lagi dengan tim dokter ahli,
apabila tindakan pembedahan itu dapat dipertimbangkan sebagai langkah
berikutnya.
10. Transeksual Ditinjau dari Hukum Islam
Keberadaan kaum transeksual, terlepas dari apakah transeksual
tersebut menjalani operasi penggantian kelamin maupun tidak, dapat
ditinjau dari hukum islam, untuk menentukan apakah hal tersebut, yakni
berpakaian dan bersikap selayaknya jenis kelamin yang berlawanan
dengan jenis kelamin yang diperbolehkan atau tidak didalam hukum islam.
Seorang transeksual memiliki keyakinan yang kuat bahwa ia seharusnya
memiliki organ kelamin yang seharusnya memiliki organ kelamin yang
sebaliknya, dari apa yang telah ia miliki., oleh karna itu seringkali
seseorang transeksual memilih untuk berpakaian atau berbusana, bahkan
bersikap dengan pakaian maupun sikap yang berlawanan dengan jenis
kelamin fisik yang apa dimilikinya.
Didalam al-Quran tidak dapat ditemui ayat-ayat yag secara
eksplisit menjelaskan terkait hal inni, namun terdapat beberapa Hadist
Nabi Muhammad SAW yang meneyebutkan hukum terhadap hal ini,
antara lain adalah sbb:
a. Hadist Shahih riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas:
Allah melaknat wanita-anita yang menyerupai (dalam
berpakaian dan bersikap) pria, dan juga pria-pria yang menyerupai
wanita
b. Hadist riwayat Abu Dawud dan Aisyah:
Allah melaknat wanita kepria-priaan
c. Hadist riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas:

Allah melaknat pria kewanita-wanitaan dan wanita yang


kepria-priaan

d. Hadist riwayat Ahmad:


Allah melaknat perempuan yang berpakaian dengan pakaian
laki-laki

dan

laki-laki

yang

berpakaian

dengan

pakaian

perempuan
B. Perkawinan Transeksual
1. Definisi Perkawinan
Perkawinan menurut Pasal 1 UUD No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun manfaat perkawinan adalah untuk mewujudkan suatu keluarga
dalam rumah tangga yang maruf (baik), sakinah (tentram), mawaddah
(saling mengasihi), seta mencegah melakukan perbuatan yang keji dan
munkar.
Kriteria keabsahan perkawinan di Indonesia telah dirumuskan oleh
UUD No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni syarat sahnya suatu
perkawinan adalah apabila dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing. Adapun fungsi pencatatan perkawinan adalah
sebagai bukti bahwa Negara telah mengakui perkawinan tersebut. Jadi
terlihat jelaas bahwa di dalam suatu perkawinan, tidak hanya aspek
administratif saja yang dilihat, aspek agama juga terlibat, bahkan
memegang peranan yang lebih penting.
Menjadi suatu permasalahan hukum apabila dilakukan perkawinan
oleh seorang transeksual yang telah melakukan operasi penggantian

kelamin dan telahpula diakui perubahan jenis kelaminnya melalui


penetapan pengadilan Negri. Dengan pengakuan tersebut, maka Negara
mengakui kenyataan bahwa telah terjadi perubahan status akibat
perubahan jenis kelamin, misalnya dari perempuan menjadi laki-laki,
maupiun sebaliknya. Dengan demikian, seharusnya tidak timbul masalah
terkait

perkawinan

yang

akan

dilangsungkan

oleh

orang

yang

bersangkutan dengan siapapun. Namun, syarat keabsahan perkawinan


menurut UUD No.1 Tahu 1974 tentang perkawinan tidak hanya melihat
pada hukum Negara, melainkan juga hukum agama, sehingga timbul
permasalahan.
2. Status Hukum Hubungan Transseksual
Hubungan laki-laki ke laki-laki ilegal di banyak negara di Asia.
Bahkan ditempat dimana perilaku seks sesama jenis tidak ilegal, laki-laki
yang diketahui atau dianggap melakukan hubungan seks dengan laki-laki
lain

menghadapi

perlakuan

atau

diskriminasi

secara

resmi.

Ini

menyebabkan terjadinya seks laki-laki ke laki-laki yang tersembunyi,


meningkatkan risiko, dan menyulitkan para laki-laki untuk mengfakses
pelayanan pencegahan dan pengobatan.
Status hukum dari kegiatan seksual antara pasangan Sesama jenis

Negara
Bangladesh
Bhutan
Brunei
Kamboja
China
(Daratan)
China
(Hongkong)
East Timor
India
Indonesia
Lao PDR

Status
Hukum
Illegal
Illegal
Illegal
Illegal
Legal
(1997)
Legal
(1991)
Legal
Illegal
Legal
Uncertain

Malaysia
Myanmar
Nepal
Philippines
Sri Lanka
Thailand
Vietnam

Illegal
Illegal
Illegal
Legal
Illegal
Legal
Legal

3. Perkawinan Transeksual
Perkawinan lazim dilakukan oleh kedua calon mempelai, laki-laki
dan perempuan. Namun, akibat perkembangan teknologi yang telah
memungkinkan dilakukannya suatu jenis operasi pengganti kelamin,
perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua mempelai dimana salah satu
dari mempelai tersebut merupakan seseorang yang telah melalui operasi
penggantian kelamin dikarenakan pada asalnya dia merupakan transeksual,
menjadi suatu hal yang mungkin terjadi. Kebolehan untuk dilakukannya
maupun keabsahan perkawinan jenis tersebut akan kembali kepada
dasarnya, yaknin bagaimana hukum Islam memandang keberadaan
transeksual tersebut, dan bagaimana hukumIslam memandang operasi
penggantian kelamin, yang semua pada akhirnya akan memiliki pengaruh
terhadap kebolehan dilakukannya perkawinan semacam ini.
Sebaiknya dilakukan suatu analisis yang mendalam terlebih dahulu
terhadap

kondisi

transeksual

tersebut

untuk

mengetahui

apakah

transeksual tersebut memang memiliki sesuatu yang salah dalam struktur


tubuhnya ataukah hanya sebatas keinginan psikologis yang mendalam.
Prosedur pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan oleh sebuah tim
pemeriksa yang terdiri dari berbagai ahli dari berbagai cabang ilmu.
Banyaknya ahli dari berbagai cabang ilmu yang ikut serta dalam suatu
proses penentuan apakah akan dilakukan operasi akan membuat sutu
sistem penyaringan tersendiri terhadap calon pasien operasi penggantian
kelamin.

Dengan adanya berbagai pendapat ahli tersebut, maka kemudian


dapat ditentukan apakah seseorang transeksual tersebut akan menjalani
operasi penggantian kelamin ataukah tidak. Apabila dalam pemeriksaan
yang ketat tersebut ditemukan bahwa memang terdapat kelainan pada
struktur biologis tubuh, yang menyebabkan timbulnya suatu perasaan
bahwa adanya kesalahan identitas pada dirinya, maka operasi penggantian
dapat saja dilakukan karena memang terdapat suatu kelainan secara
biologis pada struktur tubuh orang trsebut. Namun, apabila setelah
dialkukan pemeriksaan oleh tim ahli ternyata ditemukan bahwa tidak
terdapat suatu kelainan pada struktur tubuh seseorang transeksual tersebut,
baik pada struktur organ maupun sel seorang transeksual, maka operasi
penggantian kelamin tidak dapat dilakukan, dan kemudian dilakukan
terapi-terapi psikologis yang lebih efektif untuk mengembalikan kondisi
seseorang transeksual tersebut pada kondisi normal.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai