Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang.
Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik terutama pada anak sehingga dalam
penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang
ini meliputi pemeriksaan darah tepi dan uji serologis.
Pada tahun 1829, Piere Louis (Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti
typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani, typhos. Terminologi ini
dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada
tahun 1837, William Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus.
Pada tahun 1880, Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histology yang berasal
dari kelenjar limfe mesentarial dan limpa. Pada tahun1884, Gaffky berhasil membiakkan
Salmonella typhi dan memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara.
Pada tahun 1896, Widal mendapatkan salah satu metode untuk diagnosis penyakit demam
tifoid. Pada tahun yang sama, Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinasi
terhadap demam tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicobai vaksin oral yang berisi kuman
hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1948,
Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk pengobatan
demam tifoid.
B. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk:
-

Memahami gejala-gejala tifoid, cara pemeriksaan dan pengobatan

Memahami etiologi, epidemologi, dan patofisiologi dari demam tifoid

BAB II
ISI
2.1Skenario
Tn C datang ke RS dengan keluhan demam sejak 6 hari yang lalu. Demam berlangsung
sepanjang hari dan memburuk (lebih tinggi) pada sore-malam hari. Demam disertai nyeri
kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Pasien juga belum BAB sejak 4 hari yang lalu.
Riwayat perdarahan tidak ada. Batuk, pilek tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran compos mentis, suhu: 38,6C, N: 80x/mnt, RR: 20x/mnt, TD: 110/80mmHg. Pada
pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada epigastrium. Lab: Hb = 14 g/dl, Ht = 38%,
Leukosit = 4000/uL, Trombosit = 200.000/uL. Widal : S.typhi O: 1/320, S.typhi H: 1/320,
S.typhi H: 1/320, S.paratyphi A O: 1/80, S.paratyphi A H: -.

2.2Pemeriksaan
2.2.1

Anamnesis
Anamnesis yaitu pemeriksaan yang pertama kali dilakukan yaitu berupa rekam medik
pasien. Dapat dilakukan pada pasiennya sendiri (auto) atau pada keluarga terdekat (allo).
Rekam medik yang dilakukan meliputi:
a. Identitas: nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien,
keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.
b. Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien tentang permasalahan yang sedang
dihadapinya.
c. Riwayat penyakit sekarang (RPS): cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai
keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.
d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): bertanya apakah pasien pernah mengalami demam
tifoid sebelumnya.
e. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah kesehatan
pada anggota keluarga.
f. Riwayat psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat tinggal),
faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan). 1
2

2.2.2

Pemeriksaan Fisik
Setelah anamnesis selesai, pemeriksaan fisis diawali dengan pemeriksaan obyektif tentang
hal-hal yang terukur yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu, dan tingkat kesadaran.
Pemeriksaan abdomen: nyeri tekan pada epigastrium. 2

2.2.3

Pemeriksaan penunjang
Lakukan pemeriksaan laboratorium untuk klien yang memiliki gejala-gejala demam tifoid.
dengan memeriksa Hb, Ht, leukosit, trombosit, uji widal, tubex, typhidot, IgM dipstick, dan
kultur darah.
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun
atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau
sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfopenia, terutama pada
fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis
leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai
ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid
atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid. 3
b.

Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL
yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat
digunakan pada demam tifoid ini meliputi : 1. uji Widal; 2. tes TUBEX ; 3. uji typhidot; 4.
IgM dipstick, dan 5. kultur darah. 3,4
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas
dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
3

melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit). 3,4

Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut dengan aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Maksud uji widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid,
yaitu:
a. aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. aglutinin H (flagela kuman)
c. aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan dalam diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada fase akut, mula-mula timbul aglutinin O dengan diikuti aglutinin H. Pada orang
yag telah sembuh aglutinin O akan dijumpai pada 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H akan
menetap hingga 9-12 bulan. Oleh karena itu, uji widal tidak untuk menentukan
kesembuhan penyakit. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil
biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan
spesifisitas sebesar 76-83%. Beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal:
1. pengobatan dini dengan antibiotik
2. gangguan pembentukan antibobdi dan pemberian kortikosteroid
4

3. waktu pengambilan darah


4. daerah endemik atau non-endemik
5. riwayat vaksinasi
6. reaksi anamnestik
7. faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium. 4

Uji Tubex
Uji ini mendeteksi antibodi anti- S.typhi O9 pada serum pasien, dengan
caramenghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partiktel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel latex.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen:
1. tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas
2. reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungidengan antigen
S.typhi O9.
3. reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9.
Berbagai penelitian menunujukkan uji ini memliki sensitivitas dan spesivisitas
yang baik (75-80% dan75-90%). 4

Uji typhidot

Uji ini dapat mendeteksi antibodi IgM da IgGyang terdapat pada protein membran luar
Salmonella typhi. Hasil positif didapatkan setelah 2-3 hari infeksi dan dapat menginfeksi
secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi. Didapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 98%, spesitivitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84% pada
penelitian yang dilakukan. 4

Uji IgM dipstick


Uji ini khusus untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.typhi pada spesimen
serum. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen LPS S.typhoid dan anti
IgM, reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM. Pada penelitian sensitivitas
dan spesitivitas didapatkan 65-77% dan 95-100%.4

Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1. telah mendapat terapi antibiotik sehingga menghambat media biakan.
2. volume darah yang kurang.
3. pernah melakukan vaksinasi. 4

2.3

Diagnosis
6

2.3.1

Work Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal
dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang
klinisasi dapat membuat diagnosis demam tifoid. 3

2.3.2

Diagnosis Pasti
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal
dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang
klinisasi dapat membuat diagnosis demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi
S.typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S.typhi dari dalam
darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya.
Uji serologi Widal, suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap
antigen somatik (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid.
Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H
banyak dikaitkan dengan dengan pasca imunisasi atau infeksi pada masa lampau, sedangkan Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S.typhi (karier). 3

2.3.3

Diagnosis Banding
a. Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
Etiologi
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam virus flavivirus family dari
flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan demam berdarah
dengue. Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kucing, anjing, danb primata. Penelitian pada arthropoda menunjukkan virus dengue
dapat bereplikasi pada nyamuk Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.
Manifestasi klinik

Pada DBD mempunyai keluhan demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diabetes haemorragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (penumpukan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. 4,5
b. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.
Etiologi
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus
plasmodium dari famili plasmodidale. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit
dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi
pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100
plasmodium yang menginfeksi binatang.
Manifestasi klinis
Manifestasi malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi malaria.
Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium.
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali.
Keluhan prodormal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit
kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan ,
anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin. 4,5

2.4

Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain merupakan bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multipel antibiotik. 3
8

2.5

Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara yang
sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat
luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan
900/100.000/tahun di Asia. 3
Indonesia merupakan daerah endemik demam tifoid dan paratifoid. Penyakit ini jarang
ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang
terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan sepanjang tahun dan insidens terjadi pada anak-anak. 6 Umur penderita yang terkena
di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. 3
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reversoir).
Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran
nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada
di dalam tubuh manusia dapat hidup dalam beberapa minggu apabila berada di air, es, debu atau
kotoran yang kering maupun pakaian. Akan tetapi S.typhi hanya dapat hidup kurang dari 1
minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temperature
63).3
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal). Dapat juga terjadi
transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. 3

2.6

Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
9

menembus sel-sel epitel (terutama sel-sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria, kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus toraksikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendoliteal tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan selsel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai dengan tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. 4
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
dengan cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman Salmonella, terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. 4
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia (S.typhi intra
makrofag menginduksi reaksi hipersentivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque
Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear
di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. 4
Di duga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limfa,
folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zatzat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga dapat
menstimulasi sistem imunologik. 3

2.7Gejala Klinis
10

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
ditimbulkan bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis
penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya,
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obsitipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan
suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi, dan ujung merah
serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. 4

2.8Penatalaksanaan
a. Medikamentosa

Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg/hari dapat diberikan secara per
oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. 4

Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai hari ke-6. 4

Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.


Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol
400 mg dan 80 mg trimetropim) diberikan selama 2 minggu. 4

Ampisilin dan amoksilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mg/kg BB dan digunakan selama 2 minggu. 4

11

Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini, golongan sefalosporin generasi ketiga
yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan
adalah antara 3-4 gram dalam dektrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus, sekali
sehari, diberikan 3-5 hari. 4

Golongan Fruolokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan
pemberiannya:
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari. 4

b. Nonmedikamentosa

Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk
mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan, perlu sekali dijaga kebersihan
tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga. 4

Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan
menjadi lama. Di masa lampau, penderita tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan kesembuhan pasien. 4

2.9 Komplikasi

Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.

Komplikasi ekstra-intestinal
12

2.10

Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.

Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis.

Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis.

Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.

Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.

Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis.

Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik. 4

Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitas >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 3 Angka kematian pada anak pada anakanak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% , rata-rata 5,7%. 6
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama
pada individu dengan skistosomiasis. 3

2.11 Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan S.typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di
dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai 57C beberapa menit dan secara merata
dapat mematikan kuman Salmonella typhi.

13

Saat ini dikenal juga tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yang berisi kuman
yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin berisi kuman
Salmonella typhi, S.paratyphi A, Salmonella paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine)
digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan. Vaksin yang berisi kuman Salmonella
typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian
selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur
di atas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi, diberikan secara
suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun. 3

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
14

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam tifoid adalah salah satu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika,
Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang
dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan darah tepi dan uji serologi. Obat utama yang
dapat digunakan adalah golongan antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA
15

1. Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009. h. 25-28.
2. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45
3. Soedarmo SPS, Garna K, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Ed
2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h.338-45.
4. Sudoyo AW, et al.. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Ed 5. Jakarta: Internal Publishing;
2009. h.2797-805.
5. Typhoid fever. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview: 26
November 2010.
6. Mansjoer A, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid1. Ed 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI;
1999. h. 421-25.

16

Anda mungkin juga menyukai