LAPKAS R14 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis
LAPKAS R14 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis
Pembimbing:
dr. Yohanes
Siahaan
Disusun oleh:
Qarina Hasyala Putri
080100367
100100013
Romulus P Sianipar
100100180
100100225
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan
Kasus yang berjudul Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ini dengan
lancar dan tanpa halangan yang berarti. Terima kasih juga kami ucapkan kepada
pembimbing kami, dr.Yohanes Siahaan, yang telah bersedia membimbing kami
dalam penyusunan laporan kasus ini.
Pada laporan kasus ini, kami memaparkan tinjauan teoritis dan
penatalaksanaan pada pasien yang menggunakan obat anti tuberkulosis di bangsal
Ruang XIV Wanita penyakit dalam RSU DR. Pirngadi Medan. Adapun tujuan
penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
senior pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis mendapatkan banyak
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis
berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan
kasus ini baik dari segi isi maupun sistematika penulisan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2014,
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ
tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah
kesehatan masyarakat terbesar, khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta
menunjukkan hal ini antara lain:1
1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di
dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien
TB di Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di
dunia
2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun
2002, terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB
terbesar di dunia.
3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan
diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya
kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta.
4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR) mengalami
peningkatan selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan
penurunan di bawah target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru
tahun 2003 sebesar 42%, tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006 sebesar
76% yang berarti mencapai target global, namun pada tahun 2007 kembali
menurun sebesar 69%.
Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan.
Pemerintah
juga
telah
menetapkan
pedoman
diagnosis
dan
Rumusan Masalah
Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dengan efek samping obat anti tuberkulosis
(OAT) di RSU DR.Pirngadi Medan.
2
1
Tujuan Penulisan
Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis mengenai efek samping obat anti
tuberkulosis (OAT).
Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus terapi
efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) .
3 Manfaat Penulisan
Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1 Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang ilmu
penyakit dalam khususnya mengenai terapi efek samping obat anti
2
tuberkulosis (OAT) .
Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai efek
samping obat anti tuberkulosis (OAT).
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengobatan TB
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas
obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas
sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut
sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal
membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2
Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino
Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin
umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat
primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai
alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi
OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf
tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2
H = Isoniazid
E = Etambutol
R = Rifampisin
S = Streptomisin
Z = Pirazinamid
Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Kategori 1
2HRZE/4H3R3
Kategori 2
2HRZES/HRZE/5H3R3E3
OAT sisipan
HRZE
Kategori anak
2HRZ/4HR
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6
bulan
Obat ini diberikan untuk:
2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
HRZES setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan
tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8 bulan.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah
diobati, yaitu:
Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 50 kg: 1
tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid
500mg, 3 tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister
HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1
Dosis
Dosis yg dianjurkan
(mg/K
Harian
Intermitte
(mg/Kg
n (mg/Kg
R
H
Z
E
BB/hr)
8-12
4-6
20-30
15-20
BB/hr)
10
5
25
15
BB/kali)
10
10
35
35
15-18
15
15
Obat
Dosis mg/KgBB
Dosis
Maks
<40
40-60
>60
300
150
750
750
Sesuai
450
300
1000
1000
600
450
1500
1500
750
1000
(mg)
600
300
1000
BB
Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC).
Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam
tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO
sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan
keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam
bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu
kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan
penderita.
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah
pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak
bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC
akan
lebih
Fase Intensif
8
mudah
BB
Harian
RHZE
2 bulan
Harian
RHZ
150/75/400/275 150/75/400
3x/minggu
RHZ
4 bulan
Harian
3x/minggu
RH
RH
150/150/50
150/75
150/150
30-37
0
2
38-54
55-70
>71
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit /
dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.2
4. Kategori Anak
Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti
(termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk
analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji
tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)
Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat sulit
sekali mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria
lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila
diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan foto toraks atau
laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada anak
Parameter
Kontak TB
0
Tidak jelas
2
Laporan
3
BTA (+)
keluarga, BTA
tidak jelas
Uji Tuberkulin
Negatif
Positif ( 10
mm, atau 5
9
mm
pada
keadaan
imunosupresi)
Berat
badan
Bawah
/keadaan gizi
merah
garis Klinis
gizi
80%
> 2
tanpa
minggu
sebab jelas
Batuk*
Pembesaran
(jelas)
> 3 minggu
> 1cm, jumlah
kelenjar
coli,
limfe
aksila,
inginal,
Pembengkakan
Ada
tulang/sendi
pembengkakan
panggul, lutut
Foto toraks
Normal
/ Kesan TB
tidak jelas
Catatan:
10
biopsy.
Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu
menggunakan CT-Scan.
Pemeriksaan lain seperti funduskopi.
Dosis
(mg/KgBB/hari)
5-15*
10-20
15-40
15-40
05-09
10-14
15-19
20-32
Catatan:
hari
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
12
13
3. Pirazinamid 4,5
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5%
penderita),
General
14
penggunanya
dan
tidak
menjadi
alasan
penghentian
terapi.
ringan
dilaporkan
sering
terjadi.
Reaksi
Ocular
Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman
penglihatan (termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk
neuritis optic atau retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.
o Dose-related
Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan bervariasi
antara 18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg per hari, 5-6%
dengan 25mg/kg per hari dan kurang dari 1% dengan 15 mg/kg per
hari dari ethambuthol HCL dengan pemberian lebih dari 2 bulan.
Belum ada dosis aman yang dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan
pada dosis yang lebih rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
o Duration-related
Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan
umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah
pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping
dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan. Manifestasi gangguan setelah 12
bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi. Perlu diperhatikan
bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien yang
diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.
Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan
dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa terjadi pada terapi
dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap
ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic neuritis sering terjadi pada
pemberian dosis lebih dari 15 mg/kg/hari. Pemberian terapi sebaiknya
dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan pada penglihatan. Kerusakan
dapat mengenai pada saraf perifer maupun sentral dari nervus optikus.
Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan biasanya terjadi setelah 2 bulan
pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat terjadi. Faktor predisposisi
termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis
sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan
penglihatan tersebut bersifat reversibel setelah beberapa bulan penghentian
ethambutol, kasus kebutaan yang irreversibel dan kerusakan penglihatan juga
telah ada dilaporkan.
Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan
kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam
tubuh.
Metabolik
Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi
dari terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66%
16
pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih
menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2 bulan
epidermal necrolysis.
Hematology
Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan
neutropenia.
Respiratory
Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan
anorexia.
Nervous system
Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta
kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.
Psychiatric
EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.
Dermatologic
Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
Musculoskeletal
Efek samping termasuk gangguan sendi
17
Renal
Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency.
Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan
idiosyncratic interstitial nephritis.
5. Streptomisin4,5
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5
hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan insufisiensi
ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan diuretik kuat
(misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya yang bersifat
nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah
nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan. Ototoksisitas dapat
bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan pendengaran, yang awalnya
menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang ditandai adanya
vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan. Nefrotoksisitas menyebabkan
peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau penurunan clearance kreatinin
meskipun indikasi paling awal terjadinya toksistas seringkali berupa peningkatan
kadar terendah (trough) aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin
adalah obat-obat yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan gentamisin
paling bersifat vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling
bersifat nefrotoksik.
Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang
mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis
pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian
kalsium glukonat (diberikan segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak
sering terjadi.
18
Kemungkinan
Tatalaksana
Penyebab
Minor
Tidak nafsu makan, mual,
Rifampisin
OAT Teruskan
Obat diminum malam
sakit perut
Nyeri sendi
Kesemutan s/d rasa
Pyrazinamid
INH
sebelum tidur
Beri aspirin /allopurinol
Beri vitamin B6 (piridoksin)
terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air
Rifampisin
1 x 100 mgperhari
Beri penjelasan, tidak perlu
seni
Mayor
Gatal dan kemerahan
Semua jenis OAT
pada kulit
diberi apa-apa
Hentikan Obat
Beri antihistamin &
dievaluasi ketat
19
Tuli
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
Streptomisin dihentikan
disingkirkan)
Muntah dan
hepatoprotektor
Hentikan semua OAT &
confusion
(suspected druginduced
pre-icteric hepatitis)
Gangguan penglihatan
Kelainan sistemik,
Ethambutol
Rifampisin
Hentikan ethambutol
Hentikan Rifampisin
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan
obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan
obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan risiko terjadinya kambuh.
Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.
Keparahan dari penyakit hati
Keparahan dari TB
Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.
Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat
anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit TB
sangat berat dan diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB,
regimen
nonhepatotoksik
yang
terdiri
dari
streptomycin,
ethambutol,
dan
Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati kembali
normal dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum
memberikan kembalin obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan melakukan tes fungsi
hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya 2 minggu setelah menghilangnya
jaundice dan tenderness pada abdomen bagian atas sebelum memulai pengobatan TB.
Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit hati bertambah parah, pemberian
regimen
nonhepatotoksik
yang
terdiri
dari
streptomycin,
ethambutol,
dan
fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.
Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu
persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat
diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli
menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit samadengan
isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan merupakan agen
yang paling efektif. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai diberikan. Pada pasien
yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap pemberian kembali dari
rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari pyrazinamide
Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan
hepatitis.
total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9 bulan.
Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen
nonhepatotoksik
yang
terdiri
dari
streptomycin,
ethambutol,
dan
nasional
kontrol TB
menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang
digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika, suatu
unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah, (single anti TB22
drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya terbatas telah
menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut, baik
tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif atau lanjutan.
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan TB
dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika hepatitis
menghilang, ulangi kembali semua obat kecuali ganti pyrazinamid dengan
streptomycin untuk menyelesaikan 2 bulan dari permulaan terapi, diikuti
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan, antara lain :
1. Efek
Samping
Isoniazid
berupa
hepatitis,
neuritis
perifer,
dan
hipersensitivitas.
2. Efek Samping Rifampisin berupa reaksi kulit, gejala pada gastrointestinal,
hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan.
3. Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala pada
gastrointestinal dan hipersensitivitas.
4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik, ketajaman penglihatan
berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal.
5. Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik.
3.2 Saran
Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan
terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan
dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut. Oleh karena itu perlu
adanya penjelasan dan edukasi terhadap efek samping dari pemberian OAT.
DAFTAR PUSTAKA
24
Fourth
edition.Geneva
3. Dahlan, Z. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis.Tinjauan
Kepustakaan. Cermin Dunia Kedokteran No.115.1997;8-12
4. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal.
5. Katzung, 2004. Farmakologi Klinik Edisi 4. EGC. Jakarta.
6. RYC Chan, et al, 2006. Ocular toxicity of ethambutol: review article.
Hong Kong Med J Vol 12 No 1 February 2006.
7. DEPKES RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosi.
25