Anda di halaman 1dari 2

BAB 1.

PENDAHLUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan globalisasi dan perubahan gaya hidup manusia berdampak
terhadap perubahan pola penyakit selama beberapa tahun terakhir khususnya di
Indonesia. Untuk mengatasi berbagai macam penyakit yang timbul, berbagai
tindakan terapi telah dilakukan mulai dari yang paling ringan yaitu secara
konservatif atau non bedah sampai dengan tindakan yang paling berat yaitu secara
operatif atau tindakan bedah.
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa selama
lebih dari satu abad perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari
perawatan kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta
tindakan bedah dilakukan di seluruh dunia (Hasri et al., 2012). Data tabulasi
nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009 menunjukan
bahwa tindakan bedah menempati urutan ke-11 dari 50 pola penyakit di Indonesia
dengan persentase 12,8% dan diperkirakan 32% diantaranya merupakan bedah
laparotomi.
Laparatomi merupakan jenis operasi bedah mayor yang dilakukan di
daerah abdomen. Pembedahan dilakukan dengan penyayatan pada lapisan-lapisan
dinding abomen untuk mendapatkan bagian organ abdomen yang mengalami
masalah seperti hemoragi, perforasi, kanker, dan obstruksi. Laparotomi dilakukan
pada kasus-kasus seperti apendisitis perforasi, hernia inguinalis, kanker lambung,
kanker colon dan rectum, obstruksi usus, inflamasi usus kronis, kolestisitis, dan
peritonitis (Sjamsuhidajat, 2010). Sayatan pada bedah laparatomi menimbulkan
luka yang berukuran besar dan dalam sehingga membutuhkan waktu
penyembuhan yang lama dan perawatan berkelanjutan. Pasien akan menerima
pemantauan selama di rumah sakit dan mengharuskan pasien mendapat pelayanan
rawat inap selama beberapa hari (Potter & Perry, 2006).
Ada beberapa masalah yang sering muncul pada luka pasca pembedahan
diantaranya adalah luka yang mengalami stres selama masa penyembuhan akibat
nutrisi yang tidak adekuat, gangguan sirkulasi dan perubahan metabolisme yang

dapat meningkatkan resiko lambatnya penyembuhan luka (Potter & Perry, 2006).
Menurut Karakata (2006), pada luka yang bersih dan dirawat dengan baik maka
luka akan sembuh lebih cepat sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2010), proses
penyembuhan luka dipengaruhi oleh gangguan sistem imun yang akan
menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka.
Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
pasca operasi ada 2 faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor
intrinsik yaitu meliputi usia, penyakit penyerta, status nutrisi, oksigenasi dan
perfusi jaringan, serta merokok dan faktor ekstrinsik yang meliputi teknik
pembedahan, mobilisasi, pengobatan, manjemen luka, psikososial dan adanya
infeksi (Potter & Perry, 2006).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa ada banyak faktor yang
dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka sehingga penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih mendalam tentang pengaruh usia terhadap proses
penyembuhan luka pada pasien pasca operasi laparotomi. Penelitian ini akan
dilakukan pada pasien post operasi laparotomi di RSD dr. Soebandi Jember
dengan menggunakan metode observasional untuk penilaian proses penyembuhan
luka.

Anda mungkin juga menyukai