Anda di halaman 1dari 26

LAPO R AN K AS U S

EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Pembimbing:
dr. Yohanes

Siahaan

Disusun oleh:
Qarina Hasyala Putri

080100367

Dian Primadia Putri

100100013

Romulus P Sianipar

100100180

Achmad Rifqy Rupawan

100100225

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan
Kasus yang berjudul Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ini dengan
lancar dan tanpa halangan yang berarti. Terima kasih juga kami ucapkan kepada
pembimbing kami, dr.Yohanes Siahaan, yang telah bersedia membimbing kami
dalam penyusunan laporan kasus ini.
Pada laporan kasus ini, kami memaparkan tinjauan teoritis dan
penatalaksanaan pada pasien yang menggunakan obat anti tuberkulosis di bangsal
Ruang XIV Wanita penyakit dalam RSU DR. Pirngadi Medan. Adapun tujuan
penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
senior pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis mendapatkan banyak
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis
berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan
kasus ini baik dari segi isi maupun sistematika penulisan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2014,

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv


BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 3
2.1 Pengobatan TB.................................................................................. 2
2.2 Efek Samping OAT........................................................................... 11
2.2.1 Isonazid............................................................................................ 11
2.2.2 Rifampisin........................................................................................ 12
2.2.3 Pyrazinamide................................................................................... 13
2.2.4 Ethambuthol..................................................................................... 14
2.2.5 Streptomycin.................................................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................26
BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 23
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 23
3.2 Saran........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 24

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ
tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah
kesehatan masyarakat terbesar, khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta
menunjukkan hal ini antara lain:1
1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di
dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien
TB di Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di
dunia
2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun
2002, terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB
terbesar di dunia.
3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan
diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya
kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta.
4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR) mengalami
peningkatan selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan
penurunan di bawah target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru
tahun 2003 sebesar 42%, tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006 sebesar
76% yang berarti mencapai target global, namun pada tahun 2007 kembali
menurun sebesar 69%.
Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan.

Pemerintah

juga

telah

menetapkan

pedoman

diagnosis

dan

penatalaksanaan tuberkulosis. Pengobatan TB memakan waktu yang cukup lama dan


rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar pasien TB, dalam perjalanan
pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi pada beberapa
pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat. Penting bagi pasien untuk
dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin
timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi
efek samping tersebut.

Rumusan Masalah

Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dengan efek samping obat anti tuberkulosis
(OAT) di RSU DR.Pirngadi Medan.
2
1

Tujuan Penulisan
Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis mengenai efek samping obat anti

tuberkulosis (OAT).
Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus terapi
efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) .

3 Manfaat Penulisan
Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1 Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang ilmu
penyakit dalam khususnya mengenai terapi efek samping obat anti
2

tuberkulosis (OAT) .
Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai efek
samping obat anti tuberkulosis (OAT).

BAB II
4

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengobatan TB
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas
obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas
sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut
sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal
membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2
Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino
Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin
umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat
primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai
alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk

mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.


Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi
OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf
tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2
H = Isoniazid

E = Etambutol

R = Rifampisin

S = Streptomisin

Z = Pirazinamid

Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau


frekwensi.Angka 2 didepan seperti pada 2HRZE, artinya digunakan selama 2 bulan,
tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti
pada 4H3R3 artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan).
Kemasan obat dalam bentuk :

Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet

Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di


Indonesia
6

Kategori 1

2HRZE/4H3R3

Kategori 2

2HRZES/HRZE/5H3R3E3

OAT sisipan

HRZE

Kategori anak

2HRZ/4HR

1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6
bulan
Obat ini diberikan untuk:

Penderita baru TB Paru BTA Positif.


Penderita baru TB Paru BTA negatif Rntgen Positif
Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru

2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
HRZES setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan
tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8 bulan.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah
diobati, yaitu:

Penderita kambuh (relaps)


Penderita gagal (failure)
Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

3. OAT Sisipan (HRZE)1


Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2,
hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE)
setiap hari selama 1 bulan.

Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 50 kg: 1
tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid
500mg, 3 tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister
HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1
Dosis

Dosis yg dianjurkan

(mg/K

Harian

Intermitte

(mg/Kg

n (mg/Kg

R
H
Z
E

BB/hr)
8-12
4-6
20-30
15-20

BB/hr)
10
5
25
15

BB/kali)
10
10
35
35

15-18

15

15

Obat

Dosis mg/KgBB

Dosis
Maks

<40

40-60

>60

300
150
750
750
Sesuai

450
300
1000
1000

600
450
1500
1500

750

1000

(mg)
600
300

1000

BB

Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC).
Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam
tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO
sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan
keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam
bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu
kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan
penderita.
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah
pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak
bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC

akan

lebih

pengelolaannyadan lebih murah pembiayaannya.3


Tabel 3. Jenis OAT FDC2
Fase Intensif

Fase Intensif
8

mudah

BB

Harian
RHZE

2 bulan
Harian
RHZ

150/75/400/275 150/75/400

3x/minggu
RHZ

4 bulan
Harian
3x/minggu
RH
RH

150/150/50

150/75

150/150

30-37

0
2

38-54

55-70

>71

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit /
dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.2
4. Kategori Anak
Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti
(termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk
analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji
tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)
Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat sulit
sekali mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria
lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila
diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan foto toraks atau
laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada anak
Parameter
Kontak TB

0
Tidak jelas

2
Laporan

3
BTA (+)

keluarga, BTA
tidak jelas
Uji Tuberkulin

Negatif

Positif ( 10
mm, atau 5
9

mm

pada

keadaan
imunosupresi)
Berat

badan

Bawah

/keadaan gizi

merah

garis Klinis

gizi

(KMS) buruk (BB/U

atau BB/U < < 60%)


Demam

80%
> 2

tanpa

minggu

sebab jelas
Batuk*
Pembesaran

(jelas)
> 3 minggu
> 1cm, jumlah

kelenjar

> 1, tidak nyeri

coli,

limfe
aksila,

inginal,
Pembengkakan

Ada

tulang/sendi

pembengkakan

panggul, lutut
Foto toraks

Normal

/ Kesan TB

tidak jelas
Catatan:

Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter


Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk

kronik lainnya seperti : asma, sinusitis dan lain-lain


Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat

langsung didiagnosis tuberkulosis


Berat badan dinilai saat pasien datang
Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah

penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.


Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (6) didiagnosis
sebagai TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis). Bila
skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat maka perlu
dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi, seperti :

10

Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan pleura,

cairan serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.


Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan atau

biopsy.
Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu

menggunakan CT-Scan.
Pemeriksaan lain seperti funduskopi.

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan


dalam waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif dan
lanjutan. Pada tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan selanjutnya
merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3 OAT. Sedangkan
pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat H dan R. Pemberian OAT pada anak
dilakukan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan, Dosis obat
harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak


Obat
Isoniazid (H)
Rifampisisn ** (R)
Pyrazinamide (z)
Streptomisin (S)
Catatan:

Dosis

Harian Dosis maksimal

(mg/KgBB/hari)
5-15*
10-20
15-40
15-40

(mg per hari)


300
600
2000
1000

* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh


melebihi 10 mg/Kg?BB/hari
** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat diabsorbsi
dengan baik melaui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan).
Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)
Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan.
Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75 mg, dan
pirazinamid 150 mg. Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg dan
rifampisin 75 mg.
Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT
11

Berat Badan (kg)

KDT Tahap intensif H50, KDT tahap lanjutan H50,


R75, Z150 2 bulan, tiap R75 4 bulan, Tiap Hari

05-09
10-14
15-19
20-32
Catatan:

hari
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet

1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS


Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah
(chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersable).

2.2 Efek Samping OAT : 5


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)4,5
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis terendah 10 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien.
Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan
dengan dosis dan lama pemberiannya
A. Reaksi Imunologis

12

Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan


terjadi lupus ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat
B. Toksisitas langsung
Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama yang
paling sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan pada
aminotransferasi hati (hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang tidak
membutuhkan penghentian obat dan dijumpai pada 10-20% pasien, yang
biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu makan,
mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada 1% resipien
isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak segera dihentikan.
Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan nekrosis hepatoselular.
Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang terjadi pada usia di bawah
20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-35 tahun, 1,2% pada pasien
berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien berusia 50 tahun atau lebih. Risiko
hepatitis lebih besar pada pecandu alcohol dan kemungkinan selama
kehamilan serta pada masa pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat
isoniazid menjadi kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut.
Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis
lebih besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian dosis
dewasa standar sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai pada
asetilator lambat dan pasien dengan keadaan kondisi presdiposisi, seperti
malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati terjadi akibat
defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi piridoksin, dan
toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian piridoksin dengan dosis
serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf pusat, yang lebih jarang ditemui,
meliputi hilangnya daya ingat, psikosis dan kejang. Kesemuanya ini juga
berespons terhadap piridoksin.
Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia
defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid dapat
menurunkan metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan toksisitasnya dalam
darah.
2. Rifampisin1, 3, 6

13

Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin,


keringat, air mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara
permanen).
A. Reaksi Imunologis
Efek samping meliputi ruam dan demam.
B. Toksisitas Langsung
Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis.
Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis. Rifampin
sering menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang dari dua kali
seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan
demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait
dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt menginduksi kebanyakan isoform
sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4) yang meningkatkan
eliminasi berbagai obat lain seperti metadon, antikoagulan, siklosporin, beberapa
antikonvulsan, penghambat protease, beberapa penghambat reverse transciptase
nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar
semua obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu
yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan
terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut.
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatik ialah :
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang
kadang diare
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
-

dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus


Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan

lagi walaupun gejalanya telah menghilang


Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

3. Pirazinamid 4,5
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5%
penderita),
General
14

Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh


semua

penggunanya

dan

tidak

menjadi

alasan

penghentian

terapi.

Hiperurisemia dapat mencetuskan artritis pirai akut.


Gastrointestinal
Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya
berhubungan dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi.

Gangguan GI termasuk mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.


Hematologi dan limfatik
Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia,
vakuolasi dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi
pada penggunaan obat ini. Efek samping pada mekanisme pembekuan darah

juga jarang dilaporkan.


Efek lainnya
Arthralgia dan milagia

ringan

dilaporkan

sering

terjadi.

Reaksi

hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan.


Demam, timbulnya jerawat, fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis
interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.
4. Etambutol 4,5,6
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling
sering terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan penurunan ketajaman
penglihatan dan buta warna merah-hijau. Efek samping yang terkait dosis ini lebih
sering terjadi pada dosis 25 mg/kg/hari yang diberikan selama beberapa bulan.
Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang, gangguan penglihatan sangat jarang terjadi.
Pemeriksaan ketajaman visual secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis
sebesar 25 mg/kg/hari digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak
yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi
warna merah-hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan.

Ocular
Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman
penglihatan (termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk
neuritis optic atau retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.

Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6


Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan
bersifat reversibel ketika obat dihentikan.
15

o Dose-related
Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan bervariasi
antara 18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg per hari, 5-6%
dengan 25mg/kg per hari dan kurang dari 1% dengan 15 mg/kg per
hari dari ethambuthol HCL dengan pemberian lebih dari 2 bulan.
Belum ada dosis aman yang dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan
pada dosis yang lebih rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
o Duration-related
Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan
umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah
pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping
dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan. Manifestasi gangguan setelah 12
bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi. Perlu diperhatikan
bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien yang
diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.
Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan
dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa terjadi pada terapi
dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap
ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic neuritis sering terjadi pada
pemberian dosis lebih dari 15 mg/kg/hari. Pemberian terapi sebaiknya
dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan pada penglihatan. Kerusakan
dapat mengenai pada saraf perifer maupun sentral dari nervus optikus.
Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan biasanya terjadi setelah 2 bulan
pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat terjadi. Faktor predisposisi
termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis
sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan
penglihatan tersebut bersifat reversibel setelah beberapa bulan penghentian
ethambutol, kasus kebutaan yang irreversibel dan kerusakan penglihatan juga
telah ada dilaporkan.
Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan
kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam

tubuh.
Metabolik
Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi
dari terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66%
16

pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih
menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2 bulan

terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak obat dihentikan.


Hepatic
Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan
asimptomatik dari LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang dilaporkan
terjadi. Peningkatan LFT, biasanya tanpa perubahan dari bilirubin, terjadi pada
10% pasien yang diterapi dengan ethambutol. Peningkatan ini menghilang
secara spontan ketika pemberian obat dihentikan. Jaundice asimptomatik juga

jarang terjadi pada pemberian terapi ethambutol


Hipersensitivitas
Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid.
Reaksi hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash,
dermatitis exfoliatif), lichen-planus reaction, dan toxic epidermal necrolysis.
Reaksi hipersensitifitas ditunjukkan dengan demam (spiking fever), rash,
mual, hipotensi, dan eosinofilia. Lichen-planus-like reactions termasuk
hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan terjadi, sama seperti toxic

epidermal necrolysis.
Hematology
Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan

neutropenia.
Respiratory
Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan

atau tanpa eosinofilia


Gastrointestinal
Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan
biasa berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas. Pseudomembranous colitis
dilaporkan terjadi ketika ethambutol diberikan bersamaan dengan rifampin dan
isoniazid. Efek samping yang lain termasuk mual, muntah, nyeri abdomen,

anorexia.
Nervous system
Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta
kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.
Psychiatric
EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.
Dermatologic
Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
Musculoskeletal
Efek samping termasuk gangguan sendi
17

Renal
Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency.
Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan
idiosyncratic interstitial nephritis.

5. Streptomisin4,5
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5
hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan insufisiensi
ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan diuretik kuat
(misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya yang bersifat
nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah
nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan. Ototoksisitas dapat
bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan pendengaran, yang awalnya
menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang ditandai adanya
vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan. Nefrotoksisitas menyebabkan
peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau penurunan clearance kreatinin
meskipun indikasi paling awal terjadinya toksistas seringkali berupa peningkatan
kadar terendah (trough) aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin
adalah obat-obat yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan gentamisin
paling bersifat vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling
bersifat nefrotoksik.
Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang
mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis
pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian
kalsium glukonat (diberikan segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak
sering terjadi.

Reaksi Simpang Streptomisin5


Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat
hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat paparan
yang lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani pengobatan dalam

18

jangka panjang (misalnya tuberkulosis) maupun pada petugas media yang


bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang berhasil.
Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik yang
paling serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular, berupa
vertigo dan hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan gangguan ini
berhubungan langsung dengan umur, pasien, kadar obat dalam darah, dan lama
pemberian. Disfungsi vestibular dapat terjadi setelah beberapa minggu dengan
kadar obat yang relatif rendah dalam darah. Toksisitas vestibular cenderung
bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama kehamilan dapat
menyebabkan ketulian pada neonates sehingga penggunaannya pada kasus ini
relatif dikontraindikasikan.

Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2


Efek Samping

Kemungkinan

Tatalaksana

Penyebab
Minor
Tidak nafsu makan, mual,

Rifampisin

OAT Teruskan
Obat diminum malam

sakit perut
Nyeri sendi
Kesemutan s/d rasa

Pyrazinamid
INH

sebelum tidur
Beri aspirin /allopurinol
Beri vitamin B6 (piridoksin)

terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air

Rifampisin

1 x 100 mgperhari
Beri penjelasan, tidak perlu

seni
Mayor
Gatal dan kemerahan
Semua jenis OAT
pada kulit

diberi apa-apa
Hentikan Obat
Beri antihistamin &
dievaluasi ketat

19

Tuli
Gangguan keseimbangan

Streptomisin
Streptomisin

Streptomisin dihentikan
Streptomisin dihentikan

(vertigo dan nistagmus)


Ikterik / Hepatitis Imbas

Sebagian besar OAT

Hentikan semua OAT

Obat (penyebab lain

Sampai ikterik menghilang

disingkirkan)

dan boleh diberikan

Muntah dan

hepatoprotektor
Hentikan semua OAT &

Sebagian besar OAT

confusion

lakukan uji fungsi hati

(suspected druginduced
pre-icteric hepatitis)
Gangguan penglihatan
Kelainan sistemik,

Ethambutol
Rifampisin

Hentikan ethambutol
Hentikan Rifampisin

termasuk syok dan


purpura

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal


singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien
menghilang, namun pada sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit. Bila
keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan tersebut
menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus efek
samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan
obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.

Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau


karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
20

kemudian diberi kembali sesuai prinsip dechallenge-rechallenge. Bila dalam


proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi,
berarti hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas.

Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan
obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan risiko terjadinya kambuh.

Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)


terhadap Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis
OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)
dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas
terhadap Isoniasid (INH) dan atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin
dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada
pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan
yang berat.
Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan

rifampisin dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis),


sebagai tambahan rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik tanpa
ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk menyingkirkan
kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat regimen pengobatan TB.
Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :

Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.
Keparahan dari penyakit hati
Keparahan dari TB
Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.

Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat
anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit TB
sangat berat dan diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB,
regimen

nonhepatotoksik

yang

terdiri

fluoroquinolone dapat mulai diberikan.


21

dari

streptomycin,

ethambutol,

dan

Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati kembali
normal dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum
memberikan kembalin obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan melakukan tes fungsi
hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya 2 minggu setelah menghilangnya
jaundice dan tenderness pada abdomen bagian atas sebelum memulai pengobatan TB.
Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit hati bertambah parah, pemberian
regimen

nonhepatotoksik

yang

terdiri

dari

streptomycin,

ethambutol,

dan

fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.
Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu
persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat
diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli
menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit samadengan
isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan merupakan agen
yang paling efektif. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai diberikan. Pada pasien
yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap pemberian kembali dari
rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari pyrazinamide
Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan
hepatitis.

Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa rifampisin


dengan 2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti dengan 10

bulan isoniazid dan ethambutol


Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin, pyrazinamide

dan ethambutol dapat dipertimbangkan.


Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif,

total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9 bulan.
Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen
nonhepatotoksik

yang

terdiri

dari

streptomycin,

ethambutol,

dan

fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total 18-24 bulan.


Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang optimal,
terutama

jika hepatitis pasien sudah berat. Program

nasional

kontrol TB

menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang
digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika, suatu
unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah, (single anti TB22

drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya terbatas telah
menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut, baik
tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif atau lanjutan.

Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan TB
dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika hepatitis
menghilang, ulangi kembali semua obat kecuali ganti pyrazinamid dengan
streptomycin untuk menyelesaikan 2 bulan dari permulaan terapi, diikuti

rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan pada fase lanjutan.


Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis
menghilang, ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan 4
bulan dari terapi lanjutan.

23

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan, antara lain :
1. Efek

Samping

Isoniazid

berupa

hepatitis,

neuritis

perifer,

dan

hipersensitivitas.
2. Efek Samping Rifampisin berupa reaksi kulit, gejala pada gastrointestinal,
hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan.
3. Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala pada
gastrointestinal dan hipersensitivitas.
4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik, ketajaman penglihatan
berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal.
5. Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik.
3.2 Saran
Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan
terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan
dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut. Oleh karena itu perlu
adanya penjelasan dan edukasi terhadap efek samping dari pemberian OAT.

DAFTAR PUSTAKA

24

1. DEPKES RI, 2010, Panduan Tatalaksana Tuberkulosis.Jakarta


2. WHO,2010,Guidelines for the treatment of Tuberculosis

Fourth

edition.Geneva
3. Dahlan, Z. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis.Tinjauan
Kepustakaan. Cermin Dunia Kedokteran No.115.1997;8-12
4. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal.
5. Katzung, 2004. Farmakologi Klinik Edisi 4. EGC. Jakarta.
6. RYC Chan, et al, 2006. Ocular toxicity of ethambutol: review article.
Hong Kong Med J Vol 12 No 1 February 2006.
7. DEPKES RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosi.

25

Anda mungkin juga menyukai