Anda di halaman 1dari 14

TUGAS ANTI KORUPSI

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI


(KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
KORUPSI YANG DILAKUKAN PENYELENGGARA NEGARA

Oleh :
ANTONIUS KOMANG DE ORNAY
NIM. 10612055

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2015

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI


(KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
KORUPSI YANG DILAKUKAN PENYELENGGARA NEGARA
ABSTRAK

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara mengakibatkan kerugian yang cukup
besar dan menghambat stabilitas ekonomi dan pembangunan, penyidikan korupsi melibatkan
pejabat negara yang dilakukan oleh penyidik KPK sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002. Rumusan masalah adalah 1). Bagaimana implementasi kewenangan
Komisi dalam menyelidiki korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara ? 2). Apa kendala
yang dihadapi oleh Komisi dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
pejabat negara ? Jenis penelitian ini adalah sosio- yuridis, Sumber data adalah data primer
dan data sekunder, teknik pengumpulan data adalah: wawancara, dokumen studi. Data
dianalisis secara kualitatif , hasil penelitian menyimpulkan : 1). kewenangan Komisi dalam
melakukan penyelidikan pidana korupsi oleh pejabat negara tersangka yang menangguhkan
dari kantor selama penyelidikan, pada perintah KPK dan untuk memanggil, pemeriksaan
saksi dan tersangka, bersama dengan penyitaan bukti atau dalam bentuk dokumen. 2).
Kendala yang dihadapi oleh Komisi dalam penyelidikan dugaan penyelenggara di negara ini,
yaitu peneliti kesulitan menemukan bukti yang terkait dengan hasil korupsi.

Kata kunci : Otoritas , Komisi Pemberantasan Korupsi, Korupsi investigasi.

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, hal ini dikarenakan begitu
luar biasanya akibat yang ditimbulkan terhadap tindak pidana korupsi. Meskipun dampak dari
tindak pidana korupsi tidak dirasakan langsung oleh masyarakat namun tindak pidana korupsi
mengakibatkan terhambatnya pembangunan

dan sangat mengganggu stabilitas ekonomi

negara yang digunakan sebesar-besarnya untuk mensejahterakan rakyat. Hal ini sangat
berbeda dengan tindak pidana lain seperti pencurian dan perampokan yang akibat dari tindak
pidana tersebut dirasakan secara langsung oleh korbannya.
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika
membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi
atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah
kekuasaan jabatannya.
Rumusan tentang tidak pidana korupsi yang terdapat di dalam KUHP, dapat
dikelompokan atas empat kelompok tindak pidana (delik) yaitu :
1. Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 419, dan
Pasal 420 KUHP
2. Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri dari Pasal 415, 416, dan Pasal 417
KUHP.
3. Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion); yang terdiri dari Pasal
423, dan Pasal 425 KUHP.
4. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan
rekanan; yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan Pasal 435 KUHP.
Sebagian masyarakat Indonesia kurang mendapatkan pengetahuan tentang tindak
pidana korupsi. Pengetahuan tentang tindak pidana korupsi merupakan hal yang sangat
penting untuk pemberantasan korupsi di Negara Indonesia, baik di masyarakat umum, Badan
Legislatif, Badan Eksekutif, dan Badan Yudikatif. Khususnya ketiga badan tersebut yang
sangat besar peluangnya untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, pengetahuan

tentang tindak pidana korupsi dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengembangkan
tingkah laku masyarakat yang lebih baik dalam melaksanakan pekerjaan di bidangnya,
khususnya sebagai aparatur negara.
Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud Penyelenggara Negara
adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan
pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam ketentuan hukum positif di Indonesia pada saat ini, ada beberapa lembaga atau
komisi yang melakukan penanganan terhadap tindak pidana korupsi baik dalam kapasitasnya
sebagai penyelidik atau penyidik, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Lembaga- lembaga tersebut adalah:
1. Lembaga Kepolisian
2. Lembaga Kejaksaan
3. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor)
4. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
5. (Lembaga Peradilan ( pengadilan umum dan pengadilan Ad.HOC tindak pidana
korupsi)
Lembaga Negara yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Dalam rangka mewujudkan
supremasi hukum, pemerintah telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha
memerangi tindak pidana korupsi. Salah satunya dengan membentuk Lembaga Negara yang
bersifat independen dan mandiri, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-undang Komisi
Pemberantasan Korupsi), tugas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah:
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.

2. Supervisi terhadap instansi dan berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Salah

satu contoh kewenangan KPK baru-baru ini yaitu, dalam melakukan

penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait pembangunan/pengadaan/peningkatan


sarana dan prasarana olah raga di Hambalang tahun anggaran 2010-2012, penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya hukum penahanan terhadap tersangka AAM
(Mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga). Tersangka ditahan untuk 20 hari ke depan
terhitung mulai hari ini di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK.

METODE PENELITIAN
Penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
Pendekatan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan yuridis
sosiologis, yaitu pendekatan masalah melalui peraturan dan teori yang ada, kemudian
dihubungkan dengan kenyataan atau fakta yang ada di masyarakat.
Sumber penelitian terdiri dari dua data yaitu data primer dan data sekunder. Data
Primer diperoleh langsung dari lapangan dengan cara wawancara (interview), yaitu dengan
melakukan wawancara dengan Johan Budi selaku Deputi Bidang Pencegahan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Data Sekunder didapat dari kantor KPK, berupa dokumen pribadi
seperti surat-surat, statistik kriminal, dan laporan tahunan dari KPK.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Wawancara dan Studi dokumen. Analisis data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif,
yaitu menganalisa data menurut aspek-aspek yang diteliti dan selanjutnya diambil dari suatu
kesimpulan yang relevan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan

Kewenangan

Komisi

Pemberantasan

Korupsi

(KPK)

Dalam

Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara


Negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan
meresahkan masyarakat yang menyangkut kerugian negara lebih dari Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Adapun pelaksanaan kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yaitu:
1. Pemanggilan
Melakukan pemanggilan terhadap saksi atau terdakwa oleh penyidik KPK dilakukan
sesuai dengan ketentuan Pasal 112 Ayat (1) dan (2), Pasal 113, Pasal 116 Ayat (3) dan (4) dan
Pasal 119 KUHAP yang mengatur pemanggilan saksi atau tersangka.
2. Pemeriksaan saksi
Terkait

dengan

ditetapkannya

seseorang

sebagai

tersangka

oleh

Komisi

Pemberantasan Korupsi, maka tim penyidik KPK melakukan pemanggilan saksi untuk
dimintai keterangan. Kriteria yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP, yaitu harus:
a.
b.
c.
d.

Seseorang yang mendengar sendiri


Melihat sendiri
Mengalami sendiri
Orang yang bersangkutan dapat menjelaskan pengetahuan akan apa yang ia dengar, ia
lihat dan ia alami.
Sebelum penyidik melakukan pemeriksaan saksi, pada umumnya saksi harus bersedia

untuk disumpah sebelum diminta kesaksiannya, agar kesaksian yang diberikan lebih akurat
dan dapat dipercaya.
3. Pemeriksaan Surat
Dalam acara

penyidikan

yang

tercantum

pada

Pasal

30 Undang-undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan: Penyidik berhak membuka, memeriksa


dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai

mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang diperiksa Dengan
ketentuan diatas apabila ditemukan barang-barang atau data yang berhubungan dengan tindak
pidana

korupsi yang sedang terjadi maka penyidik KPK berwenang untuk melakukan

penyitaan terhadap barang-barang atau sekiranya yang bisa dijadikan bukti dalam
persidangan.
4. Pemeriksaan Tersangka
Dalam

pemeriksaan tersangka tindak pidana korupsi, KPK lebih mendahulukan

pemeriksaan semua saksi, apabila pemeriksaan masing-masing saksi sudah selesai dilakukan
maka penyidik KPK telah bisa melakukan pemeriksaan kepada tersangka.
a. Kewajiban tersangka
Pada tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang, tersangka mempunyai
kewajiban atau memberi keterangan tentang seluruh hartanya, sebagai mana disebutkan
dalam Pasal 28 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
b. Tata cara pemeriksaan tersangka
Dalam tata cara pemeriksaan tersangka, penyidik KPK juga harus mengikuti aturan teknis
1) Pemeriksaan harus dilakukan secepat mungkin, sebab bila terlalu lama ingatan
menjadi kabur dan tersangka sudah membuat siasat untuk tidak mengakui
perbuatannya.
2) Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka di depan penyidik harus
berdasarkan kesadaran murni dari tersangka , tidak boleh dipaksa dengan cara apapun
baik dari penekanan fisik maupun dari pihak luar.
3) Dalam melakukan pemeriksaan tersangka penyidik harus bersikap tenang, tidak
banyak bicara, tegas, serta jelas dalam memberi pertanyaan. Tetapi penyidik tetap
tidak boleh meninggalkan keramahan dan kesopanan, sekaligus penyidik harus bisa
menilai tingkah laku atau psikologi si tersangka dalam menjawab pertanyaan.
4) Penyidik harus mencatat dengan teliti keterangan tersangka sesuai dengan rangkaian
kata-kata yang dipergunakan.
5) Pencatatan dibuat dalam berita acara pemeriksaan tersangka, setelah selesai,
dinyatakan atau diminta persetujuan dari tersangka tentang kebenaran isi berita acara
pemeriksaan.
6) Permohonan tersangka untuk menghadirkan saksi yang menguntungkan.

Selama

penyidikan

berjalan,

penyidik

KPK

diharuskan

membuat

laporan

perkembangan penyidikan untuk dilaporkan ke Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.


Hal ini bertujuan untuk pengawasan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
5.

Penangkapan dan Penahanan

a. Penangkapan
Demi kepentingan penyidikan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
untuk melakukan penangkapan, dengan mendapat surat izin penagkapan dari pihak
Pengadilan Negeri. Penangkaan menurut rumusan pasal 1 butir 20 KUHAP berbunyi: Suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan dalam hal
menurut tata cara diatur di undang-undang ini Maka dapat ditarik unsur-unsurnya sebagai
berikut:
1) Pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
2) Terdapat cukup bukti
3) Guna kepentingan penyidikan, penuntutan, peradilan.
Dengan adanya bukti permulaan, perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang
yang diduga melakukan tindak pidanaberdasarkan bukti permulaan yang cukup, maka dapat
dikatakan bahwa perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang
karena perbuatannya atau keadaan diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Penangkapan yang dilakukan oleh penyidik bertujuan untuk mencari titik terang suatu
tindak pidana, adapun tata cara penangkapan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Pasal 18 KUHAP:
1. Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa surat tugas
penangkapan, bila surat tugas tersebut tidak ada, maka tersangka bisa menolak untuk
ditangkap oleh penyidik.
2. Petugas harus memperlihatkan surat perintah penangkapan, dalam surat perintah
penangkapan tersebut telah memuat identitas tersangka, berisikan secara singkat
alasan penangkapan, beserta uraian singkat tentang perkara yang disangkakan.

3. Adapun tembusan surat penangkapan harus diberikan kepada keluarga tersangka


setelah tersangka ditangkap
b.

Penahanan
Penahanan merupakan bagian dari proses penyidikan yang dapat dilakukan oleh

penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, sesuai dengan Pasal 20 KUHAP untuk


kepentingan penyidikan penyidik dan penyidik pembantu berhak untuk melakukan
penahanan sesuai ketetapan yang berlaku. Pada prakteknya tersangka tindak pidana
korupsi ini ditahan dalam ruangan tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dijaga ketat
oleh penyidik KPK. Penahanan ini dilakukan selama 20 hari dan masa penahanan ini juga
dapat diperpanjang selama 40 hari lagi sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
6. Penggeledahan Rumah/bangunan
Dalam

Pasal 32 KUHAP, untuk kepentingan penyidikan penyidik berwenang

melakukan penggeledahan, baik penggeledahan rumah, pakaian, maupun penggeledahan


badan. Pada prakteknya penyidikan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara
negara penyidik KPK melakukan penggeledahan kantor dari penyelenggara dan instansiinstansi yang terkait kasus tersebut, rangkaian penggeledahan ini bertujuan mencari dan
melengkapi bukti-bukti permulaan yang sudah dikantongi penyidik, guna untuk melengkapi
bukti-bukti yang sudah di dapat dari tindak korupsi.
Dalam hal penyitaan oleh KPK yang terjadi, tim penyidik KPK berwenang
melakukan penyitaan tanpa seizin ketua pengadilan negeri, demi kepentingan penyidikan
sesuai ketentuan Pasal 47 Ayat (1) Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selama
proses penyitaan penyidik KPK wajib memuat sekurang-kurangnya:
1) Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita.
2) Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan.
3) Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain
tersebut.
4) Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan
5) Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.

Setelah dilakukannya penyitaan para penyidik KPK wajib memberikan salinan berita
acara penyitaan kepada pihak atau keluarga tersangka, yang didalamnya memuat tentang
semua barang yang disita secara rinci untuk dilaporkan kepada pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
7. Selesainya penyidikan
Setelah penyidikan dikatakan selesai, maka tim penyidik KPK harus menyerahkan
semua berkas perkara yang didapat dalam proses penyidikan kepada penuntut dari Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk proses penuntutan. Dalam hal selesainya penyidikan dan
menyerahkan berkas penyidikan ke penuntut KPK, dalam KUHAP menyebutkan ada 2
tahapan yaitu:
a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara
b. Tahap kedua penyidik menyerahkan tanggung jawab ata tersangka dan barang bukti
kepada penuntut.
Pada penyerahan berkas perkara, penuntut KPK harus memperhatikan syarat formil
dan syarat materil sesuai ketentuan beracara pidana.
1) Syarat formil tentang keabsahan dari tindakan penyidik yang berhubungan dengan:
a) Laporan pengaduan
b) Kewenangan penyidik
c) Berita acara pemeriksaan
d) Berita acara penangkapan/penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dan lain lain
2) Kelengkapan/ syaratmateril
a) Adanya fakta perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dirumuskan dalam
pasal pidana yang bersangkutan.
b) Adanya fakta kesalahan tersangka baik kesengajaan maupun kealpaan.
c) Alat-alat bukti tersedia paling tidak harus memenuhi minimum pembuktian
d) Alat bukti yang tersedia harus diteliti mengenai keabsahan dan kekuatan alat bukti.

e) Hubungan timbal balik antara alat bukti dengan perbuatan dan kesalahan tersangka.
f) Kejelasan mengenai peran pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut.
B. Kendala-Kendala yang Dihadapi

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh


Penyelenggara Negara.
Banyak kendala yang harus dihadapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penyidikan suatu tindak pidana korupsi, apalagi yang melibatkan aparatur atau penyelenggara
negara, seperti:
1. Adanya tekanan politik yang sangat kuat terhadap KPK, mengingat para koruptor
kebanyakan berasal dari badan publik dan pejabat-pejabat penting yang berasal dari
partai politik.
2. Kurangnya jumlah penyidik KPK mengingat kasus korupsi yang ditangani oleh KPK
mengalami peningkatan, sehingga proses penyidikan sebagian kasus menjadi lamban
dan tidak efisien.
3. Hal yang cukup sulit dan memakan waktu yang cukup lama dalam kegiatan
penyidikan aparatur negara ini, yaitu mencari bukti-bukti dan harta kekayaan
tersangka yang diperoleh dari hasil korupsi untuk di sita.
4. Hambatan selanjutnya adalah tidak tersedianya kantor perwakilan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang berada di setiap daerah. Kantor Komisi Pemberantasan
Korupsi hanya berada di Ibu Kota. Sehingga proses penyidikan korupsi yang
melibatkan penyelenggara negara atau pejabat negara yang berada di daerah akan
mengalami penundaan penyidikan.
5. Kurangnya peran masyarakat atau para saksi dalam memberikan keterangan atau
informasi tentang tindak pidana korupsi yang diketahuinya kepada KPK.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan korupsi dalam melakukan


penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan penyelenggara negara pada
beberapa tahun ini sudah mengalami kemajuan dan menuai prestasi, dengan
membuktikan

konsistensinya

dalam

menjalankan

kewenangannya

seperti

mengungkap berbagai kasus korupsi yang terjadi dalam instansi-instansi penting


negara, bahkan kasus korupsi yang melibatkan Menteri, anggota DPR, dan lain-lain.
Meskipun masih ditemukannya sejumlah kendala, hal ini tidak menurunkan semangat
Komisi Pemberantasan korupsi untuk memproses para pelaku tindak pidana korupsi
di Indonesia. Dalam melakukan tugas dan kewenangannya tim penyidik KPK sudah
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, seperti penyidik berwenang
melakuknan pemeriksaan, penahanan atau penangkapan dan penggeledahan maupun
penyitaan barang hasil korupsi maupun bukti-bukti seperti dokumen atau yang
terindikasi berhubungan dengan tindak pidana korupsi.
2. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penyidikan yaitu adanya tekanan politik yang kuat terhadap KPK, yang menyebabkan
kinerja KPK menjadi lamban baik dalam penyelidikan maupun penyidikan. Masalah
sumber daya manusia yang tersedia sangat minim dan perlu penambahan personel,
yang megakibatkan tidak sebandingnya antara jumlah kasus dengan jumlah penyidik
dari Komisi Pemberantasan Korupsi, keterbatasan penyidik dalam melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi yang melibatkan penjabat negara yang berada di
daerah yang jauh dari Ibu Kota sehingga pemberantasan korupsi tidak efisien.

SARAN
Saran kepada semua pihak khusunya kepada pemerintah dalam rangka melancarkan
proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi, yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi.
1. Perlunya membentuk sendiri personil didalam tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi
khususnya para penyidik, agar KPK dapat menunjukan indenpendensinya dalam

memberantas korupsi dan tercapainya tujuan pemberantasan korupsi di Indonesia


tanpa adanya tumpang tindih dalam penyidikan.
2. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi
perlu menambah jumlah personel dalam mengawasi para pegawai negeri dan
Penyelenggara Negara yang di duga melakukan tindak pidana korupsi serta
menempatkan orang-orang KPK dalam setiap instansi-instansi penting Negara.
3. Perlunya Komisi Pemberantasan Korupsi mendirikan kantor perwakilan di setiap
daerah demi kelancaran pemberantasan korupsi dan supremasi hukum. Melengkapi
sarana dan prasarana dalam menindaklanjuti para koruptor yang berada di daerahdaerah, lebih memberikan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Zainal Asikin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali
Pers.
Andi Hamzah. 2006. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional Edisi Revisi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Elwi Danil, 2012, Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika.
Frans Hendra Winata. 2001. Korupsi dan Hukum Indonesia, Pro Justisia Tahun XIX No.3,
FH Unpar Bandung.
Lilik Mulyadi. 2007. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan
Masalahnya. Bandung : PT Alumni.
Soewartojo Junaidi. Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakan Serta Peran Pengawasan
Dalam Penanggulangannya, Jakarta : Restu Agung
Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan
penuntutan, Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Penggantian Undang-Undang Nomor 24 PRP
Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penggantian Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Penggantian Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai